Home / Romansa / DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH / CHAPTER 6. LANGKAH YANG TAK DIIZINKAN

Share

CHAPTER 6. LANGKAH YANG TAK DIIZINKAN

Author: Selena Vyera
last update Huling Na-update: 2025-06-14 08:51:20

Tak ada yang berubah malam itu. Tapi langit terasa lebih berat dari biasanya.

David tahu… ketenangan seperti ini jarang datang tanpa harga.

Dan Helena—seperti biasanya—adalah badai yang selalu tiba sebelum peluru pertama dilepaskan.

Velmora Utara, Gudang Logistik Morgan.

Lampu gantung hanya menyala sebagian. Suara kipas berdecit pelan, diselingi angin malam yang menyusup lewat celah dinding besi.

David Morgan berdiri di depan meja logistik. Kemeja hitamnya digulung sampai siku. Sarung tangan tanpa jari masih ia kenakan.

Di seberangnya, Dendy Alexander. Mantelnya basah hujan. Diam, seperti biasa.

Mereka tidak saling sapa. Ketika dua pria ini bertemu, dunia tahu… ada keputusan yang tak bisa dibatalkan.

“Ada informasi baru?” tanya Dendy, suaranya rendah dan netral.

David menggeser map berisi foto hasil autopsi.

“Tidak utuh.”

Dendy melihat. Sekilas. Lalu diam.

“Mereka ingin kita bereaksi,” ujar David.

“Dan kita akan bereaksi,” balas Dendy. “Tapi bukan dengan marah. Marah itu... untuk manusia biasa.”

“Aku tidak marah,” ujar David. “Aku menghitung.”

Sejenak hening menyelubungi gudang tua itu. Angin malam membawa aroma logam dan oli tua.

“Kita kehilangan dua orang. Salah satunya Arvis,” ucap David pelan.

Nama itu ringan di mulut, tapi berat di dada. Arvis adalah penjaga gudang belakang yang dulu menggendong Helena kecil keluar dari pengepungan di Bellavene. Setia. Diam. Dan kini, hanya potongan tubuhnya yang dikembalikan.

Dendy mengangguk perlahan. “Dia yang selalu nyimpan permen karet buat Helena.”

David tersenyum kecil. “Dan dia yang buka jalur waktu aku hampir mati di Ravenstale.”

“Helena tahu?”

“Tidak. Dia tanya pagi ini kenapa aku gak mau dia tahu dunia ini.”

“Kau jawab jujur?”

“Tidak,” jawab David pelan. “Karena kadang... kebenaran lebih mematikan dari peluru.”

“Helena tidak bodoh. Cepat atau lambat dia akan tahu.”

“Dan aku berdoa... saat hari itu tiba, aku masih hidup untuk menutup matanya.”

Mereka saling diam. Tapi yang menggantung bukan ketakutan—melainkan pemahaman yang terlalu dalam untuk diucapkan.

“Loyalis pengkhianat di barisan kita sudah dibersihkan semalam,” ujar David.

“Kupikir urusan pengkhianat sudah selesai?”

David diam sebentar. Ia menatap map yang terbuka di depannya, lalu bergumam,

“Sudah. Tapi balas dendam itu bukan soal strategi… kadang cuma soal harga diri.”

“Atau soal siapa yang masih layak diberi keadilan.”

David tersenyum tipis.

“Arvis tidak banyak bicara. Tapi dia selalu berdiri paling depan waktu Helena datang ke gudang. Dia tahu siapa yang pantas dia lindungi.”

“Apa Helena tahu namanya?”

“Mungkin tidak. Tapi itu tak penting. Yang penting, dunia tahu... bahwa nyawa orang seperti Arvis, tetap punya harga. Bahkan ketika dunia tak mengenalnya.”

Sejenak hening.

“Aku selalu penasaran,” gumam Dendy, “apa kau menyesal membiarkan Helena tumbuh di dalam garis Morgan?”

