Tidak semua pengkhianatan datang dari peluru.
Kadang, cukup satu kehadiran diam di balik jendela—dan segalanya mulai goyah. David duduk di meja makan, tangan kanannya menggenggam cangkir kopi yang sudah dingin, tapi belum tersentuh. Pandangannya kosong menembus jendela, namun pikirannya tak lepas dari layar monitor di ruang kerjanya semalam. Gambar termal itu masih jelas terbayang. Satu titik hangat di balkon Helena. Tak ada wajah. Tak ada suara. Hanya satu kehadiran diam yang datang... lalu menghilang, secepat bayangan. David mengepalkan jemari di bawah meja. Jangan terlalu dekat, Xavier. Kau mungkin tak sadar, tapi adikku... adalah perang yang tak akan pernah bisa kau menangkan dengan senjata. Suara langkah menarik pikirannya kembali. Helena muncul, duduk berhadapan dengannya, meraih cangkir tehnya.Beberapa tempat tidak dirancang untuk dihuni—hanya untuk bertahan. Ravenstale bukan rumah. Bukan pula benteng. Ia adalah ruang antara hidup dan mati, tempat luka-luka lama disembunyikan... dan perasaan baru tumbuh seperti racun yang tak terlihat. Kabut tipis menyelimuti tanah seperti selimut yang terlalu dingin untuk menghangatkan. Mobil hitam berhenti di depan gerbang tua yang dipenuhi karat. Engselnya mengeluh pelan saat terbuka, seolah terlalu lama tidak digerakkan. Di balik kabut tipis, bangunan itu muncul perlahan. Ravenstale. Dingin, tinggi, dan terlalu diam untuk disebut rumah. Helena turun dari mobil tanpa berkata apa-apa. Udara pagi menusuk kulitnya, bukan karena dingin, tapi karena kesepian yang begitu nyata di tempat ini. Ia menatap dinding-dinding kelam yang menjulang. Jendela-jendela sempit memanjang ke atas-arsitektur lama, seperti
Dalam dunia bayangan, ancaman tak pernah datang dengan nama. Hanya bisikan... yang cukup untuk menyalakan perang. Sore hari.... Langit Velmora mendung, seolah ikut menyimpan rahasia yang terlalu berat untuk dijelaskan. Cahaya temaram dari lampu gantung di ruang kerjanya menyorot meja kayu hitam, tempat berkas-berkas strategi dan laporan intel tersebar seperti puing-puing dari medan perang. Kevin duduk diam di kursinya. Tenang di luar, tetapi dadanya bergemuruh seperti menahan badai. Ponselnya bergetar sekali-singkat, tajam, seperti gigitan. Layar menampilkan satu pesan terenkripsi. Tidak ada pengirim. Tidak ada subjek. Hanya kalimat tunggal: "Tak ada tempat untuk bayangan berkhianat. Langkahmu sudah terhitung." Dan dia tahu: di dunia mereka, kalimat tanpa nama adalah v
Beberapa luka tak berdarah. Tapi saat seseorang terlalu dalam hidup di kepala seorang pembunuh, itu lebih mematikan daripada peluru mana pun. Langit Velmora belum benar-benar terang, tapi malam sudah kehilangan bisiknya. Di ruang bawah tanah kediaman Xavier, suara pukulan menggema—berulang, liar, seolah seseorang sedang menghukum bayangan yang tak bisa dikalahkan. Kevin Xavier mencoba membungkam pikirannya. Namun setiap pukulan hanya membuatnya semakin mendengar suara Helena Morgan—bukan jeritannya, tapi diamnya. Dan diam itu lebih berbahaya dari peluru mana pun. Dentuman tinju menelan keheningan ruangan. Keringat menetes dari rahangnya, dadanya naik turun, matanya memburu karung tinju seakan itu satu-satunya yang tersisa di dunia. Pukulan demi pukulan ia hantamkan—lebih keras, lebih brutal. Tapi tak satu pun cukup untuk membungkam wajah yang terus muncul
Tak ada musuh. Tak ada pelindung. Hanya dua jiwa yang terjebak di neraka yang sama. Mereka seharusnya saling habisi. Tapi malam membuat mereka saling menjadi napas. Malam belum selesai menumpahkan gelapnya. Dan di kamar itu, dunia seolah berhenti — hanya tersisa dua jiwa yang terperangkap antara ingin lari dan ingin saling hancur. Malam itu, Helena terbangun mendadak. Berkeringat. Napas memburu. Mimpi buruk baru saja menyergap: suara tembakan, tangisan samar, David berlumur darah, dan dirinya — kecil, sendiri di lorong gelap itu. Tangannya gemetar. Dadanya sesak. Dunia kamar menyempit, seolah hendak menghimpitnya hingga remuk. Bayangan itu bergerak dari sofa. Kevin sudah di sisinya bahkan sebelum ia sempat memanggil. Tanpa bicara, tanpa tanya — Kevin menariknya dalam pelukan. Satu tangan menahan belakang k
Perlindungan? Bagi Helena, cuma penjara emas. Kevin Xavier bukan mimpi. Dia nyata. Dan malam itu, Helena tahu: peluru tak berbahaya. Perasaanlah yang membunuh. Malam itu, Balkon Mansion Morgan dibalut kabut tipis dan aroma mawar basah dari taman yang sunyi. Helena berdiri di sana, jubah tidurnya tersapu angin malam. Dari atas, ia bisa melihat pagar besi tinggi dan para pengawal bersenjata yang mondar-mandir dalam diam. "Penjara berlapis emas," gumamnya lirih. "Tapi tetap saja... penjara." Tatapannya menembus gelap, kosong tapi gelisah. Pikirannya kembali ke malam itu—malam yang mencabik seluruh masa kecilnya. Suara tembakan, tangan David berlumur darah dan boneka lusuh yang tak pernah ia temukan lagi setelah itu. Dan di tengah kekacauan, sosok David berdiri membelakanginya. Pistol berasap di tangannya. Wajah tanpa ekspresi. Mata dingin.
Tak ada pelukan. Tak ada pengakuan. Hanya penjagaan yang tak pernah ia minta. Malam itu, Helena Morgan memutuskan: jika mati adalah harga kebebasan... ia siap membayarnya. Malam itu, Helena duduk sendirian di dekat jendela kamarnya. Kamera pengintai di lorong menyala hijau. Tirai dibiarkan setengah tertutup. Ia tahu... Dendy dan David sedang memantau. Tapi mengapa Dendy lebih memilih melindungi dari kejauhan—daripada muncul di hadapannya? Dan kenapa… rasanya lebih mengerikan ketika dia tidak terlihat? Helena Morgan memutuskan untuk mencoba kabur kembali. Ia berdiri di belakang rak buku kamarnya, menarik tuas kecil yang terbuat dari kuningan tua. Klik. Panel tersembunyi terbuka, menganga seperti rahasia masa lalu yang nyaris terlupakan. Lorong sempit di baliknya gelap dan dingin. Udara lembap menyengat hidung, dindingnya masih dipenuhi debu dan sarang