Alula Yan gadis berusia 17 tahun, menunduk dalam. Kedua tangannya yang kurus sedikit gemetar, menggenggam erat salah satu tangan sang ibu. Ibu, mengalami lumpuh seluruh tubuh setelah dipukul sang ayah tiga tahun yang lalu. Setelah itu, Lula lah yang merawat sang ibu disela kesibukannya mencari nafkah tambahan. Sang ayah, pemabuk dan penjudi. Lula selalu berharap sang ayah pulang larut malam dan langsung tidur. Ya, ia takut saat harus berhadapan dengan sang ayah yang selalu dalam kondisi mabuk. Jadi, bagi Lula lebih baik sang ayah tidak berada di rumah. Namun, pengecualian terjadi untuk hari ini. Sang ayah, pulang saat hari masih siang dan langsung mengobrak-abrik rumah petak berukuran 3 x 4 meter yang dibangun dengan kayu bekas. Entah apa yang dicari, tapi karena dapat merasakan emosi sang ayah yang meluap, Lula memilih tetap berada di samping sang ibu yang tergeletak tidak berdaya. "SIAL! SIAL!" raung Tuan Yan, ayah dari Alula Yan. Pria paruh baya dengan tubuh kurus berpenyakit,
Di ranjang bambu, Nyonya Yan yang tidak mampu bergerak, hanya dapat meneteskan air mata saat tahu apa yang sedang menimpa putrinya. "A-Ayah... S-Sakit. Aku mohon Ayah...." ujar Lula terbata-bata, sambil berusaha menggerakkan kakinya agar ia tidak terseret di tanah penuh bebatuan ini. Tarikan pada rambutnya begitu kuat dan sakit. Namun, rasa sakit itu tidak sebanding dengan rasa takut yang menyelimuti jiwanya saat ini. Tuan Yan, yang telah dibutakan oleh rasa benci semakin berjalan cepat, mengabaikan setiap kata yang dilontarkan oleh darah dagingnya sendiri. Ia berusaha mengejar, Tuan Mo. "TUAN MO! TUNGGU!" teriak Tuan Yan, memanggil Tuan Mo yang berjarak sekitar sepuluh meter di depannya. Panggilan itu, membuat Tuan Mo berhenti melangkah dan membalikkan tubuh, menatap orang yang memanggilnya dengan tatapan malas. Namun, saat melihat apa yang diseret pemabuk itu, seketika Tuan Mo mulai merasa tertarik. Apakah ada orang yang melihat tindakan Tuan Yan yang menyeret putrinya? Ten
PLAKKK! Satu pukulan keras, dilayangkan Tuan Chan tepat ke bagian belakang kepala Pan. Lalu, Tuan Chan pun berkata, "Bodoh! Kalaupun tidak tahan, yang berhak menyentuhnya pertama kali adalah aku ataupun Tuan Mo! Jadi, jika kamu masih ingin ikut berlayar bersama kami, maka jaga sikapmu!"Seketika, Pan diam. Bukan karena ia mematuhi perkataan Tuan Chan, melainkan segera ia memiliki sebuah ide cemerlang, agar dapat menggauli gadis itu. Ya, ia hanya perlu mendesak Tuan Mo ataupun Tuan Chan untuk menggauli gadis itu. Baru kemudian, ia pasti memiliki kesempatan. Wajar bagi para Bos mendapatkan jatah pertama terlebih dahulu dan ia sama sekali tidak keberatan, mendapatkan sisa-sisa dari mereka. Hanya memikirkan kemungkinan itu, sudah membuat dirinya bergairah. "Jadi, di mana gadis itu ditempatkan?" tanya Pan, yang langsung mengubah topik pembicaraan. "Ikat dia di sisi geladak kapal itu dan pastikan ia tidak melarikan diri! Sebentar lagi kapal akan berlayar," pesan Tuan Chan, sebelum melang
"Aku belum mati?" batin Alula sambil berusaha membuka mata, berusaha melawan terik mentari, "setelah apa yang terjadi, bukankah aku memiliki hak untuk mati?"Amarah, menguasai jiwa. Saat ini, tubuhnya telentang di atas bebatuan raksasa pemecah ombak yang ada di sekitar dermaga. Ya, ia tiba di ibukota setelah tujuh hari perjalanan laut. Tujuh hari itu pula, ia hidup dalam neraka nyata. Alula telah diperkosa secara brutal oleh tiga orang pria. Tubuhnya mati rasa dan aroma busuk menguar. Namun, ironisnya ia belum mati. Tidak ada air mata yang mengalir, tidak ada rasa sakit yang ia takuti. Rasanya, dia ingin menghantui manusia-manusia bejat itu. Tunggu! Manusia? Tidak! Mereka lebih rendah dari binatang. "Mengapa Engkau belum mencabut nyawaku? Aku tidak mungkin dapat hidup, setelah semua yang dilalui." Alula hanya dapat membatin. Ia tidak memiliki tenaga, tubuhnya hanya tulang berlapis daging yang tidak dapat digerakkan. Di saat itulah, satu sosok menjulang tiba-tiba muncul di depa
