Share

TUJUH

Su Li membawa tungkainya ke lantai delapan. Tapak kakinya menggema memenuhi lorong bergaya futuristik tersebut, bagai berjalan di atas catwalk, Su Li menyadari puluhan pasang mata memperhatikan dirinya. Sampai di bagian ujung lantai ia berdiri di depan pintu kaca yang tidak tembus pandang dan kemudian mengetuk pintu. Mendorongnya ketika suara di dalam mempersilakannya masuk.

“Selamat pagi, Direktur.”

Direktur Lin yang melihat kedatangan Su Li melepaskan kacamata bacanya. “Ada apa Nona Su?” ucapnya sambil beranjak menuju sofa. Su Li menyamankan diri di salah satu sofa yang dipersilakan oleh Direktur Lin.

“Divisi kami membutuhkan laporan cash flow perusahaan selama tiga tahun terakhir. Tetapi entah mengapa, sepertinya bagian keuangan lupa menyerahkan beberapa laporan. Kami mendapatkan beberapa yang missed. Terutama bagian operating activities. Jadi saya kemari karena ingin meminta dokumen tersebut.”

“Permintaan saya seharusnya tidak terlalu banyak, kan?” Su Li menatap lurus Direktur Lin yang terlihat salah tingkah. Walaupun pria itu berusaha menyembunyikan, tetapi gestur tidak biasa yang bisa Su Li tangkap mengindikasikan ada sesuatu yang sedang disembunyikan.

Dapat terlihat jelas bagaimana ia selalu menghindar dari tatapan Su Li, kedua tangan yang bertaut di bawah meja pun terlihat tidak tenang. Su Li hanya menatap diam, tetapi entah mengapa Direktur Lin merasa bahwa suhu ruangan semakin meningkat. Seingatnya ia tidak mematikan pendingin ruangan. Bulir keringat itu mulai bermunculan di pelipisnya.

“Terkait dengan apa yang Nona Su minta, saya akan menginstruksikan Nona Lao mengantarnya ke kantor anda. Jadi anda tidak perlu repot-repot kemari.”

Su Li memperlihatkan ekspresi terluka, “Apakah Direktur Lin menyalahpahami kunjungan saya? Apakah seorang staf biasa seperti saya tidak diperbolehkan mengunjungi kantor Direktur? Saya terluka mendengarnya.”

Direktur Lin terlihat gelagapan, ia tidak menyangka bahwa Su Li memiliki sisi yang sedikit merepotkan seperti ini. “Apakah aku harus mengatakan hal ini kepada Ayah?” gumamnya sengaja untuk membuat Direktur Lin semakin kalang-kabut. Gadis itu melanjutkan sandiwaranya dengan mengambil ponsel di sakunya, berpura-pura ingin menghubungi sang Ayah.

“Anda salah paham, Nona Su. Saya tidak bermaksud seperti itu.” Su Li tetap menatap Direktur Lin dengan tatapan terluka. “Baiklah, baiklah, anda tunggu disini. Saya akan menanyakannya kepada Nona Lao.”

Senyum miring Su Li tersungging kala melihat Direktur Lin yang bergegas keluar dari ruangannya. Tanpa membuang waktu, ia kemudian beranjak ke arah meja besar yang menjadi incarannya sejak awal. Senyumnya semakin terkembang kala mendapati alat elektronik itu dalam keadaan menyala.

“Bisa bekerja juga ternyata,” gumamnya setelah menutup beberapa tab laporan yang sedang dibaca oleh Direktur Lin. Dengan gesit, jemarinya menari di atas keyboard mencari kata kunci laporan keuangan. Ia pikir, beragam keamanan akan menghalangi rencana pembobolan yang sudah ia rencanakan.

Ternyata, Dewi Fortuna sepertinya sedang berpihak. Su Li dengan lancar mendapatkan semua dokumen yang ia inginkan. Sudut maniknya sesekali mengawasi pintu masuk, jaga-jaga Direktur Lin kembali.

