Home / Romansa / DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH / CHAPTER 8. BAYANGAN RAVENCOURT

Share

CHAPTER 8. BAYANGAN RAVENCOURT

Author: Selena Vyera
last update Last Updated: 2025-06-18 15:37:33

Ravencourt mungkin terlihat tenang dari kejauhan.

Tapi di antara kabut dan reruntuhan kejayaan lama...

ada mata yang mengintai Helena sejak sebelum ia tiba.

Dan yang paling berbahaya…

bukan selalu musuh di luar pagar—

tapi darah sendiri yang bernanah dalam diam.

Sunyi tidak selalu aman.

Ravencourt menyimpan lebih dari sekadar pohon tua.

Di tempat sehening itu, peluru bisa terdengar seperti bisikan...

dan kematian bisa datang dari balik kabut.

Pagi di Velmora masih berkabut saat iring-iringan mobil anti-peluru bergerak diam-diam meninggalkan gerbang kediaman Morgan.

Empat mobil lapis baja melaju dalam formasi panah.

Suara mesin nyaris tak terdengar, digantikan ketegangan sunyi yang menggantung di antara lapisan baja dan kaca gelap.

Di dalam mobil utama, Helena bersandar di jendela.

Matanya menatap hutan lebat yang bergulir cepat di luar.

Embun tipis menyelimuti kaca, dan ujung jarinya menggambar garis tak beraturan yang segera menghilang.

“Tempat ini... sunyi banget ya,” gumamnya pelan, seolah bicara pada dirinya sendiri.

David duduk di sisi seberang.

Matanya lurus ke depan, tapi pikirannya bekerja tajam seperti biasa.

Garis rahangnya mengeras setiap kali kendaraan melintasi belokan tajam.

“Itu sebabnya Ravencourt dipakai buat persembunyian,” jawabnya.

“Sunyi artinya tak terlihat. Dan tak terlihat... bisa berarti sangat berbahaya.”

Helena menoleh cepat, tapi tak membalas.

Ada perasaan aneh menggelitik dadanya—bukan ketakutan, tapi firasat yang belum bisa ia beri nama.

David menurunkan volume interkom, lalu mengetuk layar komunikasi kecil di dashboard.

Suaranya berubah tenang. Lebih dingin dari biasanya.

“Alpha Black, ini Falcon One. Status perimeter Ravencourt?”

Beberapa detik hening.

Lalu suara berat dan nyaris tak bernada menjawab dari seberang

“Falcon One, perimeter sementara aman. Jalur barat dan utara telah dibersihkan. Tim tiga dan empat menyisir sisi timur. Tidak ada pergerakan mencurigakan.”

Helena mengenal suara itu.

Dinginnya seperti tepi bilah logam.

“Bagian tengah?” tanya David.

 “Area inti dalam kendali penuh. Tapi kabutnya... terlalu rapat hari ini.”

David diam sejenak.

“Jaga agar tetap seperti itu. Jangan biarkan siapa pun tahu kami datang.”

“Titik masuk akan bersih lima menit sebelum kedatangan. Aku di posisi.”

Klik.

Sambungan terputus.

“Siapa yang barusan itu?” tanya Helena, angkat alis.

David hanya menjawab pendek,

“Bayangan yang selalu kamu pertanyakan dari dulu, Lena. Tapi belum waktunya kamu tahu lebih banyak.”

Helena mendesah.

“Selalu ‘belum waktunya’. Suatu hari aku akan tahu segalanya, Kak.”

David tidak langsung membalas.

Ia hanya menoleh sedikit, lalu kembali menatap jalanan di depan.

“Aku harap... saat hari itu datang, kamu masih cukup waras untuk memilih diam.”

“Itu ancaman?” Helena mengangkat alis.

“Itu harapan,” gumam David.

“Karena semakin banyak kamu tahu... semakin besar kamu akan kehilangan dirimu sendiri. Dan itu yang kutakutkan, Lena.”

Mobil mulai melambat.

Kabut makin tebal. Ravencourt sudah dekat.

Dari balik jendela mobil, siluet bangunan tua bercampur pohon pinus menjulang mulai terlihat.

Helena menyipit.

Matanya menangkap gerbang logam setengah terbuka dengan ukiran lambang Ravencourt yang nyaris pudar dimakan waktu.

David membuka kunci pengaman pistol di pinggangnya tanpa suara.

Tak satu pun kata diucapkan.

Sementara iring-iringan kendaraan mendekati perimeter Ravencourt,

jauh di bagian terdalam kota yang tak tercatat di peta,

sebuah balkon tua terbuka perlahan.

Seorang wanita berdiri di sana.

Tubuhnya dibalut gaun beludru hitam yang menjuntai lembut.

Topi lebar bergaya bangsawan klasik menutupi sebagian wajahnya.

Saat ia mengangkat cerutu ke bibirnya,

lengan kanan gaun itu tersingkap tertiup angin.

