Beranda / Lainnya / DENDAM / Nomor tanpa nama

Share

Nomor tanpa nama

Penulis: Rias Ardani
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-26 16:15:17

 

Dendam

Part4

Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Mamah kembali sadar, namun Mamah teramat membuat aku dan Papah semakin khawatir.

Mamah terus meracau dan menyebut-nyebut nama Alena, perasaan hati ini semakin tidak karuan.

"Alena ..., Alena, jangan tinggalkan Mamah, Nak. Jangan ..., Mamah tidak kuat, tidak kuat jika harus kehilangan kamu, Nak." 

Kata-kata itu berulang kali ia ucapkan, membuatku semakin frustasi dan tertekan, tidak henti-hentinya aku merutukki diri sendiri yang bodoh ini.

Sepanjang perjalanan itu pula, Amira terus-menerus menghubungiku. Sesampainya di rumah sakit, aku meminta Papah untuk duluan masuk ke dalam membawa Mamah.

"Raka mengangkat telepon dulu, soalnya tadi pagi meninggalkan kantor begitu saja! Mana tau ada masalah." 

Papah mengangguk, dan menggandeng Mamah yang begitu lemah masuk ke dalam rumah sakit.

Aku menghubungi balik nomor Amira.

"Kamu kemana saja sih, Mas? Susah banget di hubungi, aku kan kangen." 

Amira berkata di sebrang telepon dengan suara yang mendesah manja. Jika dulu, naluri lelakiku pasti akan bereaksi, namun tidak untuk hari ini. Semua seolah mati suri, bahkan aku merasa kehilangan gairah hidup.

"Mir, kalau nggak terlalu penting, tolong jangan hubungi dulu! Mas terlalu pusing hari ini," ucapku dingin.

"Huh, memangnya kenapa, Mas?"

Aku menarik berat napas, dan menghembuskannya kasar.

"Alena, Alena meninggal. Ia di bunuh dua laki-laki yang masih di selidiki, doakan segera mereka tertangkap."

"Ha ha ha ..., si Alena pecundang itu mati, nggak salah dengar nih?" katanya. 

"Mir, jaga ucapan kamu! Biar bagaimana pun juga, Alena itu istrinya Mas. Semua masih dalam suasana duka, kamu tolong jangan menambah beban, Mas."

"Idih marah, iya deh, maaf. Yaudah kalau begitu, selamat menikmati." 

Tanpa menunggu jawabanku, Amira langsung mematikan teleponnya sepihak.

Meskipun rasanya begitu ingin marah dengan kelakuan Amira tadi, namun aku coba mengerti. 

Mungkin ia kesal, sebab kuabaikan dari pagi, hingga menjelang sore ini.

Bagaimana tidak, aku bahkan seakan kini tidak berpijak di bumi lagi. Raga ini terasa melayang di udara, dan pikiran ini hanya tertuju pada Alenaku. Wanita yang kusia-siakan pengabdian dan cintanya.

Oh, ya Allah, sedalam apapun aku menyesal, sekuat apapun aku meminta untuk Alenaku hidup kembali, rasanya itu tidak akan mungkin.

Betapa besar pun kerinduan ini membuncah di dalam dada, ia tidak akan kembali lagi, tidak akan.

Diri berjalan gontai menyusuri koridor rumah sakit, aku menghubungi Papah, menanyakan keberadaannya.

"Dimana? Pah."

"Diruang melati, Mamah harus di rawat inap dulu, kondisinya semakin melemah. Panasnya tinggi, dan Mamah juga mengigil."

"Astagfirullah ...." Sambungan telepon aku matikan, aku berlari mencari ruangan Mamah dengan perasaan kalut dan juga takut.

Mamah, ia perempuan yang amat kusayangi dan selalu ingin aku bahagiakan. 

"Tuhan, sembuhkanlah Mamah, jangan ambil dia juga, aku--- aku tidak kuat." 

Aku terus berdoa dalam hati, sambil terus memindai papan-papan nama lokasi di rumah sakit, untuk mencari letak ruangan melati.

Sesampainya aku di ruangan Mamah, aku mendorong kasar pintu dengan tak sabar. 

Kulihat Papah terdiam di samping Mamah terbaring, ia begitu erat menggenggam telapak tangan Mamah.

Sedangkan Mamah terus-menerus menyebut nama Alena, dengan mata yang masih tertutup rapat.

Kudekati Papah, kuusap kepala Mamah yang begitu panas. 

Papah membuka kacamatanya, ia menyeka pelan dibawah matanya yang terlihat basah.

"Ya Allah," lirihnya pelan nyaris tak terdengar.

Aku terdiam mematung.

"Mamah kamu begitu syok dan sangat terluka, kita semua juga sangat terluka. Tapi, melihat keadaan Mamah kamu yang seperti ini, rasanya membuat Papah semakin terluka, bagaimana jika Papah yang mati."

"Astagfirullah, Pah. Nyebut, jangan bicara seperti itu. Raka semakin tertekan melihat derita kalian."

