Share

CHAPTER 115. DUA LEGENDARIS

Author: Selena Vyera
last update Huling Na-update: 2025-08-23 19:38:44

Ada momen ketika peluru berhenti bicara.

Yang tersisa hanyalah dua bayangan—dan dunia menahan napas, menunggu siapa yang akan jatuh lebih dulu.

Hujan masih menabuh pelabuhan, tapi suara tembakan mereda.

Bukan karena peluru habis.

Tapi karena setiap bidak di lapangan menahan diri, menunggu perintah dari pusat.

Di sisi dermaga, Kevin berdiri. Tubuhnya tegak, pistol masih terarah, tatapannya hitam dingin.

Sedikit condong ke depan, seolah tubuhnya siap merobek garis musuh kapan saja. Setiap ototnya bukan hanya ancaman—tapi janji: kalau ia bergerak, akan ada yang mati.

Di sisi lain, Dendy melangkah ke samping, masuk ke garis sejajar dengannya.

Basah kuyup, jas hitamnya menempel di tubuh, tapi wajahnya sama sekali tidak terusik.

Satu tangan memutar pisau, kilatan baja menari bersama hujan. Satu tangan lain memegang pistol dengan santai, seolah waktu bukan musuhnya.

Dua pria. Dua legenda. Dua eksekutor berbeda generasi.

Helena berdiri di antara mereka, merasakan tekanan yang bahkan lebih taj
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 146. DARAH YANG MEMBAYAR API

    Kadang pengkhianat bukan datang untuk menang. Kadang mereka datang untuk memastikan luka tetap hidup.Blackstone bergetar.Sirene merah meraung, lampu darurat berkedip seperti nadi kota yang dipaksa berdetak dalam racun.Udara sesak oleh mesiu, darah, dan bisik musuh yang menyelinap lewat celah pintu baja.Wolf berdiri paling depan. Senjatanya mengaum, tubuh tegaknya jadi benteng sebelum yang lain sempat bergerak.Dor! Dor!Dua tubuh jatuh, darahnya memercik dinding.Tapi suara balasan lebih cepat.TRAK!Satu peluru menghantam sisi tubuh Wolf. Dadanya berguncang, bahunya terdorong ke belakang. Darah hitam-merah langsung menyembur, menodai lantai baja Blackstone.“Wolf!”Helena menjerit, langkahnya otomatis berlari mendekat. Tangannya menahan tubuh pria itu agar tidak jatuh.Darah mengalir deras di jemari kecilnya, panasnya menusuk kulit seperti api.Wolf masih berusaha berdiri. Senjatanya tetap terangkat, matanya dingin, tapi nafasnya terpotong pendek.“Jangan… jangan lepaskan barisan

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 145. API DALAM RUANG TERKUNCI

    Kadang musuh tak perlu menghantam dari luar. Cukup mengunci pintu, dan menunggu kita saling membakar dari dalam.Blackstone malam itu, Sirene merah masih meraung, tapi nadanya berubah.Bukan lagi alarm invasi, melainkan alarm sabotase—panjang, menusuk, seperti detak jantung yang dipaksa berlari tanpa oksigen. Lampu darurat berkedip-kedip, setiap kilatan mencabik wajah mereka seperti pisau yang menolak berhenti.Helena berdiri di depan meja taktis yang sudah mati.Pistolnya masih hangat, tapi bukan senjata itu yang membuat tangannya kaku—melainkan kesadaran bahwa ruang ini, benteng terkuat Alexander, kini telah jadi kandang.“Pintu timur terkunci manual,” lapor Wolf, matanya menyapu panel dinding.Suaranya rendah, tapi tegas. “Seseorang menutupnya dari sistem inti. Kita terjebak.”Kevin mendekat ke Helena, tubuhnya merapat, bahu menyentuh bahu. Tangannya masih menahan jemari Helena, seakan genggaman itu adalah rantai terakhir yang menambatkannya di dunia ini.“Kalau ada pintu terkunci

