Su Li membawa tungkainya ke lantai delapan. Tapak kakinya menggema memenuhi lorong bergaya futuristik tersebut, bagai berjalan di atas catwalk, Su Li menyadari puluhan pasang mata memperhatikan dirinya. Sampai di bagian ujung lantai ia berdiri di depan pintu kaca yang tidak tembus pandang dan kemudian mengetuk pintu. Mendorongnya ketika suara di dalam mempersilakannya masuk.
“Selamat pagi, Direktur.”
Direktur Lin yang melihat kedatangan Su Li melepaskan kacamata bacanya. “Ada apa Nona Su?” ucapnya sambil beranjak menuju sofa. Su Li menyamankan diri di salah satu sofa yang dipersilakan oleh Direktur Lin.
“Divisi kami membutuhkan laporan cash flow perusahaan selama tiga tahun terakhir. Tetapi entah mengapa, sepertinya bagian keuangan lupa menyerahkan beberapa laporan. Kami mendapatkan beberapa yang missed. Terutama bagian operating activities. Jadi saya kemari karena ingin meminta dokumen tersebut.”
“Permintaan saya seharusnya tidak terlalu banyak, kan?” Su Li menatap lurus Direktur Lin yang terlihat salah tingkah. Walaupun pria itu berusaha menyembunyikan, tetapi gestur tidak biasa yang bisa Su Li tangkap mengindikasikan ada sesuatu yang sedang disembunyikan.
Dapat terlihat jelas bagaimana ia selalu menghindar dari tatapan Su Li, kedua tangan yang bertaut di bawah meja pun terlihat tidak tenang. Su Li hanya menatap diam, tetapi entah mengapa Direktur Lin merasa bahwa suhu ruangan semakin meningkat. Seingatnya ia tidak mematikan pendingin ruangan. Bulir keringat itu mulai bermunculan di pelipisnya.
“Terkait dengan apa yang Nona Su minta, saya akan menginstruksikan Nona Lao mengantarnya ke kantor anda. Jadi anda tidak perlu repot-repot kemari.”
Su Li memperlihatkan ekspresi terluka, “Apakah Direktur Lin menyalahpahami kunjungan saya? Apakah seorang staf biasa seperti saya tidak diperbolehkan mengunjungi kantor Direktur? Saya terluka mendengarnya.”
Direktur Lin terlihat gelagapan, ia tidak menyangka bahwa Su Li memiliki sisi yang sedikit merepotkan seperti ini. “Apakah aku harus mengatakan hal ini kepada Ayah?” gumamnya sengaja untuk membuat Direktur Lin semakin kalang-kabut. Gadis itu melanjutkan sandiwaranya dengan mengambil ponsel di sakunya, berpura-pura ingin menghubungi sang Ayah.
“Anda salah paham, Nona Su. Saya tidak bermaksud seperti itu.” Su Li tetap menatap Direktur Lin dengan tatapan terluka. “Baiklah, baiklah, anda tunggu disini. Saya akan menanyakannya kepada Nona Lao.”
Senyum miring Su Li tersungging kala melihat Direktur Lin yang bergegas keluar dari ruangannya. Tanpa membuang waktu, ia kemudian beranjak ke arah meja besar yang menjadi incarannya sejak awal. Senyumnya semakin terkembang kala mendapati alat elektronik itu dalam keadaan menyala.
“Bisa bekerja juga ternyata,” gumamnya setelah menutup beberapa tab laporan yang sedang dibaca oleh Direktur Lin. Dengan gesit, jemarinya menari di atas keyboard mencari kata kunci laporan keuangan. Ia pikir, beragam keamanan akan menghalangi rencana pembobolan yang sudah ia rencanakan.
Ternyata, Dewi Fortuna sepertinya sedang berpihak. Su Li dengan lancar mendapatkan semua dokumen yang ia inginkan. Sudut maniknya sesekali mengawasi pintu masuk, jaga-jaga Direktur Lin kembali.
Degup jantungnya ikut bertalu seirama dengan penambahan angka pada persen pengiriman berkasnya. Pintu kaca terbuka tepat ketika Su Li baru saja mendaratkan bokong pada sofa kulit yang berada di tengah-tengah kantor Direktur Lin.
“Ini semua dokumen yang anda minta, Nona Su.” Direktur Lin memberikan beberapa tumpukan map kepada Su Li. Mengawasi dengan gugup reaksi apa yang ditampilkan oleh gadis di hadapannya tersebut. Senyum puas Su Li setelah memeriksa sekilas apa yang ia terima membuat Direktur Lin bernapas lega.
