Share

Know Your Place

Tidak dapat dibayangkan oleh Dina kalau kejadian ini sampai ke telinga Bastian. Lebam di wajahnya memang sudah tidak dapat diidentifikasi, tapi perihnya masih dapat Dina rasakan.

“Maaf?” Terus-terang, Dina tidak tahu apa akar masalahnya. Tapi, dia tetap harus memohon demi menghindari kemarahan Bastian. “Maaf,” katanya lagi dengan mantap.

“Selama kerja, kamu harus pakai seragam, Nduk.” Mbok Surti yang akhirnya memberi tahu.

“Nggak bisa kayak gini. Aku nggak bisa direcokin sama hal yang remeh kayak gini. I can’t stress this enough,” cerocos Wendy. “Bastian harus tanggung jawab kalau ini nggak akan –

“Maaf, maaf. Aku belum tahu. Aku ganti.”

“Terlambat! Aku udah STREEES!”

Langkah Dina mundur satu langkah karena teriakan Wendy tersebut. Kebalikan dengannya, bergegas Mbok Surti menghampiri menantu Keluarga Armadjati itu dan menepuk-nepuk bahunya. Pembantu senior itu juga menuntun Wendy untuk duduk di sofa terdekat.

Selagi Wendy mengatur napasnya yang menderu-deru, Mbok Surti melambaikan tangannya memberi kode agar Dina segera berlalu dari tempat itu. Yang tentu saja dia lakukan dengan secepat kilat.

***

Dalam kamar, Dina mematut seragam putih-putih yang sempat dia kenakan kemarin. Dia mengendus ketiaknya. Untunglah tidak atau belum berbau sama sekali. Setelahnya dia kembali menemui Wendy demi menerima perintah pertama di hari itu.

Baru sampai di lorong menuju sayap kiri bangunan, Mbok Surti sudah menghadang jalannya. Dina disuruh ke dapur saja untuk menyiapkan sarapan buat majikannya itu.

“Yang simpel saja, Nduk. Panasin bapao yang di kulkas sama potong buah.”

Dina memandang sekeliling dapur yang sudah bebas dari piring kotor bekas semalam. “Mbok bersihin?”

“Mana sempat. Itu kan urusan cleaning service.”

Dina mendesahkan, “Oh.” Oleh karena penjelasan Mbok Surti, hanya ada satu kemungkinan: Leo yang membersihkan semuanya.

“Cepat. Nanti kamu dimarahin lagi, lho.”

Perintah itu membuat Dina buru-buru mencari bapao di dalam freezer.

***

Takut-takut, Dina menyerahkan baki berisi sarapan ke ruang santai tempat Wendy biasanya berdiam. Wanita itu sekilas saja melirik kedatangan Dina dan memberikan kode agar dia meletakkan makanan di atas meja.

Know your place.”

Tidak mendengar dan mengetahui dengan jelas maksud kata-kata itu, balasan, “Hah?” keluar dari mulut Dina.

“Kalian para pembantu semuanya sama aja. Sok cantik dan genit menggaet majikan.”

“Maaf?”

“Kalian harus terus diingatkan tempat kalian itu di mana. Jangan mimpi ketinggian. Nanti jatuhnya sakit.”

Tidak nyaman dengan celotehan Wendy tersebut, Dina memilin-milin jarinya sendiri. Dia tidak habis pikir mengapa menantu Keluarga Armadjati itu sedemikian marah hanya karena Dina tidak mengenakan seragam khusus pelayan.

“Kenapa masih di sini? Mau bikin selera makanku hilang?”

Suara Dina bergetar sewaktu menjawab, “Kalau nggak ada yang perlu lagi, saya pergi dulu,” sembari menundukkan tubuh.

Wait….”

Dina yang sudah membalikkan badan menghentikan langkahnya. Dengan takut-takut, dia menghadap Wendy kembali dan sabar menunggu instruksi dari majikannya itu.

***

Dina menyesal karena tidak mengindahkan nasihat Mbok Surti agar tidak berlama-lama setelah mengerjakan satu tugas. Jika banyak bertanya, mereka akan direpotkan dengan tugas baru lainnya.

Dia memandang sekeliling garasi yang luasnya tiga kali enam kali lipat dibandingkan rumah kontrakannya. Hanya ada satu mobil yang terparkir di sana. Tapi tujuan Dina tidak ada kaitannya dengan mobil-mobil tadi. Tugas berikutnya adalah membereskan barang-barang yang berserakan di sana.

“Lho, Nduk, kok di sini?”

