Home / Romansa / DI ANTARA DUA SUAMI / 4 - Lahiran dan Lamaran

Share

4 - Lahiran dan Lamaran

Author: Harina
last update Last Updated: 2025-12-09 19:02:32

Gerakan di kandungan Anaya seolah memberikan jawaban. Tangannya spontan meraba sisi kanan perutnya. Ia selalu terpesona merasakan sensasi kehidupan di dalam tubuhnya. 

“Kenapa?” Arlo khawatir melihat ekspresi Anaya.

“Tadi aku dalam hati nanya, boleh nggak kalau aku ngobrol sama Bapak. Eh, dia langsung nendang.” Anaya mengerjap membagikan takjubnya. 

“Oh, ya?” Arlo ikut terkagum. “Artinya boleh kalau begitu. Kalau nggak, dia pasti diam aja.”

Anaya tersenyum membelai perutnya yang tertutup blus katun longgar sederhana.

“Sudah berapa bulan?” Mata Arlo tertuju pada tangan Anaya yang sudah tidak mengenakan cincin kawin.

“Tujuh,” jawab Anaya.

“Aku tebak … dia perempuan,” kata Arlo yakin.

“Kok, tahu?” Anaya terbelalak kaget.  “Bapak ini cenayang, ya?”

“Bukan! Aku cuma nebak aja.” Arlo tertawa. 

“Ya, tapi kok bisa pas nebaknya.” Anaya setengah heran.

“Perasaan aja,” kata Arlo.

Pesanan Arlo datang. Jus kombinasi apel dan wortel. Anaya tersenyum memperhatikan lelaki   itu menyesap minuman rekomendasi darinya. 

“Jadi minuman favorit rupanya?” tanya Anaya sambil menunjuk gelas tinggi di hadapan Arlo.

“Iya, ternyata aku suka. Rasanya segar.” Arlo tersenyum. “Sepertinya, mataku bakal jadi lebih sehat.”

“Kalau minumnya rutin mungkin bisa,” kata Anaya.

“Ya, sudah hampir dua minggu ini aku nggak minum jus di sini.” Arlo seakan mengkonfirmasi ketidakmunculannya.

“Minum di tempat lain juga nggak apa-apa, kok.” Anaya bersikap seolah hal tersebut bukanlah masalah.

“Ya. Kemarin aku harus ke Balikpapan dan Medan. Di restoran hotel tempatku menginap, aku pernah minta dibuatkan jus yang sama. Tapi, rasanya aneh. Aku lebih suka di sini.” Arlo kembali menyesap minumannya. 

“Oh ya, nginap di hotel mana?” Anaya penasaran.

Arlo menyebutkan nama hotel berbintang lima. Anaya hampir tidak percaya pada penilaian Arlo yang menilai cita rasa jus kedainya lebih enak. 

Lani kembali datang. Kali ini ia membawakan makanan. Bukan hanya untuk Arlo, tapi juga untuk Anaya. 

“Waktunya, snack time ibu hamil.” Lani meletakkan sepiring buah potong dan segelas susu.

“Aku belum lapar.” Anaya menolak.

“Perasaan Ibu aja itu, sih. Tapi si bayi pasti sudah lapar. Tadi siang cuma makan sedikit, ‘kan?” Lani tak mau ditolak. “Dihabiskan ya, Bu. Kalau nggak, saya nanti yang kena setrap Bu Marini.”

Anaya jadi merengut. Ia tahu, Lani dan yang lainnya takut pada Marini yang tak pernah lepas mengawasinya walau dari jauh.

“Siapa Bu Marini? Kepala sekolah?” tanya Arlo, mencoba bercanda.

“Bukan. Dia ….” Anaya tidak meneruskan jawabannya. Ia bingung mendeskripsikan hubungannya dengan Marini.

“Dia ibunya almarhum suamimu.” Arlo melanjutkan perkataan Anaya.

“Dari mana tahu tentang itu?” Tajam, Anaya menatap Arlo. Setelah sebelumnya berkelakar, mengapa kemudian ia tahu siapa Marini. 

“Eh … aku tahu karena membaca di berita soal musibah kecelakaan yang menimpa suami kamu. Maaf, aku sudah membuat candaan tentang mertuamu.” Arlo menangkupkan kedua tangannya. Wajahnya menyiratkan permohonan yang dalam.

Anaya menghela napas. Ia sadar, kehidupannya memang menjadi seperti buku yang terbuka setelah hari naas itu terjadi. Siapapun bisa membacanya.

“Sekali lagi, aku minta maaf.” Arlo semakin tak enak hati karena Anaya diam saja.

“Ya, sudah nggak apa-apa.” Anaya memaksakan diri tersenyum. 

Arlo terus memandangnya. Ia memastikan wanita yang tampak rapuh di depannya itu tidak berbohong.