Di sana—tertatto jelas simbol Alexander:

Sarung tangan logam mencengkeram jam pasir pecah.

Tato itu tertanam di kulit pucatnya. Hitam kelam. Tajam.

Seperti penghinaan terhadap dunia yang tak pernah memilihnya sebagai pewaris.

Tapi dia tidak peduli.

Tato itu bukan tentang warisan. Itu tentang peringatan.

“Aku tidak dilahirkan untuk duduk di belakang meja,” gumamnya.

“Aku dilahirkan... untuk mengambil apa pun yang mereka sembunyikan dariku.”

Dari balik kabut... dia melihat.

“Akhirnya,” bisiknya. “Putri Morgan… tiba juga di wilayah milikku.”

Ia menyandarkan tubuh di pilar batu tua yang dipenuhi lumut.

Cerutu kembali ke bibirnya, gerakannya lambat—menikmati setiap detik.

Matanya menyipit, bukan karena silau, tapi karena kenangan.

“Kau… putri Morgan…” bisiknya lagi. “Apa istimewanya kau?”

Langkah sepatu berdentam pelan di belakangnya.

Seorang pria dalam jas gelap mendekat, kepala tertunduk.

“Perintah, Nona?”

Wanita itu tertawa kecil.

Bukan tawa bahagia. Tapi seperti seseorang yang baru menemukan teka-teki yang menyenangkan.

“Berikan mereka sambutan hangat di Ravencourt. Tapi jangan berlebihan…”

Ia membalik badan, menatap ke arah bayangan hutan.

Di matanya, ada percikan api yang tak dimiliki perempuan biasa.

“Cukup... untuk mengoyak pertahanan jiwanya.”

Ia menghembuskan asap terakhir dari cerutunya, lalu mematikannya di pagar balkon.

“Oh, dan... Dendy Alexander berada di perimeter luar, ya?”

Pria itu mengangguk. “Seperti biasa.”

Senyum wanita itu melebar. Ada nada geli di dalamnya. Atau... sedih?

“Terlalu setia... atau terlalu cinta?” desisnya.

“Lucu sekali... dua penjaga yang menjaga sesuatu yang bahkan tidak mereka miliki.”

Ia membalik tubuh. Gaunnya berayun perlahan.

“Biarkan mereka masuk. Tapi pastikan Ravencourt... mengingat napas pertama sang putri.”

Lalu ia menghilang ke balik pintu.

Seperti bayangan masa lalu yang tahu kapan harus menunggu.

Ravencourt tidak menyambut dengan peluru.

Ia menyambut dengan diam yang menusuk,

dan mata yang sudah hafal siapa yang pantas dijatuhkan.

Dan di antara kabut yang belum bubar sepenuhnya…

satu kebenaran mulai mengintai:

yang paling berbahaya bukan yang menyerang dari luar,

tapi yang tersenyum dari dalam bayangan, sambil menunggu waktu untuk menikam.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 163. BAYANG DALAM DINGIN

    Beberapa cinta tidak mati—ia cuma belajar bersembunyi di tempat paling dingin, menunggu saat untuk membakar lagi.Ravenstale pagi itu tidak benar-benar pagi.Langitnya kelabu, seperti menolak mengakui keberadaan matahari.Kabut menggantung rendah, tebal, dan lembab, menelan halaman depan mansion hingga batas pandang tak lebih dari beberapa meter.Suara ranting patah dari jauh terdengar seperti desah napas dari dunia lain.Helena duduk di tangga batu yang mengarah ke taman belakang.Tangannya memegang cangkir kopi yang sudah dingin, uapnya tak lagi terlihat.Matanya menatap jauh ke lembah yang diselimuti kabut—tatapan kosong, tapi pikirannya bergerak terlalu cepat untuk diikuti.Ia tidak tidur semalaman.Sisa percakapan dengan Kevin masih terjebak di pikirannya, berulang-ulang seperti gema dalam ruangan yang tak punya pintu keluar.Setiap kalimatnya, setiap napasnya, menempel di kulit.Ia mencoba membencinya, tapi yang tumbuh justru rasa ingin kembali pada sesuatu yang seharusnya sudah

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 162. DINDING API

    Beberapa luka tidak butuh peluru untuk berdarah. Cukup satu tatapan... dari orang yang tidak bisa kau lupakan.Ravenstale malam itu sunyi—terlalu sunyi untuk tempat yang menyimpan begitu banyak rahasia.Api kecil di perapian memantul di dinding batu, menciptakan bayangan yang bergerak seperti roh yang gelisah.Helena berdiri di depan jendela, bahunya masih dibalut luka lama yang belum benar-benar pulih.Rambutnya jatuh menutupi sebagian wajah, tapi matanya tetap hidup—tajam, dingin, namun menyimpan sesuatu yang nyaris rapuh.Kevin berdiri di belakangnya.Tidak bicara, tidak menyentuh. Tapi jarak antara mereka terlalu kecil untuk disebut aman.Ia bisa merasakan aroma kulitnya—abu dan hujan, campur aduk seperti racun yang justru membuatnya tenang.Helena bicara dulu, tanpa menoleh.“Kau datang sayang.”Kevin tidak menjawab. Hanya menghela napas pelan, berat.“Tidur di tempat ini sama saja seperti tidur di peti mati.”“Lalu kenapa kau di sini?”“Karena di luar lebih gelap.”Hujan menetes

