LOGINKabar kehamilan Anaya, membuat semua orang senang sekaligus iba. Ia sendiri tertawa bahagia, tapi kemudian untuk pertama kalinya sejak hari kecelakaan, ia menangis. Penantian dan doa panjang agar ia mendapatkan keturunan justru terkabul setelah Damar tiada.
Marini meminta Anaya tinggal bersamanya, tetapi ditolak tegas. Ia memilih tetap di rumahnya. Mertuanya itu mengalah dan mengirimkan asisten rumah tangga untuk mengurus dan menemani.
Anaya memutuskan keluar dari pekerjaannya. Dengan kehamilannya, ia merasa tidak sanggup bekerja terikat waktu dan dikejar target. Meskipun keluarga Damar berjanji menjamin kebutuhan finansialnya, Anaya tidak mau berdiam diri. Dengan tabungannya, ia berniat membuka kedai pasta dan salad di lokasi bisnis pada kawasan permukiman ia tinggal.
“Kamu lagi hamil, Anaya. Buat apa kerja begitu?” Marini langsung menentangnya.
“Aku bisa gila kalau cuma berdiam diri aja. Lagian dekat dari rumah. juga ada karyawan yang bantu. Ada tukang masak, pelayan dan tukang yang bersih-bersih.” Anaya bertahan. Tak ada yang bisa mencegahnya.
Dalam waktu singkat, Kedai itu menjadi tempat yang ramai dikunjungi. Makanan yang enak, tempat yang nyaman, dan pelayanan yang ramah menjadi daya tarik sendiri pengunjung.
Salah satunya yang sering datang, adalah Arlo. Ia seorang pengusaha berusia tiga puluhan. Entah bagaimana awal mulanya, tahu-tahu lelaki itu sudah menjadi pelanggan tetap yang datang hampir setiap hari.
Ia datang hampir tiap siang, duduk di sudut dan sibuk dengan laptopnya. Lani, pegawai Anaya senang melayaninya, karena tip yang ditinggalkan cukup besar.
Siang itu, Arlo datang lagi. Karena Lani sedang sibuk, Anaya mengambil alih menyambutnya.
“Selamat siang … mau pesan apa hari ini?” tanya Anaya disertai senyum.
Arlo yang baru membuka laptopnya sempat tertegun karena setelah sekian lama, baru kali ini pemilik kedai melayaninya langsung.
“Selamat siang.” Arlo tersenyum. “Bisa pesan tuna salad dan lasagna porsi kecil?”
“Bisa. Ada lagi?” Anaya mencatat.
“Sudah,” jawab Arlo,
“Nggak pesan minum?” Anaya melemparkan matanya ke wajah Arlo. Pandangan mereka bertumbukkan.
“Ya … sebentar.” Arlo menunduk, mengalihkan tatapannya pada daftar menu di atas meja.
Lama ia membaca, seolah bingung memilih. Anaya dengan sabar menunggu.
“Aku biasanya pesan cappuccino, tapi tadi pagi aku sudah banyak minum kopi. Bisa kasih saran minuman lain?” Arlo menoleh pada Anaya.
“Mungkin bisa coba minuman yang lebih sehat. Kami punya jus buah atau smoothie, teh hijau dan infused water. Jus buahnya sedang ada alpukat, mangga, apel, strawberry, nanas, wortel, kale … maunya apa?” Anaya menyebutkan semua yang tersedia di kedainya.
Arlo diam berpikir. Anaya tidak menyadari bila lelaki itu sengaja melamakan durasi interaksi mereka.
“Jusnya bisa dikombinasi?” tanya Arlo.
“Bisa. Mau kombinasi apa?” Anaya bertanya dengan tetap ramah.
“Kalau apel, enaknya dikombinasi dengan apa?” Arlo tambah dalam menatap Anaya.
“Bisa dengan wortel, nanas, kale juga enak,” jawab Anaya.
“Oke … apel dengan wortel saja.” Akhirnya, Arlo menyelesaikan pesanannya.