Aku meninju dinding, melampiaskan rasa frustasi dan sesal yang menghimpit hati.

"Semenjak Papah menikahi Mamah, Papah berjanji akan selalu membuatnya bahagia. Mamah bahkan tidak pernah seperti ini, melihatnya seperti ini, membuat hati Papah hancur."

'Sama Pah, Raka juga hancur, hancur di makan penyesalan yang mendalam. Alena mati karena memberikan kejutan untuk lelaki bodoh sepertiku, aku benar-benar tidak pantas mendapatkan cinta sesempurna Alena.' 

Aku terus-menerus merutukki kebodohan diri.

Andai saja, andai saja, andai saja. Itulah yang selalu terngiang di pikiranku.

Sambil menunggu Mamah sadar, aku meraih handphone Alena di dalam saku celana. Sedangkan Papah, ia keluar untuk membeli makanan.

Kumainkan gawai miliknya. Kubuka aplikasi whatsappnya.

Aku tercengang, melihat nomor tanpa nama dan foto profile, mengirimkan pesan.

Kuscroll dari yang paling awal isi percakapan mereka.

"Persiapkan dirimu, untuk menjadi janda muda, Alena."

"Kamu siapa?" tanya Alena.

"Ahaha ..., nikmati waktumu, sebelum semuanya hilang."

"Aku tidak gentar. Bahkan foto itu tidak membuatku sakit hati sedikitpun.

Mas Raka suami sahku! Calon Papah dari anakku. Siapapun kamu, berhentilah. Sebelum semesta menghukummu."

Terlihat sebuah konten yang di tarik kembali, hingga tidak terlihat apa yang si nomor tanpa nama ini kirim ke Alena.

Hanya Alena dan si pengirim yang tahu.

Namun dari segi percakapannya, sepertinya tanpa nama begitu ingin membuat Alenaku sakit hati.

"Kita lihat saja nanti, aku seorang yang ambisius. Sebelum membuat lawannya hancur, aku tidak akan mundur." 

Itulah pesan terakhir si tanpa nama kirim, tepat sehari sebelum kematian Alena, selama ini Alena bahkan tidak pernah mengatakan apapun kepadaku.

Apakah ini karena aku yang selalu mengabaikannya, selalu memarahinya jika ia mendekatiku.

Ya Allah, andai saja aku lebih awal tahu, mungkin aku tidak akan membiarkannya kemana-mana seorang diri.

Aku kembali membuka pesan ia tujukan kepadaku. Ia mengirim sebuah foto kado dan foto meja yang sudah berhias ke wh******.

"Sayang ..., aku sudah masak makanan enak! Aku kangen dinner romantis berdua. Aku juga sudah menyiapkan kado yang akan membuat kamu sangat bahagia. Cepat pulang ya, suamiku." 

Pesan itu ia kirim tepat di jam 21.05, saat aku di apartemen Amira. 

Kuraih gawai milikku, dan membuka pesan wh*****. 

Aku mengernyit, melihat pesan itu tidak ada di gawaiku. 

Seperti ada yang sengaja menghapusnya, apakah itu Amira? Amira yang melakukannya.

Terimakasih

Jangan lupa subscribe cerita saya

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • DENDAM   TAMAT

    Bab26Alia terisak, dan Mama langsung memeluk wanita itu. Mama menatap tajam wajah Aisyah, dan meminta kami menjauh dari mereka berdua."Kurang ajar! Menjauh kalian dari putriku!" pekik Mama.Aisyah menangis, melihat Mama begitu menyayangi Alia, dan mengabaikan Aisyah, yang jelas-jelas menantunya kini.Aisya pun menjauh, dan masuk ke kamar kami. Aku pun menyusulnya dan mempertanyakan sikap Aisyah tadi."Apa yang terjadi? Mengapa kamu begitu bar-bar tadi?" tanyaku, sambil duduk di sampingnya. Aisyah masih terisak, nampaknya dia begitu sakit hati, dengan perlakuan Mama tadi."Aku ingin kita bercerai, Mas!" pinta Aisyah."Tidak, Mas nggak mau cerai sama kamu. Mas sayang kamu dan anak kita.""Tapi aku merasa tidak aman, Mas. Wanita itu, dia menerorku terus," jelas Aisyah.Kupegang kedua pipinya, dan kutatap lekat wajah istriku itu."Apa yang dia lakukan?""Wanita itu terus mengirimku bangkai binatang,

  • DENDAM   Marah

    DendamBab25"Maaf," lirihku.Aisyah mendengkus. "Aku ingin bercerai, Mas!" ungkap Aisyah. "Aku tidak ingin diteror lagi, aku tidak mau, anakku dalam bahaya!" papar Aisyah.Aku menggeleng. "Tidak mau!" kataku dengan suara lemah."Mas ...." suara Aisyah meninggi. "Wanita itu bisa membahayakan anak kita, juga aku.""Aku akan melindungi kalian," sahutku cepat. Tidak akan kubiarkan, Alia menyakiti keluargaku.Namun kemana Mama? Ya Allah, mengapa Alia begitu terobsesi menghancurkan hidupku?Aisyah terisak, tubuhnya lunglai, dia bersandar di dinding kayu rumah, dan terus terisak. Sedangkan anak kami, dia terdiam membeku."Kita ke rumahku saja!" kata Aisyah, sambil bangkit dari duduknya. Aku menatap keluar jendela."Kita tetap di rumah ini, aku yakin, Mama pasti akan pulang.""Mas ...." Aisyah kembali berteriak, aku berbalik dengan wajah sengit."D