“Tiap hari.”

“Lalu kenapa tidak dikirim pergi? Dibuang ke luar negeri? Dijauhkan dari semua ini?”

“Karena aku tahu, semakin jauh dia dariku... semakin dekat dia ke musuh yang tak bisa kulindungi.”

“Kau takut?”

“Aku manusia, Den. Tapi bedanya dengan yang lain, aku tidak menghindar dari ketakutanku. Aku membuatnya sibuk.”

Dendy mengangguk pelan.

“Dia pernah mimpi buruk,” ucap David. “Waktu kecil. Menangis sampai sesak. Aku duduk di samping tempat tidurnya semalaman… berharap ada bagian dari dunia ini yang tidak akan pernah dia tahu. Tapi aku gagal.”

“Karena cepat atau lambat… dunia akan mengetuk pintunya sendiri.”

“Kalau pintu itu terbuka... biar aku yang jadi pagar pertamanya.”

David menggeser map baru. Peta wilayah. Titik merah menyala di perbatasan barat.

“Gudang senjata Ronald. Satu tim bayangan. Tak perlu jejak. Tak perlu ledakan besar.”

“Berapa yang kita butuhkan untuk mengembalikan pesan?”

“Biarkan Ronald tahu... rasa sakit juga bisa dikirim kembali.”

“Kapan?”

“Jam tiga pagi. Aku ingin berita tentang dia kehilangan sesuatu... muncul tepat sebelum matahari naik.”

“Anggap selesai.”

Dendy mematikan rokoknya dengan sepatu.

“Aku kirim tim dari Greywick. Tim tak dikenal. Tak bersuara. Mereka tak akan melihat siapa yang membunuh. Hanya akan tahu… sesuatu di dalam mereka telah hilang.”

David menoleh.

“Jangan biarkan darah Helena tumpah. Itu satu-satunya perintah yang tak bisa kutawar.”

Dendy tidak langsung menjawab. Ia hanya berjalan ke sisi rak logistik, menyentuh besi dingin dengan jari-jarinya.

“Kau tahu... bukan cuma Ronald yang mengincar tahta itu.”

“Keluarga Morgan sendiri... penuh dengan binatang lapar,” lanjut Dendy. “Setiap kali kau terluka, mereka mulai bisik-bisik. Setiap langkahmu lengah, mereka tanya satu hal yang sama: ‘Siapa pengganti David?’”

David tak bereaksi. Tapi rahangnya mengeras.

“Dan yang membuat mereka lebih gelisah lagi...” Dendy menoleh tajam. “Adalah kenyataan bahwa satu-satunya pewaris sah setelahmu... adalah seorang wanita.”

“Entah itu kutukan... entah itu rejeki,” Dendy menambahkan. “Tapi Helena adalah satu-satunya wanita dalam garis utama Morgan selama dua generasi.”

“Mereka tidak lihat dia sebagai adikmu,” gumam Dendy. “Mereka lihat dia sebagai pintu menuju tahta.”

David mengatupkan bibir. Lama.

“Itu sebabnya aku berdiri di sisimu, David. Bukan hanya untuk membantu perang ini. Tapi untuk memastikan... satu-satunya pewaris darah yang pantas, tidak dibunuh sebelum saatnya.”

“Helena bukan hanya warisan. Dia simbol kehormatan terakhir yang tersisa dari nama Morgan.”

David menarik napas perlahan. Dalam matanya... ada beban, tapi juga api.

“Kalau kehormatan itu jatuh... maka Morgan bukan lagi dinasti. Hanya legenda busuk yang dilupakan sejarah.”

“Aku tak akan izinkan.”

“Bukan karena aku menyuruhmu,” desis David. “Tapi karena kau tahu... kalau dia jatuh, kita semua ikut jatuh.”

Dendy diam sejenak, lalu berkata:

“Banyak yang pikir aku bekerja untukmu.”

“Lalu?”

