DendamPart4
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Mamah kembali sadar, namun Mamah teramat membuat aku dan Papah semakin khawatir.
Mamah terus meracau dan menyebut-nyebut nama Alena, perasaan hati ini semakin tidak karuan.
"Alena ..., Alena, jangan tinggalkan Mamah, Nak. Jangan ..., Mamah tidak kuat, tidak kuat jika harus kehilangan kamu, Nak."
Kata-kata itu berulang kali ia ucapkan, membuatku semakin frustasi dan tertekan, tidak henti-hentinya aku merutukki diri sendiri yang bodoh ini.
Sepanjang perjalanan itu pula, Amira terus-menerus menghubungiku. Sesampainya di rumah sakit, aku meminta Papah untuk duluan masuk ke dalam membawa Mamah.
"Raka mengangkat telepon dulu, soalnya tadi pagi meninggalkan kantor begitu saja! Mana tau ada masalah."
Papah mengangguk, dan menggandeng Mamah yang begitu lemah masuk ke dalam rumah sakit.
Aku menghubungi balik nomor Amira.
"Kamu kemana saja sih, Mas? Susah banget di hubungi, aku kan kangen."
Amira berkata di sebrang telepon dengan suara yang mendesah manja. Jika dulu, naluri lelakiku pasti akan bereaksi, namun tidak untuk hari ini. Semua seolah mati suri, bahkan aku merasa kehilangan gairah hidup.
"Mir, kalau nggak terlalu penting, tolong jangan hubungi dulu! Mas terlalu pusing hari ini," ucapku dingin.
"Huh, memangnya kenapa, Mas?"
Aku menarik berat napas, dan menghembuskannya kasar.
"Alena, Alena meninggal. Ia di bunuh dua laki-laki yang masih di selidiki, doakan segera mereka tertangkap."
"Ha ha ha ..., si Alena pecundang itu mati, nggak salah dengar nih?" katanya.
"Mir, jaga ucapan kamu! Biar bagaimana pun juga, Alena itu istrinya Mas. Semua masih dalam suasana duka, kamu tolong jangan menambah beban, Mas."
"Idih marah, iya deh, maaf. Yaudah kalau begitu, selamat menikmati."
Tanpa menunggu jawabanku, Amira langsung mematikan teleponnya sepihak.
Meskipun rasanya begitu ingin marah dengan kelakuan Amira tadi, namun aku coba mengerti.
Mungkin ia kesal, sebab kuabaikan dari pagi, hingga menjelang sore ini.
Bagaimana tidak, aku bahkan seakan kini tidak berpijak di bumi lagi. Raga ini terasa melayang di udara, dan pikiran ini hanya tertuju pada Alenaku. Wanita yang kusia-siakan pengabdian dan cintanya.
Oh, ya Allah, sedalam apapun aku menyesal, sekuat apapun aku meminta untuk Alenaku hidup kembali, rasanya itu tidak akan mungkin.
Betapa besar pun kerinduan ini membuncah di dalam dada, ia tidak akan kembali lagi, tidak akan.
Diri berjalan gontai menyusuri koridor rumah sakit, aku menghubungi Papah, menanyakan keberadaannya.
"Dimana? Pah."
"Diruang melati, Mamah harus di rawat inap dulu, kondisinya semakin melemah. Panasnya tinggi, dan Mamah juga mengigil."
"Astagfirullah ...." Sambungan telepon aku matikan, aku berlari mencari ruangan Mamah dengan perasaan kalut dan juga takut.
Mamah, ia perempuan yang amat kusayangi dan selalu ingin aku bahagiakan.
"Tuhan, sembuhkanlah Mamah, jangan ambil dia juga, aku--- aku tidak kuat."
Aku terus berdoa dalam hati, sambil terus memindai papan-papan nama lokasi di rumah sakit, untuk mencari letak ruangan melati.
Sesampainya aku di ruangan Mamah, aku mendorong kasar pintu dengan tak sabar.
Kulihat Papah terdiam di samping Mamah terbaring, ia begitu erat menggenggam telapak tangan Mamah.
