Home / Romansa / DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH / CHAPTER 7. SENYUM SEBELUM LEDAKAN

Share

CHAPTER 7. SENYUM SEBELUM LEDAKAN

Author: Selena Vyera
last update Huling Na-update: 2025-06-14 09:01:16

Beberapa perjalanan dimulai dengan tiket...

Tapi perjalanan ke Ravencourt dimulai dengan dusta.

Dan malam itu, Helena menukar rasa penasaran... dengan langkah menuju jerat.

Langit Velmora masih gelap saat mobilnya meluncur pelan ke pelataran mansion.

Cahaya lampu halaman menyinari jas David yang masih berbau dingin gudang dan debu malam.

Dan saat ia akhirnya tiba, bukan takdir yang menyambutnya—

tapi langkah ringan dari seorang adik... yang terlalu keras kepala untuk diabaikan.

Begitu pintu terbuka, langkah kaki kecil menyambut dari dalam.

“Kak!”

Helena berdiri di ambang pintu—masih mengenakan piyama satin, rambut digelung longgar, wajah setengah mengantuk… tapi tetap cantik dalam caranya yang tak dibuat-buat.

“Baru pulang?”

“Iya.”

“Capek?”

David belum sempat menjawab. Helena sudah menautkan lengannya dengan manja.

Siasat klasik. Dan David tahu. Ia hapal pola itu.

“Kamu mau apa?” gumamnya datar.

“Hah? Apa sih?” Helena pura-pura polos.

“Kamu gak pernah ngelendot gini... kecuali ada yang kamu mau.”

“Kak… Lena masak lho hari ini.”

“Bukan itu intinya.”

“Nanti aja bilangnya. Sambil wine di balkon, ya? Aku udah siapin dua gelas.”

David menatap adiknya, mencibir tanpa suara.

“Kamu ngatur aku sekarang?”

“Enggak. Cuma menghargai kakak tercinta yang butuh relaksasi,” kata Helena sambil menggoda.

David menghela napas, membiarkan dirinya ditarik ke ruang duduk sebentar.

“Gudang ya? Ada yang nggak beres?”

“Dunia bawah tanah gak pernah tidur.”

Helena memijat bahu David pelan, lalu berbisik manja,

“Yuk, naik ke balkon dulu. Aku pijitin. Kamu kelihatan capek banget.”

Langkah mereka bergema ringan menapaki tangga batu menuju lantai tiga.

David menatap punggung adiknya—langkah yang sejak kecil selalu muncul saat luka menganga.

Dan biasanya… disusul keputusan bodoh yang tetap akan ia lindungi mati-matian.

Sesampainya di balkon, Helena menyerahkan satu gelas wine dengan senyum manisnya. Kadang, senyuman paling manis... justru muncul saat hati paling curiga.

“Kakak capek, kan?” gumamnya sambil tersenyum manja.

“Cukup.”

“Mau Lena pijitin lagi?”

“Lena…”

David menatap gelas, lalu matanya bergeser ke arah wajah adiknya.

“Setiap kamu ngajak wine malam-malam sambil nyandarin kepala... itu pasti karena kamu mau sesuatu.”

“Duh... Kakak cenayang sekarang?”

“Bukan. Cuma kakak dari cewek paling nekat dan keras kepala di dunia.”

Helena tersenyum penuh kemenangan.

“Gimana kalau... kita ke Ravencourt? Healing sedikit.”

David melirik sinis.

“Di Ravencourt banyak musuh Ayah, Lena.”

Sambil memperhatikan raut wajah Helena yang sedikit berubah.

“Tapi... baiklah. Asal kamu tetap dalam penjagaan Kakak.”

“Serius? Kukira Kakak bakal langsung nolak.”

“Kadang... bahaya lebih mudah diatur daripada rasa ingin tahumu yang terlalu liar.”

“Anggap aja ini hadiah karena aku masak hari ini.”

“Kalau begitu, pastikan Ravencourt nggak jadi dapur penyembelihan.”

“Kak, please…”

David meraih ponselnya.

“Siapkan pengawal. Mobil taktis. Jalur senyap. Kita berangkat besok pagi.”

Helena menatap kakaknya penuh tanya.

“Besok?”

David menyesap winenya lagi. Angin malam menyapu helaian rambut Helena yang tergerai.

Ia menatapnya dalam, seolah mencoba menghafal wajah itu sekali lagi sebelum badai datang.

“Ya,” jawabnya pelan. “Sebelum kamu berubah pikiran... atau aku berubah keputusan.”

Helena tersenyum, tapi senyumnya tak sampai ke mata.

Mungkin karena jauh di lubuk hatinya... ia juga merasa, Ravencourt bukan sekadar liburan. Ravencourt akan mengubah segalanya.

Dan liburan itu... adalah langkah pertama ke arah luka yang lebih dalam.

Di luar balkon, angin malam menggoyang dedaunan.

Seekor burung hitam hinggap di pagar besi tua.

Dan di seberang kota, lampu Ravencourt menyala. Tenang. Seolah menunggu.

