BAB 16
PERTOLONGAN UNTUK HANIF
Seperti janji Tuhan, yang selalu adil dan bijaksana. Ia akan memberikan hidayah untuk sesiapa saja yang berusaha mencarinya. Bukan hanya menunggu, berpangku tangan, tanpa berusaha. Ya, seperti dalam proses Mbak Sally dalam menemukan hidayah, pastinya bukan jalan yang mulus dan mudah. Namun, sebuah perjalanan yang panjang, terjal, serta berlika-liku. Dan kini beliau merasa tenang, bahkan bahagia dengan kehidupannya saat ini. Hidup yang sederhana, yang selalu berbagi dengan sesama, dan kehidupan karena Allah, Zat yang patut disembah
*****Pernah di suatu senja, setelah kami selesai mengaji, dia bercerita pada kami tentang impian-impiannya. Bu Siti dengan lembut, mengelus punggungnya. Dengan doa, dia menjawab, “Ya Rabbku, yang Maha Mendengarkan Doa setiap Hambanya, semoga Engkau kabulkan harapan serta doa saudariku ini. Kami inginkan ridha_Mu ya Allah. Maka kabulkanlah harapan kami be
Bab 17PENASARAN USIA INSANIWaktu maghrib menjelang, seperti biasa, kudorong kursi roda Mbak Sally ke kamarnya. Tak lama kemudian, kubantu dia berwudhu, lalu salat. Begitu pula denganku, setelah berwudhu, aku pun salat maghrib di kamarku. Selesai salat, dia akan membaca Al-Qur’an sebentar, dan aku menyiapkan makan malam.Tak lama kemudian, deru mobil memasuki halaman rumah. Mas Raihan pulang dari kantor. Terkadang dia salat berjama’ah di masjid dekat rumah, namun terkadang pula dia salat di rumah, di ruang kerjanya.Jam delapan tiga puluh menit kami semua makan malam bersama. Satu hal yang menjadi disiplin di rumah ini, yaitu selalu bekerjasama dalam bekerja. Mas Raihan suka sekali makan buah, maka tugas dia adalah membeli buah, mencuci, bahkan mengupas buah buat kami.Mbak Sally diam di meja makan sambil menanti buah yang tengah dicuci oleh suaminya. Tugasku mencuci piring, mengelap kompor, beserta alat-alat ma
bab 18MEMILIHKAN JODOH“Sebuah maghligai keluarga, memang tidak akan lengkap tanpa hadirnya si buah hati.” ucap Mbak Sally, sambil menerawang ke luar. Kami terdiam.“Budhe, Lifki mau liat dola emong.” Rayu Rifki, sambil menarik-narik tangan Mbak Sally.Tak lama kemudian kusetel TV chanel kesukaannya. Begitu melihat film dora emon, dia langsung senang. Diam di pangkuan Mbak Sally dengan tenangnya, hingga film selesai. Bahagia rasanya, melihat mereka berdua tertawa ceria. Rumah terasa hidup, jika terdengar suara celoteh, tawa dan canda dari anak-anak.“Rifki, filmnya udahan apa belum?” Tanya Shinta, ibunya. Bocah itu diam tak merespon. Pandangan matanya lekat menatap layar televisi. “Pulang yuk, nanti Nenek nyariin kita lho.” Kembali Shinta mencoba mengalihkan perhatian mata anaknya. Namun sayang, bocah itu tetap bergeming. Ia hanya terkekeh oleh ulah si gendut Jaya, dan  
bab 19TERCENGAN (DIJODOHKAN)"Terkadang, aku merasa bersalah, bahkan berdosa padanya, San. Sebagai istrinya, aku tak mampu memberikan dia kebahagiaan, lahir dan batin. Sungguh, aku merasa berdosa pada dia San,” ucapnya, sedikit menunduk, pedih.Aku terdiam, bingung hendak berucap sesuatu. Walaupun aku tak memahami semua ucapannya, namun sedikitnya aku faham, kemana arah ucapannya. Ya, aku hanya mampu menggigit bibir. Mataku mulai menghangat, mendengar penuturannya“San, kamu tahu, jarang ada suami seperti suamiku,” aku mengangguk pelan, semua kudengarkan pujian demi pujian buat Mas Raihan. Memang tak kunafikan, dia adalah suami yang terbaik yang pernah kusaksikan. Kagum aku pada sabarannya. “Boleh aku tanya sesuatu, San?”“Silahkan Mbak. Selagi aku bisa jawab, insya Allah akan kujawab,” Mbak Sally menghela nafas. Ia menatap wajahku dalam-dalam. Aku sendiri, jadi serba bingun
Bab 20MBAK SALLY PINGSAN!“Gak apa-apa, asinkan lebih baik daripada asam,” sela Mas Raihan. Mendengar ucapannya, aku jadi tak selera makan. Entahlah, aku sendiri tak tahu mengapa. Namun anehnya, mereka berdua tetap lahap.Dalam diam, aku amati Mbak Sally. Setelah ucapannya sore tadi, mengapa seolah tak terjadi apa-apa. Mereka tetap rukun dan harmonis. Aku jadi ragu dengan kejadian sore tadi. Apakah itu nyata, atau hanya mimpi belaka?“Keluarga yang harmonis dan rukun seperti saat ini, haruskah nantinya hadir orang ketiga? Tidak! Aku tidak mau menjadi benalu dalam keluarga ini. Aku tak Mauuuuuu….!!”“San, kamu kok ngelamun. Tolongin aku ambil tempe gorengya dong,” suara Mbak Sally membuyarkan lamunanku. Seketika, khayalanku kembali ke bumi. Dengan cepat, aku mengambilkan tempe untuk Mbak Sally. Namun sayang, pada saat yang tak terduga, tanganku tiba-tiba merasakan lemah ya