“Tapi hanya sedikit yang tahu... bahwa aku berdiri di sisimu bukan karena nama Morgan. Tapi karena aku tahu siapa yang akan mewarisi dunia ini.”

“Aku tahu kau tak percaya banyak hal, David. Tapi percayalah satu ini—kau tidak sendirian.”

Langkah Dendy menggema. Lalu menghilang di lorong logistik.

David... tetap berdiri di tempat. Ia memutar cincin tua di jarinya—warisan Charles Morgan—dan bergumam,

“Bahkan pelindung pun butuh dilindungi... kadang.”

Kalimat itu tidak untuk siapa-siapa.

Tapi perang yang sedang dibangun…

sudah mencatatnya dalam-dalam.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 163. BAYANG DALAM DINGIN

    Beberapa cinta tidak mati—ia cuma belajar bersembunyi di tempat paling dingin, menunggu saat untuk membakar lagi.Ravenstale pagi itu tidak benar-benar pagi.Langitnya kelabu, seperti menolak mengakui keberadaan matahari.Kabut menggantung rendah, tebal, dan lembab, menelan halaman depan mansion hingga batas pandang tak lebih dari beberapa meter.Suara ranting patah dari jauh terdengar seperti desah napas dari dunia lain.Helena duduk di tangga batu yang mengarah ke taman belakang.Tangannya memegang cangkir kopi yang sudah dingin, uapnya tak lagi terlihat.Matanya menatap jauh ke lembah yang diselimuti kabut—tatapan kosong, tapi pikirannya bergerak terlalu cepat untuk diikuti.Ia tidak tidur semalaman.Sisa percakapan dengan Kevin masih terjebak di pikirannya, berulang-ulang seperti gema dalam ruangan yang tak punya pintu keluar.Setiap kalimatnya, setiap napasnya, menempel di kulit.Ia mencoba membencinya, tapi yang tumbuh justru rasa ingin kembali pada sesuatu yang seharusnya sudah

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 162. DINDING API

    Beberapa luka tidak butuh peluru untuk berdarah. Cukup satu tatapan... dari orang yang tidak bisa kau lupakan.Ravenstale malam itu sunyi—terlalu sunyi untuk tempat yang menyimpan begitu banyak rahasia.Api kecil di perapian memantul di dinding batu, menciptakan bayangan yang bergerak seperti roh yang gelisah.Helena berdiri di depan jendela, bahunya masih dibalut luka lama yang belum benar-benar pulih.Rambutnya jatuh menutupi sebagian wajah, tapi matanya tetap hidup—tajam, dingin, namun menyimpan sesuatu yang nyaris rapuh.Kevin berdiri di belakangnya.Tidak bicara, tidak menyentuh. Tapi jarak antara mereka terlalu kecil untuk disebut aman.Ia bisa merasakan aroma kulitnya—abu dan hujan, campur aduk seperti racun yang justru membuatnya tenang.Helena bicara dulu, tanpa menoleh.“Kau datang sayang.”Kevin tidak menjawab. Hanya menghela napas pelan, berat.“Tidur di tempat ini sama saja seperti tidur di peti mati.”“Lalu kenapa kau di sini?”“Karena di luar lebih gelap.”Hujan menetes

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 161. AKAR DALAM API

    Setiap darah punya asalnya. Dan di Ravenstale… beberapa asal seharusnya tetap terkubur.Kabut belum bubar sejak pagi.Ravenstale berdiri dalam keheningan, seperti tubuh raksasa yang menahan napas di antara dua dunia—hidup dan mati.Dari jendela kamar atas, Helena menatap pekat kabut di luar; di sanalah suara samar hujan terakhir masih menetes dari ranting.Udara dingin menusuk kulit, tapi yang lebih tajam adalah rasa sunyi yang perlahan menggigit pikirannya.Di ruang bawah, cahaya lampu redup memantul di meja besi yang dipenuhi dokumen lama, peta retak, dan abu rokok yang belum sempat dibersihkan.Dendy duduk di ujung meja, mantel hitamnya basah di bahu. Jemarinya menelusuri berkas tua yang ditulis dengan tinta nyaris pudar.Di salah satu halaman, ada simbol kecil—segitiga merah dengan huruf X di tengahnya.Wolf berdiri di belakangnya, bahu tegang.“Aku dapat ini dari sistem satelit lama di sisi timur Ravenstale. Sinyalnya bukan punya Ronald.”Dendy mengangkat kepala.“Keluarga siapa?

