LOGINLima tahun kemudian.
Anaya terjaga oleh suara alarm ponselnya yang diletakkan di atas nakas. Ia baru hendak menyingkap selimut ketika merasakan ada beban berat menaiki ranjang dan kemudian, tangan kekar yang hangat mendekapnya dari belakang. Ia menahan diri untuk tidak bergerak. Namun, hembusan napas yang hangat menggelitik telinganya. Ia terjebak, tak bisa bergerak leluasa.
“Selamat pagi istriku.” Suara Arlo lembut menyapanya.
“Selamat pagi? Kapan datang?” tanya Anaya.
“Baru aja.” Arlo menjawab.
“Aku harus bangun.” Anaya mencoba mengangkat tangan suaminya yang melingkari bagian atas tubuhnya.
“Jangan!” Arlo mengeratkan pelukannya.
“Ini sudah pagi, ‘kan? Aku harus menyiapkan sarapan dan juga bekal Sasha.” Anaya mencoba memberikan pengertian.
“Setengah jam lagi.” Arlo membenamkan mukanya di rambut harum Anaya.
Anaya pasrah walau otaknya langsung mengkalkulasi dampak penundaan waktu tiga puluh menit bagi rencana aktivitasnya hari ini.
“Tapi, jangan macam-macam. Aku takut Sasha tiba-tiba masuk. Dia pasti sudah bangun sekarang,” bisik Anaya mencegah kemungkinan hasrat suaminya membara.
“Nggak. Aku cuma kangen dan pengen meluk kamu aja. Sudah berapa lama kita nggak ketemu? Empat … atau lima hari?” tanya Arlo.
“Enam,” jawab Anaya.
“Oww … selama itukah aku pergi Kalimantan?” Arlo tidak percaya dengan hitungan waktu kepergiannya ternyata tidak tepat.
Anaya merasa tidak perlu menjawab. Sebab, sesungguhnya berapa lama dan kemana Arlo pergi bukanlah masalah baginya. Baginya, yang penting lelaki ini tetap pulang ke rumah.
Baru sepuluh menit berlalu, pintu diketuk disusul dengan teriakan anak kecil. “Mama! Papa!”
“Benar, ‘kan?” Anaya tersenyum sendiri. “Aku harus bangun urus anak itu dulu.”
Perlahan, Anaya menggeser tubuhnya. Arlo yang sudah setengah tidur melepaskannya untuk memberikan pelukan pada Sasha.
Pekerjaan rutin harian Anaya adalah menyiapkan sarapan dan bekal, mengantar Sasha sekolah, menengok kedainya—yang masih tetap bertahan dan malah semakin maju—, menjemput Sasha, kembali ke kedai hingga jam dua siang, lalu pulang ke rumah jika tidak ada kegiatan lain.
Ia menuntun Sasha hingga di depan kelasnya. “Selamat belajar, Sayangku. Mama ke kedai dulu ya, nanti balik lagi jemput kamu seperti biasa.”
“Oke!” Anak perempuan kecil itu tersenyum manis.
Anaya langsung mengemudikan mobilnya menuju kedai. Walau sudah waspada dan menjaga jarak, sebuah peristiwa yang tidak terbayangkan menimpanya. Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba saja sebuah tumbukan keras menerjang belakang mobil, mendorong kuat tak terkendali sehingga ia menabrak kendaraan di depannya.
Semua terjadi begitu cepat. Anaya seperti terlempar ke dunia hening yang melambat sebelum suara-suara riuh menembus kesadarannya. Ia terhenyak, bingung dan panik sebab airbag sudah mengembang menutupi wajahnya.
Beberapa menit kemudian, Anaya menyadari penuh apa yang baru saja dialaminya. Pengemudi di belakangnya mengantuk hingga kehilangan kontrol dan menabrak mobilnya hingga menimbulkan tabrakan beruntun. Beruntung ia tidak mengalami luka, hanya kepalanya saja yang pusing.
Arlo yang dihubungi, cepat datang bersama sopir dan asistennya yang sigap mewakili Anaya membuat laporan ke polisi dan membawa mobil yang rusak ke bengkel. Suaminya itu memaksa membawa dirinya ke rumah sakit.
“Aku nggak apa-apa, nggak ada yang luka.” Anaya menolak.