“Baik … akan segera kami siapkan.” Anaya tersenyum.
“Terima kasih.” Arlo terpesona dengan senyuman itu. Ia terus memperhatikan Anaya hingga wanita itu menghilang di balik pintu dapur.
Sejak hari itu, Arlo selalu berusaha mencari cara agar Anaya yang melayaninya langsung. Lani yang kemudian menyadari, hal itu akhirnya memilih mengabaikan bila lelaki itu memasuki pintu kedai.
“Ibu aja. Dia senang kalau ibu yang layani, Kayaknya dia naksir sama Ibu,” kata Lani ketika Anaya mempertanyakan tindakannya.
“Ih, ngaco!” Anaya merengut.
“Ih, aku serius!” Lani bersikeras. “Aku tahu dari caranya dia menatap dan bicara sama Ibu. Penuh pengharapan akan cinta dan kasih sayang.”
“Sok tahu!” Anaya tidak terpancing dengan kelakar Lani.
“Dia ganteng dan kelihatan lelaki baik. Nggak salah kok membuka diri,” ujar Lani.
Perkataan Lani mengusik Anaya. Statusnya kini adalah perempuan tanpa suami. Benar kata Lani, tak ada yang salah bila ia menjalin hubungan dengan pria lain. Namun demikian, ia haruslah tahu diri. Ia sedang hamil, dan memikirkan mendapatkan pengganti Damar malah membuatnya merasa telah berkhianat.
Ia jadi penasaran dan menunggu kedatangan Arlo berikutnya. Namun, hingga kedai tutup, lelaki itu tidak muncul. Besoknya dan seterusnya, ia juga tidak datang. Setelah seminggu, Anaya pun melupakannya.
Kandungan Anaya sudah memasuki usia tujuh bulan. Perutnya semakin membuncit, dan ia sudah merasa tak bebas bergerak. Beruntung ia, sebab tidak semua anggota badannya membengkak.
Lani dan yang lainnya, memaksa Anaya untuk duduk mengawasi saja. Ia menurut, sebab Lani mengancam akan mengadu kepada Marini jika ia tetap terlalu aktif.
Menjelang sore, kedai sepi. Hanya ada tamu dua orang wanita yang asik mengobrol. Anaya duduk di meja kasir, menghitung faktur-faktur pembelian.
Arlo tiba-tiba muncul. Dengan langkah percaya diri ia masuk, tersenyum pada Anaya dan langsung menuju meja biasanya.
Lani memberikan kode pada Anaya untuk melayani lelaki itu. Namun, Anaya menolak dengan menunjuk perutnya. Akhirnya, Lani yang menghampiri Arlo. Anaya, kembali fokus pada pekerjaannya.
Ketenangan kedai terganggu oleh kehadiran dua orang pria yang langsung membuat gaduh. Mereka berteriak pada Lani, meminta dilayani cepat. Padahal, gadis itu masih mencatat pesanan Arlo.
Anaya berinisiatif mengambil alih dan menghampiri mereka.
“Mau pesan apa?” tanyanya.
“Nasi goreng sama sate,” jawab satu pria.
“Maaf, kami tidak menyediakan menu makanan itu.” Anaya menjawab sopan.
“Tempat makan macam apa nggak jual nasi goreng?!” pria itu berteriak dan mengumpat.
Anaya kaget. Lelaki yang lain ikut membentaknya dengan kata kasar disusul dengan menggebrak-gebrak meja. Anaya menjerit kaget. Tamu yang lain ketakutan, dan Lani segera berlari melindunginya.
Arlo yang sedari tadi memperhatikan, cepat mendekat dan mengecam tindakan kedua perusuh itu. Mereka berdebat ketika diminta keluar. Salah satunya menentang dengan mencoba memukul. Arlo yang sigap, menangkis dan balas menelikungnya. Entah apa yang diucapkannya di telinga lelaki itu, yang sampai membuat keduanya setengah berlari menuju pintu.
