Dendam
Part3Semua pelayat pun telah pulang ke rumah masing-masing, aku memapah Ibu mertua yang tidak mampu berdiri.
Tubuhnya lemah, teramat lemah, ia bahkan seolah hilang tenaga.Lantunan ayat suci berulang kali ia rapalkan dengan bibir gemetar, berdosanya aku, sungguh berdosa. Andai saja malam itu aku tidak ke apartemen Amira, andai saja aku memilih pulang. Mungkin Alena saat ini masih di rumah, bercengkrama bersama Mamah dan tersenyum riang menyambut kedatanganku pulang bekerja.
Sesampainya kami semua di rumahku, yang bersebelahan dengan rumah Mamah. Aku merebahkan ibu mertua dalam kamarnya, ia memang tinggal bersama kami selama ini.
Aku berjalan menuju dapur, dimeja makan tertata rapi berbagai hidangan yang terlihat begitu lezat. Namun kini telah basi, dan dihiasi beberapa bunga mawar merah yang amat cantik, serta lilin berwarna warni.
Hatiku seakan di hantam pisau belati, perih dan sakit melihat betapa Alena begitu sempurna mempersiapkan segalanya.
Ia pasti menyiapkan semuanya dengan tersenyum mengembang, namun aku malah mengabaikannya.
Kutinggalkan dapur, berjalan gontai menuju kamar kami. Kamar yang selalu wangi dan rapi, Alena begitu pandai membersihkan kamar, agar pemiliknya selalu merasa nyaman berada di dalam.
Bau wangi tubuhnya masih terasa di atas bantal, yang ia kenakan untuk tidur.
Kubuka laci yang berada tepat di samping tempat tidurnya.Sebuah buku diari, aku tersenyum simpul. Sejak kapan dia memiliki benda jadul ini, entahlah.
Aku mulai membuka halaman pertama.
"Selamat Alena, kini kamu sudah menikah."
Aku masih bisa tersenyum membaca tulisannya.
"Sedih, sudah lima bulan menikah, namun aku tidak kunjung hamil. Aku pengen membahagiakan Mamah, Ibu, Papah dan Mas Raka."
Mataku terasa memanas, deburan ombak menganak sungai di pelupuk mata. Dadaku seakan ditindih batu besar, sesak.
"Sebentar lagi aku akan merayakan hari jadi pernikahan kami."
Lembar demi lembar aku buka, dia hanya menulis sedikit di setiap lembarnya.
"Seseorang mengirim pesan kepadaku, bahwa Mas Raka berselingkuh. Ia juga mengirimkan foto mesra, yang di dalamnya ada wajah suamiku, bersama perempuan lain."
Deg .... selama ini ia sudah tahu, tapi kenapa dia hanya diam, dan seolah tidak tahu apa-apa.
"Malam ini yang aku tunggu, memberikan kejutan indah untuk suamiku. Semoga dengan ini, dia akan kembali setia, dan hanya mencintaiku, istrinya."
"Lelah, mas Raka sedari tadi tidak bisa kuhubungi. Padahal aku ingin dia tahu, di hari jadi pernikahan kami ini, aku memberikannya sebuah kado. Kado yang amat berharga, yaitu posifitnya kehamilanku."
Aku tercengang, Alenaku hamil, dia hamil anakku. Ya Allah.
Benar saja, di dalam laci kedua, ada sebuah kado yang terbungkus rapi dan cantik.
Dengan derai air mata, aku membuka kotak kado itu.
Sebuah testpack garis dua, dan sebuah foto hasil USG serta secarik kertas putih yang bertuliskan.
"SELAMAT, CALON PAPAH."
Ya Allah, bukan cuma Alena yang berpulang, ternyata anakku juga.
Aku mendekap erat foto Alena yang berada di atas nakas, kupeluk foto itu seraya merebahkan diri dan menutup mata.
Berharap semua ini hanya mimpi, mimpi.Terdengar ketukan pintu, pintu kamar di dorong pelan dari luar. Sosok Mamah berdiri tegak diambang pintu, dia menatap lekat wajahku.
"Raka, ayo keluar! Kita sekeluarga ke kantor Polisi. Hasil autupsi sudah keluar, penyidik akan menjelaskan hasilnya."
Aku pun bergegas keluar dan meraih kunci mobil.
