Jenar masuk ke dalam klub malam dengan gugup. Wajahnya melongo memandangi sekitar. Melebihi ekspektasinya, klub malam itu jauh lebih gemerlap dan mewah tampaknya. Klub malam itu berlantai dua, dengan panggung yang cukup besar. Lampu berwarna-warni berpendar di segala arah. DJ bermain musik dari atas panggung, lantai dasar adalah lantai dansa tempat orang-orang menari, dan ada juga bar. Sementara di lantai dua ada banyak sofa dan meja tempat para pengunjung bisa duduk menikmati musik atau hanya mengobrol.
Seluruh klub malam itu disewa oleh Ratu untuk malam ini, semua tamu bisa meminum atau memesan makanan apa saja tanpa perlu khawatir dengan harganya, jelas sekali dia adalah putri orang kaya. Jenar sampai tak bisa membayangkan kenapa dia bisa emmiliki rekan kerja sekaya Ratu. Dia tak tahu latar belakang gadis cantik itu, tapi pastinya dia bukan berasal dari keluarga sembarangan.jenar kikuk berjalan berputar-putar di lantai dasar klub malam dengan mata yang tak fokus. Seluruh orang di sekitarnya tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing, ada yang menari, ada yang minum, ada yang mengobrol, tak satu pun dari mereka memperhatikan keberadaan Jenar. Dia hanya berharap bisa menggali lubang di sana dan melarikan diri."Ha ... harusnya tadi aku ajak Angel ke sini, aku gak perlu kayak anak kesasar di sini," gumam jenar linglung.Angel adalah nama sahabatnya sejak kecil, cewek yang satu itu bekerja sebagai komikus, hidupnya tak jauh berbeda dari Jenar, bahkan waktunya lebih banyak dihabiskan di kamar untuk menggambar komik. Jenar mengedarkan pandangannya lagi, tak ada siapa pun yang dia kenal di antara kegelapan klub malam itu, sedang sang bintang utama alias Ratu belum terlihat batang hidungnya.Aroma parfum dari orang-orang di sekelilingnya begitu kuat, pakaian mereka juga terlihat sangat mewah dan elegan, jenar makin kehabisan kepercayaan diri. Dia memutuskan untuk menyingkir ke bagian sudut bar, dia memesan minuman tanpa alkohol. Meski canggung, dia menenggak minuman itu sedikit demi sedikit."Pertama kali ke pesta, ya?"Sebuah suara manis menyapa telinga Jenar, dia langsung menoleh ke samping, Jenar terkejut bukan main kala menemukan seorang pria berwajah super tampan duduk di sampingnya. Jenar nyaris tersedak ketika dia mempertajam pandangannya, sebab wajah pria tampan itu memang terlihat sangat familiar. Jenar mengingat-ingat, dia pernah melihatnya di televisi."Kamu bintang iklan ya? Kamu ..." Jenar bergumam.Pria itu tersenyum hangat lalu mengangguk pelan. "Ya, aku membintangi beberapa iklan, kamu tau aku siapa?" Pria setengah mabuk itu menunjuk wajahnya.Jenar menggeleng."Dia model papan atas, Dean!" Sang bartender yang sejak tadi diam-diam mendengar percakapan mereka ikut nimbrung.Mulut Jenar menganga, padahal dia tak tahu siapa yang dimaksud dengan "Dean", tapi dia memang pernah mendengar namanya."Wah, aku gak tau kalau Ratu punya temen selebriti," gumam Jenar lagi, makin mengagumi sosok Ratu.Namun, baru saja mencetuskan hal itu, Ratu masuk ke dalam klub malam dengan gaun mewahnya. Dia langsung menjadi pusat perhatian. Dan, dia tak sendirian, ada banyak orang-orang keren yang datang bersamanya, wajah-wajah mereka seperti tidak asing di mata Jenar.Jenar tak bisa berlama-lama, dia masih gugup ketika pemandu acara memulai pesta meriah itu. Potong kue sudah berlalu, kini sebagian besar tamu sibuk menari di lantai dansa. Ratu sendiri telah asyik duduk di singgasananya bersama teman-temannya yang tak kalah