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 144. DARAH YANG MENUNGGU

    Kadang luka bukan untuk disembuhkan. Kadang luka hanya menunggu cukup lama… untuk tumbuh jadi perang. Malam itu di Drosnya. Bunker tua itu berbau lembap dan besi karat. Lampu kuning redup menggantung dari kabel kusut, menerangi peta besar di meja beton. Setiap titik merah di peta adalah darah yang belum tumpah, tapi sudah dijanjikan. Ronald Xavier berdiri tegak, jas hitamnya rapi meski lantai dipenuhi abu rokok dan serpihan kaca. Wajahnya separuh bayangan, separuh cahaya. Matanya… bukan mata manusia yang bernafas, tapi mata binatang yang tahu waktunya berburu sudah dekat. “Montavaro… Dresvane… Gravemount…” suaranya berat, pelan, nyaris seperti mantra. “Semua retak. Tinggal menunggu jatuh.” Salvatore Xavier masuk, langkahnya ragu. Tubuhnya besar, tapi sorotnya penuh kegelisahan. Ia berdiri di sisi meja, menatap peta itu dengan wajah yang tidak bisa menyembunyikan keraguan. “Kau terlalu lama menunggu, Ronald,” katanya, suaranya dalam tapi tegang. “Sementara kau dia

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 143. BAYANGAN YANG KEMBALI

    Beberapa binatang tidak pernah mati. Mereka hanya menunggu bau darah yang tepat untuk keluar dari sarang.Blackstone masih bergetar. Sirene merah bergulir, asap mesiu belum benar-benar hilang.Bau besi darah bercampur dengan debu beton yang runtuh, membuat udara seperti luka yang belum ditutup.Helena berdiri dengan pistol yang masih hangat di tangannya, Kevin di sisinya, Dendy di seberang, Wolf menjaga pintu.Jari-jarinya masih menegang di atas pelatuk, seolah ototnya belum mengerti bahwa tembakan barusan sudah berhenti.Helena menarik napas panjang, tapi rasanya dada masih terikat besi. Ia bisa mendengar jantungnya sendiri berdetak lebih keras daripada sirene.Setiap kedipan matanya menyalin bayangan gudang lama—darah Falcon, teriakan Kevin, tatapan David. Semua bercampur jadi satu luka yang tidak sembuh.Malam ini, ia tidak lagi berdiri sebagai adik yang menu

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 142. PELURU YANG MENGINGATKAN

    Kadang peluru bukan hanya membunuh. Kadang ia mengingatkan siapa yang masih hidup—dan siapa yang berhak berdiri di meja.Blackstone.Lampu darurat merah terus berputar, memecah wajah mereka jadi potongan-potongan bayangan.Helena berdiri paling dekat ke pintu. Suara langkah dari luar makin keras—berat, lambat, tapi pasti.Kevin merapatkan tubuhnya ke Helena, bahunya menempel, pistol di genggaman sudah terangkat.Jemari Kevin masih menahan tangan Helena, seolah genggaman itu adalah tali terakhir yang menjaga kewarasan.“Lena…” suaranya serak, nyaris seperti bisikan doa. “Kau tetap di sini. Apa pun yang terjadi.”Tapi Helena menoleh cepat. Mata hitamnya terbakar.“Aku tidak bisa hanya berdiri lagi, Kev.”Suara itu membuat Kevin terdiam sepersekian detik.Bukan rengekan. Bukan ketakutan. Itu pernyataan.Wolf menoleh sekilas,

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 141. BAYANGAN YANG MENYUSUP

    Kadang musuh paling mematikan bukan yang menembak dari kejauhan… tapi yang duduk di meja yang sama denganmu.Gudang generator Blackstone meraung pelan, tapi tak cukup memberi cahaya penuh. Ruang taktis hanya disinari lampu darurat merah, membuat semua wajah tampak seperti dipulas darah.Pintu baja bergetar—dari luar, seseorang memaksa sistem manual.Wolf sudah mengangkat senjata, tubuh tegak di samping pintu. Matanya tak bergerak, seperti anjing pemburu yang mencium darah.“Ini bukan serangan luar,” katanya datar.“Seseorang pakai akses dalam.”Kevin berdiri tegak di depan Helena, pistol sudah terarah. Jemarinya masih menahan tangan Helena, seolah memastikan perempuan itu tak akan direbut sekali pun oleh kegelapan.“Kalau mereka bisa sampai pintu ini,” gumamnya dingin, “artinya racun sudah menetes jauh ke dalam.”Dendy tidak bergerak.Tapi justru diam itulah yang membuat udara makin berat. Ia berdiri di ujung meja taktis, cahaya merah menorehkan garis keras di wajahnya.“Buka pintu,”

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status