Tak ada yang berubah malam itu. Tapi langit terasa lebih berat dari biasanya.
David tahu… ketenangan seperti ini jarang datang tanpa harga. Dan Helena—seperti biasanya—adalah badai yang selalu tiba sebelum peluru pertama dilepaskan. Velmora Utara, Gudang Logistik Morgan. Lampu gantung hanya menyala sebagian. Suara kipas berdecit pelan, diselingi angin malam yang menyusup lewat celah dinding besi. David Morgan berdiri di depan meja logistik. Kemeja hitamnya digulung sampai siku. Sarung tangan tanpa jari masih ia kenakan. Di seberangnya, Dendy Alexander. Mantelnya basah hujan. Diam, seperti biasa. Mereka tidak saling sapa. Ketika dua pria ini bertemu, dunia tahu… ada keputusan yang tak bisa dibatalkan. “Ada informasi baru?” tanya Dendy, suaranya rendah dan netral. David menggeser map berisi foto hasil autopsi. “Tidak utuh.” Dendy melihat. Sekilas. Lalu diam. “Mereka ingin kita bereaksi,” ujar David. “Dan kita akan bereaksi,” balas Dendy. “Tapi bukan dengan marah. Marah itu... untuk manusia biasa.” “Aku tidak marah,” ujar David. “Aku menghitung.” Sejenak hening menyelubungi gudang tua itu. Angin malam membawa aroma logam dan oli tua. “Kita kehilangan dua orang. Salah satunya Arvis,” ucap David pelan. Nama itu ringan di mulut, tapi berat di dada. Arvis adalah penjaga gudang belakang yang dulu menggendong Helena kecil keluar dari pengepungan di Bellavene. Setia. Diam. Dan kini, hanya potongan tubuhnya yang dikembalikan. Dendy mengangguk perlahan. “Dia yang selalu nyimpan permen karet buat Helena.” David tersenyum kecil. “Dan dia yang buka jalur waktu aku hampir mati di Ravenstale.” “Helena tahu?” “Tidak. Dia tanya pagi ini kenapa aku gak mau dia tahu dunia ini.” “Kau jawab jujur?” “Tidak,” jawab David pelan. “Karena kadang... kebenaran lebih mematikan dari peluru.” “Helena tidak bodoh. Cepat atau lambat dia akan tahu.” “Dan aku berdoa... saat hari itu tiba, aku masih hidup untuk menutup matanya.” Mereka saling diam. Tapi yang menggantung bukan ketakutan—melainkan pemahaman yang terlalu dalam untuk diucapkan. “Loyalis pengkhianat di barisan kita sudah dibersihkan semalam,” ujar David. “Kupikir urusan pengkhianat sudah selesai?” David diam sebentar. Ia menatap map yang terbuka di depannya, lalu bergumam, “Sudah. Tapi balas dendam itu bukan soal strategi… kadang cuma soal harga diri.” “Atau soal siapa yang masih layak diberi keadilan.” David tersenyum tipis. “Arvis tidak banyak bicara. Tapi dia selalu berdiri paling depan waktu Helena datang ke gudang. Dia tahu siapa yang pantas dia lindungi.” “Apa Helena tahu namanya?” “Mungkin tidak. Tapi itu tak penting. Yang penting, dunia tahu... bahwa nyawa orang seperti Arvis, tetap punya harga. Bahkan ketika dunia tak mengenalnya.” Sejenak hening. “Aku selalu penasaran,” gumam Dendy, “apa kau menyesal membiarkan Helena tumbuh di dalam garis Morgan?” “Tiap hari.” “Lalu kenapa tidak dikirim pergi? Dibuang ke luar negeri? Dijauhkan dari semua ini?” “Karena aku tahu, semakin jauh dia dariku... semakin dekat dia ke musuh yang tak bisa kulindungi.” “Kau takut?” “Aku manusia, Den. Tapi bedanya dengan yang lain, aku tidak menghindar dari ketakutanku. Aku membuatnya sibuk.” Dendy mengangguk pelan. “Dia pernah mimpi buruk,” ucap David. “Waktu kecil. Menangis sampai sesak. Aku duduk di samping tempat tidurnya semalaman… berharap ada bagian dari dunia ini yang tidak akan pernah dia tahu. Tapi aku gagal.” “Karena cepat atau lambat… dunia akan mengetuk pintunya sendiri.” “Kalau pintu itu terbuka... biar aku yang jadi pagar pertamanya.” David menggeser map baru. Peta wilayah. Titik merah menyala di perbatasan barat. “Gudang senjata Ronald. Satu tim bayangan. Tak perlu jejak. Tak perlu ledakan besar.” “Berapa yang kita butuhkan untuk mengembalikan pesan?” “Biarkan Ronald tahu... rasa sakit juga bisa dikirim kembali.” “Kapan?” “Jam tiga pagi. Aku ingin berita tentang dia kehilangan sesuatu... muncul tepat sebelum matahari naik.” “Anggap selesai.” Dendy mematikan rokoknya