Part 5
Usai sekretarisnya keluar ruangan, Dathan menghela nafas lega. “Gimana bisa Cakra nyuruh aku buat latihan kayak gitu, aish.”
Ternyata tidak semudah yang dibayangkan, ia yang juga minim pengalaman tentu juga sangat terkejut dengan aksinya barusan, merasa malu sendiri. Walau ia seorang pengusaha muda yang hampir mutlak menduduki posisi CEO perusahaan, tapi waktu mudanya ia habiskan untuk sekolah, menambah skill dan bekerja. Tidak ada waktu baginya untuk bermain dengan banyak wanita, berpacaran atau bergaul layaknya muda mudi kebanyakan, bahkan teman-temannya pun kebanyakan pria yang juga sama-sama satu passion dengannya, yaitu seorang pengusaha.
Ponsel dari brand milik Stave Job keluaran terbaru milik Dathan berbunyi. Pria itu menghela nafas, panggilan siapa lagi yang membuatnya malas mengangkat selain dari Ibu tirinya.
“Iya Ma.”
“Luangkan waktumu buat makan malam nanti. Brenda sudah tiba di Indonesia. Kita harus cepat membicarakan tentang pertunangan kalian, agar posisimu lebih kuat di perusahaan. Aku tau dari Cakra, kalau Paman kamu membuat perusahaan hampir kehilangan klien.”
“Itu sudah aku bereskan, nggak usah khawatir. Aku juga ada yang mau di omongin nanti malam.”
“Oke, jangan telat.”
Adrina sudah kembali pulang ke kontrakannya, walau ia sudah berusaha menutupi wajahnya dengan make up, tentu saja tidak berpengaruh apa-apa, karena baret yang dihasilkan dari gesekan tembok itu lumayan besar dan dalam.
“Aku pulang Nek.” Adrina masuk ke dalam kontrakan yang luasnya 5 x 9 meter itu. Meski kecil, namun di sinilah tempat ia bisa tenang, mengerjakan hobi dan tentunya hidup bersama Neneknya, karena yang terpenting baginya bukan tentang besar atau kecil tempat tinggalnya, tapi tentang siapa yang hidup bersamanya.
Hidungnya bisa mencium aroma Soto Ayam begitu ia membuka pintu, yang tentu saja aroma itu membuatnya mendadak lapar.
“Mandi, terus makan. Nenek udah buatkan sup ayam.” Nenek Adrina tengah mengaduk Soto itu sehingga tidak memperhatikan wajah Adrina.
Setelah membersihkan tubuhnya, Adrina sudah tidak bisa lagi menutup-nutupi tentang Pamannya yang membuat wajahnya seperti ini. Ia bercerita mengenai bagaimana Tigor membuatnya menjadi seperti ini. Namun, ada bagian yang ia lewatkan yaitu tentang hutang itu. Ia tidak ingin Neneknya tahu dan bertanya-tanya mengenai bagaimana cara Adrina akan melunasi hutang.
“Besok, kita pindah dari sini. Nggak, lebih baik malam ini kamu siap-siap, kita langsung cari kontrakan lain,” ujar Nenek Adrina yang tidak tenang karena melihat keadaan Adrina yang babak belur begitu wajahnya.
Adrina memeluk Neneknya, mereka kini sedang mengobrol di ruang tengah, “Nek, sekarang kita nggak perlu khawatir lagi. Paman nggak bakal bisa masuk ke rumah kita lagi.”
“Nggak mungkin. Dia itu licik Adrina, kamu tau sendiri. Kata kamu dia udah nyuri KTP kamu ‘kan? Itu saat ada kamu di rumah dan nggak ketauan? Dia pasti datang ke sini untung meras kamu Nak.” Air mata Nenek Adrina mengalir, kedua tangannya yang keriput itu bergetar sambil menangkup wajah cucu kesayangannya.
“Nek, kalau kita nggak bisa liat Paman Tigor untuk waktu yang lama, menurut Nenek gimana?”
“Apa maksud kamu Nak?”
“Maafkan aku Nek, meski aku tahu gimana kelakukan beliau selama ini sama kita. Tapi, tetaplah Paman adalah anaknya Nenek. Aku nggak tau lagi dengan cara apa buat menghindar dari dia, apalagi dia udah tau aku kerja di perusahaan besar. Jadi, aku mau menjebloskan dia ke penjara Nek. Aku nggak ingin dia ngancem Nenek, dia nyakitin Nenek, dia buat Nenek kerja keras buat bayar utang-utangnya, aku nggak mau. Maaf Nek, aku udah keterlaluan,” isak Adrina dengan derai air mata. Ia bukannya ingin membuat saudaranya sendiri susah, tapi ia hanya ingin bebas dari Tigor dan tidak membuat Nenek berkerja keras tiap hari.