David menyesap winenya, lalu menatap langit.

Ponselnya bergetar. Sebuah panggilan masuk dari jalur aman. Ia menjawab.

“Dendy.”

“Kau yakin mengizinkannya ke Ravencourt?”

“Tidak.”

“Tapi kau tetap pergi.”

“Helena minta. Dia butuh alasan... untuk tetap merasa manusia.”

“Aku akan pantau jalur udara. Siapkan pengalihan sinyal. Kita mainkan seperti biasa.”

“Ini bukan seperti biasa. Kali ini... umpan kita... adikku sendiri.”

“Dan kita yang pasang jeratnya.”

“Apa yang dia pikir liburan… bisa saja jadi arena pembantaian.”

“Kau pikir ini saatnya dia tahu... tentang Ravencourt?”

“Bukan. Tapi mungkin… ini saatnya Ravencourt tahu siapa Helena.”

“Aku akan tanam tiga spot pengintaian. Pasar gelap. Distribusi senjata. Pelabuhan kargo.”

“Kalau musuh muncul…”

“Mereka gak akan pulang.”

Klik.

Panggilan terputus.

Helena menatap kakaknya.

“Apa maksud semua itu?”

David tidak menjawab. Ia hanya menatap jauh ke Ravencourt yang mulai bersinar dalam gelap.

“Kau minta liburan, Lena…” bisiknya, nyaris tak terdengar, “...tapi dunia tak pernah benar-benar tidur.”

Helena masih berdiri diam di sampingnya.

Tapi matanya tak lagi menatap Ravencourt—melainkan kakaknya sendiri.

“Kak...” bisiknya, “...siapa orang itu?”

David tidak langsung menjawab.

“Yang tadi nelpon?” desak Helena. “Kamu kelihatan beda setiap kali komunikasi sama dia.”

David meneguk sisa winenya. Lalu meletakkan gelas kosong ke pagar balkon.

“Nama dan fungsinya gak penting.”

“Tapi kamu percaya dia,” potong Helena. “Aku tahu itu dari nada suaramu.”

David menyipitkan mata.

“Aku percaya... dia tahu siapa yang harus dilindungi.”

“Dia pernah jaga kamu?”

“Dia pernah jaga banyak hal... termasuk satu hal yang belum sempat aku jaga dengan benar: kamu.”

“Dia bagian dari masa lalu Ayah?”

David mengangguk pelan.

“Dan sekarang... jadi bagian dari masa depanmu.”

Helena nyaris bicara lagi, tapi David menyentuh bahunya pelan.

“Lena, dunia ini punya banyak suara. Tapi hanya sedikit yang tahu cara mendengar dalam gelap. Dia salah satunya. Itu cukup.”

Velmora belum tidur, dan Ravencourt... baru saja membuka mata. Di balik liburan seorang adik, dua bayangan telah menyusun takdir yang tak bisa dibatalkan.

Malam itu, angin Ravencourt terasa sedikit lebih dingin dari biasanya—karena Ravencourt tak pernah menyukai tamu. Dan kali ini... ia sedang menunggu darah tumpah pertama.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 163. BAYANG DALAM DINGIN

    Beberapa cinta tidak mati—ia cuma belajar bersembunyi di tempat paling dingin, menunggu saat untuk membakar lagi.Ravenstale pagi itu tidak benar-benar pagi.Langitnya kelabu, seperti menolak mengakui keberadaan matahari.Kabut menggantung rendah, tebal, dan lembab, menelan halaman depan mansion hingga batas pandang tak lebih dari beberapa meter.Suara ranting patah dari jauh terdengar seperti desah napas dari dunia lain.Helena duduk di tangga batu yang mengarah ke taman belakang.Tangannya memegang cangkir kopi yang sudah dingin, uapnya tak lagi terlihat.Matanya menatap jauh ke lembah yang diselimuti kabut—tatapan kosong, tapi pikirannya bergerak terlalu cepat untuk diikuti.Ia tidak tidur semalaman.Sisa percakapan dengan Kevin masih terjebak di pikirannya, berulang-ulang seperti gema dalam ruangan yang tak punya pintu keluar.Setiap kalimatnya, setiap napasnya, menempel di kulit.Ia mencoba membencinya, tapi yang tumbuh justru rasa ingin kembali pada sesuatu yang seharusnya sudah

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 162. DINDING API

    Beberapa luka tidak butuh peluru untuk berdarah. Cukup satu tatapan... dari orang yang tidak bisa kau lupakan.Ravenstale malam itu sunyi—terlalu sunyi untuk tempat yang menyimpan begitu banyak rahasia.Api kecil di perapian memantul di dinding batu, menciptakan bayangan yang bergerak seperti roh yang gelisah.Helena berdiri di depan jendela, bahunya masih dibalut luka lama yang belum benar-benar pulih.Rambutnya jatuh menutupi sebagian wajah, tapi matanya tetap hidup—tajam, dingin, namun menyimpan sesuatu yang nyaris rapuh.Kevin berdiri di belakangnya.Tidak bicara, tidak menyentuh. Tapi jarak antara mereka terlalu kecil untuk disebut aman.Ia bisa merasakan aroma kulitnya—abu dan hujan, campur aduk seperti racun yang justru membuatnya tenang.Helena bicara dulu, tanpa menoleh.“Kau datang sayang.”Kevin tidak menjawab. Hanya menghela napas pelan, berat.“Tidur di tempat ini sama saja seperti tidur di peti mati.”“Lalu kenapa kau di sini?”“Karena di luar lebih gelap.”Hujan menetes