dengan sepatu. “Aku kirim tim dari Greywick. Tim tak dikenal. Tak bersuara. Mereka tak akan melihat siapa yang membunuh. Hanya akan tahu… sesuatu di dalam mereka telah hilang.” David menoleh. “Jangan biarkan darah Helena tumpah. Itu satu-satunya perintah yang tak bisa kutawar.” Dendy tidak langsung menjawab. Ia hanya berjalan ke sisi rak logistik, menyentuh besi dingin dengan jari-jarinya. “Kau tahu... bukan cuma Ronald yang mengincar tahta itu.” “Keluarga Morgan sendiri... penuh dengan binatang lapar,” lanjut Dendy. “Setiap kali kau terluka, mereka mulai bisik-bisik. Setiap langkahmu lengah, mereka tanya satu hal yang sama: ‘Siapa pengganti David?’” David tak bereaksi. Tapi rahangnya mengeras. “Dan yang membuat mereka lebih gelisah lagi...” Dendy menoleh tajam. “Adalah kenyataan bahwa satu-satunya pewaris sah setelahmu... adalah seorang wanita.” “Entah itu kutukan... entah itu rejeki,” Dendy menambahkan. “Tapi Helena adalah satu-satunya wanita dalam garis utama Morgan selama dua generasi.” “Mereka tidak lihat dia sebagai adikmu,” gumam Dendy. “Mereka lihat dia sebagai pintu menuju tahta.” David mengatupkan bibir. Lama. “Itu sebabnya aku berdiri di sisimu, David. Bukan hanya untuk membantu perang ini. Tapi untuk memastikan... satu-satunya pewaris darah yang pantas, tidak dibunuh sebelum saatnya.” “Helena bukan hanya warisan. Dia simbol kehormatan terakhir yang tersisa dari nama Morgan.” David menarik napas perlahan. Dalam matanya... ada beban, tapi juga api. “Kalau kehormatan itu jatuh... maka Morgan bukan lagi dinasti. Hanya legenda busuk yang dilupakan sejarah.” “Aku tak akan izinkan.” “Bukan karena aku menyuruhmu,” desis David. “Tapi karena kau tahu... kalau dia jatuh, kita semua ikut jatuh.” Dendy diam sejenak, lalu berkata: “Banyak yang pikir aku bekerja untukmu.” “Lalu?” “Tapi hanya sedikit yang tahu... bahwa aku berdiri di sisimu bukan karena nama Morgan. Tapi karena aku tahu siapa yang akan mewarisi dunia ini.” “Aku tahu kau tak percaya banyak hal, David. Tapi percayalah satu ini—kau tidak sendirian.” Langkah Dendy menggema. Lalu menghilang di lorong logistik. David... tetap berdiri di tempat. Ia memutar cincin tua di jarinya—warisan Charles Morgan—dan bergumam, “Bahkan pelindung pun butuh dilindungi... kadang.” Kalimat itu tidak untuk siapa-siapa. Tapi perang yang sedang dibangun… sudah mencatatnya dalam-dalam.Kadang luka bukan untuk disembuhkan. Kadang luka hanya menunggu cukup lama… untuk tumbuh jadi perang.Malam itu di Drosnya. Bunker tua itu berbau lembap dan besi karat.Lampu kuning redup menggantung dari kabel kusut, menerangi peta besar di meja beton.Setiap titik merah di peta adalah darah yang belum tumpah, tapi sudah dijanjikan.Ronald Xavier berdiri tegak, jas hitamnya rapi meski lantai dipenuhi abu rokok dan serpihan kaca.Wajahnya separuh bayangan, separuh cahaya. Matanya… bukan mata manusia yang bernafas, tapi mata binatang yang tahu waktunya berburu sudah dekat.“Montavaro… Dresvane… Gravemount…” suaranya berat, pelan, nyaris seperti mantra.“Semua retak. Tinggal menunggu jatuh.”Salvatore Xavier masuk, langkahnya ragu.Tubuhnya besar, tapi sorotnya penuh kegelisahan. Ia berdiri di sisi meja, menatap peta itu dengan wajah yang tidak bisa menyembunyikan keraguan.“Kau terlalu lama menunggu, Ronald,” katanya, suaranya dalam tapi tegang. “Sementara kau diam, Kevin menghancurka
Beberapa binatang tidak pernah mati. Mereka hanya menunggu bau darah yang tepat untuk keluar dari sarang.Blackstone masih bergetar. Sirene merah bergulir, asap mesiu belum benar-benar hilang.Bau besi darah bercampur dengan debu beton yang runtuh, membuat udara seperti luka yang belum ditutup.Helena berdiri dengan pistol yang masih hangat di tangannya, Kevin di sisinya, Dendy di seberang, Wolf menjaga pintu.Jari-jarinya masih menegang di atas pelatuk, seolah ototnya belum mengerti bahwa tembakan barusan sudah berhenti.Helena menarik napas panjang, tapi rasanya dada masih terikat besi. Ia bisa mendengar jantungnya sendiri berdetak lebih keras daripada sirene.Setiap kedipan matanya menyalin bayangan gudang lama—darah Falcon, teriakan Kevin, tatapan David. Semua bercampur jadi satu luka yang tidak sembuh.Malam ini, ia tidak lagi berdiri sebagai adik yang menu
