Beranda / Lainnya / DENDAM / Pemakaman

Share

Pemakaman

Penulis: Rias Ardani
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-26 16:12:16

 

Dendam

Part2

 "Sudah, cukup! Jangan menambah sakit hati Mamah, tidak seharusnya kamu bersikap seperti ini di depan jenazah Alena." 

 Mamah berkata dengan tangan yang menunjuk-nunjuk ke arahku, serta mata melotot, yang seakan mau keluar dari tempatnya.

Aku menatap nanar wajah Mamahku, wanita yang melahirkan aku itu begitu marah kepadaku, pancaran matanya menyorotkan kebencian dan kekecewaan.

Sedangkan Ibu mertua, Beliau terus-menerus menyeka air matanya. 

Aku bersimpuh di depan Ibu mertua, memohon maafnya.

Namun Ibu mertua tidak merespon apapun, Ibu bahkan membuang wajah dari pandanganku.

 "Bu, maafkan saya! Saya memang salah."

 

"Kita tidak bisa mengubah garis takdir seseorang, mungkin inilah yang di namakan janji dirinya, sebelum dia lahir ke dunia." 

Aku semakin malu, mendengar ucapan Ibu mertua. 

Selama dua bulan ini, semenjak pertemuanku dengan Amira. 

Begitu banyak perlakuan tidak mengenakkan dariku untuk Alena.

Saat itu ....

"Mas, kapan kita jalan-jalan? Aku pengen ke kebun buah durian, belum pernah kesana. Pasti enak deh menikmati buahnya langsung di kebun."

"Aku sibuk! Lain kali saja." 

 Alena hanya diam, dia terlihat berusaha mengukir senyum. Aku melongos, meraih kunci lalu pergi.

Hari libur sekalipun, aku bukannya meluangkan waktu untuk jalan-jalan dengan Alena. Aku malah sibuk membahagiakan dahaga Amira yang haus berbelanja.

Dengan merangkul mesra pundak Amira, aku menyenangkan hatinya, dengan membayar semua belanjaan mahalnya.

Hal yang tidak pernah aku lakukan untuk Alena, namun aku tidak peduli.

Di tempat tidur, aku berbaring lelah bersama Amira.

"Mas, nanti kalau Alena tau tentang kita bagaimana?" tanya Amira. 

"Aku tidak akan mengakuinya."

"Mas nggak berani jujur? Mas tidak tulus sayang denganku." 

 Amira meraju.

"Sayang kok! Tapi mas juga nggak mau Alena sakit hati. Nanti ribet urusannya. Mamah dan Papah begitu menyayanginya."

"Ah, alasan."

"Beneran."

"Mau sampai kapan, aku jadi gundik kamu? Aku juga butuh kepastian."

"Sayang .... status itu tidak penting. Jika cinta, jiwa dan ragaku milikmu."

Aku mencoba merayunya.

"Ih, mending mati saja tuh Alena. Aku nggak mau hubungan tidak jelas, aku butuh kepastian." 

Amira merajuk, ia pun pergi begitu saja, setelah meminta sejumlah uang kepadaku.

Semenjak dekat dengan Amira, aku jarang pulang, bahkan pesan dan panggilan telepon Alena, sering kuabaikan.

"Mas, kalau pulang bawain rujak buah ya! Aku pengen banget." 

Pesan Alena, ketika aku berangkat ke kantor. Jika biasanya aku sebelum berangkat mencium keningnya, namun tidak lagi aku lakukan.

Kurasa, cintaku mulai pudar pada Alena, Amira lah cinta sejatiku kini, aku rasanya sangat tergila- gila pada Amira.

______

Selesai ngantor, aku tidak pulang ke rumah, melainkan ke Apartemen Amira, menyenangkan hati.

"Mas, tadi aku ke kantor. Kok bagian informasi namanya Amira juga."

 

Aku terkekeh mendengar protesnya.

"Ada lima karyawan wanita di kantor itu, yang namanya semua Amira." 

"Kok bisa?" tanyanya.

"Itu tandanya aku selalu mencintai kamu. Mereka karyawan wanita pilihan. Kalau namanya bukan Amira, aku tidak mau menerimanya bekerja di kantorku."

"Uhu .... so sweet banget sih. Makin sayang deh aku," kata Amira, dengan menempelkan tubuhnya di belakangku. Membuatku semakin terbuai, dan semakin lupa dengan Alena.

_______

"Mohon maaf, Nak Raka. Jenazah Ibu Alena, mau kami mandikan dulu." 

Ibu-ibu yang berjumlah empat orang itu meraih tubuh Alena. Dan membuyarkan lamunanku, semasa Alena masih bernyawa.

Alena dua bersaudara, namun satunya bersama Neneknya di Surabaya. Bahkan kematian Alena, tidak membuatnya memperlihatkan batang hidungnya, heran.

Hanya ada Ibu mertua, mereka merupakan orang perantau, yang mengadu nasib di Kalimantan. 