“Tapi, tadi kamu bilang pusing.” Arlo memeriksa kepala Anaya.
“Aku mau istirahat di rumah aja.” Anaya yang merasa lemas, nyaris jatuh di pelukan Arlo. “Tapi, kita harus jemput Sasha dulu.”
“Oke, ayo!” Arlo membimbing Anaya ke mobilnya.
***
Anaya tidak berani mengungkapkan rasa ngeri yang baru muncul beberapa waktu kemudian. Semalaman ia, tidak bisa tidur. Bayangan buruk melingkupi benaknya. Ia takut sendiri bila terjadi sesuatu yang fatal pada dirinya, maka yang akan terkena dampak utama adalah Sasha. Siapa yang akan mengurusnya nanti?
Hal lain yang membuatnya resah adalah, kecelakaan tersebut juga mengingatkan dirinya pada peristiwa lima tahun lalu. Perasaan sakit dan kecewa karena harus kehilangan lelaki yang dicintainya muncul lagi. Disusul dengan rindu yang tak pernah usai menusuk dadanya. Ia cuma bisa menggigit bibir dan menarik napas panjang.
Tiga hari sudah, Arlo memaksa Anaya dan Sasha tetap tinggal di rumah. Anak kecil itu protes karena tidak bisa bertemu guru dan bermain bersama teman-temannya. Namun, sikap keras lelaki itu tidak bisa ditentang.
“Masa cuma gara-gara kejadian kemarin itu, Sasha nggak boleh sekolah dan aku nggak boleh keluar mengurus kedai. Lagian itu ‘kan bukan salahnya. Bukan salah aku juga.” Anaya yang pulih cepat dari traumanya ikut keberatan.
“Aku cuma takut terjadi sesuatu sama kalian berdua,” kilah Arlo.
“Namanya musibah, bisa terjadi kapan dan di mana aja. Tapi, kami ‘kan tetap harus keluar rumah. Jadi, nggak usah terlalu protektif begini.” Anaya membujuk.
Arlo berpikir lama. Anaya benar-benar harus merayunya sampai akhirnya lelaki itu luluh.
“Oke! Tapi, kamu nggak boleh menyetir lagi!” tegas Arlo.
Anaya tertegun. Aturan suaminya itu membuatnya bingung. “Terus, gimana cara aku melakukan mobilitas?”
“Aku akan carikan sopir pribadi khusus buat kamu dan Sasha.” Arlo memutuskan.
Meski tak suka dengan keputusan itu, Anaya menurut. Selama empat tahun pernikahannya dengan Arlo, ia sudah belajar untuk banyak mengalah dan tidak frontal menentang keinginan dan titah jika tak mau memancing emosi suaminya.
Dua hari setelah mobil baru Anaya tiba, sopir yang dimaksud Arlo pun datang. Dari jendela, Anaya mengamati sosok tersebut yang duduk di teras rumah. Seorang lelaki yang belum tua, namun rambutnya sudah abu-abu, berkaca mata, berkumis dan bercambang.
“Memangnya nggak ada yang lain, ya? ” Anaya berbisik pada Arlo. “Kelihatan sudah tua begitu.”
“Sebenarnya, ada beberapa kandidat lain. Tapi, dibandingkan yang lain, dia lebih cekatan,” jawab Arlo.
“Tampangnya agak seram,” bisik Anaya lagi.
“Bagus ‘kan, orang jadi takut macam-macam sama dia,” balas Arlo. “Aku cocok sama dia, karena waktu wawancara dia itu nggak banyak gaya dan bicara seperlunya. Sepertinya, dia juga nggak suka perempuan. Jadi, aku nggak perlu khawatir dia bakalan godain kamu.”
Anaya langsung menoleh pada suaminya. “Kenapa bisa punya pikiran aku bisa mudah digoda, apalagi sama seorang sopir?”
Arlo tertawa. Tangannya meraih pinggang istrinya, dan memeluknya. “Aku cuma bercanda. Aku tahu, kamu istri yang baik dan setia.”
Sopir baru itu bernama Abizar. Anaya sempat tertegun kala mendengarnya. Dulu, ia dan almarhum Damar berencana memberikan nama itu jika mendapatkan anak lelaki. Sungguh kebetulan sekali.