  • DENDAM   Emosi

    Part24Usai perjumpaanku dan Amira, kami pun bertukar kembali nomor handphone. Sulit kusadarkan diri ini, tapi untuk sekedar menjalin silaturahmi, kurasa tidak ada salahnya.Aku dan Niara pulang, terlihat di muara pintu, Istriku tengah berdebat dengan seseorang, saat aku mendekat, ternyata orang itu tetangga kami."Ehem, ada apa ini?" tanya, pada Aldi, yang terlihat canggung."Tadi mau pinjam wajan, punyaku bocor," jawabnya."Oh, kenapa tidak beli? Kan di toko klontong pasti banyak," kataku."Maaf." Aldi hanya menyahut seperti itu, dan berniat meninggalkan muara pintu rumahku."Aldi." Aku memanggil namanya. "Lain kali, tolong jangan bertamu, di saat aku tidak ada di rumah! Tidak baik," lanjutku.Aldi yang semula menghentikan langkahnya, ketika mendengar seruanku pun berbalik, dan menoleh ke arahku, sembari menarik bibir atasnya."Tenang saja, kamu tidak perlu khawatir," jawabnya. Kemudian

  • DENDAM   Pertemuan

    Part23Enam tahun berlalu.Kini, hasil dari pernikahanku dan Aisyah, aku memiliki seorang anak perempuan, yang kini berusia lima tahun."Dek, aku dapat kerjaan lagi di Ibu Kota. Kamu nggak apa-apa kan kutinggal dulu? Kalau aku sudah ngontrak rumah! Kalian aku jemput.""Iya, nggak apa-apa mas."Aku terseyum menatap istri cantikku itu. Aku pasti sangat merindukannya, jika nanti aku jauh dari wanitaku ini.Sebulan aku di Ibu kota, aku mencari kontrakan rumah, namun sedikit sulit. Akhirnya, aku menyewa rumah susun.Kuboyong istri, dan anakku. Sedangkan Mama, beliau memelih menemani Nenek di kampung.Aku bekerja di Perusahaan yang bonafide, dan bergaji lumayan besar."Sebulan lagi, mas akan cari kontrakan yang lebih bagus! Sementara kita di sini dulu," kataku pada Istri."Di sini pun enak.""Kamu yakin? Kalau kamu merasa nyaman! Maka kita tetap di sini," kataku

  • DENDAM   MENIKAH

    Part22 Papah terbangun, mengusap pelan puncak kepala Mamah, yang tertidur diatas kedua tangan yang ia letakkan di atas bibir kasur pasien. Mamah terbangun, kemudian menatap sendu wajah Papah. "Mamah capek? Pulang ya sama Bibi, biar Raka yang jagain Papah disini." "Nggak, biar Mamah disini saja! Jagain Papah," jawabnya pelan. "Nanti Mamah sakit, kalau Mamah sakit, Papah yang akan sedih. Tidak bisa ngurus Mamah." "Makanya Papah sehat dong! Biar ada yang manjain Mamah lagi," sahut Mamah, dengan mata mengerling nakal. Aku hanya tersenyum simpul, menatap tingkah laku mereka. "Mah, papah minta maaf, jika selama ini, Papah banyak salah." "Papah ngomong apa sih, nggak usah gitu ah, Mamah nggak suka." Papah hanya tersenyum kecil, menatap Mamah penuh c

  • DENDAM   Malang

    Part21"Mengapa mereka tega meninggalkanku, Mah? Mengapa Ibu kandungku sendiri, tega menyia-nyiakanku?" tangis Alia.Wanita yang biasanya hanya terdiam, bahkan kadang tidak menyahut mau pun bereaksi itu kini menangis tersedu. Alia mulai menumpahkan segala sesak dalam dadanya, di pelukan Mamah."Sayang, lupakan masa lalu, Nak. Sepedih apapun itu lupakan dan lepaskan. Sejauh ini kamu sudah terlalu kuat dan hebat melewati cobaan hidup! Mamah bangga sama kamu, Nak."Alia menatap getir wajah Mamah. "Mah, mamah bangga denganku? Bahkan di saat aku kuat, demi membalaskan sakit hatiku pada mereka?""Alia, sayang ...." Mamah mencium kedua pipi Alia. "Mamah bangga kamu kuat bertahan melewati semua itu, hanya kamu salah langkah Nak. Mamah nggak mau terpisah untuk selamanya, Mamah mohon kamu buang buruknya, ambil hikmah dari semua ini, Nak."Alia menunduk malu. "Aku pendos

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status