Sambil mengunyah nasi dalam mulutnya Danurwenda geleng-gelengkan kepala melihat perkelahian itu. Diam-diam dia kagum melihat gerakan menyerang Surya Darma tadi.
Namun, tiga lawannya ternyata memiliki kepandaian tidak rendah, membuat bisa-bisa pemuda itu menemukan nasib jelek.Surya Darma menghantam dengan jotosan mengandung aji "Karang Sewu" atau pukulan batu karang yang sanggup menghancurkan benda keras bagaimanapun.Lawan yang diserang tampaknya sudah mencium keganasan pukulan itu. Sambil melompat ke belakang dia bersuit keras.Suitan ini seolah-olah isyarat bagi kedua kawannya karena saat itu juga dua orang lainnya datang menyerbu dari kiri kanan.Masih mengandalkan pukulan batu karang di kedua tangannya, Surya Darma menjotos ke kiri dan ke kanan, sambut serangan dua lawan.Seperti kawannya tadi, dua orang ini melompat ke belakang seraya keluarkan suara suitan nyaring.Bersamaan dengan itu orang yang berada di sebelahLelaki yang patah tangan berusaha meyakinkan. "Temanku itu tidak berdusta. Seseorang datang pada kami membawa uang dan memberi pekerjaan."Kami harus menghadang dan membunuh seorang pemuda berambut gondrong, berikat kepala batik yang akan melintas pedataran pasir menuju Loh Maja."Kami berlima menemukan kau. Ternyata bukan kau orang yang dimaksudkan. Tapi karena melihat kau membawa kuda bagus serta membawa senjata sakti maka kami membokongmu lalu meninggalkan di pedataran pasir."Surya Darma melirik ke Danurwenda yang berdiri sambil garuk-garuk kepala."Berarti sebenarnya akulah yang kalian tuju!" kata murid Eyang Resi Sokandriya itu."Benar. Mungkin sekali, ciri-ciri kalian hampir sama," jawab si patah lengan."Kenapa kalian diperintahkan membunuhku?" tanya Danurwenda."Itu kami tak tahu, utusan itu tidak menjelaskan apa-apa,""Juga tidak menjelaskan siapa yang menyuruhnya?"Yang ditanya tak menjawab.
Salah seorang dari mereka yakni yang menunggang kuda putih hasil rampasan milik Surya Darma menjawab, "Dengan siapa pun pemuda itu bergabung tak perlu ditakutkan. Kekuatan kita berempat di sini cukup dapat diandalkan, apalagi ketambahan Banyak Soka dan Kebo Bledeg. Jika pemuda itu punya kepandaian tinggi, mana mungkin kami berhasil merampas kuda dan senjata-senjata miliknya?""Tapi menurut kawanmu yang berhasil melarikan diri, dua orang itu telah membikin cacat seumur hidup dua kawan kalian. Itu sebabnya aku mengusir kawanmu yang satu itu, karena kuanggap tidak mampu menjalankan tugas!""Kepandaian mereka bertiga memang jauh di bawah kami, Ki Kuwu. Tidak heran kalau mereka kena dipreteli. Lihat saja nanti, jika dua orang itu muncul di sini, kami akan memberi pelajaran paling bagus padanya. Ki Kuwu tinggal minta bagian tubuhnya yang mana, kepala, atau hati atau jantung!"Kuwu Munding Wulung berdiam diri saja mendengar kata-kata orang bernama Tambak Ijo it
Kuwu Munding Wulung membalikkan kudanya dan tinggalkan tempat itu diikuti tiga orang lainnya."Kau tahu apa yang bakal terjadi atas dirimu sebelum kau digantung besok pagi Larasati?" tanya Munding Wulung.Gadis itu tidak menjawab.”Aku akan memberi kesempatan sampai tengah malam nanti padamu. Jika kau tetap pada keputusanmu, maka kehormatanmu akan kurampas. Tubuhmu kemudian akan kuserahkan pada tiga orang di belakangku, mungkin juga pada dua tokoh yang akan datang dari Kotaraja. Besok pagi kau akan diseret ke tianggantungan. Kepalamu kemudian akan dipesiangi lalu dikirim pada kakakmu Raden Jatmika!"Larasati tak menjawab. Mulutnya tetap terkancing. Kedua matanya dipejamkan tetapi sekujur tubuhnya menggelegak oleh hawa amarah.Ketika rombongan sampai di tepi alun-alun, Tambak Ijo terdengar berseru. "Awas! Ada orang datang!"Dari arah jalan di sebelah barat terdengar derap kaki-kaki kuda. Sesaat kemudian dua penunggang kuda nampak muncul dari tikungan jalan yang gelap.Keduanya segera
