Tak semua doa dinaikkan ke langit. Ada yang dibisikkan ke darah… lalu dibayar dengan mayat.
Helena duduk di lantai dingin, punggung bersandar pada dinding baja yang membisu.Di balik pintu logam tebal itu, Kevin masih di meja operasi. Mesin-mesin menyala lirih. Bau antiseptik menusuk hingga tulang.Jaket Kevin ada di pangkuannya—masih berlumur darah. Jemarinya mencengkeram kerahnya erat-erat, seolah itu satu-satunya yang menahan jiwanya tetap utuh.Langkah sepatu berat mendekat.Dendy.Pria itu tak bicara. Ia hanya berdiri di sisi ruangan, diam bagai pilar batu. Matanya menatap pintu seolah bisa menembus dinding besi, mencari detak jantung Kevin di baliknya.Helena tak mengangkat wajah. Suaranya keluar serak.“Dia selamat, kan?”Dendy menoleh perlahan. Tatapannya tetap dingin, tapi nada suaranya berubah.“Dia Kevin Xavier. Dia nggak mati semudahAda cara membunuh tanpa suara. Dendy Alexander tak pernah butuh gema untuk bicara.Gudang tua di Pelabuhan Sablecross berdiri sekarat di ujung dunia—atapnya bolong, dindingnya berkarat, dan lantainya berlumur solar dan abu logam.Tapi malam ini, bukan atap yang bocor yang berbahaya.Dendy Alexander sudah masuk.Dan ia tidak datang untuk bernegosiasi.Ia merayap turun dari lantai dua—punggungnya merapat pada tembok, kaki menapaki rangka besi dengan presisi senyap.Kacamata thermal-nya menyala.Tiga titik panas.Di bawah, dua penjaga.Satu bersandar, tertidur dengan senapan masih menggantung di lututnya.Satu lagi, bersandar di dinding, memainkan ponsel.Dendy tak menarik napas.Tangannya sudah di pisau.Ia turun cepat, tubuhnya satu garis bayangan. Begitu mendarat—tak ada bunyi.Langkah mendekat, satu... dua... tiga...
Tak semua doa dinaikkan ke langit. Ada yang dibisikkan ke darah… lalu dibayar dengan mayat.Helena duduk di lantai dingin, punggung bersandar pada dinding baja yang membisu.Di balik pintu logam tebal itu, Kevin masih di meja operasi. Mesin-mesin menyala lirih. Bau antiseptik menusuk hingga tulang.Jaket Kevin ada di pangkuannya—masih berlumur darah. Jemarinya mencengkeram kerahnya erat-erat, seolah itu satu-satunya yang menahan jiwanya tetap utuh.Langkah sepatu berat mendekat.Dendy.Pria itu tak bicara. Ia hanya berdiri di sisi ruangan, diam bagai pilar batu. Matanya menatap pintu seolah bisa menembus dinding besi, mencari detak jantung Kevin di baliknya.Helena tak mengangkat wajah. Suaranya keluar serak.“Dia selamat, kan?”Dendy menoleh perlahan. Tatapannya tetap dingin, tapi nada suaranya berubah.“Dia Kevin Xavier. Dia nggak mati semudah
Di bawah tanah, semua bau mematikan: tembakau, logam, darah.Ruang taktis bawah tanah itu dipenuhi aroma tembakau mahal dan bau logam dingin dari senjata yang tersusun rapi.Lampu redup menggantung rendah, memantulkan bayangan panjang dua lelaki misterius yang duduk di kursi kulit tua, membelakangi deretan monitor yang menampilkan rekaman pelabuhan Velmora Barat.Joshua Brown melangkah masuk, bajunya berlumur darah dan debu, napasnya masih memburu sisa kegagalan.Sepasang matanya liar, gelisah, tapi di hadapan dua lelaki itu, keberaniannya terkikis.Di depan meja kayu hitam itu, kedua lelaki hanya menatap layar—tak menoleh, tak bicara.Satu di antaranya, Salvatore Xavier, lelaki tua dengan topi fedora rendah menutupi separuh wajahnya, mengangkat cerutu, mengepulkan asap tebal yang mengaburkan sinar lampu.Di sampingnya, Immanuel Morgan, paman Helena, menyilangkan kaki, ujung sepatunya m
Velmora Barat tak butuh peluru untuk mengancam. Cukup gelap. Cukup sunyi. Cukup satu langkah salah, dan maut menanti tanpa belas. Mobil Kevin berhenti mendadak. Deru mesinnya padam. Ia turun seorang diri. Angin laut menampar wajahnya, bau karat dan garam menyengat hidung. Matanya menyisir gelap. Begitu Kevin turun, suara Dendy di earpiece bergema. “Kevin, pastikan posisi. Kami dekati radius. Jangan bikin aku harus ngubur kau di sini.” Disusul suara David singkat dan tajam. “Konfirmasi sinyal. Support disiapkan. Jangan gegabah, Kevin.” Kevin sentuh earpiece, rahangnya mengeras. “Tak ada waktu. Aku selesaikan ini semua sendiri.” Klik.Jalur mati. Kevin ingin ini menjadi urusannya. Helena tetap di dalam. Kevin mengunci pintu dari remote—satu langkahnya penuh waspada, bagai bayangan hitam di alta
Velmora Barat tak menunggu fajar untuk berperang. Malam ini, peluru bicara... dan darah jadi jawabannya. Velmora Barat dipilih. Jalur pesisir, lima jam menuju Blackstone. Cepat, tapi penuh kuburan tanpa nisan. Mobil Kevin — sport hitam, bodi anti peluru, kaca buram pelindung panas, mesin meraung menantang malam. Angin laut membawa bau asin bercampur karat darah. Lampu pelabuhan gelap mulai terlihat di kejauhan. Helena menggenggam jaket Kevin, tapi jari-jarinya mulai gemetar. Napasnya tak beraturan. Mata beningnya membesar, bayang-bayang panic attack mulai menyergap. Dan saat peluru pertama menyalak — BRAK! kaca spion pecah. Mobil oleng sedikit sebelum Kevin menguasai kemudi lagi. Kevin melirik cepat. Lena… Ada sekejap luka di sorot mata Kevin saat melihat Lena hampir tenggelam di g
Dua jalur membentang. Satu terjal, satu licin. Keduanya berlumur darah. Mobil Kevin melaju pelan, menyusuri jalur terakhir Velmora Utara. Kabut pagi mulai menipis, digantikan hembusan angin asin dari jauh. Suara mesin satu-satunya teman, membelah sunyi yang menggantung di udara. Pohon-pohon pinus yang setia mengawal perjalanan mereka kini hilang di kaca spion, tertelan bayang Velmora Utara yang makin jauh di belakang. Helena duduk diam di kursi penumpang, tubuhnya bergeming tapi jari-jarinya mencengkeram ujung jaket Kevin erat, seolah tak mau melepaskan jangkar hidup satu-satunya. Matanya lurus menatap jalan basah di depan mereka. Suara David terdengar dari komunikator, serak tapi jelas. “Kalian sudah keluar perimeter Velmora Utara. Aman sampai sini. Tapi di depan… kalian akan temui persimpangan. Pilihan kalian akan tentukan segalanya.” Kev