Share

4.SOSOK SARKAS SONY

“Dari siapa Mas?” tanya Meyra yang menjadi tak tahan untuk memendam rasa ingin tahunya ketika mendapati gurat gelisah itu tampak semakin lugas di wajah suaminya.

Nehan sedikit tersentak ketika ia mendengar pertanyaan istrinya. Bersamaan dengan itu dia segera mematikan panggilan itu tanpa berniat sedikitpun untuk menjawab. Panggilan yang berasal dari maminya jelas menyeretnya dalam gundah bila mengingat percakapan mereka semalam yang juga via ponsel, tentang desakan dari wanita yang sudah menghadirkannya ke dunia itu untuk segera memberinya cucu, juga sebuah wacana yang kemudian terumbar dengan lugas ketika maminya memintanya untuk menikahi wanita lain lagi agar keluarga Asmoro bisa segera mendapatkan generasi penerus karena mengingat dirinya yang memang seorang anak tunggal.

Tak akan mungkin Nehan mengungkapkan hal ini pada istrinya, seperti juga ia tak pernah berniat untuk mencari pendamping lain. Ia terlalu mencintai Meyra dan sudah merasa cukup bahagia dengan pernikahannya saat ini, meski tanpa hadirnya seorang anakpun. Tapi keputusannya ini tentu akan dinilai sebagai sebuah keegoisan bagi maminya, yang begitu menaruh harapan besar padanya.

Nehan menjadi dilema memikirkan ini yang membuat gurat di wajahnya berubah sendu.

”Pasti bukan berita baik, katakan ada apa Mas?” tanya Meyra mulai merasa tidak tenang mendapati wajah sang suami yang terus saja muram meski lelaki berkumis tipis itu mengulas segaris senyum tapi tetap tak mampu menutupi keresahan yang sudah merambah di dalam hati.

”Bukan apa-apa, tadi telepon dari mami, dan beliau mengatakan jika kurang sehat akhir-akhir ini dan meminta aku untuk segera pulang. Tapi nanti saja kita jalani liburan ini dulu.”

Meyra sontak memberikan tatapan gusar dengan ketegasan yang segera terunggah.

”Bagaimana mungkin Mas malah mengabaikan mami? Aku pikir mungkin sebaiknya kita tunda liburan ini dan kita harus segera pulang untuk menjenguk mami.” Meyra mulai mengemukakan opsi lain.

Nehan sontak menolak tegas.

”Tidak kita sudah merencanakan liburan seperti ini sejak lama. Kita harus tetap berangkat. Mami hanya sakit kepala biasa dan dia sudah mengatakan kalau keadaannya sudah membaik.” Nehan sedikit berterus terang tentang keadaan maminya yang memang semalam ia ketahui sedang pusing sedikit dan keluhan dari wanita yang sudah melahirkannya itu tak terungkap lugas. Maminya selalu mengatakan jika keadaannya sedang baik-baik saja.

Meyra masih tampak tenang membuatnya mengernyit dengan aura yang tetap gelisah.

”Perasaanku mendadak tak enak Mas, kamu yakin jika keadaan mami baik-baik saja? Kita harus memastikannya dengan benar Mas.”

Nehan mendesah panjang, menjadi gusar saat melihat kegusaran di wajah istrinya alih-alih menjadi bahagia seperti yang terlihat tadi sebelum adanya panggilan itu.

”Aku sepenuhnya yakin, nanti kamu boleh menelponnya sendiri setelah kita tiba di Swiss. Aku janji setelah liburan kita akan segera mengunjungi mami.”

”Bagaimana jika kita persingkat saja liburan kita?” Meyra mulai menyatakan pendapatnya menunjukkan perhatian yang besar pada mami mertuanya yang sekarang hanya tinggal sendiri ditemani para pembantu setelah papinya Nehan berpulang dua tahun silam.

Nehan kembali menarik nafasnya. Hatinya agak keberatan menuruti permintaan istrinya. Liburan ini bukan sekedar liburan karena ia juga sedang merencanakan untuk memulai bisnisnya sendiri di sana bersama seseorang yang akan mendukungnya dan mendampinginya belajar. Tentu saja semua itu juga membutuhkan waktu. Lagipula Nehan sangat yakin jika maminya sebenarnya dalam kondisi yang sehat. Desakan dari wanita yang sudah mendidiknya sejak dini itu yang sebenarnya menjadikan maminya terlihat agak sakit. Desakan agar Nehan menikah dengan wanita lain yang bisa memberinya keturunan.

”Percayalah mami baik-baik saja tak ada yang perlu dicemaskan. Jadi sekarang nikmatilah liburan kita dan bersenang-senanglah, setelah kita tiba di Zurich baru kita bisa memastikan keadan mami karena kamu tahu sendiri kan bagaimana mami? Beliau tak pernah puas berbicara singkat dengan kita. Kita akan melakukan perbincangan yang panjang dengan beliau segera setelah kita tiba di Swiss.” Nehan benar-benar ingin menghentikan pembahasan tentang maminya karena sungguh ini sangat menggelisahkannya.

Meyra mengedikkan bahu, menandakan persetujuan atas permintaan suaminya yang membuat wanita cantik berambut sepunggung itu menghentikan perdebatan mereka.

Bersamaan dengan itu taksi yang mereka tunggu datang dan mereka segera masuk ke dalam setelah meletakkan semua barang ke dalam bagasi juga di jok belakang.

Sampai di bandara mereka langsung melakukan boarding pass dan cepat-cepat masuk ke dalam pesawat yang membawa mereka ke Zurich.