“Terima kasih, Direktur Lin.”
Ia pun meninggalkan ruangan pimpinan divisi Keuangan tersebut dengan langkah puas. Senyumnya menghilang kala keluar dari tempat tersebut dan menuju lift. Berpura-pura itu sedikit melelahkan dan juga merepotkan. Baginya jika masih dihindari, Su Li akan memilih untuk menghindar. Hanya saja untuk menghadapi orang bermuka dua seperti Direktur Lin perlu treatment tersendiri.
***
Su Li memijat pangkal hidungnya. Jam digital di atas meja sudah menunjukkan pukul empat lewat. Ia yakin bahwa tampilannya saat ini kembali pada masa-masa magang dan menyelesaikan tesis untuk gelar masternya. Kaos gombrong yang bahkan tidak bisa menutup kaki jenjangnya itu tersibak kala ia menapakkan kaki menuju dapur.
Deru halus mesin pembuat kopi otomatis kembali terdengar untuk kesekian kalinya. Tetesan demi tetesan cairan hitam pekat itu tidak pernah membuat Su Li bosan untuk memperhatikannya. Aroma espresso menguar kuat dari tetesan pertama memenuhi dapur.
Beberapa potong pizza masih tergeletak pasrah di atas meja seakan menunggu giliran untuk masuk menemani espresso yang Su Li buat. Tetapi ternyata gadis itu hanya menumpang lewat dan kembali ke ruang kerja. Suara lambung yang berdendang, membuat Su Li berbalik menuju dapur dan mengambil potongan roti dengan baluran saus tomat tersebut.
Sudah mendingin tetapi ia terlalu malas untuk memanaskannya kembali di microwave. Sepotong telah meluncur bebas melewati kerongkongan, potongan kedua ia habiskan dalam perjalanannya kembali untuk berkutat dengan beberapa laporan yang belum selesai ia periksa.
Sinar mentari yang mengintip malu-malu dari sela gorden jendela membuat Su Li beranjak dari tempat duduknya dan membuka jendela kaca tersebut. Sapuan angin lembut menerjang masuk berganti dengan udara yang sudah terkurung semalaman bersama Su Li.
Cahaya matahari pagi pun tak ingin ketinggalan, masuk dan menerangi beberapa sudut ruangan. Termasuk papan buletin kaca di mana Su Li menuangkan semua petunjuk yang ia dapatkan. Sebuah tulisan besar yang ia lingkari menjadi jawaban kejanggalan beberapa laporan yang ia selidiki sejak kemarin.
“Xiao Lu, bisakah kau menyiapkan daftar proyek yang telah berhasil selama tiga tahun, ini?”
Gumaman tidak jelas di seberang telepon memberitahukan Su Li bahwa pemuda itu belum sepenuhnya tersadar dari alam mimpi.
“Selesaikan sebelum jam makan siang dan letakkan di atas mejaku.”
Tanpa menunggu respon Xiao Lu, Su Li mengakhiri panggilannya sepihak. Gadis itu memutar tubuhnya dan menghadap papan buletin kaca itu dengan tatapan lurus. “Apa yang harus aku lakukan denganmu?” ujarnya dingin tanpa ekspresi.
Ia pun beranjak dan meninggalkan ruangan tersebut. Meninggalkan papan buletin yang membuatnya ingin meledak saat membaca satu nama. Wu Xia.