memesona.Jenar tak bisa pergi begitu saja, setidaknya dia harus memberikan kado yang dia bawa sejak tadi. Dia bertekad setelah memberi kado itu, dia akan langsung pulang. Jenar memberanikan diri untuk mendekati meja tempat Jenar duduk melingkar bersama teman-teman dekatnya."Ra-Ratu ..." panggil Jenar gugup, suara pelannya terhalangi dengan suara musik yang keras menggema.Jenar tak mau menyerah begitu saja, dia mencoba sekali lagi. "Ratu!" panggilnya. Ratu akhirnya menoleh padanya. Namun, bukan hanya Ratu, teman-teman keren Ratu juga menoleh padanya, mereka semua langsung memberi tatapan intimidasi pada Jenar."Ratu ... gak salah nih? Lu ngundang tikus got dari mana?" ejek seorang gadis angkuh yang sepertinya sudah setengah mabuk. Jenar tak mau menanggapi perkataan tajam itu sebab baginya meladeni orang mabuk sama bodohnya dengan menghadapi orang gila."Ratu, selamat ulang tahun ya, gue cuma mau ngasih kado aja, habis ini gue mau langsung balik. Gue datang karna lu ngundang gue, gue hargai kebaikan lu udah ngundang gue ke pesta ulang tahun lu." Jenar menyerahkan kado yang dia bawa.Entah karena efek minuman beralkohol, atau memang sengaja ingin menghina Jenar, sikap Ratu tak seperti di kantor tadi sore. Ratu justru tertawa terbahak-bahak. "Ya ... gue sengaja mengajak satu mainan ke sini!" kata Ratu, senang telah mengolok-olok Jenar.Mendengar kata-kata Ratu, hati Jenar langsung teriris. Dia tak berkata apa-apa, tapi meletakkan kotak kado di atas meja Ratu begitu saja. Ratu dan teman-temannya tertawa puas.Sial banget! Ngapain aku datang tadi kalau cuma buat kayak gini?! Buang-buang waktu aja! gerutu Jenar dalam hati. Sebelum Jenar sampai di pintu keluar, pria yang bernama Dean menarik tangannya. "Sudah mau pulang? Kok cepat banget? Ayo minum dulu, lupakan masalah kamu sebentar ..." ajaknya masih dengan gaya sedikit sempoyongan akibat efek minuman beralkohol.Jenar tak mengenal siapa Dean, dia baru beberapa menit yang lalu mengenal pria asing ini, tapi wajahnya yang polos sulit untuk ditolak. "Maaf, ya ... aku gak suka dengan pesta, aku harus pulang," tolak Jenar tak enak hati.Ekspresi Dean berubah makin kecewa, "Ya ... aku juga, aku terpaksa datang karna papanya Ratu itu pemilik agensi, temani aku minum, please?" Mata Dean tampak memelas.Oh rupanya papa Ratu pemilik agensi hiburan? Pantas aja, buset ... pasti konglomerat tuh cewek, batin Jenar terkesima. Sekarang dia mengerti kenapa ada banyak selebriti di pesta ini, Ratu pasti bergaul dengan mereka sudah lama. Lantaran kasihan dengan Dean, Jenar akhirnya duduk kembali di bar. Dean membuatnya meneguk beberapa gelas minuman beralkohol rendah, tak membuatnya mabuk berat.Suasana klub malam tiba-tiba berubah jadi panas ketika terjadi sebuah kegaduhan di lantai dansa. Dengan mata sayu akibat nyaris mabuk, Jenar memperhatikan sebuah pertengkaran di lantai dansa yang melibatkan seorang pria super tampan lainnya dan dua orang gadis yang terlihat sangat cantik."Itu Remo, kan?" tanya sang bartender pada Dean."Hm ...." Dean menggumam cuek.Jenar tak tahu siapa pria bernama Remo, tapi tampaknya pertengkaran itu dipicu oleh kecemburuan kekasihnya. Dua gadis itu saling menjambak rambut masing-masing, Jenar masih terus memperhatikan diam-diam, bahkan sampai kelopak matanya perlahan menutup. Samar-samar Jenar bisa mendengar ada suara yang memanggilnya, "Hei ... hei ..., kamu jangan tidur di sini, aku harus antar kamu ke mana? Oi ..."Namun, mata Jenar kalah, selanjutnya yang dia lihat hanya gelap.
