Beberapa perjalanan dimulai dengan tiket...
Tapi perjalanan ke Ravencourt dimulai dengan dusta. Dan malam itu, Helena menukar rasa penasaran... dengan langkah menuju jerat. Langit Velmora masih gelap saat mobilnya meluncur pelan ke pelataran mansion. Cahaya lampu halaman menyinari jas David yang masih berbau dingin gudang dan debu malam. Dan saat ia akhirnya tiba, bukan takdir yang menyambutnya— tapi langkah ringan dari seorang adik... yang terlalu keras kepala untuk diabaikan. Begitu pintu terbuka, langkah kaki kecil menyambut dari dalam. “Kak!” Helena berdiri di ambang pintu—masih mengenakan piyama satin, rambut digelung longgar, wajah setengah mengantuk… tapi tetap cantik dalam caranya yang tak dibuat-buat. “Baru pulang?” “Iya.” “Capek?” David belum sempat menjawab. Helena sudah menautkan lengannya dengan manja. Siasat klasik. Dan David tahu. Ia hapal pola itu. “Kamu mau apa?” gumamnya datar. “Hah? Apa sih?” Helena pura-pura polos. “Kamu gak pernah ngelendot gini... kecuali ada yang kamu mau.” “Kak… Lena masak lho hari ini.” “Bukan itu intinya.” “Nanti aja bilangnya. Sambil wine di balkon, ya? Aku udah siapin dua gelas.” David menatap adiknya, mencibir tanpa suara. “Kamu ngatur aku sekarang?” “Enggak. Cuma menghargai kakak tercinta yang butuh relaksasi,” kata Helena sambil menggoda. David menghela napas, membiarkan dirinya ditarik ke ruang duduk sebentar. “Gudang ya? Ada yang nggak beres?” “Dunia bawah tanah gak pernah tidur.” Helena memijat bahu David pelan, lalu berbisik manja, “Yuk, naik ke balkon dulu. Aku pijitin. Kamu kelihatan capek banget.” Langkah mereka bergema ringan menapaki tangga batu menuju lantai tiga. David menatap punggung adiknya—langkah yang sejak kecil selalu muncul saat luka menganga. Dan biasanya… disusul keputusan bodoh yang tetap akan ia lindungi mati-matian. Sesampainya di balkon, Helena menyerahkan satu gelas wine dengan senyum manisnya. Kadang, senyuman paling manis... justru muncul saat hati paling curiga. “Kakak capek, kan?” gumamnya sambil tersenyum manja. “Cukup.” “Mau Lena pijitin lagi?” “Lena…” David menatap gelas, lalu matanya bergeser ke arah wajah adiknya. “Setiap kamu ngajak wine malam-malam sambil nyandarin kepala... itu pasti karena kamu mau sesuatu.” “Duh... Kakak cenayang sekarang?” “Bukan. Cuma kakak dari cewek paling nekat dan keras kepala di dunia.” Helena tersenyum penuh kemenangan. “Gimana kalau... kita ke Ravencourt? Healing sedikit.” David melirik sinis. “Di Ravencourt banyak musuh Ayah, Lena.” Sambil memperhatikan raut wajah Helena yang sedikit berubah. “Tapi... baiklah. Asal kamu tetap dalam penjagaan Kakak.” “Serius? Kukira Kakak bakal langsung nolak.” “Kadang... bahaya lebih mudah diatur daripada rasa ingin tahumu yang terlalu liar.” “Anggap aja ini hadiah karena aku masak hari ini.” “Kalau begitu, pastikan Ravencourt nggak jadi dapur penyembelihan.” “Kak, please…” David meraih ponselnya. “Siapkan pengawal. Mobil taktis. Jalur senyap. Kita berangkat besok pagi.” Helena menatap kakaknya penuh tanya. “Besok?” David menyesap winenya lagi. Angin malam menyapu helaian rambut Helena yang tergerai. Ia menatapnya dalam, seolah mencoba menghafal wajah itu sekali lagi sebelum badai datang. “Ya,” jawabnya pelan. “Sebelum kamu berubah pikiran... atau aku berubah keputusan.” Helena tersenyum, tapi senyumnya tak sampai ke mata. Mungkin karena jauh di lubuk hatinya... ia juga merasa, Ravencourt bukan sekadar liburan. Ravencourt akan