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 160. STRATEGI DALAM BAYANG

    Beberapa perang tak dimenangkan dengan peluru, tapi dengan siapa yang paling bisa menahan rasa sakit lebih lama.Langit di atas Blackstone berwarna kelabu tua.Hujan belum berhenti sejak mereka meninggalkan Drosnya.Di balik kaca ruang taktis, kilat sesekali menembus bayangan gedung, memantul di meja logam yang penuh peta, berkas, dan darah kering.Helena berdiri di sana—mantel hitamnya masih berbau asap dan mesiu.Tatapannya menempel pada peta besar di dinding, tapi pikirannya masih tertinggal di pabrik besi yang kini tinggal abu.Sylvania. Drosnya. Peluru yang seharusnya berhenti, tapi justru membuka bab baru.Udara ruangan dingin, tapi bukan dingin yang menenangkan.Dinginnya seperti sisa perang—menyelinap ke kulit, menempel di napas.Wolf duduk di kursi belakang, bahunya masih terbalut perban, rokok menyala di antara jari.

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 159. ABU YANG MASIH HIDUP

    Drosnya jatuh bukan karena peluru—tapi karena cinta yang memilih terbakar daripada dilupakan.Drosnya terbakar perlahan—seperti luka yang enggan menutup.Langitnya hitam, tapi setiap percikan api di bawahnya seolah menulis kembali sejarah dengan darah yang belum kering.Udara terasa berat. Asap dan hujan bersatu, menurunkan kabut logam yang membuat setiap napas terasa seperti menelan serpihan peluru.Helena berjalan di antara sisa pabrik, langkahnya berat tapi stabil.Setiap lantai yang ia injak berderit, mencampur suara hujan dengan desis logam yang mencair.Bau mesiu menempel di kulitnya. Di tangannya, pistol itu masih hangat—bukan karena peluru, tapi karena kenangan yang belum sempat mendingin.Di belakangnya, Kevin menyusul.Ia menatap punggung Helena dalam diam; bahu itu seperti menanggung kota yang sudah lama runtuh, tapi tetap berdiri karena keras kep

  • DI ANTARA DUA MAFIA : DALAM PELUKAN MUSUH   CHAPTER 158. LUKA YANG HIDUP

    Setiap luka punya bayangannya sendiri.Beberapa bahkan… menolak sembuh.Tangga besi itu berderit di bawah langkah mereka.Panas dari kobaran api menjilat dinding pabrik, membuat udara bergetar.Asap menebal, tapi di atas sana—di platform logam yang disinari lampu merah berkedip—suara tumit Sylvania masih terdengar.Helena naik paling depan, pistolnya di tangan kanan, napasnya berat tapi teratur.Dendy di belakang, langkahnya tegap namun matanya buram oleh ingatan yang belum mati.Kevin dan Wolf menutup bawah, mengamankan jalur keluar—kalau masih ada yang bisa disebut keluar.“Dia di atas, Lena” bisik Dendy.“Aku tahu.”Nada suaranya datar, tapi di matanya, ada badai yang belum meledak.Begitu mereka mencapai puncak tangga, cahaya merah menelan semuanya.Lantai atas pabrik terbuka ke arah langit—atap logam sudah jebol sebagian, dan hujan turun seperti air suci di tengah neraka.Sylvania berdiri di ujung platform, membelakangi mereka.Gaun merahnya basah, menempel di kulit, membuatnya t

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status