Suami Anaya benar dalam menilai. Abizar sangat irit berkata. Tak ada ucapan salam, atau sekedar basa-basi. Bahkan saat diperintah atau ditunjukkan arah, ia hanya membalas dengan anggukan kepala. Semula, Anaya sebal. Namun, setelah beberapa waktu, ia menikmati juga keheningan yang ada.
Sesuatu yang khas di penampilan Abizar yang diperhatikan Anaya adalah, lelaki itu selalu mengenakan kemeja lengan panjang yang selalu terkancing rapat. Namun, siang itu, terjadi insiden yang tidak diduga saat mobil berhenti di lampu merah.
Sasha yang super aktif, meminta duduk di depan. Tanpa sengaja, ia membuat tutup tumbler berisi sari buah terbuka dan menumpahkan isinya. Tangan Abizar sigap menangkapnya walau kemudian tangannya basah terciprati.
“Sasha! Hati-hati!” Anaya menegur.
“Maaf, aku nggak sengaja!” Sasha merasa bersalah.
Anaya memberikan tisu kepada Abizar. Lalu, melepaskan seatbelt anaknya dan membantunya pindah ke kursi tengah di sampingnya.
“Bilang maaf ke Pak Abizar. Kamu sudah bikin bajunya basah juga.” Anaya menyuruh Sasha berlaku sopan.
“Maaf ya, Pak ….” Sasha berkata lirih.
“Iya. Nggak apa-apa,” sahut Abizar.
Anaya terpaku. Bukan karena suara Abizar yang jarang terdengar, tetapi lebih pada apa yang dilihatnya. Karena basah, lelaki itu menggulung ujung tangan kemejanya, nyaris sampai ke siku. Di atas pergelangan tangan kirinya yang tampak tak asing, Anaya melihat gambar tato yang sangat dikenalnya. Huruf “A” dengan bentuk klasik yang sangat dikenalnya.
“Kenapa kamu bisa punya tato yang sama dengan almarhum suamiku?” tanya Anaya dengan suara parau.
Lima tahun kemudian.Anaya terjaga oleh suara alarm ponselnya yang diletakkan di atas nakas. Ia baru hendak menyingkap selimut ketika merasakan ada beban berat menaiki ranjang dan kemudian, tangan kekar yang hangat mendekapnya dari belakang. Ia menahan diri untuk tidak bergerak. Namun, hembusan napas yang hangat menggelitik telinganya. Ia terjebak, tak bisa bergerak leluasa.“Selamat pagi istriku.” Suara Arlo lembut menyapanya.“Selamat pagi? Kapan datang?” tanya Anaya. “Baru aja.” Arlo menjawab. “Aku harus bangun.” Anaya mencoba mengangkat tangan suaminya yang melingkari bagian atas tubuhnya.“Jangan!” Arlo mengeratkan pelukannya.“Ini sudah pagi, ‘kan? Aku harus menyiapkan sarapan dan juga bekal Sasha.” Anaya mencoba memberikan pengertian.“Setengah jam lagi.” Arlo membenamkan mukanya di rambut harum Anaya.Anaya pasrah walau otaknya langsung mengkalkulasi dampak penundaan waktu tiga puluh menit bagi rencana aktivitasnya hari ini.“Tapi, jangan macam-macam. Aku takut Sasha tiba-ti
Gerakan di kandungan Anaya seolah memberikan jawaban. Tangannya spontan meraba sisi kanan perutnya. Ia selalu terpesona merasakan sensasi kehidupan di dalam tubuhnya. “Kenapa?” Arlo khawatir melihat ekspresi Anaya.“Tadi aku dalam hati nanya, boleh nggak kalau aku ngobrol sama Bapak. Eh, dia langsung nendang.” Anaya mengerjap membagikan takjubnya. “Oh, ya?” Arlo ikut terkagum. “Artinya boleh kalau begitu. Kalau nggak, dia pasti diam aja.”Anaya tersenyum membelai perutnya yang tertutup blus katun longgar sederhana.“Sudah berapa bulan?” Mata Arlo tertuju pada tangan Anaya yang sudah tidak mengenakan cincin kawin.“Tujuh,” jawab Anaya.“Aku tebak … dia perempuan,” kata Arlo yakin.“Kok, tahu?” Anaya terbelalak kaget. “Bapak ini cenayang, ya?”“Bukan! Aku cuma nebak aja.” Arlo tertawa. “Ya, tapi kok bisa pas nebaknya.” Anaya setengah heran.“Perasaan aja,” kata Arlo.Pesanan Arlo datang. Jus kombinasi apel dan wortel. Anaya tersenyum memperhatikan lelaki itu menyesap minuman rekom