Aku meminta Bi Ijam, asisten rumah tangga Mamah untuk menemani Ibu mertua di rumah.
Aku, Mamah dan Papah menuju kantor Polisi.
______"Team kita masih memburu para pelaku, dan ini kronologi kejadian di lokasi, tertangkap kamera yang ada di depan jalan."
Satpam membukakan pagar, motor Alena memasuki halaman kantor, dia terlihat begitu riang dan bersemangat.
Mamah meringis dan terisak, melihat senyum Alena yang membawa buket bunga dan kue. Ia berkali-kali terlihat seperti menelpon.
"Ya Allah, Alenaku." Kata-kata Mamah terdengar begitu pilu menyayat hati.
Ketika Satpam berlari ke belakang kantor menuju wc umum karyawan. Dua laki-laki berjalan cepat mendekat ke arah Alena, wanitaku itu, dia berusaha lari namun di cekal.
Alena berontak ketika di seret ke samping gedung kantor. Tanpa menunggu lama, terlihat kedua laki-laki itu membanting tubuhnya ke lantai, dan menginjak perutnya.
Mamah memekik, air matanya semakin deras membanjiri wajah. Aku menutup mulut, ketika dua laki-laki itu berulang kali, menginjak perutnya.
Membuat Alena tergeletak tidak berdaya, dan kedua laki-laki itu berniat pergi. Salah satunya mengambil handphone Alena, namun terlihat terjadi perdebatan yang membuat mereka melempar benda pipih itu ke semak-semak dekat kantor.
Satpam kantor yang keluar dari wc, hanya kebingungan menatap Alena yang bersimbah darah, ia terlihat ketakutan dan berlari meninggalkan kantor.
"Disini yang masih kita selidiki, tidak ada barang Ibu Alena yang mereka ambil, motif pembunuhan ini belum jelas."
Tepat seperti yang aku pikirkan, ini murni pembunuhan, bukan perampokan.
"Dan ini hasil autopsi jenazah Ibu Alena." Penyidik memperlihatkan catatan hasil autopsi.
"Ditemukan banyak memar di tubuhnya, tulang dada retak dan Ibu Alena mengalami keguguran di lokasi kejadian."
"Apa? Menantu saya hamil? Keguguran?" tanya Mamah yang begitu terkejut. Bukan hanya terkejut, kini Mamah terlihat semakin syok.
Penyidik menggangguk, membuat Mamah menjadi histeris kembali.
"Tangkap kedua bajingan itu! Kalau perlu siksa mereka, dan berikan hukuman mati."
Mamah berkata dengan wajah memerah, emosi yang berapi-api.
"Mah, tenangkan diri, jangan begini," ucap Papah mengingatkan.
"Jangan begini bagaimana? Papah lihat sendiri kan! Betapa kejamnya kedua bajingan itu menyiksa Alena, hingga ajal menjemputnya di tempat luka itu."
"Saya tidak bisa tenang! Sebelum kalian menangkap kedua setan itu, mereka tidak pantas di anggap manusia."
"Bu, tolong tenang! Kami pasti akan menangkap mereka, ibu tenang dulu."
Penyidik pun terlihat hati-hati berkata dengan Mamah yang kini tersulut emosi, dan begitu amat terluka.
"Semua ini gara-gara kamu! Raka. Kamu gila bekerja, kamu abai dengan istrimu sendiri, untuk apa tangan besar dan kekar, namun gagal jadi pelindung."
Mamah benar, aku gagal dalam segala hal.
"Mah, sudah cukup! Kasihan Alena, kalau Mamah begini."
Papah masih berusaha menenangkan Mamah.
Mamah tidak lagi histeris, ia diam mematung, seraya menarik lepas napasnya.Tiba-tiba Mamah menegang, sambil memegang dadanya.
Kami semua panik, beberapa detik kemudian Mamah pingsan.
Aku dan Papah membawanya masuk ke dalam mobil. Kulajukan mobil menuju rumah sakit, sepanjang jalan aku terus berdoa, semoga Mamah tidak kenapa-kenapa.
'Ya Allah, jangan ambil Mamahku, aku mohon.'
Pikiran kalut menghantui perjalananku, menuju rumah sakit.
Disaat Mamah histeris tadi, aku mengambil kesempatan untuk meraih ponsel Alena, dan menyimpannya ke dalam saku celana. Siapa yang tega melakukan ini pada istriku yang begitu baik?