BAB 1 KAMPUNG HALAMAN Jam lima pagi, Kereta Api Ekonomi Sawunggalih jurusan Jakarta-Solo Balapan, akan segera berhenti di sebuah stasiun kecil, yaitu Stasiun Gombong. Suasana di dalam gerbong ini, lumayan padat. Dari anak-anak, sampai orang tua. Wajah-wajah tampak kucel, dan lelah. Di depanku beberapa orang penumpang yang hendak turun di stasiun ini, mulai bersiap-siap. Ada yang menata barang-barangnya, ada yang baru bangun dari tidur lalu mengucek-ucek mata, dan ada juga yang sudah berdiri menanti dengan siaga di depan gerbong pintu kereta. Segera aku bangun dari duduk, lalu menata barang-barang yang kubawa dari Jakarta. Kupastikan agar tak satu pun yang tertinggal, lalu melangkah menuju pintu gerbong. Bersama para penumpang, berdiri menanti Sang Masinis benar-benar memberhentikan keretanya dengan sempurna. Setelah berhenti, kami berdesakkan menuruni tangga ular besi ini. Hampir satu tahun tak mencium aroma harum kota kelahiran
BAB 2NOSTALGIA MASA KECIL (1)Dada semakin berdebar saat wajah kedua orang yang aku cintai, mulai menari-nari di kelopak mata. Nenekku, sangat mencintai kami. Aku dan adikku, Dewi Lestari namanya. Beliaulah yang membesarkan kami, setelah kedua orang tua kami meninggal. Nenek mendidik kami dengan kasih sayang. Walaupun kami orang desa, namun nenek tidak menginginkan kedua cucunya hidup tanpa pendidikan, baik agama maupun pendidikan formal. Namun sayang, nasib kurang baik waktu itu menyapa kami.Saat aku baru lulus SMA nenek sakit keras, hingga berhari-hari tak sembuh. Saat itu aku hampir saja mendaftarkan diri ke Universitas yang aku suka. Tak tega melihat keadaan Nenek yang tak kunjung membaik, akhirnya aku putuskan untuk menunda kuliah. Dan uang tersebut, aku pakai untuk biaya berobat Nenek. Tak bisa kuliah, tak apa, yang penting nenek bisa sembuh seperti semula. Pikirku waktu itu.Setelah tamat SMA, aku mondok di pesantren
BAB 3NOSTALGIA MASA KECIL ( 2)Aku tak kuat menahan gelora rindu di dada, hingga tak lama kemudian lelehan sebening kristal mengucur deras di pipiku. Entah mengapa, kerinduan pada mereka muncul, menyeruak ke permukaan jiwaku. Ya, lama aku tak merasakan belaian lembut tangannya, mendengar nasehatnya, ataupun sekadar duduk-duduk sambil bersenda gurau bersama.“Ya Allah, andai saja mereka ada di sisiku saat ini, mungkin aku tak akan sedewasa saat ini. Kupasrahkan segalanya padaMu ya Rabb-ku. Engkaulah yang Maha Mengetahui apa yang tidak kami ketahui. Kuikhlaskan mereka berdua bersamaMu.” Perlahan kuseka air mata, kudekap foto itu erat-erat dalam dada, sambil perlahan berbaring di atas ranjang.*"Mbak! Dewi gak lagi mimpi 'kan? Kapan pulang? Kok gak kabar-kabar sih kalau mau pulang?" Suara Dewi, mengagetkan lelapku. Seketika aku terbelalak, lalu perlahan bangun. Kepalaku terasa sedikit berat. Namun terpaksa aku harus bangun karena belum sal
BAB 4Bunga RanduAdzan subuh berkumandang, menerobos alam mimpi, membangunkanku lewat celah-celah indera pendengaran yang begitu syahdu di telinga. Samar-samar terdengar gemericik air di sumur, dalam hati aku membatin, pasti Nenek sudah bangun.Perlahan kubuka ke dua mata. Terasa perih, namun pikiran mulai menata segala acara, jadi mataku tak bisa lagi terpejam. Kepala terasa berputar, dan aku belum berani turun dari ranjang.Krek....! Bunyi leherku, saat aku putar kanan dan kiri.“Alhamdulillah, mendingan lega. Sekarang perlahan kepalaku sembuh, dan badan terasa nyaman," batinku, langsung aku bangun dari tempat tidur, dengan sebuah pertanyaan dalam hati. Mengapa semalam aku bermimpi demikian? Melangkah ke sumur, kudapati nenek sudah selesai mengambil air wudhu."Pagi Nek, oya mau salat jamaah atau di rumah saja?""Aku mau jama’ah di musala, kaya biasanya, kamu mau ikut gak?" tanya nene