Kabar kehamilan Anaya, membuat semua orang senang sekaligus iba. Ia sendiri tertawa bahagia, tapi kemudian untuk pertama kalinya sejak hari kecelakaan, ia menangis. Penantian dan doa panjang agar ia mendapatkan keturunan justru terkabul setelah Damar tiada. Marini meminta Anaya tinggal bersamanya, tetapi ditolak tegas. Ia memilih tetap di rumahnya. Mertuanya itu mengalah dan mengirimkan asisten rumah tangga untuk mengurus dan menemani.Anaya memutuskan keluar dari pekerjaannya. Dengan kehamilannya, ia merasa tidak sanggup bekerja terikat waktu dan dikejar target. Meskipun keluarga Damar berjanji menjamin kebutuhan finansialnya, Anaya tidak mau berdiam diri. Dengan tabungannya, ia berniat membuka kedai pasta dan salad di lokasi bisnis pada kawasan permukiman ia tinggal.“Kamu lagi hamil, Anaya. Buat apa kerja begitu?” Marini langsung menentangnya.“Aku bisa gila kalau cuma berdiam diri aja. Lagian dekat dari rumah. juga ada karyawan yang bantu. Ada tukang masak, pelayan dan tukang yan
Udara di sekitar mendadak hening. Semua mata tertuju pada Anaya. Penuh tanda tanya. Sementara, suara Siska timbul tenggelam. Meskipun belum ada kabar terburuk, kata-kata ‘helikopter jatuh’ bagai firasat yang membekukan otak.“Anaya?!” Marini memanggil sembari mengguncang lengannya.Ia tersadar. Dengan mata nanar ia menatap mama mertuanya. Wajahnya pucat pasi.“Ada apa?” tanya Marini dengan nada cemas.“Kak Damar … kecelakaan …,” jawab Anaya lirih. “Ya, Tuhan!” ucap orang-orang di sekeliling Anaya, nyaris serempak.Suasana sekejap berubah. Semua menahan diri. Bahkan anak-anak kecil terdiam. Tubuh Anaya terasa ringan, sementara pikirannya melayang-layang. Ia diam saja saat Marini mengambil alih ponsel yang masih menempel di telinganya. Selanjutnya, semua terasa seperti mimpi panjang yang bernuansa abu-abu. Keributan di sekitarnya, terdengar mengambang. Kakinya tak menjejak bumi. Dirinya seperti berjarak dengan dunia nyata. Namun ia tak berdaya menguasai kembali kenyataan. Bersama me
“Anaya ….” Ciuman di pipi dan bisikan Damar menelusup lembut di telinga Anaya. Membangunkannya dari tidur yang lelap. Perlahan, ia membuka mata. Di kamar yang gelap, ia tertegun mendapati suaminya duduk begitu dekat di sisinya. “Ada apa?” Suara korek api terdengar memantik, diikuti cahaya yang remang menerangi ruang. Anaya tersenyum.“Selamat ulang tahun yang ke dua empat … Sayangku!” ucap Damar sambil menyulut sumbu lilin kecil di atas sesuatu dalam piring yang dipegang tangan kirinya. “Terima kasih ….” Anaya bangkit duduk.“Tiup lilinnya!” Damar mendekatkan piring di tangannya ke hadapan istrinya.Bukannya langsung menuruti perintah Damar, Anaya malah tergelak melihat isi piring yang terterangi cahaya. Hanya nasi dan lilin, tak ada yang lain. “Kok, cuma nasi?” tanya Anaya sambil menahan tawa.“Nggak ada makanan lain di dapur. Cuma ada sisa nasi di rice cooker.” Damar ikut tertawa.“Kenapa nggak modal beli apa dulu gitu.” Anaya heran.“Sekarang ini masih jam empat pagi. Aku juga