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, bayangan kejadian pembunuhan itu masih terngiang di ingatanku.
Aku mengepalkan tinju. "Awas saja jika pelakunya tertangkap, aku tidak akan mengampuni mereka?" batinku.
DendamPart4Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Mamah kembali sadar, namun Mamah teramat membuat aku dan Papah semakin khawatir.Mamah terus meracau dan menyebut-nyebut nama Alena, perasaan hati ini semakin tidak karuan."Alena ..., Alena, jangan tinggalkan Mamah, Nak. Jangan ..., Mamah tidak kuat, tidak kuat jika harus kehilangan kamu, Nak." Kata-kata itu berulang kali ia ucapkan, membuatku semakin frustasi dan tertekan, tidak henti-hentinya aku merutukki diri sendiri yang bodoh ini.Sepanjang perjalanan itu pula, Amira terus-menerus menghubungiku. Sesampainya di rumah sakit, aku meminta Papah untuk duluan masuk ke dalam membawa Mamah."Raka mengangkat telepon dulu, soalnya tadi pagi meninggalkan kantor begitu saja! Mana tau ada masalah." Papah mengangguk, dan menggandeng Mamah yang begitu lemah masuk ke dalam rumah sakit.Aku menghubungi balik nomor Amira."Kamu kemana saja sih, Mas? Susah banget di hubungi, aku kan kangen." Amira berkata di sebrang telepon dengan suara yang
Part5Aku mengusap kasar wajahku. Begitu banyak yang Alena pendam seorang diri, aku sebagai suami merasa sangat tidak berguna.Aku kembali teringat Amira, selama ini tidak ada satu pun musuh Alena, apa mungkin ini perbuatan Amira? Agrh .... rasanya aku benar-benar tidak kuasa, jika semua ini benar perbuatan Amira.Kupandangi wajah pucat Mamah, betapa menderitanya Mamah, kehilangan Alena.Kuseka pelan air mata, aku tetap harus berusaha kuat.---------Menghilangkan rasa jenuh, aku berselancar di aplikasi berwarna biru.Terlihat beberapa akun menshare berita tentang pembunuhan yang di alami istriku.Dering panggilan masuk, dari nomor tidak di kenal. Aku pun menerima panggilan itu."Hallo," ucapku, dengan menempelkan benda pipih itu ke telinga."Hallo, dengan Bapak Raka Sebastian.""Benar, saya
Part6"Ibu, bibirnya miring dan tangannya sedikit bengkok, seperti orang yang terserang stroke, Pak.""Astagfirullah." Aku langsung mematikan telepon.'kenapa Ibu mendadak tiba-tiba begini.'"Ada apa?" tanya Papah."Ibu Alena, katanya seperti terserang gejala stroke. Raka mau membawanya ke rumah sakit, dulu."Papah mengangguk, aku berlari cepat meninggalkan ruangan menuju parkiran.Kupacukan mobil dengan kecepatan tinggi, hingga sampai di depan rumah dengan cepat.Aku memarkirkan mobil di teras depan, lalu keluar dan mendorong kasar pintu.Aku dengan sigap membuka kamar Ibu, aku takut ia benar-benar stroke.Saat aku membuka kamar, Alia dan bibi menatap ke arahku.Aku tercekat, melihat kondisi Ibu yang begitu memprihatinkan."Al, kamu ikut saya! Kita bawa ibu ke rumah sakit."Alia m
Part7Aku tidak tahu masa lalu wanita ini, yang jelas, sorot matanya menampakan amarah yang terpendam.Namun masih tertutup oleh wajah cantiknya."Masuk dan istirahatlah, nanti kamu juga ikutan sakit kalau begini."Alia mengangguk, namun ia tidak berkata apapun lagi. Aku masuk mengekor Alia, memperbaiki selimut Ibu, dan menggenggam telapak tangannya."Bu, jangan terlalu banyak pikiran, nanti Ibu tambah sakit, disini sudah ada Alia. Ibu harus sehat lagi, Alia butuh ibu."Aku berkata pelan, namun pancaran mata Ibu menyorotkan kepanikan dan ketakutan, sulit untuk aku pahami."Bu, jangan khawatirkan apapun, Raka janji, akan menjaga Alia untuk Ibu. Cukup kita kehilangan Alena, Raka akan menjaga Alia untuk Ibu."Aku berusaha menenangkannya, mungki saja Ibu takut Alia mengalami hal yang serupa, seperti yang di alami Alena.