***

Ketika akhirnya mereka menginjakkan kaki di Zurich, terpaan hawa dingin segera menyapa tubuh mereka yang sudah terlindungi di dalam mantel tebal.

Untunglah mobil jemputan dari omnya Nehan sudah datang lebih awal di bandara yang membuat mereka tak harus bersusah payah dan menunggu lagi.

Selama dalam perjalanan menuju kediaman salah satu anggota keluarga Nehan itu, mereka sejenak hanyut menikmati segala keindahan Zurich yang tampak memutih tertutupi salju, meski gedung-gedung indah di kota itu masih tampak kokoh menjulang dengan arsitekturnya yang serba menawan. Walau juga banyak gedung-gedung tinggi seperti yang selalu mereka saksikan di New York tapi di beberapa sisi kota, Nehan dan Meyra juga melihat gedung-gedung kuno terawat yang sangat memancarkan keklasikannya.

Meyra benar-benar menyerap semua keindahan Zurich lewat matanya, menyimpan keindahannya di dalam ceruk ingatannya. Dengan senyum yang terus terkembang yang segera menghadirkan bahagia di hati Nehan yang selalu mencintainya setelah tadi ia sempat mendapati kecemasan terunggah di wajah cantik itu ketika ia mengatakan tentang keadaan maminya.

Berkali-kali Meyra menggumamkan kekagumannya sampai akhirnya perjalanan mereka sampai di selatan Zurich di daerah yang disebut Wollerau yang memiliki pemandangan danau Zurich yang terkenal akan keindahannya. Di sinilah letak kediaman Sony lelaki yang dipanggi Nehan dengan sebutan om.

Ketika mereka sampai di rumah yang didominasi kayu dan kaca itu tampak sangat hangat di tengah terpaan salju yang kemudian menyelimuti seluruh sudut lingkungan residens yang dipenuhi tempat tinggal mewah milik orang-orang terkenal di negeri ini, Meyra dibuat berdecak kagum pada keindahan yang ditangkap oleh matanya.

Tempat ini sangatlah sempurna walau salju masih menyelimuti seluruh sisi termasuk membekukan danau yang seakan menjadi latar hunian yang berkonsep menyatu dengan alam di sekitar danau.

”Tempat ini begitu indah,” gumam Meyra mengagumi, membuat Nehan yang sedang menggandeng tangannya mengurai senyum lebar.

”Ayo kita segera masuk dan kita bisa menikmati keindahan di sekitar rumah ini dari balik jendela. Di dalam rumah sana pasti jauh lebih hangat daripada di luar sini yang sudah membuat bibirku biru gemetar kedinginan. Kecuali kalau kamu memang mau menghangatkannya sekarang juga dengan ciuman kamu.”

Nehan kembali menggoda istrinya yang membuat Meyra tersenyum simpul setelah ia berpura-pura mendengkus membalas godaan sang suami.

Sejurus kemudian Nehan segera mengajak istrinya memasuki rumah yang didominasi warna coklat itu yang pada dinding-dindingnya yang tingginya wajar itu tergantung lukisan kubisme karya Pablo Picasso yang sering membuat dahi berkerut karena keabstrakannya yang terlihat.

Meyra hanya memperhatikan lukisan-lukisan itu sejenak sampai tatapannya menangkap sesosok pria bertubuh tegap cenderung jangkung dengan cambangnya yang lebat tumbuh di sekitar rahang, datang mendekat untuk menyambut mereka.

Meyra mengulas senyum ramahnya pada sosok yang baru pertama kali ia temui itu.

Sementara Nehan langsung mengulurkan tangan pada sosok yang ia panggil om itu.

Tapi pria yang sekarang memakai kemeja kotak-kotak itu menarik tubuh Nehan ke dalam dekapannya, memeluk Nehan untuk beberapa saat sembari mengunggah tawa renyahnya yang terdengar khas.

”Akhirnya kamu mendatangiku juga di negeri yang selalu dingin ini.”

Lelaki berambut berombak itu lalu memandangi kami dengan tatapan yang lebih lekat.

”Bagaimana apa kalian kedinginan?” tanya Sony ramah pada keponakan tirinya yang sudah lama tak ia temui semenjak kakak kandungnya meninggal dua tahun silam.

Sony mulai jarang kembali ke Indonesia apalagi semenjak ayah Nehan meninggal, karena memang ia memilki hubungan yang kurang harmonis dengan iparnya yang merupakan mami dari Nehan.

Nehan yang sedang membantu istrinya melepaskan mantelnya itu hanya tersenyum tipis menanggapi seloroh pamannya.

”Kami sudah kedinginan sejak kami berada di New York,” jawab Nehan ringan.

”Oh iya aku lupa kalau sekarang keponakanku ini tinggal di New York mengejar karirnya di sana. Sebelum aku berhasil merubah pandangannya untuk mengikuti saranku dan berpijak di kaki sendiri daripada menjadi anjing peliharaan pada pengembang serakah di Manhattan.” Sony malah memberikan komentar sarkas pada pekerjaan yang digeluti Nehan saat ini.

Ucapan Sony yang blak-blakan sangat mengagetkan Meyra yang membuat wajah wanita itu menegang mulai memberikan penilaian pada sosok yang baru pertama kali dilihatnya yang memiliki kepribadian yang cenderung ramah namun begitu sarkas ketika memberikan pendapat. Meyra kemudian malah dihinggapi ketidakyakinan, apakah pria ini benar-benar tulus membantu suaminya ataukah memiliki tujuan lain yang tak ia ketahui?

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status