“Silahkan dimakan!” Anaya yang jengah dipandangi mengalihkan perhatian Arlo. “Sup asparagus itu enaknya dimakan hangat.”

“Aku akan makan, kalau kamu juga makan buahmu itu. Jangan sampai aku kena setrap juga karena makan sendirian di depan kamu.” Arlo menawar.

“Oke!” Anaya setuju. 

Semula, ia bersedia karena ingin proses membalas budi kepada Arlo cepat usai. Namun, ketika ia mulai menyentuh makanannya dan mendengar dentingan ringan ujung sendok Arlo di pinggir mangkuk, rasa hangat menjalar melalui ujung jari ke tangan, dan segenap inderanya. Saat kemudian Arlo memancingnya bercakap-cakap, ia menemukan kembali momen “tidak sendiri” yang sudah lama dirindukannya. 

***

Kebersamaan pertama itu, disusul dengan yang berikutnya. Sejak peristiwa itu, Arlo seperti punya jadwal wajib datang ke kedai, dan Anaya jadi mau tak mau menemaninya. 

Semua memaklumi interaksi tersebut, Tak ada yang mempersoalkan. Tidak Lani, atau karyawan lainnya. Kekhawatiran sempat muncul ketika Marini dan adik-adik Damar tiba-tiba datang ke kedai dan menemukan kebersamaan keduanya, Diam-diam mereka menyelidiki lelaki yang selalu berpenampilan rapi itu. Setelah mengetahui bahwa Arlo adalah pemilik beberapa perusahaan dan berstatus single, mereka malah terang-terangan mendukung kedekatan tersebut.

Suatu malam, saat hendak pulang, Marini yang tiba-tiba datang menjenguk, mempertanyakan mobil Anaya yang tidak tampak di parkiran. “Mana mobilmu?”

“Aku lagi malas nyetir. Aku nanti diantar Lani saja naik motor.” Jawaban itu, menjadi bumerang bagi Anaya, sebab Marini malah marah.

“Lagi hamil kok malah nekat naik motor?!” Marini melotot. 

“Nggak apa-apa, kok. Lagian dekat juga dari sini ke rumah,” kilah Anaya.

“Jangan bilang nggak apa-apa. Mulai sekarang, nggak boleh bonceng motor lagi!” tegas Marini sambil melirik Arlo yang diam memperhatikan perdebatan di depannya. “Kamu bisa antar Anaya pulang? Dekat kok, di cluster Kenanga.” 

Arlo langsung menyanggupi. Ia tersenyum senang sebab merasa mendapatkan amanat penting dari Marini. Anaya tidak bisa menolak biarpun sebal. Namun, seiring waktu ia mulai merasa nyaman. Lelaki yang tenang itu sangat perhatian kepadanya. Setelah tahu Anaya baru saja menyukai anggrek, ia mengirimkan berbagai jenis tanaman itu ke rumahnya. Topik obrolan mereka juga sudah berkembang ke segala arah. 

Ketika usia kandungan Anaya memasuki sembilan bulan, Marini melarangnya datang ke kedai. Namun, ia nekat. Mungkin karena terlalu lelah, tiba-tiba saja ia mengalami pendarahan tanpa adanya kontraksi. Semua jadi panik. Arlo yang baru datang, langsung membawanya ke rumah sakit.

Operasi caesar harus dilakukan untuk menyelamatkan ibu dan bayinya. Karena Marini tidak bisa datang cepat, Arlo mengaku sebagai suami dan menjadi penanggung jawab Anaya. Ia memilih kamar VVIP dan membayar semua biaya di muka. 

Bayi perempuan Anaya, lahir dengan kondisi sehat dan lengkap yang diberi nama Shasnaya Aurelie. Banyak orang bilang, Shasa—panggilan bayi itu—sangat mirip dengan ibunya. Anaya dalam hati kecewa, sebab ia sangat ingin ada raut Damar di anaknya yang bisa ia pandangi setiap hari.

Setelah rawat inap pemulihan selama tiga hari, Anaya diizinkan pulang. Ia kaget ketika tidak perlu lagi membayar biaya sepeser pun.

“Siapa yang bayar?” tanya Anaya heran pada perawat yang mengurusnya. Tak mungkin Marini, karena wanita itu sudah mengirimkan uang biaya rumah sakit ke rekeningnya sebulan yang lalu.

“Kan sudah dibayar semua sama suami Ibu,” jawab wanita berseragam biru muda itu.

Kening Anaya berkerut heran. Namun, begitu Arlo muncul dengan membawa map plastik berisi berkas-berkas, ia langsung tahu siapa yang dimaksud.

“Bapak yang bayarin rumah sakit aku?” tanya Anaya begitu perawat meninggalkan mereka.