Degup jantungnya ikut bertalu seirama dengan penambahan angka pada persen pengiriman berkasnya. Pintu kaca terbuka tepat ketika Su Li baru saja mendaratkan bokong pada sofa kulit yang berada di tengah-tengah kantor Direktur Lin.

“Ini semua dokumen yang anda minta, Nona Su.” Direktur Lin memberikan beberapa tumpukan map kepada Su Li. Mengawasi dengan gugup reaksi apa yang ditampilkan oleh gadis di hadapannya tersebut. Senyum puas Su Li setelah memeriksa sekilas apa yang ia terima membuat Direktur Lin bernapas lega.

“Terima kasih, Direktur Lin.”

Ia pun meninggalkan ruangan pimpinan divisi Keuangan tersebut dengan langkah puas. Senyumnya menghilang kala keluar dari tempat tersebut dan menuju lift. Berpura-pura itu sedikit melelahkan dan juga merepotkan. Baginya jika masih dihindari, Su Li akan memilih untuk menghindar. Hanya saja untuk menghadapi orang bermuka dua seperti Direktur Lin perlu treatment tersendiri.

***

Su Li memijat pangkal hidungnya. Jam digital di atas meja sudah menunjukkan pukul empat lewat. Ia yakin bahwa tampilannya saat ini kembali pada masa-masa magang dan menyelesaikan tesis untuk gelar masternya. Kaos gombrong yang bahkan tidak bisa menutup kaki jenjangnya itu tersibak kala ia menapakkan kaki menuju dapur.

Deru halus mesin pembuat kopi otomatis kembali terdengar untuk kesekian kalinya. Tetesan demi tetesan cairan hitam pekat itu tidak pernah membuat Su Li bosan untuk memperhatikannya. Aroma espresso menguar kuat dari tetesan pertama memenuhi dapur.

Beberapa potong pizza masih tergeletak pasrah di atas meja seakan menunggu giliran untuk masuk menemani espresso yang Su Li buat. Tetapi ternyata gadis itu hanya menumpang lewat dan kembali ke ruang kerja. Suara lambung yang berdendang, membuat Su Li berbalik menuju dapur dan mengambil potongan roti dengan baluran saus tomat tersebut.

Sudah mendingin tetapi ia terlalu malas untuk memanaskannya kembali di microwave. Sepotong telah meluncur bebas melewati kerongkongan, potongan kedua ia habiskan dalam perjalanannya kembali untuk berkutat dengan beberapa laporan yang belum selesai ia periksa.

Sinar mentari yang mengintip malu-malu dari sela gorden jendela membuat Su Li beranjak dari tempat duduknya dan membuka jendela kaca tersebut. Sapuan angin lembut menerjang masuk berganti dengan udara yang sudah terkurung semalaman bersama Su Li.

Cahaya matahari pagi pun tak ingin ketinggalan, masuk dan menerangi beberapa sudut ruangan. Termasuk papan buletin kaca di mana Su Li menuangkan semua petunjuk yang ia dapatkan. Sebuah tulisan besar yang ia lingkari menjadi jawaban kejanggalan beberapa laporan yang ia selidiki sejak kemarin.

“Xiao Lu, bisakah kau menyiapkan daftar proyek yang telah berhasil selama tiga tahun, ini?”

Gumaman tidak jelas di seberang telepon memberitahukan Su Li bahwa pemuda itu belum sepenuhnya tersadar dari alam mimpi.

“Selesaikan sebelum jam makan siang dan letakkan di atas mejaku.”

Tanpa menunggu respon Xiao Lu, Su Li mengakhiri panggilannya sepihak. Gadis itu memutar tubuhnya dan menghadap papan buletin kaca itu dengan tatapan lurus. “Apa yang harus aku lakukan denganmu?” ujarnya dingin tanpa ekspresi.

Ia pun beranjak dan meninggalkan ruangan tersebut. Meninggalkan papan buletin yang membuatnya ingin meledak saat membaca satu nama. Wu Xia.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status