Part8"Amira .... lepas! Sini duduk." Aku menyentak kedua tangannya, lalu menyeretnya pelan ke arah sofa. Amira terheran-heran menatapku."Ada apa sih? Mas."Aku menatap dingin wanita di depanku ini."Amira, kamu tau bukan, bahwa Alena mati di bunuh?" ucapku. Amira mengatupkan kedua telapak tangannya ke mulut.Ia seolah tengah terkejut mendengar ucapanku. Aku menatap lekat mata hitamnya, berusaha melihat kejujuran. Namun ia seakan benar-benar terkejut."Kamu jujur sama Mas. Kemaren ngapain kamu berkeliaran di kompleks tempat tinggal mas, dan berdiri melihat rumah yang riuh para pelayat.""Apa? Jadi rumah mas? Bukan rumah teman?" tanya Amira, ia malah nampak kebingungan.Aku mendesah berat, menahan gejolak amarah yang seakan ingin meledak."Kamu jangan main-main Amira, bukankah kamu senang mendengar berita kematian Alena."
Part9"Bi, bersikaplah seolah tidak ada apa-apa, namun tetap waspada."Bibi mengangguk, ia pun berpamitan untuk melanjutkan pekerjaannya.Aku pun berjalan cepat, menuju ke dalam kamar kami.Kurebahkan tubuh yang terasa lelah ini, sambil memejamkan mata, berharap Alenaku datang, walau hanya di alam mimpi.__________Ketukan di pintu kamar, membuatku terbangun dari alam mimpi, namun rasa kantuk masih melekat hebat di mata, membuatku sulit untuk bangun.Aku beringsut turun, berjalan gontai, menuju kedaun pintu kamar.Kutarik gagang pintu, dengan mengerjap-ngerjapkan mata.Aku terkejut, melihat Alia berdiri tepat di depanku."Alia, ada apa?" tanyaku, sebiasa mungkin aku bersikap, agar ia tidak berpikir aneh tentangku.Alia tersenyum kecil, sorot matanya terlihat begitu dingin dan sulit kupahami pandangannya itu.
Part10Sudah dua minggu Ibu di rawat, aku pun sesekali menjenguknya ke rumah sakit.Dokter mengatakan, kondisi Ibu Mumun tidak ada perubahan.Mamah menghubungiku, untuk menjemput mereka pulang.Ia memutuskan membawa Ibu pulang, katanya lebih baik rawat di rumah, ia bahkan berniat mempekerjakan seorang perawat, yang akan bertanggung jawab mengurus Ibu.Aku melajukan mobil ke rumah sakit, sementara Papah masih di kantornya. Papah memiliki perusahaan sendiri, yang terbilang masih baru, dan bergerak di bidang property.Sedangkan aku sendiri, bekerja di perusahaan bonafide. Aku memiliki jabatan yang cukup penting di perusahaan raksasa tersebut.Masih dalam masa cuti, yang tinggal sehari lagi. Aku melajukan mobil, menuju rumah sakit.Aku mengurus biaya administrasi, kemudian menunggu Alia keluar bersama Mamah.Alia mendorong pelan kursi roda ibu, sedangka
Part11Pak Arman menghubungiku melalui sambungan telepon, ia memintaku untuk segera datang ke kantor.Aku pun bergegas menuju ke sana seorang diri.Sesampainya aku di kantor, Pak Arman pun mulai menjelaskan kronologi penangkapan Amira."Apakah benar, jika saudara Amira itu kekasih gelap Pak Raka?" selidik Pak Arman.Mati kutu aku, mau tidak mau aku harus mengakuinya, demi kelancaran proses penyelidikan kasus pembunuhan Alenaku.Aku mengangguk lemah, rasanya mendadak ingin pingsan."Kemungkinan besar, saudara Amira lah dalang di balik pembunuhan ini. Semua bukti mengarah kepadanya, kami juga menemukan handphone yang Amira gunakan untuk meneror Alena, dan berkomunikasi dengan dua pembunuh itu."Pak Arman menyodorkan handphone jadul itu.Aku melihat isi percakapannya dengan Alena, sama seperti yang aku temukan di gawai Alena saat itu.