Ravencourt mungkin terlihat tenang dari kejauhan.
Tapi di antara kabut dan reruntuhan kejayaan lama... ada mata yang mengintai Helena sejak sebelum ia tiba. Dan yang paling berbahaya… bukan selalu musuh di luar pagar— tapi darah sendiri yang bernanah dalam diam. Sunyi tidak selalu aman. Ravencourt menyimpan lebih dari sekadar pohon tua. Di tempat sehening itu, peluru bisa terdengar seperti bisikan... dan kematian bisa datang dari balik kabut. Pagi di Velmora masih berkabut saat iring-iringan mobil anti-peluru bergerak diam-diam meninggalkan gerbang kediaman Morgan. Empat mobil lapis baja melaju dalam formasi panah. Suara mesin nyaris tak terdengar, digantikan ketegangan sunyi yang menggantung di antara lapisan baja dan kaca gelap. Di dalam mobil utama, Helena bersandar di jendela. Matanya menatap hutan lebat yang bergulir cepat di luar. Embun tipis menyelimuti kaca, dan ujung jarinya menggambar garis tak beraturan yang segera menghilang. “Tempat ini... sunyi banget ya,” gumamnya pelan, seolah bicara pada dirinya sendiri. David duduk di sisi seberang. Matanya lurus ke depan, tapi pikirannya bekerja tajam seperti biasa. Garis rahangnya mengeras setiap kali kendaraan melintasi belokan tajam. “Itu sebabnya Ravencourt dipakai buat persembunyian,” jawabnya. “Sunyi artinya tak terlihat. Dan tak terlihat... bisa berarti sangat berbahaya.” Helena menoleh cepat, tapi tak membalas. Ada perasaan aneh menggelitik dadanya—bukan ketakutan, tapi firasat yang belum bisa ia beri nama. David menurunkan volume interkom, lalu mengetuk layar komunikasi kecil di dashboard. Suaranya berubah tenang. Lebih dingin dari biasanya. “Alpha Black, ini Falcon One. Status perimeter Ravencourt?” Beberapa detik hening. Lalu suara berat dan nyaris tak bernada menjawab dari seberang “Falcon One, perimeter sementara aman. Jalur barat dan utara telah dibersihkan. Tim tiga dan empat menyisir sisi timur. Tidak ada pergerakan mencurigakan.” Helena mengenal suara itu. Dinginnya seperti tepi bilah logam. “Bagian tengah?” tanya David. “Area inti dalam kendali penuh. Tapi kabutnya... terlalu rapat hari ini.” David diam sejenak. “Jaga agar tetap seperti itu. Jangan biarkan siapa pun tahu kami datang.” “Titik masuk akan bersih lima menit sebelum kedatangan. Aku di posisi.” Klik. Sambungan terputus. “Siapa yang barusan itu?” tanya Helena, angkat alis. David hanya menjawab pendek, “Bayangan yang selalu kamu pertanyakan dari dulu, Lena. Tapi belum waktunya kamu tahu lebih banyak.” Helena mendesah. “Selalu ‘belum waktunya’. Suatu hari aku akan tahu segalanya, Kak.” David tidak langsung membalas. Ia hanya menoleh sedikit, lalu kembali menatap jalanan di depan. “Aku harap... saat hari itu datang, kamu masih cukup waras untuk memilih diam.” “Itu ancaman?” Helena mengangkat alis. “Itu harapan,” gumam David. “Karena semakin banyak kamu tahu... semakin besar kamu akan kehilangan dirimu sendiri. Dan itu yang kutakutkan, Lena.” Mobil mulai melambat. Kabut makin tebal. Ravencourt sudah dekat. Dari balik jendela mobil, siluet bangunan tua bercampur pohon pinus menjulang mulai terlihat. Helena menyipit. Matanya menangkap gerbang logam setengah terbuka dengan ukiran lambang Ravencourt yang nyaris pudar dimakan waktu. David membuka kunci pengaman pistol di pinggangnya tanpa suara. Tak satu pun kata diucapkan. Sementara iring-iringan kendaraan mendekati perimeter Ravencourt, jauh di bagian terdalam kota yang tak tercatat di peta, sebuah balkon tua terbuka perlahan. Seorang wanita berdiri di sana. Tubuhnya dibalut gaun beludru hitam yang menjuntai lembut. Topi lebar bergaya bangsawan klasik menutupi sebagian wajahnya. Saat ia mengangkat cerutu ke bibirnya, lengan kanan gaun itu tersingkap tertiup angin. Di sana—tertatto jelas simbol Alexander: Sarung tangan logam mencengkeram jam pasir pecah. Tato itu tertanam di kulit