Kadang peluru bukan hanya membunuh. Kadang ia mengingatkan siapa yang masih hidup—dan siapa yang berhak berdiri di meja.Blackstone.Lampu darurat merah terus berputar, memecah wajah mereka jadi potongan-potongan bayangan.Helena berdiri paling dekat ke pintu. Suara langkah dari luar makin keras—berat, lambat, tapi pasti.Kevin merapatkan tubuhnya ke Helena, bahunya menempel, pistol di genggaman sudah terangkat.Jemari Kevin masih menahan tangan Helena, seolah genggaman itu adalah tali terakhir yang menjaga kewarasan.“Lena…” suaranya serak, nyaris seperti bisikan doa. “Kau tetap di sini. Apa pun yang terjadi.”Tapi Helena menoleh cepat. Mata hitamnya terbakar.“Aku tidak bisa hanya berdiri lagi, Kev.”Suara itu membuat Kevin terdiam sepersekian detik.Bukan rengekan. Bukan ketakutan. Itu pernyataan.Wolf menoleh sekilas,
Kadang musuh paling mematikan bukan yang menembak dari kejauhan… tapi yang duduk di meja yang sama denganmu.Gudang generator Blackstone meraung pelan, tapi tak cukup memberi cahaya penuh. Ruang taktis hanya disinari lampu darurat merah, membuat semua wajah tampak seperti dipulas darah.Pintu baja bergetar—dari luar, seseorang memaksa sistem manual.Wolf sudah mengangkat senjata, tubuh tegak di samping pintu. Matanya tak bergerak, seperti anjing pemburu yang mencium darah.“Ini bukan serangan luar,” katanya datar.“Seseorang pakai akses dalam.”Kevin berdiri tegak di depan Helena, pistol sudah terarah. Jemarinya masih menahan tangan Helena, seolah memastikan perempuan itu tak akan direbut sekali pun oleh kegelapan.“Kalau mereka bisa sampai pintu ini,” gumamnya dingin, “artinya racun sudah menetes jauh ke dalam.”Dendy tidak bergerak.Tapi justru diam itulah yang membuat udara makin berat. Ia berdiri di ujung meja taktis, cahaya merah menorehkan garis keras di wajahnya.“Buka pintu,”
Ketika meja taktis berubah jadi altar, darah yang menetes bukan hanya dari musuh—tapi dari orang yang seharusnya berdiri di sisi kita.Lorong Blackstone masih bergetar oleh sisa langkah.Hujan di luar menetes ke kaca baja, tapi di dalam, udara lebih berat dari kabut di Belegrive.Malam itu, Blackstone terasa lebih senyap dari biasanya. Senyap yang tidak menenangkan—senyap yang menunggu dentum pertama. Bahkan bayangan di dinding seolah menyimpan rahasia yang bisa menusuk dari belakang.Kevin berjalan paling depan, mantel hitamnya masih basah, Helena tepat di sisinya. Ia menggenggam jemari Helena seolah takut dunia bisa mencuri perempuan itu kapan saja.Tidak ada lagi ruang tarik-ulur. Malam Belegrive sudah memutus semua keraguan—Kevin Xavier berdiri di samping Helena Morgan bukan sekadar perlindungan, tapi klaim.Helena merasakan tekanan jemari Kevin. Bukan sekadar genggaman, melainkan
Mereka pikir peluru yang mematikan—padahal, yang lebih berbahaya adalah rasa yang tak pernah mati.Udara di luar gudang B-12 masih terasa berat.Helena berjalan keluar lebih dulu, napasnya teratur tapi dadanya bergetar.Tangannya masih dingin karena menggenggam pisau tadi, namun yang benar-benar membakar bukan darah di pipi Sylvania—melainkan getaran Kevin yang masih menempel di kulitnya.Kevin menyusul di sampingnya, diam, tapi matanya terus mengawasi setiap gerakannya.Aura protektifnya begitu pekat hingga membuat para pengawal Caspian menahan diri untuk tidak mengejar.Dendy keluar terakhir, langkahnya presisi, pistol masih tergenggam seolah perang berikutnya bisa meledak kapan saja.Jalan beton di luar basah oleh hujan sisa, lampu jalan memantulkan cahaya pucat.Hening. Sampai akhirnya Kevin berhenti, menatap Helena lurus.“Kau terlalu berani,” suaranya rendah, lebih mirip geraman.Helena mendongak, tatapannya menyalak. “Kalau aku tidak berani, kita semua sudah jadi catatan kaki