“Aku pengen Nenek bisa istirahat di rumah, mengerjakan hobi, bersenang-senang, liburan tanpa memikirkan hutang-hutang dia. Aku juga ingin kita berdua hidup bahagia tanpa was-was dan pindah-pindah kontrakkan.”
“Ya tuhan cucuku. Kenapa hidup kamu malang sekali Nak, seharusnya kamu nggak begini. Seharusnya kamu bisa tumbuh jadi anak gadis seusiamu yang mereka bisa menikmati masa mudanya, bersekolah dengan tenang, lalu kerja dan punya pacar, kemudian kalian menikah. Seharusnya, kalau aja aku jadi Nenek yang--“ Nenek Adrina tidak bisa lagi membendung rasa bersalahnya kepada sang cucu karena tidak mampu membahagiakannya. Meski ia sudah bekerja keras pun, tetap saja Adrina selalu kesulitan dan menderita, apalagi karena ulah putranya sendiri, Tigor.
“Nek, jangan ngomong begitu. Aku senang hidup sama Nenek, aku sudah sangat senang kayak gini. Bagaimana pun, Ibu mana yang bisa rela kalau anaknya masuk penjara. Nenek pasti bakal sedih.”
“Keputusan yang bagus Adrina, aku nggak bakal sedih karena dia anakku. Tapi, aku pasti ngerasa bersalah, kalau kamu harus menderita terus menerus gara-gara dia. Nggak papa, kalau kamu bisa masukkan dia ke penjara Nak, karena sedari dulu, dia terus bisa kabur dari hukuman. Seseorang yang bersalah, emang harus di hukum. Justru kalau kita biarkan, kita sama aja membiarkan kejahatan lain terjadi. Kamu udah ngambil keputusan yang benar, jangan pernah ragu dengan apa yang sudah kamu putuskan, cucuku.”
“Tenang aja Nek, kali ini aku yakin Tigor bakal dihukum seadil-adilnya.”
“Tapi, gimana kamu bisa hukum dia? Kamu punya uang?”
“Aku dapet asuransi keamanan dari perusahaan Nek, tenang aja, perusahaan yang nanggung semuanya.” Adrina tentu saja berbohong, urusan memasukkan Tigor ke penjara tentu saja tidak di tanggung perusahaan, jika pun dengan asuransi yang diberikan perusahaan, ia mungkin hanya menjerat pria itu pasal pemerasan atau penganiayaan saja.
“Syukurlah. Bagus anak pintar, cucuku. Nenek bakal selalu doakan kamu, agar hidupmu lebih baik dari sekarang.”
Sementara ditempat lain, tepatnya di Hotel milik keluarga Dathan, diruangan VIP khusus untuk mereka para konglomerat dan jajarannya. Pertemuan antar dua keluarga itu berlangsung untuk membicarakan perihal pertunangan yang pernah mereka bahasa tempo yang lalu. Dulu, Dathan tidak bisa bicara apa-apa selain diam tanpa berkata ya atau tidak tentang pertunangannya yang digadang akan segera dilaksanakan setelah Brenda pulang dari Los Angeles. Kini, ia akan mengejutkan keluarganya dengan rencananya yang tentu saja tidak pernah terpredikasi oleh keluarga besarnya.
“Sebelum perbincangan ini masuk ke inti, alangkah lebih nyaman kalau kita menyantap lebih dulu hidangan ini dengan khidmat, bukan begitu?” Ibu Tiri Dathan memberi saran, karena setelah berbasa basi sejenak, mereka merasa perlu untuk makan lebih dulu. Apalagi kata Ibu Brenda, putrinya itu baru saja survey ke perusahaan sang Ayah dan melewatkan makan siang.
“Boleh, silakan,” sahut Ibu dari Brenda.
Orang di meja itu hanya berjumlah empat orang, dengan Dathan yang berhadapan langsung dengan Brenda, kemudian Nyonya Agatha, yaitu Ibunya Brenda, Tuan Abraham yaitu Ayahnya Brenda, dan Ibu Tirinya Dathan sendiri.
Hidangan yang tersaji semuanya milik Hotel dipadukan dengan menu andalah dari cabang restoran yang tertata dengan rapi dan terlihat sangat mewah. Mulai dari makanan cita rasa Eropa berupa hidangan pembuka yaitu Carpacio dengan komposisi lembaran daging sapi bersamaan dengan artichokes dan cheese.