Dina menoleh dan menemukan Mbok Surti lewat di depan pintu sambil membawa ember dan sekop. Dia menunjuk benda-benda berantakan yang memenuhi garasi. “Mbok bilang ada cleaning service?”

“Ah, iya. Biasanya ini tugasnya Rosidah sama Alika.”

Kalau begitu, Dina tidak bisa mengelak dari mengerjakan tugas yang membosankan itu.

“Nanti Mbok bantu, ya. Mbok balikin ini dulu,” katanya seraya menunjuk ember dan sekop yang dipegang.

Dina mendesah lega. Dia tersenyum dan menganggukkan kepala. Kalau ada bala bantuan, pasti tidak akan terlalu lama menyelesaikan tugasnya. Dia berkacak pinggang dan dalam hati memutuskan untuk terlebih dahulu memilah-milah barang di garasi berdasarkan kegunaannya masing-masing.

Dina sudah menyelesaikan satu tumpukan dan hendak menyusun tumpukan selanjutnya sewaktu dia mendengar namanya dipanggil oleh Mbok Surti.

“Mbok –

Lidahnya terhenti tatkala melihat bahwa pembantu senior itu tidak sendiri. Ada Wendy di sampingnya.

“Aku bilang kamu kan yang bersihin garasi. Bukan kamu dan Mbok Surti.”

Kalimat itu disampaikan dengan tenang. Namun, ada nada kenyinyiran yang menyiratkan kekejaman ditangkap oleh pendengaran Dina. Dia sampai bergidik dibuatnya. Dina menundukkan kepala.

“Aku akan pakai mobil siang nanti.” Lirikan mata Wendy memindai garasi yang berantakan. “Aku mau lihat semuanya rapi. Tahu kan akibatnya kalau nggak?”

Jantung Dina mempercepat irama. Dia tidak berani menyampaikan respons apa-apa.

Wendy melayangkan langkah dengan anggun ketika berlalu dari tempat penyimpanan mobil diiringi Mbok Surti yang mengikuti dari belakang.

Dina berjingkat-jingkat memastikan menantu Keluarga Armadjati itu lenyap dari pandangannya. Tapi tapak kaki gadis itu berhenti karena mendengar Wendy melantunkan perintah. “Iya, Bacon.”

Dina menahan napas. Dia tidak tahu konteksnya apa, namun pengucapan nama laki-laki itu langsung membuatnya bergidik ketakutan. Tanpa dia sadari, Dina menyentuhkan jari di pipinya.

Tanpa berlama-lama lagi, dia bergerak cepat membersihkan barang-barang. Akan tetapi, dia terkesiap karena Wendy kembali dengan melongokkan wajah ke garasi.

“Habis ini, bersihkan kolam renang!” perintah nyonya muda itu dengan santai lalu silam dari pandangan Dina.

***

Dina sudah tidak tahu berapa kali dia menggosok-gosokkan alat pembersih ke dasar lantai kolam renang itu. Yang dia tahu, lengannya sudah mati rasa. Masih ada setengah bagian lagi yang harus dia bersihkan sementara langit sudah berubah menjadi kemerah-merahan. Dia menyenderkan tangkai alat pembersih.

Saat ini, harusnya dia sibuk melamar sana-sini sesuai jurusan kuliahnya. Semestinya dia sedang penuh semangat membuktikan kalau dia mampu bersaing dengan pekerja usia produktif lainnya. Dia bisa berkarya dan dapat dibanggakan oleh keluarganya. Tapi, rencananya gagal total karena dipaksa mendekam di rumah iblis ini.

Mendadak, perut Dina berbunyi. Tubuhnya sudah memberikan tanda kalau saat itu dia memerlukan asupan kalori. Tapi, bagaimana kalau Wendy melaporkannya kepada Bacon? Dia tidak mampu melawan laki-laki raksasa itu. Dia sudah pernah mencoba dan gagal.

Dina terduduk lemas, tenggelam dalam kolam renang yang kering. Tidak dia pedulikan bajunya yang basah karena air sabun. Tiba-tiba, alat pembersih jatuh mengenai kepalanya. Dina pun menangis sambil berteriak sekuat tenaga yang perlahan-lahan berubah menjadi isak semata.

Tahu-tahu, telinganya menangkap sebuah bunyi. Dina menahan isakannya. Dia memastikan apa yang baru saja dia dengar. Ketika tidak ada suara lanjutan yang menghampiri indera pendengarannya, Dina setengah berdiri dan mencoba mengintip apa yang ada di atas kolam renang tersebut.

Begitu matanya menangkap suatu bayangan, sontak dia membungkukkan badan dan menutupi kepala dengan tangannya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status