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 161. AKAR DALAM API

    Setiap darah punya asalnya. Dan di Ravenstale… beberapa asal seharusnya tetap terkubur.Kabut belum bubar sejak pagi.Ravenstale berdiri dalam keheningan, seperti tubuh raksasa yang menahan napas di antara dua dunia—hidup dan mati.Dari jendela kamar atas, Helena menatap pekat kabut di luar; di sanalah suara samar hujan terakhir masih menetes dari ranting.Udara dingin menusuk kulit, tapi yang lebih tajam adalah rasa sunyi yang perlahan menggigit pikirannya.Di ruang bawah, cahaya lampu redup memantul di meja besi yang dipenuhi dokumen lama, peta retak, dan abu rokok yang belum sempat dibersihkan.Dendy duduk di ujung meja, mantel hitamnya basah di bahu. Jemarinya menelusuri berkas tua yang ditulis dengan tinta nyaris pudar.Di salah satu halaman, ada simbol kecil—segitiga merah dengan huruf X di tengahnya.Wolf berdiri di belakangnya, bahu tegang.“Aku dapat ini dari sistem satelit lama di sisi timur Ravenstale. Sinyalnya bukan punya Ronald.”Dendy mengangkat kepala.“Keluarga siapa?

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 160. STRATEGI DALAM BAYANG

    Beberapa perang tak dimenangkan dengan peluru, tapi dengan siapa yang paling bisa menahan rasa sakit lebih lama.Langit di atas Blackstone berwarna kelabu tua.Hujan belum berhenti sejak mereka meninggalkan Drosnya.Di balik kaca ruang taktis, kilat sesekali menembus bayangan gedung, memantul di meja logam yang penuh peta, berkas, dan darah kering.Helena berdiri di sana—mantel hitamnya masih berbau asap dan mesiu.Tatapannya menempel pada peta besar di dinding, tapi pikirannya masih tertinggal di pabrik besi yang kini tinggal abu.Sylvania. Drosnya. Peluru yang seharusnya berhenti, tapi justru membuka bab baru.Udara ruangan dingin, tapi bukan dingin yang menenangkan.Dinginnya seperti sisa perang—menyelinap ke kulit, menempel di napas.Wolf duduk di kursi belakang, bahunya masih terbalut perban, rokok menyala di antara jari.

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 159. ABU YANG MASIH HIDUP

    Drosnya jatuh bukan karena peluru—tapi karena cinta yang memilih terbakar daripada dilupakan.Drosnya terbakar perlahan—seperti luka yang enggan menutup.Langitnya hitam, tapi setiap percikan api di bawahnya seolah menulis kembali sejarah dengan darah yang belum kering.Udara terasa berat. Asap dan hujan bersatu, menurunkan kabut logam yang membuat setiap napas terasa seperti menelan serpihan peluru.Helena berjalan di antara sisa pabrik, langkahnya berat tapi stabil.Setiap lantai yang ia injak berderit, mencampur suara hujan dengan desis logam yang mencair.Bau mesiu menempel di kulitnya. Di tangannya, pistol itu masih hangat—bukan karena peluru, tapi karena kenangan yang belum sempat mendingin.Di belakangnya, Kevin menyusul.Ia menatap punggung Helena dalam diam; bahu itu seperti menanggung kota yang sudah lama runtuh, tapi tetap berdiri karena keras kep

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 158. LUKA YANG HIDUP

    Setiap luka punya bayangannya sendiri.Beberapa bahkan… menolak sembuh.Tangga besi itu berderit di bawah langkah mereka.Panas dari kobaran api menjilat dinding pabrik, membuat udara bergetar.Asap menebal, tapi di atas sana—di platform logam yang disinari lampu merah berkedip—suara tumit Sylvania masih terdengar.Helena naik paling depan, pistolnya di tangan kanan, napasnya berat tapi teratur.Dendy di belakang, langkahnya tegap namun matanya buram oleh ingatan yang belum mati.Kevin dan Wolf menutup bawah, mengamankan jalur keluar—kalau masih ada yang bisa disebut keluar.“Dia di atas, Lena” bisik Dendy.“Aku tahu.”Nada suaranya datar, tapi di matanya, ada badai yang belum meledak.Begitu mereka mencapai puncak tangga, cahaya merah menelan semuanya.Lantai atas pabrik terbuka ke arah langit—atap logam sudah jebol sebagian, dan hujan turun seperti air suci di tengah neraka.Sylvania berdiri di ujung platform, membelakangi mereka.Gaun merahnya basah, menempel di kulit, membuatnya t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status