Tidak lupa, makanan khas dari Jepang seperti Sushi dan Sashimi yang bisa membuat lidah terasa fresh. Sedangkan menu spesial dari restoran King Of Store itu sendiri merupakan rendang khas Padang yang dibuat langsung oleh koki berpengalaman juga mengambil pendidikan dalam bidang Tata Boga, dengan lisensi Chef yang didapat dari negara pencetus Carbonara dan memang asli orang Padang dengan orang tua yang mengelola restoran makanan Padang.
“Bagaimana kabar Kakekmu Dathan?” Abraham memulai percakapan setelah mereka semua tampak mengelap mulutnya dengan lap khusus.
“Sehat, kini beliau lagi berlibur ke Hawai.”
“Oh ya, Kakekmu emang sedari dulu suka sekali jalan-jalan. Persis seperti putriku yang tidak betah di rumah. Aku nggak akan basa basi lama, aku mau menanyakan tentang tunangan itu Dathan, bagaimana? Ini juga merupakan janji dari Kakekmu dan aku.”
“Saya rasa untuk saat ini kita tidak perlu buru-buru tuan Abraham, bukankah Brenda juga baru datang ke Indonesia? Dia juga pasti banyak pekerjaan yang harus di lakukan, bukan begitu?” Dathan menatap ke arah Brenda. Beberapa menit lalu ia telah mengirim pesan kepada Brenda kalau dirinya tidak ingin membahas lebih lanjut tentang pertunangan itu.
“Dathan bener Ayah, aku sebenarnya masih sangat lelah. Belum lagi Ayah udah mau masukkan aku ke perusahaan aja mulai besok. Jadi, santailah dulu. Malam ini, kita bicara tentang aku dan karirku, juga tentang bagaimana CEO muda di hadapan kita ini yang sedang menjalani masa percobaan.”
“Kami tau perkenalan kalian memang singkat, nggak seharusnya kami mendesak. Tapi, aku sendiri sebagai Ibu Dathan, sudah sangat ingin Dathan menikah agar dia selain bertanggung jawab di perusahaan, dia juga kepala keluarga yang bisa diandalkan. Bukan begitu Nyonya Agatha?” tanya Nyonya Jesika, Ibu tirinya Dathan. Ia menatap kesal ke arah putranya yang tidak bisa diajak kerja sama.
“Tentu, aku tahu gimana anak muda saat ini. Mereka pasti beralasan belum penjajakan untuk waktu yang lama. Apalagi ini pernikahan. Ayah, kamu seharusnya nggak terlalu mendesak mereka. Aku tau perasaan dan harapanmu, tapi kita nggak bisa memaksa putri kita.”
“Baiklah, seharusnya aku lebih sabar.” Tuan Abraham tersenyum, mereka mengobrol panjang tentang bisnis dan tidak lagi membahas pertunangan.
Dathan dan Brenda pamitan untuk mengobrol berdua, tentu saja dengan alasan agar mereka bisa lebih akrab. Walau sebelum Brenda kembali ke LA, mereka sudah terhitung lima kali bertemu dan makan malah bersama tapi hal itu tidak bisa membuat Dathan jatuh cinta kepada Brenda. Meski wanita itu bukan sembarang wanita dan tentunya cantik, pintar dan berdedikasi.
“Hey, kenapa wajah kamu itu datar benget sejak tadi huh? Apa kamu nggak perlu kiss dari aku?” Brenda mendekat, hendak mencium pipi calon tunangannya, namun Dathan mundur ke belakang beberapa langkah. Mereka kini sedang berada di rooftop hotel dengan view pemandangan kota Jakarta dengan kelip lampu di bawah dan bintang di atas langit.
“Haha, aku tau kamu masih suci. Itu yang bikin kamu menarik Dathan. Ayolah, kamu pengusaha, CEO muda. Masa kamu nggak mau bangun hubungan spesial dengan seorang wanita? Jangan kuno dong,” ejek Brenda, seperti sudah sangat akrab dengan Dathan.
Sebaliknya Dathan tertawa getir melihat kelakukan Brenda, ia sudah dapat menduga sejak berada di luar negeri, kelakuan wanita dihadapannya ini semakin menjadi saja.
“Kamu tau ‘kan kalau pernikahan kita ini pernikahan bisnis?” Dathan langsung saja bertanya. Wanita tinggi semampai itu terkekeh, lipstiknya yang merah merekah memperindah bibirnya yang tampak sensual itu.
“Aku tau Dathan, kamu nggak perlu ngingetin aku.” Brenda menatap kuk-kukunya yang cantik.