“Iya.” Arlo menjawab tenang.

“Suster jadi mengira, kita ini suami istri.” Anaya jadi tak enak hati.

“Ya nggak apa-apa, ‘kan?” Arlo tersenyum merasa hal tersebut bukan masalah.

“Tapi, kita ‘kan cuma teman.” Anaya mengingatkan.

Arlo  tersenyum. Ia mendekati Anaya dan menggenggam tangannya. “Sepertinya, mulai sekarang kita bukan lagi cuma teman. Karena, aku melamar kamu jadi istriku. Kamu mau ‘kan?”

Anaya terperangah. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DI ANTARA DUA SUAMI   5 - Sopir Pribadi

    Lima tahun kemudian.Anaya terjaga oleh suara alarm ponselnya yang diletakkan di atas nakas. Ia baru hendak menyingkap selimut ketika merasakan ada beban berat menaiki ranjang dan kemudian, tangan kekar yang hangat mendekapnya dari belakang. Ia menahan diri untuk tidak bergerak. Namun, hembusan napas yang hangat menggelitik telinganya. Ia terjebak, tak bisa bergerak leluasa.“Selamat pagi istriku.” Suara Arlo lembut menyapanya.“Selamat pagi? Kapan datang?” tanya Anaya. “Baru aja.” Arlo menjawab. “Aku harus bangun.” Anaya mencoba mengangkat tangan suaminya yang melingkari bagian atas tubuhnya.“Jangan!” Arlo mengeratkan pelukannya.“Ini sudah pagi, ‘kan? Aku harus menyiapkan sarapan dan juga bekal Sasha.” Anaya mencoba memberikan pengertian.“Setengah jam lagi.” Arlo membenamkan mukanya di rambut harum Anaya.Anaya pasrah walau otaknya langsung mengkalkulasi dampak penundaan waktu tiga puluh menit bagi rencana aktivitasnya hari ini.“Tapi, jangan macam-macam. Aku takut Sasha tiba-ti

  • DI ANTARA DUA SUAMI   4 - Lahiran dan Lamaran

    Gerakan di kandungan Anaya seolah memberikan jawaban. Tangannya spontan meraba sisi kanan perutnya. Ia selalu terpesona merasakan sensasi kehidupan di dalam tubuhnya. “Kenapa?” Arlo khawatir melihat ekspresi Anaya.“Tadi aku dalam hati nanya, boleh nggak kalau aku ngobrol sama Bapak. Eh, dia langsung nendang.” Anaya mengerjap membagikan takjubnya. “Oh, ya?” Arlo ikut terkagum. “Artinya boleh kalau begitu. Kalau nggak, dia pasti diam aja.”Anaya tersenyum membelai perutnya yang tertutup blus katun longgar sederhana.“Sudah berapa bulan?” Mata Arlo tertuju pada tangan Anaya yang sudah tidak mengenakan cincin kawin.“Tujuh,” jawab Anaya.“Aku tebak … dia perempuan,” kata Arlo yakin.“Kok, tahu?” Anaya terbelalak kaget. “Bapak ini cenayang, ya?”“Bukan! Aku cuma nebak aja.” Arlo tertawa. “Ya, tapi kok bisa pas nebaknya.” Anaya setengah heran.“Perasaan aja,” kata Arlo.Pesanan Arlo datang. Jus kombinasi apel dan wortel. Anaya tersenyum memperhatikan lelaki itu menyesap minuman rekom

  • DI ANTARA DUA SUAMI   3 - Kedai Pasta

    Kabar kehamilan Anaya, membuat semua orang senang sekaligus iba. Ia sendiri tertawa bahagia, tapi kemudian untuk pertama kalinya sejak hari kecelakaan, ia menangis. Penantian dan doa panjang agar ia mendapatkan keturunan justru terkabul setelah Damar tiada. Marini meminta Anaya tinggal bersamanya, tetapi ditolak tegas. Ia memilih tetap di rumahnya. Mertuanya itu mengalah dan mengirimkan asisten rumah tangga untuk mengurus dan menemani.Anaya memutuskan keluar dari pekerjaannya. Dengan kehamilannya, ia merasa tidak sanggup bekerja terikat waktu dan dikejar target. Meskipun keluarga Damar berjanji menjamin kebutuhan finansialnya, Anaya tidak mau berdiam diri. Dengan tabungannya, ia berniat membuka kedai pasta dan salad di lokasi bisnis pada kawasan permukiman ia tinggal.“Kamu lagi hamil, Anaya. Buat apa kerja begitu?” Marini langsung menentangnya.“Aku bisa gila kalau cuma berdiam diri aja. Lagian dekat dari rumah. juga ada karyawan yang bantu. Ada tukang masak, pelayan dan tukang yan

  • DI ANTARA DUA SUAMI   2 - