"Om Bian..." Tubuh ramping Laura menegang saat tangan Bian melingkari lehernya.
"Laura sayang..." Bisik Bian parau di telinga Laura, desah nafasnya yang hangat dan setengah tersengal itu menghembus semakin kuat di tengkuk Laura.
Masih dengan perasaan terkejut, Laura membalikkan badannya dan di sambut dengan wajah Bian yang hanya sejengkal dari wajahnya. Sesaat mereka berdua berhadapan saling memandang tak berkedip.
"Kenapa om Bian memelukku?" Tanya Laura sambil dengan canggung mendorong dada Bian, tetapi lelaki tinggi atletis itu malah melingkarkan tangannya ke pinggang Laura dan menarik tubuh gadis itu semakin merapat ke tubuhnya sendiri.
"Karena aku menyukaimu, Laura." Bisik Bian, suaranya hampir tak terdengar di telan suara hujan yang semakin menggila, bunyi rinainya menyentuh atap rumah semakin memekakkan telinga.
Mata Laura membeliak, dia terlihat tegang.
"Om Bian lepaskan Laura..." Ucapnya dengan sedikit memohon.
"Kamu cantik sekali, Laura." Bian malah semakin menjadi, degup jantungnya semakin berpacu kencang melihat bagaimana mata Laura menatapnya seperti boneka barbie.
"Om Bian..." Mulut Laura terbuka, bertepatan dengan Bian membungkukkan badannya dan menutup mulut Laura dengan bibirnya sendiri.
Ciuman itu sedikit tak sabar dan bernafsu, membuat Laura hampir tak bisa bernafas.
"Ukh." Laura hanya mendelik, dia seperti di setrum, gadis yang tak pernah merasakan sensasi di cium itu tak berkedip.
"Laura, Om Bian sayang Laura." Kalimat pamungkas itu berbarengan dengan tangan Bian yang telah di rasuk nafsu itu merayap menyusuri punggung Laura, naik ke atas menuju leher jenjang gadis itu.
Laura tak bergerak, hanya menggeliat sedikit, dia tak pernah di sentuh sedemikian rupa, kepolosannya meronta menikmati desir aneh yang berpacu menggerayang di dadanya.
"Kamu pernah di cium sebelumnya, Laura?" Tanya Bian sambil menelan ludahnya, membasahi kerongkongan yang terasa kering.
Keinginan itu mendesak kepalanya, sentakan kesepian membuat nafsunya melesak kepermukaan, sisanya mungkin setanlah yang bekerja.
Laura menggeleng, sambil menggigit bibir bawahnya, rasa aneh menjalar ketika Bian melakukannya tadi.
Tangan Bian menangkup rahang Laura, lalu menarik wajah itu mendekati wajahnya, dia terpesona sekaligus merinding mendengar Laura yang cantik ini tak pernah di cium oleh siapapun kecuali tentunya olah dirinya malam ini.
Di kecupnya lembut, setiap permukaan bibir basah Laura lalu menyesapnya. Laura tak bergerak, dia tak membalas tetapi tak juga menunjukkan penolakan. Bahkan matanya mulai terpejam sayu, seakan dia larut dalam kehangatan yang menyergap dadanya.
"Kamu boleh menolaknya jika kamu tidak menyukainya." Bisik Bian.
Laura tak mengatakan apapun tapi dia menunduk malu.
"Kenapa?" Tanya Bian dengan nafas tersengal.
"Aku...aku suka di cium om Bian." Ucapnya dengan pias merah jambu.
Mendengar kalimat itu, serta merta Bian menarik Laura lebih erat, menciumi bibir Laura dengan tanpa ragu lagi. Semua gejolak gairah menuntunnya, memperdaya seorang gadis polos yang masih awam dalam hal percintaan itu.
Bian terus merangsek, tangannya berkeliaran menyusuri tubuh Laura, menyusup ke sana kemari sementara wajahnya bergerilya pada wajah hingga leher Laura.
Laki-laki ini, dia sudah menikah dan berpengalaman soal mencumbu, tentu saja menulis di atas kertas polos bukanlah hal yang sulit baginya.
Laura hanya diam, dia memejam matanya kuat-kuat, menikmakti semua sensasi baru yang luar biasa yang kini sedang diperkenalkan oleh Bian, pria yang membuatnya nyaman, percaya dan jatuh cinta dalam beberapa minggu terakhir ini.
Dan ketika Bian mendorongnya perlahan ke atas tempat tidur, Laura seperti tersihir begitu saja.
"Om Bian..." Laura menahan pergelangan tangan Bram saat matanya yang nyalang tak sabar itu merenggut kancing baju di dadanya dengan tak sabar.
"Tidak apa-apa, Laura sayang." Desisnya dengan tatapan meminta supaya Laura menyingkirkan tangannya.
"Tapi om, Laura takut..." Laura menyahut dengan suara bergetar.
"Jangan takut, Laura. Kalau dua orang saling cinta, tidak apa-apa kita melakukannya." Bujuk Bian.
"Om..."
"Apakah Laura mencintai Om Bian?"
Laura tercengang mendengar pertanyaan itu, dia tak tahu jawabannya.
"Apakah Laura suka memikirkan om Bian kalau sedang sendiri?" Tanya Bian sambil menahan dengusnya, seperti dirinya yang berusaha menahan gejolak gairahnya yang menderu meminta pelampiasan.
Laura mengangguk ragu-ragu, selama ini dia memang selalu merasa rindu pada Om Bian yang tampan dan ramah itu, senyumnya seperti oase yang membuat Laura bahkan senyum-senyum sendiri.
"Itu artinya, Laura mencintai om Bian."
"Oh." Mata Laura berbinar mendengar penjelasan Bian.
"Om Bian juga suka merindukan Laura, memikirkan Laura." Betapa meyakinkan semua bujukan Bian bahkan kemudian, Laura dengan suka rela membuka kancing bajunya sendiri untuk Bian.
Seperti singa yang kelaparan, Bian menyesap ke sana tanpa perduli gelinjang geliat Laura yang kewalahan dan kebingungan dalam kenikmatan yang di tawarkan Bian.
Busana yang dikenakan Laura, melorot kesana kemari, acak-acakan berantakan karena jemari liar Bian menyusup dan menariknya, seakan menyingkir di mana ada kain yang menutupi area-area yang ingin di sentuh dan di jamahnya.
"Om...ukh...om..." Suara Laura yang merintih itu membuat Bian semakin bernafsu, kepalanya dipenuhi semua gairah yang tak lagi bisa dikuasainya.
Kecupan kuat dan seretan lidahnya yang basah itu membuat Laura yang polos menghiba-hiba, meremas kulitnya, Bian tahu benar area yang membuat perempuan bertekuk tahluk mencandu belaiannya.
Dan di bawah derai hujan itu, Bian merenggut kegadisan Laura. Tidak dengan paksa tetapi tidak jua dengan suka rela, dia memanipulasi semua perasaan gadis lugu itu untuk menumpahkan keinginan dagingnya.
Pekik kesakitan gadis itu, saat pertama dia menghujam ceruk tersembunyi yang tak pernah terjamah itu, sana sekali tak membuat Bian menghentikan apa yang dilakukannya.
Suara Laura dari kesakitan hingga mendesah pasrah itu, seperti irama yang mengiringi derai hujan di malam itu.
Dan sejak hari itu, Bian telah mengurung Laura dalam lingkaran kemaksiatannya. Dia memperkenalkan gadis itu pada panasnya bercinta dan gadis polos itu percaya itu adalah hal yang lumrah di lakukan bagi orang yang saling mencinta.
Laura bahkan kadang tak sungkan meminta, supaya Bian mencumbuinya!
(Kembali ke cerita awal)"Om Bian sudah mempunyai istri?" Laura duduk dengan tegang di pinggir tempat tidur itu, matanya nyalang. "Om Bian tak pernah bilang kalau om Bian sudah mempunyai istri." Ulang Laura dengan suara gemetar. "Maafkan aku..." Bian menjambak rambutnya sendiri dengan muka frustasi di depan Laura. "Bagaimana dengan janji om Bian?" Mata Laura membesar, berkaca-kaca."Janji apa?" Bian berusaha mengingat setiap kalimat yang tersembur dari mulutnya saat dia mencumbui Laura."Janji om Bian untuk selalu menjaga Laura, janji Om untuk selalu mencintai Laura?" "Laura, itu...itu berbeda..." Bian menarik nafasnya panjang-panjang berusaha meredakan ketegangannya. "Berbeda bagaimana, Om?" "Aku tak pernah menjanjikan pernikahan padamu, aku hanya berjanji menjagamu." Pungkas Bian."Bagaimana cara om Bian menjagaku jika tak menikahiku?" Cecar Laura, dia benar-benar polos dengan fikirannya yang sederhana. "Laura, kamu tak mengerti. Aku mempunyai dua orang anak dan seorang istr
Sejak hari itu, Laura tak pernah muncul lagi di Wisma tempat tinggal Bian. Meskipun Bian berusaha menghubunginya lewat handphone, gadis itu selalu mematikannya. Sudah ratusan pesan WA di kirimkannya, meminta Laura untuk datang dan membicarakan lagi jalan keluar untuk masalah mereka berdua ini. Bian tak pernah menyangka, gadis belia yang dikiranya hanya sekedar bodoh ini, ternyata juga keras kepala. Dia serius untuk tak meminta tanggung jawab Bian tetapi dia juga kekeuh untuk mempertahankan kehamilannya. Yang jadi masalah bagi Bian sekarang adalah, anak yang kini di kandung oleh Laura. Dia takut anak itu akan menjadi petaka untuk hidupnya. Hari ini, Bian sengaja datang ke Laundry tempat Laura bekerja. Dia benar-benar ingin bertemu dengan Laura setelah dua minggu gadis ini menghilang tak pernah kelihatan batang hidungnya. Awalnya Laura tak memperdulikan kedatangannya bahkan menolak bertemu dengan alasan dia harus menyetrika baju customer yang harus segera di antar. Tapi, Bian memaks
"Laura tolonglah jangan begini, kamu tak mengerti apa-apa, kamu tidak tahu apa yang akan kamu alami jika tetap melakukan apa yang kamu katakan. Seorang bayi perlu ayah, seorang bayi perlu biaya. Berikan aku cara untuk sedikit membayar kesalahan ini." "Om Bian ingin membayarnya dengan apa? Dengan uang? Dengan mempermalukan Laura lebih banyak lagi? Status apa yang bisa om Bian beri untuk bayi Laura? Ayah pura-pura? Tidak ada bukan? " Laura menatap pada Bian dengan nyalang. Dia tak pernah berani melakukan ini, tetapi hari ini dia bahkan merasa sanggup untuk melukai laki-laki yang telah membuatnya terjebak dalam derita ini. "Bukan seperti itu..." Bian meringis dengan putus asa. "Mulai hari ini, jangan temui Laura lagi. Jangan lagi om Bian." Laura menghapus air mata yang memenuhi wajahnya dengan kasar. Keriangan khas gadis remajanya yang sering membuat Bian terpesona itu hilang entah kemana. "Laura!" "Pergilah om Bian! Pergilah, Laura tak mencintai om Bian, Laura membenci om Bian!" T
"Ayo, katakan padaku, siapa yang menghamilimu? Aku akan menyeretnya untuk menikahimu!" Teriakan ibunya sampai pada telinga seorang laki-laki yang sedang berbaring di tempat tidurnya.Tristan termangu sambil meletakkan lengannya di atas kepalanya, suara tamparan di wajah Laura membuatnya bergidik. "Aku...aku tidak mengenalnya." Laura tersedu sambil menurunkan tubuhnya, menggelosor ke bawah dan meringkuk melindungi wajahnya ketika dia melihat tangan ibunya terangkat untuk kesekian kalinya. "Oh, astaga anak ini memang luar biasa. Berapa manusia yang telah menggilirmu hingga kamu tak mengenal orang yang menghamilimu?!" Ibu Laura menggeleng-gelengkan kepalanya dengan tatapan jijik pada anak kandungnya itu. Laura hanya meringkuk tanpa menjawab apapun, wajah Bian lewat di depan matanya tetapi dia berusaha mengusirnya. Dia hanya bungkam seribu bahasa. "Baiklah Laura jika kamu tak ingin mengatakan siapa bangsa@t yang telah menodaimu, aku tidak akan perduli lagi padamu! Kamu buang anak hara