“Terus, kenapa sampai sekarang kamu nggak bilang ke orang tuamu, kalau kamu nggak mau pertunangan ini?”
“Bagaimana bisa aku Dathan? Bukankah aku dan kamu sama aja? kita di setir orang tua. Apa sekarang kamu nyalahkan aku, karena kesepakatan kita beberapa waktu yang lalu? Ayolah, ini sudah dua tahun. Aku kira, kamu bisa berubah pikiran semakin dewasa, tentu kamu nggak akan mau melewatkan kesempatan ini.”
“Nikahilah pria yang kamu mau dan cintai Brenda. Jangan nikahi pria sepertiku.”
“Kamu pikir, cinta itu mungkin bagiku?”
“Kenapa nggak? Kita semua berhak mencintai, siapapun kita, dari kalangan manapun. Saat aku bertanya kamu sedang berada di mana waktu itu, karena saat itu aku lagi makan malam sama Ayahmu di suatu event, kamu bilangnya lagi di kampus, tapi aku tau kamu lagi di Hawai. Bukankah kamu seberani itu Brenda?”
Wanita dengan rambut Blonde itu tercengang, bagaimana bisa ternyata Dathan selama ini mengawasinya. “Kamu ngawasin aku?”
“Aku tau kamu wanita yang tidak bisa dengan satu pria Brenda.”
Mendengar perkataan yang membuatnya emosi, Brenda mengangkat tangan untuk menampar wajah tampan pria di hadapannya karena telah merendahkannya secara terang-terangan. Namun, ia urungkan demi menjaga repitasinya jika ada yang memergoki aksi brutalnya.
“Berani kamu bicara begitu Dathan, aku akan buat kamu takluk padaku, suatu saat nanti. Tunggu aja.”
Sebulan kemudian berjalan lebih cepat bagi Dathan. Ia benar-benar panik sekarang, meski hatinya terus menerus menolak dan menyangkal untuk menikahi Brenda, namun nyatanya keadaan membuatnya harus berada di sebuah ruangan VVIP dan kini sedang didandani menjadi pengantin pria. Brenda menelponnya berkali-kali, namun belum ia angkat sama sekali. Dathan sibuk mondar mandir, ia bingung meminta pertolongan pada siapa lagi, karena orang-orang tidak akan ada yang bisa membantunya. Ya, Cakra pria itu hanya meminta Dathan untuk sabar dan menerima semuanya, karena nanti setelah menikah dengan Brenda, pria itu tidak perlu cemas akan posisi CEO, karena Dathan lah pemenangnya. Meminta tolong kepada Tiffany, sangat tidak mungkin. Wanita itu tidak bisa dilibatkan dalam hal ini, sudah cukup permasalahan hidupnya selama ini. Sinar? ah Adiknya bahkan belum terlihat hari ini entah dimana keberadaannya, teleponnya pun tidak aktif. Sebuah ketukan pintu membuat Dathan terlonjak, ia takut jika yang datang
"Kenapa kamu ningalin aku kemarin?" tanya Brenda mengintimidasi."Sinar hampir diculik," jawab Dathan. Brenda mengernyitkan keningnya."Terus, mana dia sekarang?""Dia lagi istirahat di kamar. Kamu mau apa ke sini? hari ini jadwalku istirahat, sebelum besok kami pulang lagi ke Jakarta.""Jangan bilang kalian sekamar?" tebak Brenda, wanita itu memaksa ingin masuk ke dalam kamar namun Dathan menahannya. Tidak ingin sang Adik yang tengah sakit terganggu."Kenapa? dia adikku.""Dathan, ayolah meski dia adikmu. Tapi, kalian udah sama-sama dewasa. Apalagi perhatian kamu sama Sinar itu posesif banget, berlebihan, wanita mana yang nggak cemburu, meskipun itu istrimu, kalau perhatianmu selalu tertuju pada adikmu itu ha?" Brenda mengeluarkan unek-uneknya. Bukan hal yang wajah jika seorang Kakak terlalu memperhatikan adiknya, sedangkan kekasihnya tidak. Memangnya yang bakal menemani pria itu suka duka siapa nantinya? tentu seseorang yang saat ini adalah kekasihnya dan di masa depan akan menjadi