Kulihat wanita paru baya itu hanya terdiam, tatapannya sendu, air matanya terus-menerus mengalir.

Beda dengan Mamah yang terus terisak. Mamah dan Papah begitu menyayangi Alena, bagi mereka, Alena sudah seperti anak kandung sendiri.

Dari para pelayat, aku menangkap sosok Amira dari kejauhan, dengan mengenakan kaca mata hitam. Saat pandangan kami bertemu, Amira terlihat langsung menjauh pergi dengan mobil berwarna merah.

'Untuk apa Amira berkeliaran di kompleks rumahku, apakah dia sudah tahu, bahwa aku tengah berduka.' Aku bergumam dalam hati. 

Dengan langkah terseok, aku mengiri proses pemakaman jenazah Alena, yang telah usai di salatkan.

Rasa tidak kuasa aku mendengar bait demi bait lantunan ayat suci yang Ustadz Ahmad kumandangkan. Mengiringi proses pengantaran Alena ke tempat peristirahatan terakhirnya.

"Alena .... ya Allah, anakkku."

Teriakkan histeris dari suara Mamah begitu terdengar lirih, tubuhnya meluruh menggenggam tanah yang masih basah di atas pusaran, tempat peristirahatan terakhir, Alena Putri.

Tangisannya begitu pilu, menyayat hati. Ibu mertua yang merupakan Ibu kandung Alena hanya terdiam tanpa suara. Tiba-tiba dia pun jatuh ke tanah dan pingsan, membuat semua pelayat berhamburan membantu membopong tubuhnya ke bawah pohon.

Mamah tidak bergerak sama sekali, dia masih terus menangisi kepergian menantunya.

"Kenapa kamu pergi meninggalkan Mamah, Nak. Padahal kamu sudah berjanji, akan selalu ada untuk Mamah! Dan memberikan mamah cucu yang lucu dan banyak." 

"Mana janji kamu Alena? Mana, Nak ...." Mamah semakin terisak, membuat dadaku semakin sesak dan sakit hati mendengar ucapan-ucapan lirihnya.

Papah memeluk Mamah.

"Ma .... mamah harus ikhlas, kasihan Alena, dia pasti sedih melihat kondisi Mamah seperti ini." 

Papah mencoba menyabarkan Mamah yang begitu kalut.

"Tapi, Pah. Alena sudah berjanji sama Mamah, dia akan meramaikan rumah kita dengan kelucuan anak-anaknya, itu janji Alena. Tapi, tapi kenapa dia harus pergi, bahkan dengan cara tragis seperti ini." 

"Ya Allah .... anakku." 

Aku menyeka air mata, tidak kusangka Mamah akan terluka sedalam ini. Bagaimana jika dia tahu, bahwa aku berselingkuh di belakang Alena. Bisa saja, Mamah langsung mengutukku.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Hmmm apa jgn2 org suruhannya si amira selingkuhannya dia yah?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • DENDAM   TAMAT

    Bab26Alia terisak, dan Mama langsung memeluk wanita itu. Mama menatap tajam wajah Aisyah, dan meminta kami menjauh dari mereka berdua."Kurang ajar! Menjauh kalian dari putriku!" pekik Mama.Aisyah menangis, melihat Mama begitu menyayangi Alia, dan mengabaikan Aisyah, yang jelas-jelas menantunya kini.Aisya pun menjauh, dan masuk ke kamar kami. Aku pun menyusulnya dan mempertanyakan sikap Aisyah tadi."Apa yang terjadi? Mengapa kamu begitu bar-bar tadi?" tanyaku, sambil duduk di sampingnya. Aisyah masih terisak, nampaknya dia begitu sakit hati, dengan perlakuan Mama tadi."Aku ingin kita bercerai, Mas!" pinta Aisyah."Tidak, Mas nggak mau cerai sama kamu. Mas sayang kamu dan anak kita.""Tapi aku merasa tidak aman, Mas. Wanita itu, dia menerorku terus," jelas Aisyah.Kupegang kedua pipinya, dan kutatap lekat wajah istriku itu."Apa yang dia lakukan?""Wanita itu terus mengirimku bangkai binatang,

  • DENDAM   Marah

    DendamBab25"Maaf," lirihku.Aisyah mendengkus. "Aku ingin bercerai, Mas!" ungkap Aisyah. "Aku tidak ingin diteror lagi, aku tidak mau, anakku dalam bahaya!" papar Aisyah.Aku menggeleng. "Tidak mau!" kataku dengan suara lemah."Mas ...." suara Aisyah meninggi. "Wanita itu bisa membahayakan anak kita, juga aku.""Aku akan melindungi kalian," sahutku cepat. Tidak akan kubiarkan, Alia menyakiti keluargaku.Namun kemana Mama? Ya Allah, mengapa Alia begitu terobsesi menghancurkan hidupku?Aisyah terisak, tubuhnya lunglai, dia bersandar di dinding kayu rumah, dan terus terisak. Sedangkan anak kami, dia terdiam membeku."Kita ke rumahku saja!" kata Aisyah, sambil bangkit dari duduknya. Aku menatap keluar jendela."Kita tetap di rumah ini, aku yakin, Mama pasti akan pulang.""Mas ...." Aisyah kembali berteriak, aku berbalik dengan wajah sengit."D