Sedangkan Mamah terus-menerus menyebut nama Alena, dengan mata yang masih tertutup rapat.
Kudekati Papah, kuusap kepala Mamah yang begitu panas.
Papah membuka kacamatanya, ia menyeka pelan dibawah matanya yang terlihat basah.
"Ya Allah," lirihnya pelan nyaris tak terdengar.
Aku terdiam mematung.
"Mamah kamu begitu syok dan sangat terluka, kita semua juga sangat terluka. Tapi, melihat keadaan Mamah kamu yang seperti ini, rasanya membuat Papah semakin terluka, bagaimana jika Papah yang mati."
"Astagfirullah, Pah. Nyebut, jangan bicara seperti itu. Raka semakin tertekan melihat derita kalian."
Aku meninju dinding, melampiaskan rasa frustasi dan sesal yang menghimpit hati.
"Semenjak Papah menikahi Mamah, Papah berjanji akan selalu membuatnya bahagia. Mamah bahkan tidak pernah seperti ini, melihatnya seperti ini, membuat hati Papah hancur."
'Sama Pah, Raka juga hancur, hancur di makan penyesalan yang mendalam. Alena mati karena memberikan kejutan untuk lelaki bodoh sepertiku, aku benar-benar tidak pantas mendapatkan cinta sesempurna Alena.'
Aku terus-menerus merutukki kebodohan diri.
Andai saja, andai saja, andai saja. Itulah yang selalu terngiang di pikiranku.Sambil menunggu Mamah sadar, aku meraih handphone Alena di dalam saku celana. Sedangkan Papah, ia keluar untuk membeli makanan.
Kumainkan gawai miliknya. Kubuka aplikasi whatsappnya.
Aku tercengang, melihat nomor tanpa nama dan foto profile, mengirimkan pesan.
Kuscroll dari yang paling awal isi percakapan mereka.
"Persiapkan dirimu, untuk menjadi janda muda, Alena."
"Kamu siapa?" tanya Alena.
"Ahaha ..., nikmati waktumu, sebelum semuanya hilang."
"Aku tidak gentar. Bahkan foto itu tidak membuatku sakit hati sedikitpun.
Mas Raka suami sahku! Calon Papah dari anakku. Siapapun kamu, berhentilah. Sebelum semesta menghukummu."Terlihat sebuah konten yang di tarik kembali, hingga tidak terlihat apa yang si nomor tanpa nama ini kirim ke Alena.
Hanya Alena dan si pengirim yang tahu.
Namun dari segi percakapannya, sepertinya tanpa nama begitu ingin membuat Alenaku sakit hati.
"Kita lihat saja nanti, aku seorang yang ambisius. Sebelum membuat lawannya hancur, aku tidak akan mundur."
Itulah pesan terakhir si tanpa nama kirim, tepat sehari sebelum kematian Alena, selama ini Alena bahkan tidak pernah mengatakan apapun kepadaku.
Apakah ini karena aku yang selalu mengabaikannya, selalu memarahinya jika ia mendekatiku.
Ya Allah, andai saja aku lebih awal tahu, mungkin aku tidak akan membiarkannya kemana-mana seorang diri.
Aku kembali membuka pesan ia tujukan kepadaku. Ia mengirim sebuah foto kado dan foto meja yang sudah berhias ke wh******.
"Sayang ..., aku sudah masak makanan enak! Aku kangen dinner romantis berdua. Aku juga sudah menyiapkan kado yang akan membuat kamu sangat bahagia. Cepat pulang ya, suamiku."
Pesan itu ia kirim tepat di jam 21.05, saat aku di apartemen Amira.
Kuraih gawai milikku, dan membuka pesan wh*****.Aku mengernyit, melihat pesan itu tidak ada di gawaiku.
Seperti ada yang sengaja menghapusnya, apakah itu Amira? Amira yang melakukannya.
