"San, San, San siapa?" Bentak satu dari pendamping pengantin."Mbak Murni kenal?"Si pengantin menggeleng. Mereka melangkah pergi tapi Axel menghadang. "Boleh tanya gak?" Axel bertanya penuh harap."Apaan lagi?!" Perempuan lain menjawab dengan tidak sabaran."Ada yang tahu di mana rumah Sandra Anggita."Mereka saling pandang. "Sandra, Mbak Sandra ponakannya Bu Meida?""Yang pacarnya Mas Raka?""Hiss, pacar apaan? Mereka mau nikah."Axel pusing sekaligus emosi, juga tidak percaya. Raka? Siapa Raka? "Permisi. Jadi rumahnya Sandra di mana?" Axel menyela perdebatan rombongan pengantin tadi."Situ siapanya Mbak Sandra?""Saya suaminya," balas Axel penuh percaya diri.Giliran rombongan pengantin tadi yang melongo."Suami? Suami apaan? Mbak Sandra yang itu punya pacar. Rumornya sudah mau nikah. Yang benar yang mana.""Eh, bukannya mereka mau tunangan."Perempuan di depan Axel ribut sendiri. Tangan Axel terkepal, bertunangan? Tidak boleh."Jadi bisa tunjukkan di mana rumahnya Sandra?" Axel
Matahari baru menyingsing di ufuk timur. Udara masih terasa dingin. Menyisakan embun sisa semalam yang masih menempel di dedaunan.Suasana yang membuat semua orang enggan berpisah dari selimut. Apalagi di musim kemarau yang dini hari menjelang pagi benar-benar dingin menusuk.Namun segala hal tadi tidak menyurutkan niat seorang Axel. Begitu turun dari kereta di stasiun pusat kota. Dia langsung menyewa mobil yang akan membawanya ke tempat Sandra.Tidak ada patokan hari, Axel hanya bilang pada supirnya kalau dia akan membayar sewanya perhari, jadi pak supir tidak perlu takut akan ditipu olehnya."Masih jauh, Pak?" Tanya Axel ketika mereka telah menempuh satu jam perjalanan dari stasiun."Kalau ke alamat itu masih setengah jam, Mas. Lagian Mas kok gak turun di stasiun dekat sini. Malah turunnya di kota. Kalau dari sini kan gak jauh-jauh amat.""Gak tahu, Pak. Perasaan keretanya cuma berhenti dua atau tiga kali. Beberapa stasiun tidak berhenti."Axel juga tidak terlalu ingat. Dia tidur-ti
"Dia ada di sini. Yang benar saja?"Axel menyangkal ketika Arch menunjukkan lokasi terkini Sandra. Sebuah desa yang lumayan jauh dari pusat kota Y. Desa dengan pemandangan lereng gunung yang memang menyejukkan mata. Plus hamparan sawah yang menenangkan jiwa."Tidak percaya, yo sakarepmu."Axel mendengus. Dia tidak punya pilihan selain mempercayai hasil pencarian Arch. "Pergi sana. Semoga terlambat.""Sialan!" Axel mengumpat terang-terangan kali ini. Pria itu lantas berbalik, berjalan ke arah mobil. Setelah memberi perintah singkat pada sang asisten agar mengawasi perusahaan untuknya.Tangannya baru menyentuh handle pintu ketika ponselnya berdering."Ada apa, Tante?"Axel menoleh ke arah Arch dan Livi yang masih mengawasinya."Kau ke mana saja. Aku perlu kau datang ke DL Grup. Kau harus ada di sana untuk mendapatkan sahammu."Axel menghela napas. Dia masih beradu pandang dengan Arch ketika menjawab, "Maaf, Tante. Aku tidak ingin ikut campur lagi dalam urusan saham itu. Aku mundur, la
"Sampah? Lelaki sepertiku hanya sampah?"Kalimat dari Arch menghantam sisi paling rapuh dalam diri Axel. Fakta dia telah menyakiti juga menyia-nyiakan dua perempuan baik dalam hidupnya, membuka mata hati Axel.Tangannya turun perlahan, diikuti wajahnya yang berubah muram.Pria itu seketika disadarkan oleh kenyataan kalau dia memang brengsek, jahat, tidak punya hati. Egois juga tidak memiliki perasaan."Kau selamanya tidak akan masuk ke DL Grup. Mau mencoba dari sisi manapun. Kau tidak punya celah. Kau tidak memiliki kualifikasi untuk berada di jajaran direksi perusahaan yang aku pimpin.""Kau, tidak bermoral, tidak kompeten, kau juga tidak punya skill memadai untuk mendapatkan izin dariku!"Tangan Axel terkepal. Arch benar-benar menguliti dirinya. Mengupas semua kesalahan juga menguak sisi kelam dalam dirinya. Namun tiap kata yang Arch ucapkan, Axel sama sekali tidak bisa membantahnya.Sebab yang Arch sebutkan adalah kebenaran. Tidak ada satupun yang bisa membuat Axel denial akan hal
"Masih marah?"Arch menahan lengan Livi yang berjalan mendahuluinya. Wanita itu manyun tapi parasnya tidak sejengkel tadi. Ada binar kelegaan dalam mata coklat Livi."Masih," balas Livi lirih.Arch menghela napas. "Sekarang bilang, aku harus apa biar kamu gak marah lagi."Livi mengerutkan dahi, tampak berpikir. Hingga satu ide muncul di kepalanya. "Temani aku main seharian.""Main apa dulu?" Seringai Arch muncul begitu mendengar kata main."Jalan-jalan. Pikiranmu itu kasur saja isinya."Arch terbahak. "Habisnya enak sih, bagaimana dong."Lihat, betapa mudahnya pria itu mengubah ekspresi wajahnya. Padahal lima menit yang lalu, Livi dibuat merinding oleh sikap Arch yang menurutnya sangat menakutkan.Sekarang pria itu telah kembali ke mode tengilnya. Sebenarnya yang mana kepribadian Arch yang asli. Livi jadi bingung."Memang kamu mau jalan-jalan ke mana?"Arch mengejar langkah Livi yang hampir mencapai mobilnya. Livi baru akan menjawab ketika seseorang memanggilnya."Livi, bisa kita bica
Livi tak membalas sepatahkatapun. Dia pandangi sang suami yang sedang melahap makanannya dengan tenang juga elegan. Pria di depannya memang kerap terlihat demikian.Wanita itu kadang sampai bingung. Bingung menerka isi kepala suaminya. Arch sesekali tampak misterius. Seolah ada rahasia besar di balik sikapnya yang datar, tanpa riak emosi sedikitpun.Arch juga selalu bertindak cepat untuk mengatasi masalah yang muncul di antara mereka. Mengurai kesalahpahaman yang sering kali terjadi karena Livi overthinking.Seperti sekarang. Tanpa banyak kata, Livi langsung disuguhi kebenaran dari foto kemarin."Jadi semua ini bagian dari rencana tantemu?"Arch mengangguk, mengusap sudut mulutnya dengan serbet. Lantas menyesap kopi miliknya. Livi sendiri diam-diam menarik sudut bibirnya. "Dan dia sengaja membuatku terjebak dengan wanita itu, supaya aku tidak datang menolongmu."Tersirat kesal dalam perkataan Arch. "Maaf," lanjutnya."Tidak masalah. Ada pak Yo yang bantuin aku.""Kai langsung kroscek