Udara di gudang itu seperti menahan napas.Siluet di lantai dua tidak bergerak, tapi kehadirannya mengisi ruang seperti racun tak berbau.Lampu senter David berhenti di sana, cukup untuk menangkap garis wajah yang setengah terbenam dalam bayangan.Immanuel Morgan.Darah dekat, pengkhianat di meja keluarga, dan hantu yang selama ini mereka kira terkubur.“Aku kira kau mati di Gravemount,” suara David datar, tapi ada besi di bawahnya.Immanuel hanya tersenyum tipis.“Orang yang benar-benar mati, David… adalah orang yang percaya pada kabar kematiannya sendiri.”Dendy mengangkat senjata, tapi tidak menembak.“Kalau kau di sini, berarti peta itu… bukan jebakan acak.”“Tidak ada yang acak,” jawab Immanuel.“Separuh kunci di tanganmu hanya untuk memastikan kau datang sendiri. Aku ingin lihat siapa yang cukup gila berjalan ke dalam mulut h
Hujan sisa malam menempel di aspal pesisir, memantulkan cahaya lampu jalan seperti pecahan kaca.David mengemudikan sedan hitam tanpa plat, jarum speedometer stabil, matanya tak pernah lepas dari jalan sempit yang sepi.Dendy di kursi penumpang, mantel kulitnya terbuka, pistol tersembunyi di bawahnya.Asap rokoknya membentuk lingkaran yang hancur setiap kali mobil melewati tikungan.“Masih ada waktu untuk mundur,” ucap Dendy tanpa menoleh.David menggeleng. “Kau tahu kita tidak akan melakukannya.”Di kursi belakang, kotak logam kecil bergetar pelan setiap kali ban menghantam lubang jalan.Di dalamnya, potongan peta sobek yang mereka bawa dari Blackstone — separuh kunci menuju jalur distribusi rahasia.Separuh lainnya mungkin menunggu di ujung malam ini… atau mungkin jebakan.Mobil melaju menembus kabut tipis. Di kejauhan, suara ombak memukul dermaga, menyamarkan bunyi mesin.Di Blackstone, ruang kerja Helena diterangi lampu meja.Bayangan jemarinya menari di atas keyboard, cepat, mant
Blackstone malam itu seperti perut binatang yang sedang menahan napas.Lampu-lampu jalan redup, basah oleh sisa hujan.Di dalam ruang taktis, aroma kopi hitam bercampur bau mesiu yang masih tertinggal dari siang tadi.David menutup pintu rapat-rapat. Mantelnya masih lembap, sepatu berlumur debu gudang Valoria.Di meja panjang, Dendy Alexander sudah duduk, satu kaki disilangkan, rokok terselip di antara jemari.Asapnya tipis, tapi baunya langsung menguasai ruangan.“Peta itu asli?” suara Dendy datar, tapi matanya menyala seperti seseorang yang baru melihat celah dalam benteng musuh.David menjatuhkan potongan kertas sobek ke meja.“Setengahnya. Yang lain entah di mana.”Dendy mengambilnya, memutar kertas itu dengan jemari seperti memeriksa pisau sebelum dilempar.“Lingkaran lama Morgan. Distribusi rahasia sebelum perang keluarga.”David hanya mengangguk, matanya menatap layar besar di dinding yang menampilkan wilayah-wilayah dengan tanda merah.“Kalau setengahnya saja begini, bayangkan
Gudang tua di pinggiran Valoria berderit pelan ketika angin laut menyusup lewat jendela pecah.Bau besi dan oli tua merayap di udara, bercampur dengan jejak samar darah lama.Lampu gantung berayun tipis, memantulkan bayangan bergerigi di dinding.Udara di dalam gudang terasa berat, seolah menyimpan napas dari tahun-tahun yang sudah mati.Setiap langkah David menimbulkan suara gemerisik kecil dari pecahan kaca yang hancur di lantai, memantulkan gema yang terdengar terlalu keras di ruang sunyi itu.Bau asin dari laut yang tak jauh berbaur dengan kelembapan lumut di dinding, membuat ruangan ini seperti kuburan yang menunggu untuk dibuka kembali.David melangkah perlahan, seolah setiap papan lantai bisa mengkhianatinya.Tangannya menyusuri dinding retak—ada bekas goresan kecil: tiga garis sejajar, lalu satu garis melintang.Kode lama.Hanya dipakai oleh mereka yang pernah bekerja di lingkaran terdalam Charles Morgan, sebelum darah dan pengkhianatan memisahkan semuanya.Lorong sempit memba
Blackstone, malam ketiga setelah operasi tersebar.Helena duduk paling ujung meja taktis yang kini tak lagi menampilkan peta. Hanya gelap. Seolah dunia pun sedang menahan napas.Dendy meletakkan tiga map lusuh di hadapannya. Satu dari Nocterra. Satu dari Valoria. Dan satu dari Belegrive.Kevin berdiri di belakangnya, menyandarkan tubuh di dinding seperti biasa. Tapi kali ini, sorot matanya berbeda. Terlalu dalam untuk hanya menyimpan strategi. Terlalu sunyi untuk disebut waspada.Wolf membuka map pertama.Di dalamnya, kertas hasil print dari server Nocterra. Nama-nama yang pernah menyamar jadi operator lintas garis. Semuanya sudah mati. Atau dibungkam.Map kedua. Valoria. Dendy meletakkan berkas itu dengan lebih pelan. Di dalamnya, bukan hanya catatan. Tapi surat operasi yang menyebut tiga nama:Lucas Alexander.Salvatore Xavier.Dimitri Morgan.
Valoria — dua hari setelah infiltrasi Nocterra.Kabut malam Valoria turun seperti selimut busuk yang terlalu lama tak diganti.Bau garam, racun logam, dan karat menempel di tenggorokan.Kota itu seakan menolak dibersihkan—seperti kenangan buruk yang tak pernah benar-benar terkubur.David menyalakan rokok, lalu mematikannya lagi bahkan sebelum sempat menghisap.Jari-jarinya basah karena udara asin, atau karena firasat yang menekan di belakang kepalanya.Di sampingnya, Wolf berjalan dalam diam.Sepatu bot mereka menjejak koridor beton bawah pelabuhan lama—tempat yang pernah jadi jalur senjata biologis saat rezim Charles masih berkuasa.“Tempat ini dibersihkan setelah kebakaran beberapa tahun lalu,” gumam Wolf.“Tapi bangkai dokumen biasanya selamat lebih lama dari manusia.”David tak menjawab.Ia menarik satu lembar catatan dari saku dalam jasnya. Sebuah peta tua, lusuh, penuh anotasi tangan.Diberi penanda tinta merah—tempat Dimitri biasa menyimpan berkas rahasia luar sistem.“Kita car