Share

Cry for Help

“Maaf, nggak bermaksud bikin kamu kaget.”

Dina mendongakkan kepala. Di atas sana, berdiri Leonardo. Dia membuang wajah karena malu berhadap-hadapan dengan laki-laki itu. Tidak dalam keadaan yang super berantakan seperti sekarang ini. Dina memandangi bajunya yang sudah lembab dan sangat tidak nyaman dikenakan. Belum lagi rambutnya yang awut-awutan. Sangat kontras dengan penampilan Leonardo yang rapi dengan setelan jas berwarna abu-abu.

“Naik!”

Alih-alih mematuhi permintaan pria itu, Dina memungut tangkai pel dan melanjutkan mendorong alat itu untuk menyikat lantai kolam renang.

“Hei, naiklah. Aku bawakan makanan.”

Seakan-akan tidak dapat diajak berkompromi, perutnya bernyanyi. Dina menyerah akan kekeraskepalaannya dan meletakkan sikat pembersih sembarangan. Dia berjalan miring ke arah tangga kolam demi menghindari bertatapan dengan Leonardo. Langkahnya kalah cepat karena pria itu sudah mengulurkan tangannya.

Dina mengabaikannya. Dia tidak mau telapak tangan Leonardo tertular kotor. Namun, begitu gadis itu sampai di atas, anak pertama Keluarga Armadjati itu malah mengalungkan jasnya ke tubuh Dina.

Dina enggan menerimanya, tapi laki-laki itu memaksa, “Kalau sakit, justru kamu yang dimarahin agensimu.”

Rupanya, Leonardo masih menganggap dirinya adalah pekerja suruhan yang diambil dari kantor penyaluran karyawan.

“Rosidah pernah potong gaji selama dua minggu ditambah sanksi penalti.”

Dina menarik jas agar lebih menutupi tubuhnya. Sebenarnya bukan karena dia takut jadi sakit dan mengalami seperti peringatan dari Leonardo itu. Tapi, jas yang dia pakai memberikan kenyamanan untuknya. Apakah itu dari wangi yang menampar indera penciumannya? Atau karena bahan kain pakaian yang membungkus tubuhnya? Dina yakin jenisnya adalah wool yang bisa saja bercampur khasmir. Pasalnya kain itu lembut sekali menyentuh lehernya.

Di tengah-tengah kehangatan yang dinikmati oleh gadis itu, mendadak Leonardo menarik kembali jas tersebut. Meskipun agak kaget, Dina memaklumi. Dipikir-pikir, tidak mungkin kakak dari Bastian itu bersikap baik kepadanya.

“Tanganmu juga perlu ditutupi.” Dengan lembut Leonardo membentangkan jas dan menuntun tangan Dina agar mengenakan pakaian itu dengan benar.

Ada suatu titik dalam hati Dina yang tersentuh dengan perhatian itu. Dia memberanikan melihat Leo dan menyelami bola mata hitam laki-laki itu. Ditambah senyum dan kerutan dahi yang seolah-olah memastikannya baik-baik saja.

“Ada makanan di situ,” Leo menunjuk pondok.

Wajah Dina mendadak memerah teringat akan momen di bawah sinar bulan yang dia lalui bersama Leo. Saking gugupnya, dia batuk-batuk kecil berpura-pura membersihkan tenggorokannya. “Tapi tugasnya belum selesai.”

“Santai,” kata Leo. Pria itu lalu berjalan ke bagian yang Dina kira adalah tempat duduk pinggir kolam. Ternyata, tempat duduk itu memiliki fungsi ganda sebagai penyimpanan. Leo mendorong salah satu pintu dan mengeluarkan alat pembersih bertangkai panjang.

“Hei, ayo makan!” suruh Leo.

Dina menyendokkan nasi dan ayam semur yang tersaji di pondok. Matanya tidak lepas dari sosok Leo yang menyingsingkan lengan baju lalu mendorong sisa-sisa air berlumut kolam renang tanpa perlu turun ke dasar kolam. Dia menyuap makanannya pelan-pelan. Tidak rela dia apabila suasana ini cepat berakhir.

Ketika kolam renang sudah bersih, suasana sudah mulai gelap. Leo menyalakan lampu luar, menyimpan peralatannya, dan menyalakan air yang perlahan-lahan memenuhi kolam.

“Kamu sudah bisa berenang, tuh.”

Dina sibuk menghitung kunyahannya sehingga kata, “Hah?” yang terlontar.

“Sampai lupa makan demi bersihin kolam, apalagi kalau bukan karena nggak sabar berenang.”

Dina sedikit tersedak mendengarnya. Dia mengatur agar dapat bernapas normal. Untunglah berhasil.

“Mending besok saja berenangnya. Mumpung aku libur.”

Atas kalimat Leo tadi, Dina tidak sepenuhnya yakin apakah itu sekadar candaan atau memang laki-laki itu menyangka demikian? Sudut logikanya menggerakkan niat agar dia bercerita tentang alasan dia berada di rumah itu. Siapa tahu laki-laki itu dapat membantunya? Sisi pikirannya yang lain mendebat niat itu dengan dasar bahwa Dina belum paham karakter Leonardo. Namun, beberapa hari ini pria itu menunjukkan kebaikannya.

Dina minum air sebelum memulai perbincangan, “Mas Leo.”

Tiba-tiba, dering telepon mengakibatkan Dina mengurungkan niatnya.

Leonardo mengangkat telepon itu dan bersuara, “Ya… oke, aku ke sana sekarang.” Dengan raut wajah kecewa, Leo memperlihatkan ponsel sebagai kode dia harus pergi dan meninggalkan Dina.

Dina teringat dia belum menyampaikan terima kasih. Dia juga belum mengembalikan jas yang masih menempel di tubuhnya. Tapi bibirnya kelu sehingga hanya dapat menyampaikan, “Eh,” sambil berdiri bermaksud mengejar Leo.

Gelapnya malam menimbulkan kesadaran kalau Leonardo pasti menghadiri makan malam wajib bersama Keluarga Armadjati. Dia pun batal menyusul pria itu.

***

Malam sudah larut sewaktu Dina menggunakan mesin cuci untuk membersihkan baju-baju serta pakaian dalamnya. Setelah itu, dia menuang pewangi banyak-banyak dan berlanjut dengan proses pengeringan. Dia mengambil selimut agar tubuhnya tetap hangat di malam yang dingin itu.

Deritan pintu berefek kepada Dina yang cepat-cepat menutupi kepalanya dengan selimut.

“Nduk?”

Kepalanya melongok dari selimut.

“Seragam kamu ada tiga, toh?”

Dina mengiyakan. “Tapi baju dalamku….”

“Coba kamu lihat lemarinya Rosidah, siapa tahu ada yang ketinggalan.”

Dina tahu persis kalau tidak ada apa-apa di lemari yang disebut-sebut Mbok Surti itu. Oleh karenanya dia bertanya, “Mbok punya uang? Aku boleh pinjam.”

Mbok Surti menggeleng. Meskipun Dina tidak percaya tapi dia diam saja. Bisa saja pembantu senior rumah itu ditugaskan melaporkan apapun tindak-tanduknya. Dia harus berhati-hati.

“Kalau HP? Aku pakai sebentar, Mbok?”

“Nduk, Nduk. Mbok ini sudah tua. Nggak ngerti main yang begituan.”

Dina manggut-manggut seraya memperhatikan mesin cuci yang telah berhenti pertanda bajunya sudah siap untuk dikeluarkan.

“Kamu tetap pakai baju itu toh Nduk.”

Dina melirik baju berleher sabrina yang diprotes Wendy tadi pagi. Kalau tidak dia pakai, dengan apa dia menutup auratnya?

“Ingat, kalau di depan Nona Wendy wajib pakai seragam.”

Bagaimana bisa Dina lupa kalau gara-gara itu seharian ini dia disiksa? Dia hanya menanggapinya dengan mengangguk-angguk.

Sekonyong-konyong, Mbok Surti memanjangkan tangan melewati badan Dina. Gadis itu agak terkejut dengan gerakan tiba-tiba itu. Rupanya, Mbok Surti menjangkau sesuatu di belakang punggungnya. Aduh, mengapa dia sampai lupa kalau itu ada di sana.

“Ini jasnya harus di-laundry. Biar Mbok yang bawa.”

Dina terbata-bata sewaktu menjawab, “Iya.”

***

Lampu-lampu rumah itu sudah banyak yang dimatikan. Namun begitu, Dina sudah hapal dengan jalan yang harus dia lewati demi sampai ke tujuannya. Bermodalkan penerangan yang remang-remang, dia sudah melewati pembatas arch. Di sana, pintu tinggi yang ditutupi tirai. Di baliknya, ada jalan keluar yang dapat membawanya kabur dari rumah ini.

Dina memasang telinganya baik-baik. Sejauh ini, tidak ada bunyi-bunyi selain deru napasnya sendiri yang dapat dia dengar. Meskipun demikian, dia tetap waspada dan berjalan dengan ujung jari-jari kakinya semata. Semakin dekat dengan destinasinya, Dina mengalungkan selimut.

Raut wajahnya berbinar-binar karena sejauh ini tidak ada Leonardo yang menghentikan langkahnya. Dina pun menyibakkan tirai. Matanya melongo mendapati kenyataan yang terpampang jelas di sana.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status