Terimakasih
Jangan lupa subscribe cerita saya
Part5Aku mengusap kasar wajahku. Begitu banyak yang Alena pendam seorang diri, aku sebagai suami merasa sangat tidak berguna.Aku kembali teringat Amira, selama ini tidak ada satu pun musuh Alena, apa mungkin ini perbuatan Amira? Agrh .... rasanya aku benar-benar tidak kuasa, jika semua ini benar perbuatan Amira.Kupandangi wajah pucat Mamah, betapa menderitanya Mamah, kehilangan Alena.Kuseka pelan air mata, aku tetap harus berusaha kuat.---------Menghilangkan rasa jenuh, aku berselancar di aplikasi berwarna biru.Terlihat beberapa akun menshare berita tentang pembunuhan yang di alami istriku.Dering panggilan masuk, dari nomor tidak di kenal. Aku pun menerima panggilan itu."Hallo," ucapku, dengan menempelkan benda pipih itu ke telinga."Hallo, dengan Bapak Raka Sebastian.""Benar, saya
Part6"Ibu, bibirnya miring dan tangannya sedikit bengkok, seperti orang yang terserang stroke, Pak.""Astagfirullah." Aku langsung mematikan telepon.'kenapa Ibu mendadak tiba-tiba begini.'"Ada apa?" tanya Papah."Ibu Alena, katanya seperti terserang gejala stroke. Raka mau membawanya ke rumah sakit, dulu."Papah mengangguk, aku berlari cepat meninggalkan ruangan menuju parkiran.Kupacukan mobil dengan kecepatan tinggi, hingga sampai di depan rumah dengan cepat.Aku memarkirkan mobil di teras depan, lalu keluar dan mendorong kasar pintu.Aku dengan sigap membuka kamar Ibu, aku takut ia benar-benar stroke.Saat aku membuka kamar, Alia dan bibi menatap ke arahku.Aku tercekat, melihat kondisi Ibu yang begitu memprihatinkan."Al, kamu ikut saya! Kita bawa ibu ke rumah sakit."Alia m
Part7Aku tidak tahu masa lalu wanita ini, yang jelas, sorot matanya menampakan amarah yang terpendam.Namun masih tertutup oleh wajah cantiknya."Masuk dan istirahatlah, nanti kamu juga ikutan sakit kalau begini."Alia mengangguk, namun ia tidak berkata apapun lagi. Aku masuk mengekor Alia, memperbaiki selimut Ibu, dan menggenggam telapak tangannya."Bu, jangan terlalu banyak pikiran, nanti Ibu tambah sakit, disini sudah ada Alia. Ibu harus sehat lagi, Alia butuh ibu."Aku berkata pelan, namun pancaran mata Ibu menyorotkan kepanikan dan ketakutan, sulit untuk aku pahami."Bu, jangan khawatirkan apapun, Raka janji, akan menjaga Alia untuk Ibu. Cukup kita kehilangan Alena, Raka akan menjaga Alia untuk Ibu."Aku berusaha menenangkannya, mungki saja Ibu takut Alia mengalami hal yang serupa, seperti yang di alami Alena.
Part8"Amira .... lepas! Sini duduk." Aku menyentak kedua tangannya, lalu menyeretnya pelan ke arah sofa. Amira terheran-heran menatapku."Ada apa sih? Mas."Aku menatap dingin wanita di depanku ini."Amira, kamu tau bukan, bahwa Alena mati di bunuh?" ucapku. Amira mengatupkan kedua telapak tangannya ke mulut.Ia seolah tengah terkejut mendengar ucapanku. Aku menatap lekat mata hitamnya, berusaha melihat kejujuran. Namun ia seakan benar-benar terkejut."Kamu jujur sama Mas. Kemaren ngapain kamu berkeliaran di kompleks tempat tinggal mas, dan berdiri melihat rumah yang riuh para pelayat.""Apa? Jadi rumah mas? Bukan rumah teman?" tanya Amira, ia malah nampak kebingungan.Aku mendesah berat, menahan gejolak amarah yang seakan ingin meledak."Kamu jangan main-main Amira, bukankah kamu senang mendengar berita kematian Alena."