SI NENEK Juminah yang duduk terkantuk-kantuk di bawah panggung penggantungan tersentak kaget dan buka mata cekungnya lebar-lebar.Saat itu malam sangat gelap dan udara dingin sekali. Di hadapannya tegak dua sosok tubuh gagah."Kalian siapa?!" si nenek membentak galak dan melompat tegak.Danurwenda dan Surya Darma sesaat saling pandang."Kami dua setan dari neraka. Siap menjemput korban penggantungan! Tapi kami belum kenal siapa kau, apa kerjamu malam buta di tempat ini dan apa benar di sini hendak digantung gadis jelita gembong pemherontak?" jawab Danurwenda.Kembali si nenek terkesiap kaget mendengar ucapan pemuda berambut gondrong yang mengaku setan dari neraka itu."Aku dukun Juminah! Penjaga tempat penggantungan ini!" Si nenek masukkan sepotong kemenyan ke dalam pedupaan. Bau kemenyan menyebar tajam. "Gadis pemberontak itu memang hendak digantung di sini, besok pagi-pagi! Apa kalian juga bangsa pemberontak yang minta digantun
Meskipun Munding Wulung berhasil mengelabui Banyak Soka dan Kebo Bledeg, tapi tanpa disadarinya dua sosok tubuh mengejarnya dalam kegelapan.Di pinggiran sebuah hutan kecil di sebelah tenggara Loh Maja, dua pengejar ini berhasil menyusulnya lewat jalan pintas.Salah seorang dari mereka menarik kaki belakang kuda yang ditungganginya Hingga tubuhnya mencelat jatuh bersama-sama tubuh Larasati.Sekali lagi Munding Wulung menunjukkan kecerdikannya. Begitu jatuh secepat kilat dia mendekap tubuh gadis itu.Memandang ke depan dia melihat dua pemuda itu siap untuk menyerangnya. Munding Wulung cabut keris pusaka dari sarungnya.Sinar kuning membersit terang di tempat gelap itu. Ujung keris ditempelkannya ke leher Larasati lalu dia membentak lemparkan ancaman."Tetap di tempat kalian masing-masing! Sedikit saja kalian bergerak keris ini akan menamatkan riwayat gadis ini!"Danurwenda dan Surya Darma tercekat. Sesaat tak tahu mau ber
"Astaga, lampion di atas atap, Eyang!" suara Munding Wulung menyentak keras."Ada apa dengan lampion itu?""Lampu itu bisa menjadi petunjuk para pengejar! Saya harus mematikannya!"Eyang Pocong Ireng tertawa. "Kau memiliki rasa takut tak beralasan!""Eyang, suara tawamu aneh!" tukas Munding Wulung. Lalu dia bergerak mencari-cari sesuatu."Apa yang kau cari?""Lampu. Saya tahu ada lampu dalam rumah ini dan Eyang biasa menghidupkannya!""Lupakan lampu itu Munding Wulung. Mendekatlah padaku, ada sesuatu yang akan kukatakan padamu.""Katakan saja Eyang," jawab Kuwu Loh Maja itu tanpa beringsut dari duduknya."Soal pusaka yang kau dapat dari Galuh itu, yang tempo hari kau berikan padaku,""Ada apa dengan pusaka itu Eyang?""Pusaka itu lenyap dicuri orang!""Astaga!" Munding Wulung terkejut. "Bagaimana mungkin ada yang sanggup mencurinya dari tangan Eyang!" ujar sang Kuwu hampir tak
Marahlah Kebo Bledeg mendengar ejekan itu. Masih memanggul Larasati di bahu kirinya dia hantamkan satu pukulan ke kepala Danurwenda.Murid Eyang Resi Sokandriya rundukkan kepala sedikit sambil melintangkan lengan kiri menangkis.Dua lengan beradu keras. Terkejutlah tokoh dari Istana itu. Lengannya seperti mengemplang tiang besi.Menyadari kalau si pemuda memiliki kepandaian tinggi, Kebo Bledeg cepat turunkan tubuh Larasati dan menggolekkan gadis ini di langkan rumah bambu.Lalu secepat kilat dia menyerbu Danurwenda. Kedua telapak tangannya terkembang.Serangan-serangannya kali ini bukan berupa jotosan, tetapi seperti orang menampar dan setiap tamparan yang dilepaskannya mengeluarkan suara dahsyat seperti geledek atau petir menyambar.Membuat semua orang tergetar hatinya dan sakit telinganya. Tidak percuma dia mendapat nama Bledeg yang berarti geledek itu.Danurwenda sendiri kaget bukan main. Dia baru menghadapi lawan yan
Kenyataannya dia kini malah muncul ikut menyerbu, padahal rasa sakit akibat menendang, masih terasa di kaki kanannya.Lain pula halnya dengan Tambak Ijo dan Lah Bludak, yang sebelumnya bersama tiga kawannya telah menggagahi Surya Darma di gurun pasir, kini mereka berkelahi dengan perasaan was-was tidak enak.Cepat atau lambat pemuda itu pasti akan membalaskan dendamnya. Karena mereka berlima sebenarnya yang menjadi pangkal sebab semua kejadian ini.Selintas pikiran licik muncul di benak Tambak Ijo. Maka orang tinggi kekar ini pun berteriak, "Kakang Banyak Soka, Kuwu Munding Wulung, Lah Bludak! Mari lupakan dulu persoalan di antara kita! Kita harus menghajar lebih dulu dua muda mudi sesat ini!""Kau betul dinda Tambak! Mari berebut pahala memusnahkan anjing-anjing pemberontak!" Berteriak Banyak Soka."Keparat!" maki Surya Darma ketika dia menyadari bahwa yang dimaksud Banyak Soka dengan anjing-anjing pemberontak bukan lain adalah dirinya