Anaya gemetar menyaksikan keributan itu. Jantungnya berdebar cepat hingga dadanya sesak. Lani segera membimbingnya duduk di meja terdekat.
“Mereka itu gila kali, ya!” Lani mengomel.
“Mereka cuma mabuk,” kata Arlo sambil memandangi Anaya. “Kamu nggak apa-apa?”
Anaya tidak bisa menjawab. Dadanya sesak. Arlo duduk di seberang Anaya, menenangkan dan membantunya menata napas. Selang beberapa menit, ia mulai tenang.
“Terima kasih sudah bantu mengusir mereka itu tadi,” kata Anaya.
“Sama-sama.” Arlo tersenyum.
Lani datang membawakan air minum untuk Anaya. Pelan-pelan ia membantu meneguknya. Setelah selesai, ia berpaling pada Arlo. “Maaf, Pak. Pesanannya tadi lupa belum saya catat semua.”
Arlo menyebutkan ulang makanan dan minuman yang diinginkannya.
“Mau kembali ke meja sana?” Lani menunjuk ke sudut.
“Boleh aku di sini saja? Sesekali, aku ingin juga makan sambil ngobrol dengan pemilik kedai ini.” Arlo tersenyum berharap.
Anaya jadi teringat dengan penilaian Lani tentang cara Arlo memandang dirinya. Jangan-jangan, gadis itu benar. Anaya jadi dilanda kebingungan. Sambil meraba perut, batinnya bertanya, “Nak, boleh nggak?”
Lima tahun kemudian.Anaya terjaga oleh suara alarm ponselnya yang diletakkan di atas nakas. Ia baru hendak menyingkap selimut ketika merasakan ada beban berat menaiki ranjang dan kemudian, tangan kekar yang hangat mendekapnya dari belakang. Ia menahan diri untuk tidak bergerak. Namun, hembusan napas yang hangat menggelitik telinganya. Ia terjebak, tak bisa bergerak leluasa.“Selamat pagi istriku.” Suara Arlo lembut menyapanya.“Selamat pagi? Kapan datang?” tanya Anaya. “Baru aja.” Arlo menjawab. “Aku harus bangun.” Anaya mencoba mengangkat tangan suaminya yang melingkari bagian atas tubuhnya.“Jangan!” Arlo mengeratkan pelukannya.“Ini sudah pagi, ‘kan? Aku harus menyiapkan sarapan dan juga bekal Sasha.” Anaya mencoba memberikan pengertian.“Setengah jam lagi.” Arlo membenamkan mukanya di rambut harum Anaya.Anaya pasrah walau otaknya langsung mengkalkulasi dampak penundaan waktu tiga puluh menit bagi rencana aktivitasnya hari ini.“Tapi, jangan macam-macam. Aku takut Sasha tiba-ti
Gerakan di kandungan Anaya seolah memberikan jawaban. Tangannya spontan meraba sisi kanan perutnya. Ia selalu terpesona merasakan sensasi kehidupan di dalam tubuhnya. “Kenapa?” Arlo khawatir melihat ekspresi Anaya.“Tadi aku dalam hati nanya, boleh nggak kalau aku ngobrol sama Bapak. Eh, dia langsung nendang.” Anaya mengerjap membagikan takjubnya. “Oh, ya?” Arlo ikut terkagum. “Artinya boleh kalau begitu. Kalau nggak, dia pasti diam aja.”Anaya tersenyum membelai perutnya yang tertutup blus katun longgar sederhana.“Sudah berapa bulan?” Mata Arlo tertuju pada tangan Anaya yang sudah tidak mengenakan cincin kawin.“Tujuh,” jawab Anaya.“Aku tebak … dia perempuan,” kata Arlo yakin.“Kok, tahu?” Anaya terbelalak kaget. “Bapak ini cenayang, ya?”“Bukan! Aku cuma nebak aja.” Arlo tertawa. “Ya, tapi kok bisa pas nebaknya.” Anaya setengah heran.“Perasaan aja,” kata Arlo.Pesanan Arlo datang. Jus kombinasi apel dan wortel. Anaya tersenyum memperhatikan lelaki itu menyesap minuman rekom