pucatnya. Hitam kelam. Tajam. Seperti penghinaan terhadap dunia yang tak pernah memilihnya sebagai pewaris. Tapi dia tidak peduli. Tato itu bukan tentang warisan. Itu tentang peringatan. “Aku tidak dilahirkan untuk duduk di belakang meja,” gumamnya. “Aku dilahirkan... untuk mengambil apa pun yang mereka sembunyikan dariku.” Dari balik kabut... dia melihat. “Akhirnya,” bisiknya. “Putri Morgan… tiba juga di wilayah milikku.” Ia menyandarkan tubuh di pilar batu tua yang dipenuhi lumut. Cerutu kembali ke bibirnya, gerakannya lambat—menikmati setiap detik. Matanya menyipit, bukan karena silau, tapi karena kenangan. “Kau… putri Morgan…” bisiknya lagi. “Apa istimewanya kau?” Langkah sepatu berdentam pelan di belakangnya. Seorang pria dalam jas gelap mendekat, kepala tertunduk. “Perintah, Nona?” Wanita itu tertawa kecil. Bukan tawa bahagia. Tapi seperti seseorang yang baru menemukan teka-teki yang menyenangkan. “Berikan mereka sambutan hangat di Ravencourt. Tapi jangan berlebihan…” Ia membalik badan, menatap ke arah bayangan hutan. Di matanya, ada percikan api yang tak dimiliki perempuan biasa. “Cukup... untuk mengoyak pertahanan jiwanya.” Ia menghembuskan asap terakhir dari cerutunya, lalu mematikannya di pagar balkon. “Oh, dan... Dendy Alexander berada di perimeter luar, ya?” Pria itu mengangguk. “Seperti biasa.” Senyum wanita itu melebar. Ada nada geli di dalamnya. Atau... sedih? “Terlalu setia... atau terlalu cinta?” desisnya. “Lucu sekali... dua penjaga yang menjaga sesuatu yang bahkan tidak mereka miliki.” Ia membalik tubuh. Gaunnya berayun perlahan. “Biarkan mereka masuk. Tapi pastikan Ravencourt... mengingat napas pertama sang putri.” Lalu ia menghilang ke balik pintu. Seperti bayangan masa lalu yang tahu kapan harus menunggu. Ravencourt tidak menyambut dengan peluru. Ia menyambut dengan diam yang menusuk, dan mata yang sudah hafal siapa yang pantas dijatuhkan. Dan di antara kabut yang belum bubar sepenuhnya… satu kebenaran mulai mengintai: yang paling berbahaya bukan yang menyerang dari luar, tapi yang tersenyum dari dalam bayangan, sambil menunggu waktu untuk menikam.Kadang luka bukan untuk disembuhkan. Kadang luka hanya menunggu cukup lama… untuk tumbuh jadi perang.Malam itu di Drosnya. Bunker tua itu berbau lembap dan besi karat.Lampu kuning redup menggantung dari kabel kusut, menerangi peta besar di meja beton.Setiap titik merah di peta adalah darah yang belum tumpah, tapi sudah dijanjikan.Ronald Xavier berdiri tegak, jas hitamnya rapi meski lantai dipenuhi abu rokok dan serpihan kaca.Wajahnya separuh bayangan, separuh cahaya. Matanya… bukan mata manusia yang bernafas, tapi mata binatang yang tahu waktunya berburu sudah dekat.“Montavaro… Dresvane… Gravemount…” suaranya berat, pelan, nyaris seperti mantra.“Semua retak. Tinggal menunggu jatuh.”Salvatore Xavier masuk, langkahnya ragu.Tubuhnya besar, tapi sorotnya penuh kegelisahan. Ia berdiri di sisi meja, menatap peta itu dengan wajah yang tidak bisa menyembunyikan keraguan.“Kau terlalu lama menunggu, Ronald,” katanya, suaranya dalam tapi tegang. “Sementara kau diam, Kevin menghancurka
Beberapa binatang tidak pernah mati. Mereka hanya menunggu bau darah yang tepat untuk keluar dari sarang.Blackstone masih bergetar. Sirene merah bergulir, asap mesiu belum benar-benar hilang.Bau besi darah bercampur dengan debu beton yang runtuh, membuat udara seperti luka yang belum ditutup.Helena berdiri dengan pistol yang masih hangat di tangannya, Kevin di sisinya, Dendy di seberang, Wolf menjaga pintu.Jari-jarinya masih menegang di atas pelatuk, seolah ototnya belum mengerti bahwa tembakan barusan sudah berhenti.Helena menarik napas panjang, tapi rasanya dada masih terikat besi. Ia bisa mendengar jantungnya sendiri berdetak lebih keras daripada sirene.Setiap kedipan matanya menyalin bayangan gudang lama—darah Falcon, teriakan Kevin, tatapan David. Semua bercampur jadi satu luka yang tidak sembuh.Malam ini, ia tidak lagi berdiri sebagai adik yang menu