Mendengar penjelasan dokter, Jayden duduk bersandar di sofa dengan satu tangan menopang wajah tampannya. Tatapan tajam tertuju pada sosok yang terbaring di ranjang rawat, tepat di seberang. Namun, pikiran Jayden, sepenuhnya tertuju kepada wanita itu. Ia sudah memerintahkan kaki tangannya, untuk menyelidiki siapa wanita malang itu dan tidak butuh waktu lama untuk mendapatkan jawaban. [ Alula Yan, gadis berusia 18 tahun. Miskin, memiliki ayah seorang pemabuk dan penjudi serta ibu yang lumpuh. Bukankah hidup yang malang? Gadis itu dijual, untuk melunasi hutang judi. Siapa yang melakukan hal bejat itu? Sudah dilaporkan kepadanya juga. Namun, Jayden akan menyerahkan kepada gadis itu untuk memutuskan nasib para manusia bejat tersebut. ]Salah satu siku tangan Jayden diletakkan di sandaran sofa, dengan tangan yang menopang wajah. Sedangkan, satu tangan lagi diletakkan di atas pangkuan di mana jari jemari bergerak perlahan dengan tempo yang teratur. Tiba-tiba tubuh Alula tersentak saat ia
"Kamu bersyukur?" tanya Jayden dengan sebelah alis mata yang terangkat. "Aku bersyukur untuk itu. Itu lebih baik daripada aku harus mengandung anak dari salah satu manusia-manusia bejat itu, karena akibat dari pemerkosaan! Jika itu terjadi, maka aku akan bunuh diri.""Lagipula setelah apa yang terjadi, bagaimana Anda mengira aku memiliki keinginan untuk hamil di masa mendatang? Rahim, bukan sesuatu yang penting bagiku saat ini. Yang penting adalah aku ingin membalas dendam! Aku hanya ingin balas dendam!" tegas Alula dengan suara bergetar. Seulas senyum puas, terpatri di wajah tampan Jayden Lee. Keputusannya tidak pernah salah, begitu juga dengan kemampuannya untuk menilai seseorang. Ya, ia tidak salah menilai wanita yang terbaring di hadapannya saat ini. "Bagus! Selamat telah menjadi salah satu anggota keluarga klan Lee. Pulihkan dirimu dan setelah itu, aku akan mengurus semuanya untukmu," ujar Jayden dan dengan anggun, ia pun berbalik dan melangkah pergi meninggalkan kamar rawat V
"Apakah kamu percaya jika aku katakan bahwa alasan aku menolongmu adalah karena kebaikan hatiku?" tanya Jayden sambil merapikan jas dan tersenyum miring. Alula tidak menjawab, sebab ia tahu bukan itu alasannya. "Tidak! Bukan karena aku baik hati. Aku adalah orang yang jauh dari kata baik. Seorang ketua triad hanya akan melalukan sesuatu dengan perhitungan untung rugi. Alasanku menolongmu karena keyakinan yang aku rasakan! Aku yakin, suatu saat ketika kamu mampu membalas budi maka itu pasti akan bermanfaat bagi klan Lee," jawab Jayden, jujur. "Tentu! Tentu aku akan membalas budi baikmu. Namun, sebelum itu kamu harus membantuku pulih dan membuatku mampu balas dendam. Setelah itu, aku akan mengabdi untukmu. Kebaikanmu akan aku balas dengan jiwa dan ragaku," tutur Alula. Alasannya bertahan hidup adalah untuk menuntut balas dendam. Setelah itu terjadi, maka hidupnya tidak lagi bermakna dan ia akan dengan senang hati, menyerahkan hidupnya kepada sang penolong. "Baik, aku akan dengan s
Jayden, menghembuskan napas tanda bahwa ia begitu kesal. Namun, demi masa depan ia harus bersabar. Ya, walaupun kata sabar sebenarnya tidak ada dalam kamus kehidupannya. "Perlahan! Lakukanlah dengan perlahan dan jangan terburu-buru. Lakukan itu, saat kamu benar-benar siap. Karena itulah, kamu harus patuh dan mendengarkan perkataanku." Setelah berhasil menahan amarah, Jayden menurunkan nada suaranya. Alula, menganggukkan kepala begitu kencang. Ya, yang harus ia lakukan adalah percaya terhadap perkataan sang penolong. Jayden mengangkat sebelah tangan dan diletakkan pada sisi wajah Alula. Tangan kokoh dan hangat itu, menyapu sisi wajah Alula yang dipenuhi butiran peluh. Sentuhan hangat, menggetarkan jiwa Alula. Walau takut, tapi rasa nikmat lebih kentara. Alula membalas tatapan Jayden dan untuk sesaat, waktu seakan berhenti. "Patuhlah padaku, maka kamu akan menjadi seseorang yang kuat dan tidak dapat tertandingi," ujar Jayden, kali ini dengan nada suara yang lembut. Alula, te