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 161. AKAR DALAM API

    Setiap darah punya asalnya. Dan di Ravenstale… beberapa asal seharusnya tetap terkubur.Kabut belum bubar sejak pagi.Ravenstale berdiri dalam keheningan, seperti tubuh raksasa yang menahan napas di antara dua dunia—hidup dan mati.Dari jendela kamar atas, Helena menatap pekat kabut di luar; di sanalah suara samar hujan terakhir masih menetes dari ranting.Udara dingin menusuk kulit, tapi yang lebih tajam adalah rasa sunyi yang perlahan menggigit pikirannya.Di ruang bawah, cahaya lampu redup memantul di meja besi yang dipenuhi dokumen lama, peta retak, dan abu rokok yang belum sempat dibersihkan.Dendy duduk di ujung meja, mantel hitamnya basah di bahu. Jemarinya menelusuri berkas tua yang ditulis dengan tinta nyaris pudar.Di salah satu halaman, ada simbol kecil—segitiga merah dengan huruf X di tengahnya.Wolf berdiri di belakangnya, bahu tegang.“Aku dapat ini dari sistem satelit lama di sisi timur Ravenstale. Sinyalnya bukan punya Ronald.”Dendy mengangkat kepala.“Keluarga siapa?

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 160. STRATEGI DALAM BAYANG

    Beberapa perang tak dimenangkan dengan peluru, tapi dengan siapa yang paling bisa menahan rasa sakit lebih lama.Langit di atas Blackstone berwarna kelabu tua.Hujan belum berhenti sejak mereka meninggalkan Drosnya.Di balik kaca ruang taktis, kilat sesekali menembus bayangan gedung, memantul di meja logam yang penuh peta, berkas, dan darah kering.Helena berdiri di sana—mantel hitamnya masih berbau asap dan mesiu.Tatapannya menempel pada peta besar di dinding, tapi pikirannya masih tertinggal di pabrik besi yang kini tinggal abu.Sylvania. Drosnya. Peluru yang seharusnya berhenti, tapi justru membuka bab baru.Udara ruangan dingin, tapi bukan dingin yang menenangkan.Dinginnya seperti sisa perang—menyelinap ke kulit, menempel di napas.Wolf duduk di kursi belakang, bahunya masih terbalut perban, rokok menyala di antara jari.

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 159. ABU YANG MASIH HIDUP

    Drosnya jatuh bukan karena peluru—tapi karena cinta yang memilih terbakar daripada dilupakan.Drosnya terbakar perlahan—seperti luka yang enggan menutup.Langitnya hitam, tapi setiap percikan api di bawahnya seolah menulis kembali sejarah dengan darah yang belum kering.Udara terasa berat. Asap dan hujan bersatu, menurunkan kabut logam yang membuat setiap napas terasa seperti menelan serpihan peluru.Helena berjalan di antara sisa pabrik, langkahnya berat tapi stabil.Setiap lantai yang ia injak berderit, mencampur suara hujan dengan desis logam yang mencair.Bau mesiu menempel di kulitnya. Di tangannya, pistol itu masih hangat—bukan karena peluru, tapi karena kenangan yang belum sempat mendingin.Di belakangnya, Kevin menyusul.Ia menatap punggung Helena dalam diam; bahu itu seperti menanggung kota yang sudah lama runtuh, tapi tetap berdiri karena keras kep

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 158. LUKA YANG HIDUP

    Setiap luka punya bayangannya sendiri.Beberapa bahkan… menolak sembuh.Tangga besi itu berderit di bawah langkah mereka.Panas dari kobaran api menjilat dinding pabrik, membuat udara bergetar.Asap menebal, tapi di atas sana—di platform logam yang disinari lampu merah berkedip—suara tumit Sylvania masih terdengar.Helena naik paling depan, pistolnya di tangan kanan, napasnya berat tapi teratur.Dendy di belakang, langkahnya tegap namun matanya buram oleh ingatan yang belum mati.Kevin dan Wolf menutup bawah, mengamankan jalur keluar—kalau masih ada yang bisa disebut keluar.“Dia di atas, Lena” bisik Dendy.“Aku tahu.”Nada suaranya datar, tapi di matanya, ada badai yang belum meledak.Begitu mereka mencapai puncak tangga, cahaya merah menelan semuanya.Lantai atas pabrik terbuka ke arah langit—atap logam sudah jebol sebagian, dan hujan turun seperti air suci di tengah neraka.Sylvania berdiri di ujung platform, membelakangi mereka.Gaun merahnya basah, menempel di kulit, membuatnya t

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status