Kadang peluru bukan hanya membunuh. Kadang ia mengingatkan siapa yang masih hidup—dan siapa yang berhak berdiri di meja.Blackstone.Lampu darurat merah terus berputar, memecah wajah mereka jadi potongan-potongan bayangan.Helena berdiri paling dekat ke pintu. Suara langkah dari luar makin keras—berat, lambat, tapi pasti.Kevin merapatkan tubuhnya ke Helena, bahunya menempel, pistol di genggaman sudah terangkat.Jemari Kevin masih menahan tangan Helena, seolah genggaman itu adalah tali terakhir yang menjaga kewarasan.“Lena…” suaranya serak, nyaris seperti bisikan doa. “Kau tetap di sini. Apa pun yang terjadi.”Tapi Helena menoleh cepat. Mata hitamnya terbakar.“Aku tidak bisa hanya berdiri lagi, Kev.”Suara itu membuat Kevin terdiam sepersekian detik.Bukan rengekan. Bukan ketakutan. Itu pernyataan.Wolf menoleh sekilas,
Kadang musuh paling mematikan bukan yang menembak dari kejauhan… tapi yang duduk di meja yang sama denganmu.Gudang generator Blackstone meraung pelan, tapi tak cukup memberi cahaya penuh. Ruang taktis hanya disinari lampu darurat merah, membuat semua wajah tampak seperti dipulas darah.Pintu baja bergetar—dari luar, seseorang memaksa sistem manual.Wolf sudah mengangkat senjata, tubuh tegak di samping pintu. Matanya tak bergerak, seperti anjing pemburu yang mencium darah.“Ini bukan serangan luar,” katanya datar.“Seseorang pakai akses dalam.”Kevin berdiri tegak di depan Helena, pistol sudah terarah. Jemarinya masih menahan tangan Helena, seolah memastikan perempuan itu tak akan direbut sekali pun oleh kegelapan.“Kalau mereka bisa sampai pintu ini,” gumamnya dingin, “artinya racun sudah menetes jauh ke dalam.”Dendy tidak bergerak.Tapi justru diam itulah yang membuat udara makin berat. Ia berdiri di ujung meja taktis, cahaya merah menorehkan garis keras di wajahnya.“Buka pintu,”
Ketika meja taktis berubah jadi altar, darah yang menetes bukan hanya dari musuh—tapi dari orang yang seharusnya berdiri di sisi kita.Lorong Blackstone masih bergetar oleh sisa langkah.Hujan di luar menetes ke kaca baja, tapi di dalam, udara lebih berat dari kabut di Belegrive.Malam itu, Blackstone terasa lebih senyap dari biasanya. Senyap yang tidak menenangkan—senyap yang menunggu dentum pertama. Bahkan bayangan di dinding seolah menyimpan rahasia yang bisa menusuk dari belakang.Kevin berjalan paling depan, mantel hitamnya masih basah, Helena tepat di sisinya. Ia menggenggam jemari Helena seolah takut dunia bisa mencuri perempuan itu kapan saja.Tidak ada lagi ruang tarik-ulur. Malam Belegrive sudah memutus semua keraguan—Kevin Xavier berdiri di samping Helena Morgan bukan sekadar perlindungan, tapi klaim.Helena merasakan tekanan jemari Kevin. Bukan sekadar genggaman, melainkan
Mereka pikir peluru yang mematikan—padahal, yang lebih berbahaya adalah rasa yang tak pernah mati.Udara di luar gudang B-12 masih terasa berat.Helena berjalan keluar lebih dulu, napasnya teratur tapi dadanya bergetar.Tangannya masih dingin karena menggenggam pisau tadi, namun yang benar-benar membakar bukan darah di pipi Sylvania—melainkan getaran Kevin yang masih menempel di kulitnya.Kevin menyusul di sampingnya, diam, tapi matanya terus mengawasi setiap gerakannya.Aura protektifnya begitu pekat hingga membuat para pengawal Caspian menahan diri untuk tidak mengejar.Dendy keluar terakhir, langkahnya presisi, pistol masih tergenggam seolah perang berikutnya bisa meledak kapan saja.Jalan beton di luar basah oleh hujan sisa, lampu jalan memantulkan cahaya pucat.Hening. Sampai akhirnya Kevin berhenti, menatap Helena lurus.“Kau terlalu berani,” suaranya rendah, lebih mirip geraman.Helena mendongak, tatapannya menyalak. “Kalau aku tidak berani, kita semua sudah jadi catatan kaki