“Lelap sekali tidurnya.”“Hm, Entahlah. Aku hanya merasa kalau sangat lelah kemarin.”Baru beberapa detik kemudian, sikap ramah itu hilang. Inka teringat bagaimana Candra mau mempermainkan perasaannya tadi malam. Ya, ada seorang pria bejat yang mau menerkamnya di saat yang tidak tepat.“Jangan bicara padaku. Aku tak suka padamu. Cepat menjauh!” katanya dengan kesal. “Jangan kira aku sudah memaafkanmu.”Inka tidak bisa mengungkit soal peraturan kontrak karena pada kenyataannya, ia terlebih dulu melanggar kontrak itu. Tidak boleh ada satu orang pun yang tahu perjanjian mereka—itulah isi kontrak. Sekarang tidak ada semua itu. Candra dan Inka sedang mendiskusikan untuk membatalkan pernikahan ini.“Aku akan ke rumah sakit sendirian.” Lagi, Inka masih terus menegaskan jarak di antara mereka.“Oke. Tidak masalah. Tapi aku juga akan ke sana.”“Aku bilang aku akan pergi sendirian.”Candra mengetuk-ngetuk jarinya di atas meja. Kopi panas yang dibuatnya sembari bercerita dengan Inka tidak kunjun
Saat wajah itu terlalu dekat dengannya, Inka langsung bangun dengan terburu-buru.Plak!“Aduh!”“Jangan kurang ajar padaku!” Inka menjaga jarak dan merekatkan selimut menutupi tubuhnya.Candra sedikit menyesal mengganggu gadis itu.“Aish, maksudku bukan begitu! Aku tidak mau kamu terlambat ke rumah sakit. Itu saja.” Candra menjelaskan dengan kesal. “Di pikiranmu aku ini hanya pria yang mesum. Selalunya seperti itu.”“Ja-Jadi tadi itu kamu hanya mau membangunkan aku?”“Hm.”Pria itu lalu menuju pintu depan dan memanggil Inka agar segera bersiap. Mereka menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan, Candra diam saja. Ia masih kesal setelah mendapatkan tamparan dari tangan mungil calon istrinya. Itu tidak sepadan dengan tujuannya.“Masih marah?” Inka mencoba membuka percakapan karena sedari tadi sangat sunyi.Tidak ada jawaban. Pria itu memilih bungkam. Sikap dinginnya sedang menguasai dirinya. Jika ia memikirkan kembali bagaimana perlakukan gadis itu, Ia merasa bodoh. Padahal yang memiliki u
Ragu tetapi memiliki sedikit keyakinan jika Candra mampu menjadi suami yang baik—walau tetap adalah pernikahan pura-pura.“Aku yakin. Ayo kita lakukan saja.” Inka sudah sangat mantap dengan pilihannya.“Tidak ada jalan keluar sekarang. Aku akan menghubungi WO dan mengatakan semua berjalan sesuai rencana. Mulai sekarang, jika kudengar kamu mau membatalkan pernikahan atau berniat melarikan diri, aku akan mengurungmu,” ancam Candra.Inka sempat tertawa kecil mendengar ancaman manis itu. Candra permisi sebentar sebelum menuju kamarnya. Ponsel di dalam kamar diambilnya lalu kembali duduk di sofa.Tuuut ….“Halo, Candra. Bagaimana? Ada yang bisa aku bantu?” sapa orang di seberang sana.“Bagaimana persiapan pernikahanku? Betewe, sapalah calon istriku.”“Oh, dia ada di sana?”Candra mengaktifkan speaker di ponsel. Suara Reina langsung terdengar jelas.“Halo, calon istri Candra. Aku Reina yang mengurus pernikahan kalian. Apa kalian baik-baik saja? Beberapa waktu lalu calon suamimu itu hampir m
Hari terakhir Inka untuk masa lajangnya. Ia menuju rumah sakit untuk menjemput sang nenek keluar dari sana. Kabar baiknya, ayah Inka belum mengetahui tentang pernikahan kontrak itu. Nenek Inka pun tidak mengatakan apa-apa. Wanita yang berambut putih itu menyimpan dalam-dalam percakapan tertutupnya bersama Candra.“Nenek, besok aku akan menikah dan hari ini Nenek benar-benar diperbolehkan keluar dari rumahsakit. Aku sangat bahagia!”Tidak mau kehilangan waktu, Inka langsung mengajak wanita itu bercerita saat sampai di apartemen.“Hm, katakan itu setelah satu minggu pernikahanmu. Kamu belum tahu ‘perang’ yang terjadi nanti.”“Aku ingin menangis sekarang. Nenek baru memberitahukannya saat sisa sehari pernikahan.” Hanya ucapan becanda saja. Ia sangat yakin dengan pilihannya. “Aku ambilkan air minum ya, Nek.”Saat berada di dapur, Inka melihat ayahnya di sana berjalan cepat-cepat. Ponsel ayah Inka berdering. Sempat tertangkap oleh sepasang mata nama pemanggil telepon itu. Inka langsung mem