Part9"Bi, bersikaplah seolah tidak ada apa-apa, namun tetap waspada."Bibi mengangguk, ia pun berpamitan untuk melanjutkan pekerjaannya.Aku pun berjalan cepat, menuju ke dalam kamar kami.Kurebahkan tubuh yang terasa lelah ini, sambil memejamkan mata, berharap Alenaku datang, walau hanya di alam mimpi.__________Ketukan di pintu kamar, membuatku terbangun dari alam mimpi, namun rasa kantuk masih melekat hebat di mata, membuatku sulit untuk bangun.Aku beringsut turun, berjalan gontai, menuju kedaun pintu kamar.Kutarik gagang pintu, dengan mengerjap-ngerjapkan mata.Aku terkejut, melihat Alia berdiri tepat di depanku."Alia, ada apa?" tanyaku, sebiasa mungkin aku bersikap, agar ia tidak berpikir aneh tentangku.Alia tersenyum kecil, sorot matanya terlihat begitu dingin dan sulit kupahami pandangannya itu.
Part10Sudah dua minggu Ibu di rawat, aku pun sesekali menjenguknya ke rumah sakit.Dokter mengatakan, kondisi Ibu Mumun tidak ada perubahan.Mamah menghubungiku, untuk menjemput mereka pulang.Ia memutuskan membawa Ibu pulang, katanya lebih baik rawat di rumah, ia bahkan berniat mempekerjakan seorang perawat, yang akan bertanggung jawab mengurus Ibu.Aku melajukan mobil ke rumah sakit, sementara Papah masih di kantornya. Papah memiliki perusahaan sendiri, yang terbilang masih baru, dan bergerak di bidang property.Sedangkan aku sendiri, bekerja di perusahaan bonafide. Aku memiliki jabatan yang cukup penting di perusahaan raksasa tersebut.Masih dalam masa cuti, yang tinggal sehari lagi. Aku melajukan mobil, menuju rumah sakit.Aku mengurus biaya administrasi, kemudian menunggu Alia keluar bersama Mamah.Alia mendorong pelan kursi roda ibu, sedangka
Part11Pak Arman menghubungiku melalui sambungan telepon, ia memintaku untuk segera datang ke kantor.Aku pun bergegas menuju ke sana seorang diri.Sesampainya aku di kantor, Pak Arman pun mulai menjelaskan kronologi penangkapan Amira."Apakah benar, jika saudara Amira itu kekasih gelap Pak Raka?" selidik Pak Arman.Mati kutu aku, mau tidak mau aku harus mengakuinya, demi kelancaran proses penyelidikan kasus pembunuhan Alenaku.Aku mengangguk lemah, rasanya mendadak ingin pingsan."Kemungkinan besar, saudara Amira lah dalang di balik pembunuhan ini. Semua bukti mengarah kepadanya, kami juga menemukan handphone yang Amira gunakan untuk meneror Alena, dan berkomunikasi dengan dua pembunuh itu."Pak Arman menyodorkan handphone jadul itu.Aku melihat isi percakapannya dengan Alena, sama seperti yang aku temukan di gawai Alena saat itu.
Part12"Kami akan menuntut anak kalian, yang sudah menghamili Amira.""Silahkan, Raka pantas menerima itu semua! Dan kamu harus ingat, saya akan membuat anakmu membusuk di penjara."Wajah orang tua Amira semakin menegang, rahang Bapaknya mengeras menatap Mamah penuh kebencian."Keluarga sialan," maki Tante Nita, Mamah Amira.Mata Mamah berkaca. "Apakah harus saya buat kalian merasakan hal yang sama? Betapa hancur dan terlukanya hati saya dan Ibunya. Kehilangan menantu yang amat saya sayangi, dan itu perbuatan anak kamu, yang hanya wanita simpanan anak saya!"Mamah berkata dengan suara lirih."Jangan hina anak kami, kamu tidak tahu apa-apa tentang hidupnya."Tante Nita tidak terima dengan hinaan Ibu, bahkan suaranya bergetar, seiring dengan tatapan matanya yang mulai berembun.&nb