Leonardo memasuki sebuah kantor dengan tulisan Pitidoku tertera pada dinding. Tidak ada resepsionis yang menyambut. Luas ruangan itu juga biasa-biasa saja. Kalau dibandingkan dengan ruang kerja beberapa kantor lainnya dari bidang usaha Armadjati Group, Pitidoku tidak ada apa-apanya.
Dia disambut oleh Danny dan beberapa karyawan lain yang bertepuk tangan. “Selamat, Mas. Pitidoku sudah terdaftar.”
Leonardo berterima kasih. “Berkat kerja keras kalian semua.” Dia kemudian memberikan kartunya kepada Danny dan memberikan instruksi kepada asistennya itu untuk mentraktir makan karyawan Pitidoku.
Tentu saja berita itu membuat semuanya bergembira dan serta-merta berlalu dan meninggalkan Leonardo sendirian. Laki-laki yang biasa dipanggil Leo itu memandang sekeliling. Kantor Pitidoku hanya memiliki satu ruangan berkonsep open space. Semua anggota tim akan menyalakan laptop masing-masing untuk bekerja di meja panjang. Untungnya, saat itu juml
I'm so sorry for the late updates. I was not feeling well and didn't have access to my laptop for the last two weeks. From now on, I will try to update as often as possible. Thank you for your understanding. Stay safe, guys. Love you.
Leonardo memasuki rumah besar yang disebut-sebut haknya oleh ayahnya sebagai anak pertama Keluarga Armadjati. Dia ingat kalau sempat menghabiskan masa kecilnya di sini. Namun, sampai sekarang dia tidak menganggap kediaman itu sebagai rumahnya. Tidak ada sisa-sisa kenangan bahagia yang menempel di benaknya saat menempati rumah tersebut. Momen suka cita yang terpatri dalam ingatannya justru berada di panti asuhan tempat dia dan Mama tinggal dahulu.Dia baru kembali ke rumah ini ketika Mama meninggal. Kedatangannya saat itu disambut oleh tiga orang asing yang tidak pernah dikenalnya; yaitu Tante Yasmine, Olivia, dan Bastian yang belum genap berusia tiga tahun. Tentu saja, dia yang baru lulus Sekolah Dasar tidak mengerti bagaimana bersikap dengan ketiganya. Entah karena Papa ingin mengakrabkan Leo dengan mereka atau bermaksud lain, tiba-tiba saja ayahnya itu menitahkan agar mereka makan malam bersama, setiap harinya. Padahal, ketika Mamanya masih ada sekalipun, laki-laki tua itu
Kata orang, ketika kita di ambang kematian, kilas balik perjalanan hidup kita akan terbayang-bayang di mata. Tidak demikian halnya yang dialami oleh Dina. Dia yakin akhir hidupnya telah tiba sewaktu Bastian melucutinya. Tapi, bukan fragmen kehidupannya yang memenuhi isi kepalanya, melainkan rasa yang campur aduk, antara malu, tidak berdaya, muak, geram, jijik, dan tidak berharga dia alami sekaligus.Dia memejamkan mata dan mencoba mengosongkan apapun yang ada dalam pikirannya. Dina merasakan sentuhan di bahunya yang langsung saja dia tepis. Walaupun keadaannya sudah terpojok, dia akan tetap melawan laki-laki bajingan yang ada di belakangnya itu sekuat tenaga. Karena dia tahu, hanya kematian yang dapat membebaskannya dari kekejaman Bastian.“Ini aku, Leo.”Apakah yang dia dengar itu benar? Dina tidak mempercayai telinganya sehingga ingin mengonfirmasi dengan matanya. Di sanalah laki-laki itu tersenyum kepadanya. Senyum Leonardo sebenarnya tipis saja d
Panas matahari yang menembus dinding kaca membangunkannya. Dina memandang sekeliling. Kamar itu kosong. Tidak ada perabotan sama sekali. Matanya beralih ke jaket yang menutupi sebagian tubuhnya. Dina bangkit berdiri dan menarik ritsleting jaket sampai ke leher. Sewaktu menyadari kain bawahannya sudah robek sana sini, Dina ke luar kamar mencari-cari pakaian cadangan yang bisa dia pakai.Apartemen itu didominasi dengan pembatas kaca sehingga pantulan surya menerangi semua ruangannya. Dina mengelilingi ruang tamu yang berdamping-dampingan dengan dapur. Semuanya kosong melompong. Dia juga memeriksa kamar mandi. Sama saja. Tidak ada apa-apa. Dina memutar keran dan lega begitu air mengalir membasahi tangannya. Dia membasuh wajah dan mengernyit akibat rasa perih yang mengenai luka di wajahnya.Tiba-tiba, Dina terkesiap. Mas Leo? Di mana laki-laki itu? Dina mengingat-ingat kejadian tadi malam. Matanya berkaca-kaca akan kenangan buruk yang mampir di kepalanya sehingga