Kabar kehamilan Anaya, membuat semua orang senang sekaligus iba. Ia sendiri tertawa bahagia, tapi kemudian untuk pertama kalinya sejak hari kecelakaan, ia menangis. Penantian dan doa panjang agar ia mendapatkan keturunan justru terkabul setelah Damar tiada. Marini meminta Anaya tinggal bersamanya, tetapi ditolak tegas. Ia memilih tetap di rumahnya. Mertuanya itu mengalah dan mengirimkan asisten rumah tangga untuk mengurus dan menemani.Anaya memutuskan keluar dari pekerjaannya. Dengan kehamilannya, ia merasa tidak sanggup bekerja terikat waktu dan dikejar target. Meskipun keluarga Damar berjanji menjamin kebutuhan finansialnya, Anaya tidak mau berdiam diri. Dengan tabungannya, ia berniat membuka kedai pasta dan salad di lokasi bisnis pada kawasan permukiman ia tinggal.“Kamu lagi hamil, Anaya. Buat apa kerja begitu?” Marini langsung menentangnya.“Aku bisa gila kalau cuma berdiam diri aja. Lagian dekat dari rumah. juga ada karyawan yang bantu. Ada tukang masak, pelayan dan tukang yan
Udara di sekitar mendadak hening. Semua mata tertuju pada Anaya. Penuh tanda tanya. Sementara, suara Siska timbul tenggelam. Meskipun belum ada kabar terburuk, kata-kata ‘helikopter jatuh’ bagai firasat yang membekukan otak.“Anaya?!” Marini memanggil sembari mengguncang lengannya.Ia tersadar. Dengan mata nanar ia menatap mama mertuanya. Wajahnya pucat pasi.“Ada apa?” tanya Marini dengan nada cemas.“Kak Damar … kecelakaan …,” jawab Anaya lirih. “Ya, Tuhan!” ucap orang-orang di sekeliling Anaya, nyaris serempak.Suasana sekejap berubah. Semua menahan diri. Bahkan anak-anak kecil terdiam. Tubuh Anaya terasa ringan, sementara pikirannya melayang-layang. Ia diam saja saat Marini mengambil alih ponsel yang masih menempel di telinganya. Selanjutnya, semua terasa seperti mimpi panjang yang bernuansa abu-abu. Keributan di sekitarnya, terdengar mengambang. Kakinya tak menjejak bumi. Dirinya seperti berjarak dengan dunia nyata. Namun ia tak berdaya menguasai kembali kenyataan. Bersama me
“Anaya ….” Ciuman di pipi dan bisikan Damar menelusup lembut di telinga Anaya. Membangunkannya dari tidur yang lelap. Perlahan, ia membuka mata. Di kamar yang gelap, ia tertegun mendapati suaminya duduk begitu dekat di sisinya. “Ada apa?” Suara korek api terdengar memantik, diikuti cahaya yang remang menerangi ruang. Anaya tersenyum.“Selamat ulang tahun yang ke dua empat … Sayangku!” ucap Damar sambil menyulut sumbu lilin kecil di atas sesuatu dalam piring yang dipegang tangan kirinya. “Terima kasih ….” Anaya bangkit duduk.“Tiup lilinnya!” Damar mendekatkan piring di tangannya ke hadapan istrinya.Bukannya langsung menuruti perintah Damar, Anaya malah tergelak melihat isi piring yang terterangi cahaya. Hanya nasi dan lilin, tak ada yang lain. “Kok, cuma nasi?” tanya Anaya sambil menahan tawa.“Nggak ada makanan lain di dapur. Cuma ada sisa nasi di rice cooker.” Damar ikut tertawa.“Kenapa nggak modal beli apa dulu gitu.” Anaya heran.“Sekarang ini masih jam empat pagi. Aku juga