mengubah segalanya. Dan liburan itu... adalah langkah pertama ke arah luka yang lebih dalam. Di luar balkon, angin malam menggoyang dedaunan. Seekor burung hitam hinggap di pagar besi tua. Dan di seberang kota, lampu Ravencourt menyala. Tenang. Seolah menunggu. David menyesap winenya, lalu menatap langit. Ponselnya bergetar. Sebuah panggilan masuk dari jalur aman. Ia menjawab. “Dendy.” “Kau yakin mengizinkannya ke Ravencourt?” “Tidak.” “Tapi kau tetap pergi.” “Helena minta. Dia butuh alasan... untuk tetap merasa manusia.” “Aku akan pantau jalur udara. Siapkan pengalihan sinyal. Kita mainkan seperti biasa.” “Ini bukan seperti biasa. Kali ini... umpan kita... adikku sendiri.” “Dan kita yang pasang jeratnya.” “Apa yang dia pikir liburan… bisa saja jadi arena pembantaian.” “Kau pikir ini saatnya dia tahu... tentang Ravencourt?” “Bukan. Tapi mungkin… ini saatnya Ravencourt tahu siapa Helena.” “Aku akan tanam tiga spot pengintaian. Pasar gelap. Distribusi senjata. Pelabuhan kargo.” “Kalau musuh muncul…” “Mereka gak akan pulang.” Klik. Panggilan terputus. Helena menatap kakaknya. “Apa maksud semua itu?” David tidak menjawab. Ia hanya menatap jauh ke Ravencourt yang mulai bersinar dalam gelap. “Kau minta liburan, Lena…” bisiknya, nyaris tak terdengar, “...tapi dunia tak pernah benar-benar tidur.” Helena masih berdiri diam di sampingnya. Tapi matanya tak lagi menatap Ravencourt—melainkan kakaknya sendiri. “Kak...” bisiknya, “...siapa orang itu?” David tidak langsung menjawab. “Yang tadi nelpon?” desak Helena. “Kamu kelihatan beda setiap kali komunikasi sama dia.” David meneguk sisa winenya. Lalu meletakkan gelas kosong ke pagar balkon. “Nama dan fungsinya gak penting.” “Tapi kamu percaya dia,” potong Helena. “Aku tahu itu dari nada suaramu.” David menyipitkan mata. “Aku percaya... dia tahu siapa yang harus dilindungi.” “Dia pernah jaga kamu?” “Dia pernah jaga banyak hal... termasuk satu hal yang belum sempat aku jaga dengan benar: kamu.” “Dia bagian dari masa lalu Ayah?” David mengangguk pelan. “Dan sekarang... jadi bagian dari masa depanmu.” Helena nyaris bicara lagi, tapi David menyentuh bahunya pelan. “Lena, dunia ini punya banyak suara. Tapi hanya sedikit yang tahu cara mendengar dalam gelap. Dia salah satunya. Itu cukup.” Velmora belum tidur, dan Ravencourt... baru saja membuka mata. Di balik liburan seorang adik, dua bayangan telah menyusun takdir yang tak bisa dibatalkan. Malam itu, angin Ravencourt terasa sedikit lebih dingin dari biasanya—karena Ravencourt tak pernah menyukai tamu. Dan kali ini... ia sedang menunggu darah tumpah pertama.Blackstone, malam ketiga setelah operasi tersebar.Helena duduk paling ujung meja taktis yang kini tak lagi menampilkan peta. Hanya gelap. Seolah dunia pun sedang menahan napas.Dendy meletakkan tiga map lusuh di hadapannya. Satu dari Nocterra. Satu dari Valoria. Dan satu dari Belegrive.Kevin berdiri di belakangnya, menyandarkan tubuh di dinding seperti biasa. Tapi kali ini, sorot matanya berbeda. Terlalu dalam untuk hanya menyimpan strategi. Terlalu sunyi untuk disebut waspada.Wolf membuka map pertama.Di dalamnya, kertas hasil print dari server Nocterra. Nama-nama yang pernah menyamar jadi operator lintas garis. Semuanya sudah mati. Atau dibungkam.Map kedua. Valoria. Dendy meletakkan berkas itu dengan lebih pelan. Di dalamnya, bukan hanya catatan. Tapi surat operasi yang menyebut tiga nama:Lucas Alexander.Salvatore Xavier.Dimitri Morgan.
