Livi bingung sendiri, tidak tahu harus melakukan apa. Ketika Arch mendekat, dia reflek mundur. Pria di depannya sungguh misterius."Mau teh?" Mendadak Livi bertanya. Tiba-tiba ide muncul di benaknya."Dia gak ngeteh kalau malam, Nya," cetus Satria yang dengan cepat menyesuaikan diri ketika Arch muncul."Oh, lalu? Padahal teh baik untuk gangguan tidur," cetus Livi."Aku tidak susah tidur," tegas Arch."Apaan, waktu itu kamu tidur sambil ngigau.""Kamu tahu?""Gimana gak tahu, tangan segede gaban nimpa orang. Kaki kek tukang main bola hampir nendang aku."Paras Arch berubah masam. Livi terang-terangan membuka aibnya. "Sembarangan!""Situ tidur, mana tahu."Arch bungkam, Arch beberapa waktu belakangan dia memang mengalami gangguan tidur. Tapi itu sebelum bertemu Livi, sejak dia tidur seranjang dengan Livi. Walau tanpa melakukan apapun, kualitas tidur pria itu membaik.Tapi Arch yakin kalau di awal pernikahan mereka, kesulitan tidurnya belum sepenuhnya hilang. Tidak heran kalau Livi sempa
"Memangnya kalau aku kasih tahu kamu bakal percaya?" Arch balik bertanya setengah menantang Livi."Tinggal dijawab, apa susahnya," balas Livi yang kini sudah duduk dengan tenang di tempatnya.Arch mendengus lirih, dia sempat melihat ke arah Livi yang sedang mengirim pesan. Room chat dengan Kai terlihat dari sisi Arch.Pria itu tersenyum, bukan bermaksud mengintip. Tapi kebetulan Arch melihatnya. Livi memang tidak punya banyak teman. Di sini hanya Kai dan adik-adiknya yang sering chattingan dengannya.Selebihnya, lebih banyak orang mengenal Livi, tapi dia tidak kenal mereka. Livi sejak kecil memang begitu. Lebih suka sendiri meski bukan sosok yang introvert.Livi akan berubah jadi ekstrovert jika bertemu rekan yang membuatnya nyaman, contohnya Kai dan ... Irfan."Bagaimana kalau aku bilang namaku Aroha Archade De Leon, pemilik DL Grup."Livi terdiam beberapa detik sebelum akhirnya tertawa. "Jangan bercanda. Aku dengar kalau pemilik DL Grup sangat misterius," cetus Livi tanpa ragu."Tah
Livi lebih dulu menghindar, dia tidak mau berhadapan dengan Axel. Apalagi ada Sandra di sana tadi. Kaca mobil Axel jenis yang terang bukan yang gelap. Karenanya teman Livi tadi bisa berujar demikian.Sebab kelakuan mereka terlihat jelas dari luar. Harusnya Axel malu, tapi pria itu lebih peduli pada penampakan Livi. Ketika Axel mengejar, Livi sudah lebih dulu menghilang di balik dinding warung yang akan membimbingnya ke sisi lain sebuah jalan.Dari jalan itulah dia bisa kembali ke pabrik. Gadis tersebut tahu jalur ini ketika makan bersama Irfan. Livi tidak mau ambil resiko. Bertemu Axel hanya akan memancing emosi dan keributan."Kata mau makan?" Tanya Irfan ketika melihat Livi kembali dengan wajah bersungut-sungut."Orang yang tadi pagi datang lagi," balas Livi dengan paras manyun."Mau ngapain lagi? Masalah dia apa sih?" Heran juga Irfan dibuatnya."Dia gak terima aku putusin, terus aku tinggal nikah."Irfan mengerutkan dahi. Pasti ada sebabnya jika mantan Livi gagal move on."Dia sel
Sandra terlihat gelisah sepanjang hari. Fakta kalau Axel telah bertemu Livi membuat pikirannya tidak tenang. Sandra sangat takut kalau Livi akan kembali merebut perhatian Axel."Tidak boleh! Tidak boleh! Axel tidak boleh balikan sama Livi. Axel milikku dan Livi sudah menikah. Mereka tidak akan bisa bersama."Sandra meyakinkan diri kalau Livi tidak mungkin kembali pada Axel. Mengingat terakhir kali dia dan Livi berjumpa. Livi dengan tegas mengatakan tidak mencintai Axel. Gadis itu bahkan memberitahu Sandra kalau dia boleh memiliki Axel.Namun bagaimana jika Livi berubah pikiran. Sandra menggeram kesal, dia harus segera menjerat Axel. Tapi bagaimana caranya. Axel sangat cuek padanya akhir-akhir ini. Jangankan menyentuhnya, berdekatan pun Axel menolak.Tangan Sandra terkepal erat. Dia harus menemukan cara untuk membuat Axel jatuh dalam genggamannya."Axel Balendra Dipta," gumam Sandra bak tengah mengucap sebait mantra. Sandra berharap kalau Axel akan selalu ada di sampingnya.Lamunan San
"Perlu ke rumah sakit?" Irfan bertanya dengan wajah cemas."Tidak perlu. Ini sudah sembuh. Hanya sesekali masih terasa sakit. Aku sudah minum obat. Sebentar lagi hilang nyerinya."Adalah Irfan yang berhasil mengusir Axel. Pria itu dengan tegas meminta Axel pergi atau dia akan memanggil polisi. Axel aslinya tidak mau pergi tapi ketika Irfan mengancamnya, ditambah ada telepon dari kantor membuat Axel memilih pergi.Tapi pria itu berkata kalau dia akan datang lagi. Livi tidak menggubris, meski dalam hati berpikir kalau hidupnya tidak akan tenang kedepannya. Axel akan jadi teror yang mengganggu ketenangan hidupnya."Yang tadi itu? Mantanmu?" Irfan memberanikan diri bertanya. Pria itu pikir hidup Livi sedikit rumit. Arch adalah suami Livi, tapi mantan gadis itu masih terus mengusik. Apa ada hal tidak menyenangkan terjadi dalam hubungan Livi dan lelaki tadi."Mantan tunangan, iya."Livi duduk di kursi sementara Irfan sedang mengakses laptop untuk mulai bekerja."Vi, kemarin waktu jenguk ka
Axel hanya sedang iseng memutari kota di pagi hari sebelum berangkat kerja. Dia benar-benar galau, putus asa, juga sedih belakangan ini. Livi sama sekali tidak bisa dia temukan. Gadis itu seperti hilang ditelan bumi.Orang suruhannya gagal menemukan keberadaan Livi. Tapi hari ini, gadis tersebut tanpa sengaja dia lihat turun dari sebuah Maybach. Axel langsung menghentikan kendaraannya. Tanpa ragu menyeberang jalan guna memastikan kalau sosok itu adalah Livi.Dan benar saja, begitu Axel mendekat, figur yang telah lama dia rindu ada di sana. Livi tampil begitu cantik dengan outfit sangat sederhana. Berbeda jauh dengan waktu mereka masih bersama."Livi! Ini benar kamu kan?"Axel langsung menahan tangan Livi. Saat itu rasa bahagia langsung memenuhi hati Axel. Livi sungguh nyata, berdiri di depannya dengan ekspresi ... marah.Gadis itu langsung menepis cekalan tangan Axel. Amarah Livi tidak mampu dibendung lagi."Lepaskan aku, Axel!"Axel jelas syok dengan reaksi Livi. Bagaimana bisa gadi