Bastian, anak bungsu Keluarga Armadjati berdiri mematut di depan cermin yang ada di dalam ruang walking closet-nya tanpa mengenakan atasan sama sekali. Dia menyentuhkan jarinya ke pipinya yang lebam. Matanya menyipit menahan perih. Dia menggemeretakkan gigi. Berani-beraninya benalu itu merusak ketampanannya.Dia mengambil ponselnya dan menekan satu nomor. Terdengar nada panggil tapi telepon tidak diangkat. Bastian menggerutu dan mencampakkan gawai itu ke sofa.Setelahnya, Bastian mengambil kemeja yang sudah disiapkan di atas sofa. Dia mengenakannya. Tapi dahinya langsung mengerut sewaktu kain pakaian itu menempel ke pinggangnya. Laki-laki itu melepaskan kemeja dan memeriksa tubuhnya yang terasa sakit itu.“Aaagh,” keluhnya dengan segera menjauhkan tangannya dari luka itu.“Are you okay?” Tiba-tiba, Wendy masuk dan mengeceknya.Tanpa memperdulikan pertanyaan istrinya itu, Bastian menarik kaos oblong putih da
Bastian kecil cemberut dan menyisihkan sarapan waffle-nya. Dia menatap Mami yang duduk di depannya dengan pandangan seolah-olah ingin melenyapkan ibunya itu. Tentu saja Mami tidak dapat menyaksikan laser yang dipancarkan Bastian dari matanya karena perempuan itu mengenakan kacamata hitam.“Pokoknya Bas mau pindah!” bentaknya sambil melipat tangan di dada.“Where to?”“Kita harus pindah, Mi. Kita bisa tinggal sama Gramma! Sekolah di sana?!” rayunya. Menyadari perilaku Papi yang tidak menyenangkan terhadap Mami, ini usaha Bastian kecil untuk menyelamatkan ibunya tersebut.“Memangnya bisa Bahasa Inggris?” goda Mami.Bastian sudah akan membuka mulut, namun mendadak berhenti karena mendapati Papi yang tahu-tahu muncul di balkon rumah utama tempat mereka menikmati sarapan. Dia menarik piring berisi waffle yang tadi sempat dia singkirkan. Dia kemudian memakannya dengan lahap.
Dina terpaku melihat ponsel yang tergeletak di lantai dapur apartemen tempatnya berada saat itu. Pikirannya yang sudah kalut bertambah mumet. Apakah gawai yang dia pinjam dari Leo itu rusak? Kalau ya, bagaimana dia bisa menggantinya? Dina mengutuk dirinya sendiri karena tidak berhati-hati.Dia menarik napas dalam-dalam. Tidak ada gunanya mengkhawatirkan perangkat elektronik itu. Coba saja dulu diperiksa. Lagi pula, ada masalah lain yang lebih penting untuk segera dia selesaikan. Ya, ya, banyak urusan yang memenuhi kepalanya. Satu masalah sudah ditimpa dengan masalah lainnya. Serumit itu!Belum sempat Dina meraih telepon genggam yang jatuh itu, sebentuk tangan lain sudah mendahuluinya. “Maaf,” kata Dina sambil mendongakkan kepala. Leonardo.Leonardo memeriksa telepon genggam itu. “Kosong, delapan, dua, satu, empat, empat….” Leo menatapnya lama. “Ini siapa?” tanya laki-laki itu.Dina menjauhkan pandangan matanya. H
Berulang kali Leonardo berusaha meyakinkan Dina untuk melaporkan apa yang dia alami ke polisi. Sebanyak itu pula gadis itu menolak. Terus-terang, dia kecewa dengan jawaban itu. Padahal, dia sudah menawarkan mendatangkan polwan secara khusus. Bastian tidak boleh lolos dari masalah ini. Sampai kapanpun, Leonardo tidak akan menolerir kejahatan.Dina ketakutan, dia tahu itu. Menurut gadis itu, salah langkah sedikit saja bisa membuat nyawa ayahnya hilang. Leonardo tidak percaya Bastian akan bertindak sejauh itu. Rasa-rasanya, adik tirinya itu tidak akan membunuh seseorang. Sontak, peristiwa di kebun anggrek melayang di benaknya. Benarkah? Dia meragukan perasaan yang baru saja terbit tersebut.“Sekarang apa?”Leonardo menoleh. Di sampingnya ada Dina. Tinggi perempuan itu mencapai lehernya sehingga Leo tidak perlu menunduk terlalu dalam demi bertatap-tatapan dengannya. Dari posisinya itu, dia dapat meneliti bola mata besar dan indah yang tidak berani dia pa
Sebenarnya, lokasi rumah yang Leo datangi malam itu tidak begitu jauh dari mansion Keluarga Armadjati. Dari rumah mereka, perjalanan dilanjutkan ke atas bukit. Melewati gerbang utama, Leo disambut oleh jejeran pohon-pohon besar. Laki-laki itu menghentikan mobilnya di halaman. Sambil menggendong tas ransel, dia masih harus berjalan kaki menjajaki paving block untuk pejalan kaki, barulah Leo tiba di depan sebuah rumah bergaya kabin. Namun, begitu dia menjejakkan kaki di terasnya, dia justru membalikkan badan.Tiba-tiba, telepon genggamnya bernyanyi dan spontan dia mengangkatnya agar tidak berisik. “Halo.”Rupanya yang meneleponnya adalah Danny. Asistennya itu mengabarkan kalau Dina sudah diantar untuk menginap di sebuah hotel. “Tapi ada sedikit masalah.”Leonardo tidak mempercayai pendengarannya. Kartu kredit Leo yang dipegang Danny tidak dapat digunakan membayar hotel. Ditolak oleh sistem. Tapi, tak urung dia tersenyum miris. &ldq