“Apa yang bisa ditemukan oleh anak kecil itu? Dia hanya bisa menggertak.” Wanita itu meluruskan tangan kanannya, merasakan bagaimana tangan pegawai spa itu memijatnya dengan piawai. “Kau tidak perlu khawatir. Kita sudah membuatnya serapi mungkin. Tidak akan ada celah.” Setelah mengatakan hal tersebut ia mengakhiri panggilan itu. Seorang pegawai kemudian mengambil ponsel itu dari tangannya. “Su Li membuat onar?” Wanita itu mengangguk. “Dia membuat keributan di kantor Direktur Lin. Meminta kekurangan dokumen atau apapun itu.” “Seperti bukan dirinya saja. Bukankah selama ini dia hanya diam?” “Ibu juga tidak mengerti. Mungkin dia hanya mencari cara untuk menghalau bosan,” ucap wanita itu sambil terpejam. Wangi aromaterapi yang berasal dari lilin di pojok ruangan dan juga pijatan pada punggungnya membuat semuanya terasa sempurna. “Kau tidak ada niat untuk masuk ke perusahaan, Wei Fang?” Gadis muda di sebelahnya menggeleng. “Bukankah kita sudah sering membicarakan ini, Bu? Perusahaan
“Aku ingin menjadi pemimpin perusahaan.” Su Liang menatap Su Li tidak percaya. “Kau tidak sedang mabuk kan?” ia kemudian memastikan bahwa yang diminum oleh Su Li adalah kopi bukanlah minuman beralkohol. “Bukankah Ayah memaksaku untuk menjadi pewaris? Sekarang aku menawarkan diri tetapi malah seperti itu respon Ayah.” Su Li menyeruput es americano-nya dengan kesal. Jika sedang merajuk anak gadisnya itu akan cemberut seperti ikan mas, memuat Su Liang tersenyum gemas. “Ayah, aku sedang berbicara serius.” Ucapan Su Li membuat Su Liang menenggelamkan senyumnya. Benar kata sang Putri, ia harus serius saat ini. Pasti ada sesuatu yang membuat Su Li berubah pikiran. “Kau sudah menemukan pengganti kekasihmu itu?” Su Li memutar bola matanya kesal. Sang Ayah masih saja mengira dirinya memiliki hubungan spesial dengan Miss Moore. Ia sedikit menyesal mengapa tidak pernah mengiyakan tawaran beberapa temannya ketika di bangku sekolah. Saat di Ubex pun banyak yang mencoba mendekati hanya saja S
Kuncup-kuncup magnolia mulai menampakkan diri. Beberapa ranting yang semula gundul juga mulai menumbuhkan pucuk-pucuk kehijauan. Pegawai minimarket sedang menempelkan kaligrafi dan juga lukisan musim semi kala seorang gadis membuat bel kecil di atas pintu kaca itu bergemerincing. Destinasi pertamanya adalah deretan mie instan yang tersusun rapi, setelah menimbang cukup lama pilihannya jatuh kepada luosifen, semenjak berada di London, ia sangat ingin mencicipi sajian mie beras atau bihun berbahan dasar siput tersebut. Jika dalam penyajian sebenarnya, bihun direndam dalam kaldu pedas, lalu diberi taburan rebung, buncis, lobak, kacang tanah, dan kulit tahu, tetapi ia cukup puas dengan keberadaan luosifen dalam bentuk instan. Su Li berharap rasanya tidak akan beda jauh dari cita rasa yang berada di ingatannya. Walaupun beraroma yang khas, rasanya sangatlah enak. Dulu setiap kali sang Ibunda menjemput dirinya setiap sepulang sekolah, mereka pasti akan mampir di kedai ujung gang. Mengha
Cahaya matahari yang mengenai wajahnya membuat tidur lelap gadis itu terusik. Ditariknya selimut hingga menutupi wajah. Gerakannya berhenti karena ia merasa asing dengan aroma selimut yang menutupi tubuh semampainya. Manik itu perlahan membuka dan mulai memindai sekeliling. “Rasanya aku tidak memiliki lukisan itu,” gumamnya kala melihat lukisan yang tergantung di salah satu dinding. Ia kemudian beralih kepada selimut yang menutupi dirinya. Tersadar dengan keadaan dengan cepat ia memeriksa pakaian yang ia gunakan. Sebuah helaan lega terdengar saat mendapati dirinya masih berpakaian utuh di balik selimut abu-abu tersebut. Sepertinya dia tidak terlibat hal konyol akibat mabuk tadi malam. Gadis itu tidak menyangka bahwa tiga gelas margarita bisa membuatnya hilang kesadaran, toleransi alkoholnya menurun drastis. “Kau sudah bangun?” Badannya berputar cepat ke arah pintu. Bak putaran film lawas, kejadian tadi malam terlintas di kepalanya. Semua tidak ada yang terlewat. Termasuk ciuman