  • DENDAM   Emosi

    Part24Usai perjumpaanku dan Amira, kami pun bertukar kembali nomor handphone. Sulit kusadarkan diri ini, tapi untuk sekedar menjalin silaturahmi, kurasa tidak ada salahnya.Aku dan Niara pulang, terlihat di muara pintu, Istriku tengah berdebat dengan seseorang, saat aku mendekat, ternyata orang itu tetangga kami."Ehem, ada apa ini?" tanya, pada Aldi, yang terlihat canggung."Tadi mau pinjam wajan, punyaku bocor," jawabnya."Oh, kenapa tidak beli? Kan di toko klontong pasti banyak," kataku."Maaf." Aldi hanya menyahut seperti itu, dan berniat meninggalkan muara pintu rumahku."Aldi." Aku memanggil namanya. "Lain kali, tolong jangan bertamu, di saat aku tidak ada di rumah! Tidak baik," lanjutku.Aldi yang semula menghentikan langkahnya, ketika mendengar seruanku pun berbalik, dan menoleh ke arahku, sembari menarik bibir atasnya."Tenang saja, kamu tidak perlu khawatir," jawabnya. Kemudian

  • DENDAM   Pertemuan

    Part23Enam tahun berlalu.Kini, hasil dari pernikahanku dan Aisyah, aku memiliki seorang anak perempuan, yang kini berusia lima tahun."Dek, aku dapat kerjaan lagi di Ibu Kota. Kamu nggak apa-apa kan kutinggal dulu? Kalau aku sudah ngontrak rumah! Kalian aku jemput.""Iya, nggak apa-apa mas."Aku terseyum menatap istri cantikku itu. Aku pasti sangat merindukannya, jika nanti aku jauh dari wanitaku ini.Sebulan aku di Ibu kota, aku mencari kontrakan rumah, namun sedikit sulit. Akhirnya, aku menyewa rumah susun.Kuboyong istri, dan anakku. Sedangkan Mama, beliau memelih menemani Nenek di kampung.Aku bekerja di Perusahaan yang bonafide, dan bergaji lumayan besar."Sebulan lagi, mas akan cari kontrakan yang lebih bagus! Sementara kita di sini dulu," kataku pada Istri."Di sini pun enak.""Kamu yakin? Kalau kamu merasa nyaman! Maka kita tetap di sini," kataku

  • DENDAM   MENIKAH

    Part22 Papah terbangun, mengusap pelan puncak kepala Mamah, yang tertidur diatas kedua tangan yang ia letakkan di atas bibir kasur pasien. Mamah terbangun, kemudian menatap sendu wajah Papah. "Mamah capek? Pulang ya sama Bibi, biar Raka yang jagain Papah disini." "Nggak, biar Mamah disini saja! Jagain Papah," jawabnya pelan. "Nanti Mamah sakit, kalau Mamah sakit, Papah yang akan sedih. Tidak bisa ngurus Mamah." "Makanya Papah sehat dong! Biar ada yang manjain Mamah lagi," sahut Mamah, dengan mata mengerling nakal. Aku hanya tersenyum simpul, menatap tingkah laku mereka. "Mah, papah minta maaf, jika selama ini, Papah banyak salah." "Papah ngomong apa sih, nggak usah gitu ah, Mamah nggak suka." Papah hanya tersenyum kecil, menatap Mamah penuh c

  • DENDAM   Malang

    Part21"Mengapa mereka tega meninggalkanku, Mah? Mengapa Ibu kandungku sendiri, tega menyia-nyiakanku?" tangis Alia.Wanita yang biasanya hanya terdiam, bahkan kadang tidak menyahut mau pun bereaksi itu kini menangis tersedu. Alia mulai menumpahkan segala sesak dalam dadanya, di pelukan Mamah."Sayang, lupakan masa lalu, Nak. Sepedih apapun itu lupakan dan lepaskan. Sejauh ini kamu sudah terlalu kuat dan hebat melewati cobaan hidup! Mamah bangga sama kamu, Nak."Alia menatap getir wajah Mamah. "Mah, mamah bangga denganku? Bahkan di saat aku kuat, demi membalaskan sakit hatiku pada mereka?""Alia, sayang ...." Mamah mencium kedua pipi Alia. "Mamah bangga kamu kuat bertahan melewati semua itu, hanya kamu salah langkah Nak. Mamah nggak mau terpisah untuk selamanya, Mamah mohon kamu buang buruknya, ambil hikmah dari semua ini, Nak."Alia menunduk malu. "Aku pendos

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status