Adrina terjatuh ke tanah, seolah kembali mengingat masa lalunya di mana Tigor selalu melakukan kekerasan padanya, entah itu mencekiknya, memukulnya atau menamparnya dan terakhir kali lelaki itu membuat pakaiannya robek dan memalak isi dompetnya. Ia merasa sudah aman dari Tigor, namun ternyata hidupnya kembali dipertemukan dengan sosok-sosok menyeramkan ini."Tolong! tolong! ada orang jahat di sini!" teriak Adrina kencang. Ia berharap ada warga yang lewat dan menolongnya."Bawa ke markas kita aja gimana?" tanya pria yang memegang tas Adrina, ia tidak ingin berurusan dengan masyarakat jika memperkosa wanita ditempat yang sepi namun ini dekat pasar."Yok."Dathan berusaha menghubungi adiknya, namun teleponnya tidak terjawab sama sekali. Ia panik, lelaki itu memilih meninggalkan Brenda yang asyik melihat sungai di Siring, sementara ia diam-diam ke Pasar demi menyusul Sinar."Sinar, kamu dimana?" gumam Dathan cemas, "Kamu ga boleh hilang lagi, Dek."Tolong! tolong! ada orang jahat!Lepasin
Brenda sangat senang karena Dathan mau menuruti keinginannya untuk berkeliling kota Banjarmasin, padahal tanpa Brenda tahu Dathan mau diajak jalan-jalan adalah karena adiknya juga mau ikut untuk melakukan healing setelah tiga hari menemaninya menemui klien dengan waktu yang cukup panjang dan melelahkan, observasi ke berbagai tempat, menaiki gedung berlantai lima yang sudah jadi, hingga menyusuri lahan gambut yang masih luas dan berair."Loh, Sinar kamu mau ikut kami jalan-jalan juga?" Brenda bertanya dengan heran, pasalnya saat ia menjemput Dathan di kamarnya, lelaki itu sudah bercengkarama saja dengan sang Adik."Iya Brenda, masa kita jalan-jalan, Sinar diem aja di kamar? harus ikut dong.""Ih, tapi 'kan kita kencan berdua Dathan, masa ada Adek kamu," lirikan mata diberikan oleh Brenda kepada Adrina, membuat wanita itu merasa tidak nyaman."Aku baca di internet, kalau Sudi Mampir itu luas, ada Jembatannya juga yang dari atas sana kita bisa liat orang-ora
Saat di dalam pesawat terbang kelas Bisnis yang membuatnya bisa leluasa tertidur. Meski perjalanan hanya butuh waktu satu jam, namun karena fisik dan psikisnya benar-benar kelelahan, Adrina tertidur di samping Dathan.Sementara Dathan, lelaki itu lebih memilih menikmati jingga di atas langit, karena keberangkatan mereka sore. Awan-awan mulai menggelap dan meliputi jendela pesawat, membuat Dathan akhirnya mengalihkan pandangan ke arah adiknya yang ternyata sudah pulas tertidur setelah memakan cemilan yang disediakan oleh pramugari."Adikku emang cantik," puji Dathan, lelaki itu tersenyum lalu membelai pipi sang adik. Walau baru beberapa bulan mereka berstatus sebagai Kakak Adik, tapi Dathan sudah sangat menyayangi Adrina. Gadis ini polos, walau ia dulu mengenalnya sebagai gadis kuat dan pantang menyerah, namun setelah lebih dekat Adrina membuatnya selalu merasa gemas."Lelaki mana yang pantas untukmu ya? aku bahkan sulit menentukkan, teman-temanku sekali pu
Adrina kini sudah berada di meja sekretaris dengan tatapan kosong. Namun, pikirannya sebenarnya tidak bisa diam, ia terus menerus kepikiran mengenai fakta bahwa dirinya bukanlah adik Dathan, pantas saja selama ini ia tidak bisa nyaman dan merasa benar-benar bersaudara dengan lelaki itu."Adrina," panggil Dathan, ternyata sudah dua menit dua lelaki memperhatikan dirinya yang bengong."Eh iya Pak?" jawab Adrina, sedikit terbata, pasalnya ia terkejut melihat Dathan dan Cakra melihatnya sembari menopang dagu."Ngelamun lagi? kenapa sih, Kakak perhatikan akhir-akhir ini kamu ngelamun terus, kenapa Dek?" tanya Dathan."Mungkin lagi kepikiran mau check out apa? ya nggak Mbak Adrina?" gurau Cakra, Adrina seketika terkekeh."Ya, aku kepikiran mau belanja online, Mas Cakra bener.""Masa sampe ngelamunnya lama gitu? nggak nyadar kalau Kakakanya sudah berdiri lebih dari dua menit di sini?""Oh ya? maaf aku nggak sadar.""Cakra, ambilkan minum.""Siap Bos."Cakra bergegas menuju ruang CEO dan memba