Valoria — dua hari setelah infiltrasi Nocterra.Kabut malam Valoria turun seperti selimut busuk yang terlalu lama tak diganti.Bau garam, racun logam, dan karat menempel di tenggorokan.Kota itu seakan menolak dibersihkan—seperti kenangan buruk yang tak pernah benar-benar terkubur.David menyalakan rokok, lalu mematikannya lagi bahkan sebelum sempat menghisap.Jari-jarinya basah karena udara asin, atau karena firasat yang menekan di belakang kepalanya.Di sampingnya, Wolf berjalan dalam diam.Sepatu bot mereka menjejak koridor beton bawah pelabuhan lama—tempat yang pernah jadi jalur senjata biologis saat rezim Charles masih berkuasa.“Tempat ini dibersihkan setelah kebakaran beberapa tahun lalu,” gumam Wolf.“Tapi bangkai dokumen biasanya selamat lebih lama dari manusia.”David tak menjawab.Ia menarik satu lembar catatan dari saku dalam jasnya. Sebuah peta tua, lusuh, penuh anotasi tangan.Diberi penanda tinta merah—tempat Dimitri biasa menyimpan berkas rahasia luar sistem.“Kita car
Belegrive — tiga hari kemudian.Kota itu tak pernah tidur. Tapi tidur di Belegrive... selalu berarti mengubur kesaksian.Helena mengenakan mantel gelap, menyatu dengan arus langkah para pejalan malam.Angin membawa aroma alkohol, logam, dan nyala api dari cerobong-cerobong industri pencucian uang yang menyamar sebagai pabrik daur ulang.Helena berhenti di depan gedung tua berlapis kaca buram. Tak ada nama. Tak ada tanda. Tapi ia tahu: di dalamnya, Caspian Montgomery menyimpan semua rahasia keuangan Sylvania.Langkah kaki berhenti di belakangnya. Bukan musuh. Tapi bukan juga sekutu penuh.Seorang pria tua, dengan tubuh bungkuk dan wajah dipenuhi bekas luka. Loyalis David. Salah satu yang selamat—tapi tak pernah utuh lagi.“Kau datang sendiri,” gumam pria itu. Suaranya serak, nyaris seperti kerikil yang terinjak.Helena tidak menoleh. “Kau masih mengingat?”“Aku tidak bisa lupa, Lena. Karena mereka tak pernah berhenti membuatku mengingat.”Ia menyodorkan amplop kecil dari balik jaket. “
Blackstone dipenuhi aroma besi basah dan kertas tua malam itu.Meja taktis di ruang rapat utama sengaja dibiarkan gelap, seolah para penghuninya sepakat untuk tidak membicarakan apapun yang belum sanggup mereka telan.Dendy membuka koper besi, menaruh dokumen hasil dari Viremont di atas meja satu per satu.Map lusuh, lembaran dengan cap Morgan lama, hingga surat dari Charles Morgan yang kini menjadi hantu paling nyata di ruangan itu.Helena duduk tegak di kursi utama. Kevin bersandar di dinding belakangnya. Wolf berdiri di sisi pintu, tangan terlipat, matanya tak berkedip.David membuka suara.“Semua dokumen ini... bukan tentang pengkhianatan biasa. Mereka bukan cuma ingin menghapus namamu, Lena. Mereka ingin menghapus... konsepmu.”Helena menunduk sebentar. Lalu menatap lurus ke David. Suaranya rendah, tetapi jelas."Lalu kita mulai dari siapa yang paling takut kalau aku bertahan."David menyalakan lay
Langit pagi di atas Isle of Viremont tampak kelabu, tapi tak lagi hujan.Udara di sekitar pulau itu dingin dan basah, seolah membawa sisa-sisa rahasia yang pernah dibuang jauh ke dalam tanah.Empat siluet mendekat dari sisi dermaga tua—Helena, Kevin, Dendy, dan David.Mereka bergerak tanpa suara. Tak ada komunikasi. Hanya langkah yang sudah terlalu lama disesuaikan dengan bahaya.Bangunan spiral yang mereka tuju menjulang rendah seperti bekas tulang punggung monster purba.Struktur beton tua dengan lumut di setiap sisi. Tidak ada penjaga. Tidak ada sistem modern. Justru karena itu… tempat ini jauh lebih berbahaya."Gerbang manual," ucap Dendy pelan, menekuk tubuhnya membuka palang tua yang tersembunyi di balik semak.David menyusul masuk pertama.“Kita hanya cari dokumen. Jangan sentuh apa pun selain yang ada di daftar.”Kevin berjalan pelan di samping Helena
Blackstone tak pernah benar-benar tidur, tapi malam itu terasa seperti tubuh besar yang menahan napas.Langit masih kelabu. Hujan hanya tinggal gerimis tipis yang menetes seperti sisa air mata yang tak pernah sempat jatuh.Di ruang observasi atas, Helena berdiri sendiri menghadap kaca tebal.Di baliknya, kota bawah tanah tampak seperti labirin arteri yang tenang—padahal denyut di dalamnya mulai menyiapkan perang.Helena menggenggam secangkir teh yang sudah lama dingin. Tapi ia tak peduli. Di kepalanya, suara Raymond masih terngiang:"Ia lahir dari kelalaian."Ia mengulangnya diam-diam. Tak untuk membenci. Tapi untuk mengingat. Karena ia tahu—kalimat itulah yang akan ia balas dengan seluruh warisan yang kini ada di punggungnya.Langkah pelan terdengar. Kevin mendekat. Tidak memecah hening. Tidak bertanya apa-apa. Ia hanya berdiri di belakang Helena.Tidak menyentuh, tidak menyela. Hanya napasnya… yang membuat ruang itu terasa sedikit lebih hidup."Kau percaya takdir bisa diubah?" tanya