Berita tentang kejadian di Bandara sampai disiarkan di Amerika, tapi untungnya Remo dan Jenar bisa lolos tanpa dijerat masalah apa pun. Nana terbukti bersalah, namun dia tidak dijebloskan ke penjara sebab berdasarkan pengecekan yang dilakukan dokter kejiwaan, mental Nana tidak stabil dan dia mesti menjalani pengobatan dan terapi di rumah sakit jiwa. Pihak keluarga sempat menolak, tapi dibanding harus membiarkan anak mereka masuk penjara, terpaksa mereka setuju agar Nana mendapat pengobatan.Apartemen baru Remo dan Janer terletak di pusat kota, sementara restoran yang mereka beli ada di seberang jalan. Harapan untuk memulai hidup baru yang normal kian bersemi, syuting film Hollywood Remo yang pertama pun berjalan lancar sesuai ekspektasi.Nasib baik memang sedang berada di pihak mereka, bagaimana tidak, film Hollywood pertama Remo sukses ebsar, dan berhasil melambungkan namanya. Berkat film itu, dia berhasil mendapat peran untuk bermain
Remo dan Jenar menarik koper di tangan masing-masing, mereka akan berangkat hari ini. Sekali lagi Jenar memeriksa segala yang mereka bawa. "Gak ada yang tinggal kan?" Dia bicara dengan dirinya sendiri."Gak ada, tenang aja." Remo menyahut.Setelah menunggu beberapa menit di ruang tunggu, seseorang setengah berlari ke arah mereka, mata Jenar terbelalak mendapati yang datang adalah Jaka! Padahal beberapa hari lalu dia sudah berpamitan pula dengan orang-orang di kantor, tapi mau apa Jaka datang ke sini? Jenar berdesis di hatinya.Sorot mata Remo seolah siap untuk menerkam Jaka. "Kenapa?" tanyanya dingin."Ada apa?" Jenar bertanya sopan."Cuma mau liat kamu terakhir kali," jawab Jaka pelan, namun sukses membakar hati Remo.Sesaat Jenar menoleh pada Remo, matanya meminta agar Remo tetap tenang, toh ini hanya perpisahan biasa. "Ya, semoga suatu hari nanti kit
Keputusan untuk pindah sudah bulat, semakin cepat lebih baik sebab akan ada waktu bagi Remo dan Jenar untuk mempersiapkan rumah baru, usaha, dan persiapan kelahiran anak pertama mereka tentunya. Rencana syuting film baru dibatalkan, dan Remo harus membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi. Tak apa, pikirnya. Dia masih bisa mencari uang yang lebih banyak dari itu nantinya di Amerika. Namun, saat produser tahu bahwa Remo akan pindah ke Amerika, justru berita baik yang dia terima. Produser itu menawarinya film Hollywood, tapi sebagai pemeran pembantu tentunya, tawaran itu disambut positif, setidaknya sebelum usaha mereka nanti berjalan stabil.Sebelum berangkat, Remo dan Jenar lebih dulu menemui ayah dan ibu Jenar. Betapa girangnya mereka saat melihat perut Jenar kian membesar walau masih tak seberapa besar, membayangkan akan menggendong cucu saja sudah cukup membuat hati mereka berbunga.***"Jadi, kalian udah beli r
Remo tak bisa menahan dirinya, setidaknya untuk menunggu sampai dirinya dan Jenar duduk manis di sofa. Belum sampai pantatnya berada di atas sofa, mulutnya sudah mengoceh, "Dokter bilang kamu hamil, berhenti kerja dari kantor itu, sayang!""Kamu bisa kasih aku waktu gak? Minimal aku mau minum dulu, aku haus!" protes Jenar.Sebagai suami siaga dan cepat tanggap, Remo berdiri dan mengambil segelas air minum dari dapur. "Nih, silakan tuan puteri," katanya lembut."Mentang-mentang sekarang aku lagi hamil anak kamu, kamu mau memperlakukan aku kayak ratu?" cibir Jenar."Dimanjakan salah, entar gak dimanjakan juga salah!" gumam Remo mengomel.Jenar menenggak habis segelas air putih dingin itu. "Kalau memang kamu mau aku berhenti dari kantor aku, oke aku lakukan," katanya pelan.Roman muka langsung semringah seperti orang baru gajian, "Iya?! Makasih, sayang! Makasih!
Baru selangkah turun dari taksi yang mengantar sampai ke depan rumah, Jenar dan Remo kompak dikejutkan dengan kehadiran Nana di depan pagar."Baru pulang bulan madu ya, pasutri muda?" sapa Nana dengan senyum picik tersungging di sudut bibir."Lu mau ngapain ke sini? Besok-besok aja ngomongnya, kami baru nyampe, masih capek efek jetlag." Remo menyahut datar."Jetlag? Yelah, ke india doang pake acara jetlag!" Nana tertawa."Tau dari mana kami bulan madu ke india?" tanya Remo lagi. Namun, belum terjawab pertanyaannya itu, Jenar menyela,"Udah deh, Mo, ngapain sih kita ladeni dia? Aku capek banget nih! Ayo masuk, aku mau tidur!""Lu mau tidur ya tidur aja sendiri! Gue gak ada urusan sama lu, gue cuma punya urusan sama Remo!" sergah Nana."Udah ..., udah ..., ini kenapa malah ribut sih?" Remo segera menengahi sebelum perang dunia ketiga pecah
Kawanan burung beterbangan di atas langit yang tak seberapa cerah. Untuk Jenar yang pertama kali datang ke Taj Mahal tentu momen ini begitu menakjubkan baginya, tak cukup-cukup dia mengambil gambar sementara Remo memandangi sambil sesekali tertawa mengejek sikap Jenar yang terlihat begitu norak."Udah ambil fotonya, kamu diliatin orang tuh!" Remo menunjuk cowok-cowok lokal yang memandangi Jenar seperti memandang manusia berkepala tiga."Ayo ambil foto ala film india! Ayo, yang! Biar kayak pasangan romantis gitu!" pinta Jenar setengah merengek."Ogah ah, aku masih punya urat malu!" tolak Remo.Muka Jenar langsung cemberut. "Ayo lah ..., mumpung kita di sini!" Jenar menarik tangan Remo, akhirnya Remo menurut.Seorang pria lokal memotret keduanya dengan pose yang menurut Remo sangat menggelikan, namun petualangan mereka tak sampai di sana, kini beberapa cewek justru memandang