“Kau tidak perlu khawatir, kita hanya akan melakukan pernikahan kontrak.” Ziang Wu mengembuskan napas untuk sekian kali. Ucapan Su Li selalu terputar bak kaset rusak. Berulang-ulang tanpa memandang waktu. “Apakah ada yang salah?” Huo Yan memandangi pemuda berkemeja kotak-kotak di depannya dengan bingung. Pasalnya, selama bekerja di divisi yang sama selama tiga tahun, belum pernah Ziang Wu terlihat tidak fokus saat bekerja. Di balik sikap ramahnya kepada semua orang, jika menyangkut pekerjaan pemuda itu tidak akan pandang bulu. Ziang Wu memutar kursinya dan menghadap Huo Yan. “Aku ingin bertanya, tetapi ini bukanlah menyangkut diriku. Ini adalah cerita dari temannya temanku.” Huo Yan mengangguk mengerti walaupun ia mengerti bahwa Ziang Wu sudah berbohong. “Apa yang akan kau lakukan jika seorang wanita tiba-tiba mengajakmu menikah?” Pemuda berambut cepak itu terlihat berpikir sejenak. “Apakah dia cantik?” Ziang Wu mengangguk. “Apakah dia kaya?” Sekali lagi pemuda berkacamata i
“Mari kita menikah,” ulang Ziang Wu.Su Li menghambur memeluk Ziang Wu. Lengan kurus itu melingkar sempurna mendekap tubuh jangkung pemuda yang mematung akibat tindakan tiba-tiba Su Li tersebut.“Terima kasih,” gumamnya penuh dengan kesungguhan. Mendapatkan seseorang yang bersedia membantunya membuat Su Li sedikit merasa sentimental.Tubuh kurus itu bergetar lembut, Ziang Wu memberanikan diri membalas dekapan lembut yang ia terima. Membiarkan kemeja navy yang ia kenakan basah oleh sekresi air mata yang Su Li keluarkan.“Bagaimana perasaanmu?”Su Li menerima hangat yang Ziang Wu sodorkan. Rona merah yang menghiasi pipi putihnya itu seolah tidak mau menghilang. Baru kali ini bisa menangis begitu lepas, bahkan saat pemakaman sang Ibunda ia tidak menangis sekeras ini.Beberapa kejadian yang terjadi selama beberapa tahun belakangan memang menguras seluruh emosinya. Keadaan menuntutnya untuk tetap tegar dan terlihat baik-baik saja.“Menangis itu suatu hal yang manusiawi. Kau tidak perlu m
“Jadi, ini nyata?”Shen Yue memandangi undangan yang berada di genggamannya. Dua nama yang tertulis pada kertas putih dengan desain bunga-bunga emas yang tersebar itu membuatnya terkejut pagi ini.“Xiao Lu, bisakah kau mencubit pipiku?” Mendapatkan permintaan seperti itu membuat Xiao Lu dengan semangat menarik pipi chuby itu dengan semangat.“Akh. Kau berniat membuat pipiku lepas?” ujarnya dengan kesal sambil memukul tangan Xiao Lu. Pemuda itu hanya tertawa.“Jangan sampai hilang, karena kau tidak akan bisa masuk tanpa undangan itu.” Kemudian pemuda itu berlalu. Ia harus menyerahkan beberapa undangan lagi kepada divisi lainnya.Seisi kantor sudah mulai berisik, tetapi sang pemeran utama penyebab kegemparan pagi ini melenggang santai memasuki perusahaan dengan tenang seperti biasa. Menenteng shoulder bag hitam di tangan kanan dan cup kopi di tangan kiri, Su Li melangkah memasuki lift.Berjubel dengan pegawai lain. Mengabaikan tatapan penasaran dari para pegawai. Ini bukan kali pertaman
Ziang Wu kembali melirik jam dinding. Ia sudah menyelesaikan satu ronde tetris di ponsel tetapi Su Li belum juga menampakkan batang hidungnya. Kembali ia membuka room chat terakhirnya bersama sang Istri. Pesan yang dikirimkan oleh Su Li sepuluh menit yang lalu menyatakan bahwa gadis itu sedang berada di lift.Pemuda itu menengok ke arah dalam di mana sang Ayah sudah kembali tertidur pulas. Kemudian mencoba menghubungi ponsel Su Li. Suara nada tunggu yang tidak berhenti membuat Ziang Wu menjadi cemas dan memutuskan untuk keluar kamar.Pada dering ke lima akhirnya panggilannya terjawab. Belum sempat ia bernapas lega, suara lirih Su Li yang memanggilnya membuat jantungnya kembali berpacu.“Su Li, kau bisa mendengarku?” Tak ada jawaban dari seberang membuat Ziang Wu memacu langkahnya menuju lift. Berkali-kali ia mencoba memanggil Su Li tetapi nihil, masih kesunyian yang menyapanya. Ziang Wu hampir mengutuk ketika ada suara yang terdengar di panggilannya.“Halo.”“Halo. Bisa berikan ponsel