“Hidup berbahagia selamanya!”Sorak-sorak dari penari setelah menampilkan tarian indah terdengar. Inka tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya hari ini. Semalaman ia berpikir panjang tentang ini dan itu. Pada akhirnya, ia ingin menikmati momen indah yang dimilikinya.“Senyummu lebar sekali. Apa kamu senang menikah denganku?” tanya Candra membuat perasaannya terusik. Ia juga sesekali curi-curi pandang pada pengantinnya. Cantik—satu kata untuk menjelaskan tentang Inka.“Aku hanya menikmati setiap momen dalam hidup. Kamu juga, ayo kita menyapa tamu undangan.” Pada akhirnya, Inka mengontrol emosinya.Inka menggenggam tangan suaminya dan mulai perlahan menelusuri taman itu dan menyapa satu per satu tamu dengan senyuman yang paling manis.“Auramu benar-benar keluar dengan sempurna. Duh, duh, duh!” Sasha langsung berkomentar saat didatangi sang pengantin.“Mungkin kamu harus mengikutiku menikah segera,” goda Inka.“Tidak, tidak! Aku mau menikmati masa lajangku sampai puas!” tolak Sasha. “Ak
“Aku ke sini hanya untuk menikmati indahnya suasana vila.”Wanita itu tidak peduli. Ia malah duduk di samping kolam dengan santai. Rehan yang melihatnya lalu bertepuk tangan. Keberanian yang luar biasa untuk membalas perkataan Candra dengan sangat santai.“Kalian berdua benar-benar tidak tahu malu!” umpat Candra.Candra memutuskan pergi dari kolam. Tidak ada gunanya masih berada dan menghirup udara yang sama di sekitar sana. Saat ia kembali ke kamar, Inka terlihat tidur nyenyak di sana. Piyama pink yang dikenakan Inka terlihat lucu malam itu. Candra menghela napas. Itu artinya ia akan tidur di sofa. Sungguh hari yang terlalu menyebalkan!“Kamu sudah kembali?” Inka bergerak dari posisinya yang damai.Candra menoleh ke arah suara dan berkata, “Kupikir kamu tidur.”“Aku hanya berbaring. Ini tempat baru. Aku tidak bisa tidur,” terang Inka. “Waktu pertama di apartemenmu juga aku tidak bisa tidur.”“Kenapa? Karena sekamar denganku? Tenang, aku tidak akan melakukan apa pun padamu.”“Bukan. A
Tatapan tajam bagai elang yang siap memangsa dihadiahkan untuk gadis berponi di sana.“Harus sekarang membahas tentang perceraian?” Candra benar-benar tidak habis pikir. “Masa ada satu tahun dan kamu sudah memikirkan tentang itu?”“Ya mau bagaimana lagi? Satu tahun itu cepat, kok.” Inka sangat santai saat membalasnya. “Pernikahan kita saja hanya sebulan dipersiapkan. Oh, aku lupa bukan setahun. Sebelas bulan lagi. Kontrak itu di mulai saat aku tanda-tangan.”“Hm … kamu benar-benar ingin bercerai?”Inka mengangguk senang. Senyuman di bibirnya sangat lebar. Saat membayangkan lepas dari perjanjian saja sudah bisa menyenangkan hatinya.“Cerai, ya?”Berbeda dengan Inka, Candra terlihat tidak senang mendengar kata ‘perceraian’. Ia tidak ingin semua itu terjadi.“Oke, aku anggap kamu menantangku. Entahlah tapi … kurasa nantinya kamu akan memohon agar kita tidak berpisah.”“Apa? Haha! Hayalan macam apa ini? Pak Candra, jangan terlalu percaya diri. Aku sudah mendapatkan apa yang kuinginkan plu
“Ckckck, berani-beraninya menyebut nama pria lain di hadapan suamimu.”“Emang kenapa? Pernikahan ini hanyalah semu. Aku juga tidak mau menganggap serius perlakuanmu nanti. Tenang saja, aku profersional.” Inka terlalu percaya diri mengatakannya.“Dengan siapa pun tidak masalah. Tentang Rehan aku tidak suka!”Inka semakin terheran-heran dengan tingkah Candra. Mengapa membatasi ruang geraknya? Lagipula, Rehan adalah sepupu Candra. Kenapa ia malah melarangnya untuk dekat dengan pria itu? Sungguh hal yang sama sekali tidak masuk akal!“Meski dilarang, aku tidak peduli. Tidak ada semacam itu di kontrak kita. Aku akan melakukan apa yang kusuka.”Inka meninggalkan Candra di sofa dan naik ke atas ranjang.“Kamu bisa tidur di sofa, oke?” kata gadis itu dengan sangat santai. “Empuknya!”Candra berkacak pinggang. Panas hatinya melihat mantan karyawan yang terlalu berani padanya.“Di mana Inka yang selalu hormat padaku? Aku tidak percaya jika gadis itu sekarang bahkan bisa memerintahku seenaknya.”