Laura mengenakan pakaian yang dibelikan oleh Bian terakhir kali, dia mematutnya sebentar di cermin lemarinya yang terpecah dua itu. cermin lemari usang yang telah menemaninya sekian lama. Rasa sakit mengiris hatinya, di elusnya perutnya yang mulai sedikit membuncit itu. Belum kentara memang tetapi laura tahu ada bayi di dalamnya, bayi hasil hubungan terlarangnya dengan Bian, suami seseorang yang tak dia tahu bagaimana wajah istrinya itu. Setetes bulir bening jatuh untuk kesekian kalinya, selalu saja jika dia mengingat om Bian kesedihannya tak terbendung. Laura sangat menyukai Bian. Sangat menyukainya, karena itulah dia percaya sepenuhnya dengan apapun yang di ucapkan oleh Bian padanya. Sosok laki-laki dewasa yang begitu lembut dan perhatian ditemukannya pada laki-laki ini, dia bahkan berharap wajah ayah kandungnya setampan om Bian. Laki-laki ini begitu sabar mendengar keluh kesahnya, memperhatikannya layaknya seorang ayah tetapi dia punya tatapan penuh cinta yang selalu membuat
"Kenakan cepat! Ibu akan menunggumu di kamar ibu. Secepatnya!" Ibu Laura tersenyum misterius, dia terlihat puas dengan apa yang di lakukannya. Laura masih berdiri, terpana sambil memegang dress yang ada di tangannya itu. "Kamu yang memakaikan sendiri? atau ibu yang akan memaksamu memakainya?" Mata ibunya terlihat nyalang, dia terlihat sangat tidak sabar sekarang. "A..aku..aku akan memakainya sendiri." Sahut Laura dengan takut-takut. Ibunya mengangguk puas mendengarnya. "Lakukan cepat! dan langsung temui ibu di kamar ibu!" "BRAK!" Pintu itu ditutup dengan kasar, teriakannya menggema, selanjutnya hanya terdengar langkah kaki yang diseret-seret dari balik pintu, langkah kaki itu menjauh. Laura mengalihkan perhatiannya kembali pada dress di tangannya itu, entah kapan ibunya membelinya. Dia tak pernah mengenakan pakaian se seksi ini tetapi dia tahu dari kemarahan ibunya itu, tak ada alasan untuknya tidak memakainya. Dengan gemetar dia melepas kancing kemeja yang di pakainya dan be
Laura yang badannya lebih kecil dari sang ibu tak bisa melawan saat dia di seret dengan paksa ke dalam kamar ibunya. Dan dengan kasar ibunya mendorongnya ke atas tempat tidur. Tubuh Laura terhempas di atas tilam tipis sang ibu. "Aww..." laura Terpekik dan ketika dia menoleh ke sebuah arah, dia baru menyadari ada sesosok tubuh yang duduk di sebuah kursi sudut kamarnya. Tubuh tambun dengan rambut ikal dan kumis jarang-jarang yang membuat laura terkejut bukan alang kepalang. "Hai, Lina...jangan terlalu kasar padanya. Dia kan anakmu?" Tegur laki-laki itu sambil menyeringai pada laura, sama sekali sebenarnya tak menampakkan simpatik dengan apa yang telah terjadi pada Laura. Dia hanya berpura-pura perduli saja. "Tidak perlu banyak bicara, aku tidak perlu banyak bacotmu." Ibu Laura mendelik sambil berkacak pinggang lalu mengeluarkan sebuah kertas yang dilipat begitu ryupa dari dalam saku bajunya. "Harman, kamu boleh melakukan apapun padanya dalam waktu satu jam. Tapi jangan sampa
"Toloooong, lepaskan aku Om..." Laura berontak dari cengkeraman Harman, dia merasa jijik dengan dengus nafas laki-laki itu yang menyentuh kulit lehernya. Tapi, Harman tak perduli dia terus saja memeluk laura dengan tak sabar, dia mendengus-dengus tak jelas dan mendaratkan ciumannya dengan mulutnya yang basah itu. "Jangan...kumohon jangan!" Laura mendorong tubuh Harman membuat laki-laki itu hampir terjatuh ke lantai. Harman terkejut bukan kepalang dengan perlawanan Laura, matanya mendelik dengan amarah yang tak bisa di bendungnya. "PLAK!!!" Sebuah tamparan mengenai wajah Laura, membuat gadis muda itu terjengkang sampai ke atas tempat tidur. Laura terpekik kecil sambil memegang pipinya, dia tergeletak setengah terbaring sehingga paha mulusnya nampak hampir sampai pangkal pahanya, dress marun yang di gunakannya itu sangat pendek memang. Harman menatap nyalang pemandangan itu, jakunnya turun naik di balik lemak yang ada di lehernya yang pendek itu. Tak ada lagi aura manusia dar