Kadang pengkhianat bukan datang untuk menang. Kadang mereka datang untuk memastikan luka tetap hidup.Blackstone bergetar.Sirene merah meraung, lampu darurat berkedip seperti nadi kota yang dipaksa berdetak dalam racun.Udara sesak oleh mesiu, darah, dan bisik musuh yang menyelinap lewat celah pintu baja.Wolf berdiri paling depan. Senjatanya mengaum, tubuh tegaknya jadi benteng sebelum yang lain sempat bergerak.Dor! Dor!Dua tubuh jatuh, darahnya memercik dinding.Tapi suara balasan lebih cepat.TRAK!Satu peluru menghantam sisi tubuh Wolf. Dadanya berguncang, bahunya terdorong ke belakang. Darah hitam-merah langsung menyembur, menodai lantai baja Blackstone.“Wolf!”Helena menjerit, langkahnya otomatis berlari mendekat. Tangannya menahan tubuh pria itu agar tidak jatuh.Darah mengalir deras di jemari kecilnya, panasnya menusuk kulit seperti api.Wolf masih berusaha berdiri. Senjatanya tetap terangkat, matanya dingin, tapi nafasnya terpotong pendek.“Jangan… jangan lepaskan barisan
Kadang musuh tak perlu menghantam dari luar. Cukup mengunci pintu, dan menunggu kita saling membakar dari dalam.Blackstone malam itu, Sirene merah masih meraung, tapi nadanya berubah.Bukan lagi alarm invasi, melainkan alarm sabotase—panjang, menusuk, seperti detak jantung yang dipaksa berlari tanpa oksigen. Lampu darurat berkedip-kedip, setiap kilatan mencabik wajah mereka seperti pisau yang menolak berhenti.Helena berdiri di depan meja taktis yang sudah mati.Pistolnya masih hangat, tapi bukan senjata itu yang membuat tangannya kaku—melainkan kesadaran bahwa ruang ini, benteng terkuat Alexander, kini telah jadi kandang.“Pintu timur terkunci manual,” lapor Wolf, matanya menyapu panel dinding.Suaranya rendah, tapi tegas. “Seseorang menutupnya dari sistem inti. Kita terjebak.”Kevin mendekat ke Helena, tubuhnya merapat, bahu menyentuh bahu. Tangannya masih menahan jemari Helena, seakan genggaman itu adalah rantai terakhir yang menambatkannya di dunia ini.“Kalau ada pintu terkunci
Kadang luka bukan untuk disembuhkan. Kadang luka hanya menunggu cukup lama… untuk tumbuh jadi perang. Malam itu di Drosnya. Bunker tua itu berbau lembap dan besi karat. Lampu kuning redup menggantung dari kabel kusut, menerangi peta besar di meja beton. Setiap titik merah di peta adalah darah yang belum tumpah, tapi sudah dijanjikan. Ronald Xavier berdiri tegak, jas hitamnya rapi meski lantai dipenuhi abu rokok dan serpihan kaca. Wajahnya separuh bayangan, separuh cahaya. Matanya… bukan mata manusia yang bernafas, tapi mata binatang yang tahu waktunya berburu sudah dekat. “Montavaro… Dresvane… Gravemount…” suaranya berat, pelan, nyaris seperti mantra. “Semua retak. Tinggal menunggu jatuh.” Salvatore Xavier masuk, langkahnya ragu. Tubuhnya besar, tapi sorotnya penuh kegelisahan. Ia berdiri di sisi meja, menatap peta itu dengan wajah yang tidak bisa menyembunyikan keraguan. “Kau terlalu lama menunggu, Ronald,” katanya, suaranya dalam tapi tegang. “Sementara kau dia
Beberapa binatang tidak pernah mati. Mereka hanya menunggu bau darah yang tepat untuk keluar dari sarang.Blackstone masih bergetar. Sirene merah bergulir, asap mesiu belum benar-benar hilang.Bau besi darah bercampur dengan debu beton yang runtuh, membuat udara seperti luka yang belum ditutup.Helena berdiri dengan pistol yang masih hangat di tangannya, Kevin di sisinya, Dendy di seberang, Wolf menjaga pintu.Jari-jarinya masih menegang di atas pelatuk, seolah ototnya belum mengerti bahwa tembakan barusan sudah berhenti.Helena menarik napas panjang, tapi rasanya dada masih terikat besi. Ia bisa mendengar jantungnya sendiri berdetak lebih keras daripada sirene.Setiap kedipan matanya menyalin bayangan gudang lama—darah Falcon, teriakan Kevin, tatapan David. Semua bercampur jadi satu luka yang tidak sembuh.Malam ini, ia tidak lagi berdiri sebagai adik yang menu
Kadang peluru bukan hanya membunuh. Kadang ia mengingatkan siapa yang masih hidup—dan siapa yang berhak berdiri di meja.Blackstone.Lampu darurat merah terus berputar, memecah wajah mereka jadi potongan-potongan bayangan.Helena berdiri paling dekat ke pintu. Suara langkah dari luar makin keras—berat, lambat, tapi pasti.Kevin merapatkan tubuhnya ke Helena, bahunya menempel, pistol di genggaman sudah terangkat.Jemari Kevin masih menahan tangan Helena, seolah genggaman itu adalah tali terakhir yang menjaga kewarasan.“Lena…” suaranya serak, nyaris seperti bisikan doa. “Kau tetap di sini. Apa pun yang terjadi.”Tapi Helena menoleh cepat. Mata hitamnya terbakar.“Aku tidak bisa hanya berdiri lagi, Kev.”Suara itu membuat Kevin terdiam sepersekian detik.Bukan rengekan. Bukan ketakutan. Itu pernyataan.Wolf menoleh sekilas,
Kadang musuh paling mematikan bukan yang menembak dari kejauhan… tapi yang duduk di meja yang sama denganmu.Gudang generator Blackstone meraung pelan, tapi tak cukup memberi cahaya penuh. Ruang taktis hanya disinari lampu darurat merah, membuat semua wajah tampak seperti dipulas darah.Pintu baja bergetar—dari luar, seseorang memaksa sistem manual.Wolf sudah mengangkat senjata, tubuh tegak di samping pintu. Matanya tak bergerak, seperti anjing pemburu yang mencium darah.“Ini bukan serangan luar,” katanya datar.“Seseorang pakai akses dalam.”Kevin berdiri tegak di depan Helena, pistol sudah terarah. Jemarinya masih menahan tangan Helena, seolah memastikan perempuan itu tak akan direbut sekali pun oleh kegelapan.“Kalau mereka bisa sampai pintu ini,” gumamnya dingin, “artinya racun sudah menetes jauh ke dalam.”Dendy tidak bergerak.Tapi justru diam itulah yang membuat udara makin berat. Ia berdiri di ujung meja taktis, cahaya merah menorehkan garis keras di wajahnya.“Buka pintu,”