Telapak tangan Arch membungkus jemari lentik milik Livi. Konsisten mengangkat lengan sejak lima belas menit lalu. Arch tidak mengeluh sama sekali. Langkah lebarnya berubah pelan saat mengimbangi Livi yang sedang meniti tepian kolam.Genggaman Arch hangat dan erat. Tidak kuat, tidak juga lemah. Pas dengan keinginan Livi. Pria yang berjalan di sebelahnya seolah tahu, sebesar apa kekuatan yang Livi inginkan untuk memandu dan melindunginya."Kok dingin ya. Padahal tadi enggak." Livi berujar setelah sejak tadi diam. "Jaketmu mana?" Arch bertanya dengan mata fokus ke depan."Sejak kemarin naik mobil, jadi tidak bawa. Tapi gak mau pakai jasmu.""Pede sekali Anda," cibir Arch tanpa sadar menoleh ke arah sang istri.Dalam keremangan penerangan taman, wajah Livi terlihat samar. Sementara sisi lain malah tidak terlihat sama sekali. Walau begitu, pesona Livi justru kian bertambah di mata Arch. Ya, pria itu telah melihat semua sisi seorang Livi. Sejak dulu sampai sebesar ini. Dari Livi tidur mas
Arch menatap heran pada dua pemuda yang mendadak muncul di hadapannya. Caleb dan Matthias. Sudah lama mereka tidak bertemu. Kebetulan sekali mereka berjumpa di sini."Kenapa? Ada yang salah?" Arch balik bertanya."Gak ada. Halo, Kak," sapa Matthias ceria. Dia langsung duduk di sebelah Livi tanpa permisi.Livi sendiri tersenyum cerah melihat Caleb dan Matthias. Dia mendorong kresek berisi jajanan ke depan dua pemuda yang sontak menerima."Terima kasih untuk yang hari itu." Matthias kembali bicara."Bagus tidak hasilnya?" Livi balik bertanya sambil menggigit siomaynya."Bagus, bagus banget malah. Lain kali boleh minta tolong lagi," pinta Matthias dengan puppy eyes yang menggemaskan.Arch memutar bola matanya malas. "Modus!" Komennya sarkas.Matthias cemberut, dengan Livi terbahak. "Boleh saja, asal aku luang."Pandangan Livi mendadak bertemu dengan Caleb. Pria itu sejak tadi menatap dirinya, andai Livi sadar."Siap, nanti aku tanya kalau ada yang sulit. Boleh ya Kak Arch. Jangan pelit b
Axel mundur ketika seorang pria dengan tubuh besar serta rupa menawan berdiri di samping Livi. Memberi perlindungan tidak kasat mata pada sang gadis. Meski tersembunyi di balik masker, Axel bisa tahu jika Arch memiliki wajah tampan."Anda suaminya?" Axel memberanikan diri bertanya."Benar. Jadi mulai sekarang jangan ganggu istri saya." Arch tegas memperingatkan Axel.Sesaat Axel termangu. Jadi pernikahan itu benar adanya. Dan pria ini yang jadi suami Livi. Detik setelahnya rasa tidak terima menguar di dada Axel. Dia tidak mau Livi jadi milik orang lain. Livi adalah miliknya sejak lima tahun lalu."Bagaimana kalau saya tidak percaya. Kalian pasti menikah pura-pura. Kalian tidak saling cinta. Yang Livi cinta itu adalah saya."Arch memandang tajam pada Axel sementara Livi memutar bola mata malas. Axel benar-benar tidak mengerti, kalau hubungan mereka tidak bisa diselamatkan lagi."Apapun kondisinya, aku dan kamu tidak bisa bersama seperti dulu. Axel kamu harus terima fakta ini." Livi kem
Livi buru-buru memalingkan wajah. Gadis itu seketika merutuki kebodohannya, yang dengan cepat melihat ke arah Arch. Begitu pria itu memanggilnya.Arch dengan santai keluar kamar mandi hanya mengenakan handuk di pinggang. Tubuh kekar dengan pilinan otot menghiasi raga sang suami. Keras, padat dan panas di waktu bersamaan. Benar-benar surga dunia. Livi hampir membuka mata ketika dia mencium aroma sabun bercampur shampo mendekat ke arahnya. "Tidak mau bangun?" Livi reflek menoleh, alhasil bibirnya kembali bertemu dengan Arch. Pria itu tanpa ragu mencium Livi kembali. Livi mendelik. Arch jelas tidak memakai apa-apa. Meski dua tangan Arch kokoh menahan tubuhnya sendiri, Livi tetap saja engap. Pria itu sangat memperhatikan luka sang istri andai dia tahu. Tubuh besar Arch tampak melingkupi Livi, menyebabkan dirinya tidak terlihat jika sudah berada dalam rengkuhan Arch.Untuk beberapa saat, Arch kembali menikmati kelembutan bibir Livi. Sampai tepukan di dada pria itu menghentikan aksinya.
Livi hampir menendang Arch, andai pria itu tidak menahan tubuhnya. Livi syok ketika dia bangun, posisinya tepat di atas tubuh sang suami. Livi sesaat hanya bisa terdiam begitu menyadari situasi mereka. Sangat intim.Satu tangan Arch erat melingkari pinggang Livi. Memungkinkan Livi tidak bisa ke mana-mana. Sementara yang lain pria itu gunakan untuk mengganjal kepala. Pria itu memiringkan kepala, menatap dalam pada Livi yang dua tangannya bertumpu di dada sang suami. "Morning." Suara serak khas bangun tidur seketika membawa kesadaran Livi kembali."Kamu sengaja!" Tuding Livi serta merta. Jadi mereka tidur sambil berpelukan sepanjang malam.Ini tidak benar. Bagaimana bisa dia tidak terbangun sama sekali. Berpindah tempat pun tidak."Apa salahnya, tidak ada yang salah dengan apa yang kita lakukan," balas Arch teramat santai.Situasinya membuat Livi tidak nyaman. Tapi Arch tidak demikian. Pria itu seolah begitu menikmati momen Livi kebingungan, salah tingkah hingga tidak tahu harus berbu
Livi bingung sendiri, tidak tahu harus melakukan apa. Ketika Arch mendekat, dia reflek mundur. Pria di depannya sungguh misterius."Mau teh?" Mendadak Livi bertanya. Tiba-tiba ide muncul di benaknya."Dia gak ngeteh kalau malam, Nya," cetus Satria yang dengan cepat menyesuaikan diri ketika Arch muncul."Oh, lalu? Padahal teh baik untuk gangguan tidur," cetus Livi."Aku tidak susah tidur," tegas Arch."Apaan, waktu itu kamu tidur sambil ngigau.""Kamu tahu?""Gimana gak tahu, tangan segede gaban nimpa orang. Kaki kek tukang main bola hampir nendang aku."Paras Arch berubah masam. Livi terang-terangan membuka aibnya. "Sembarangan!""Situ tidur, mana tahu."Arch bungkam, Arch beberapa waktu belakangan dia memang mengalami gangguan tidur. Tapi itu sebelum bertemu Livi, sejak dia tidur seranjang dengan Livi. Walau tanpa melakukan apapun, kualitas tidur pria itu membaik.Tapi Arch yakin kalau di awal pernikahan mereka, kesulitan tidurnya belum sepenuhnya hilang. Tidak heran kalau Livi sempa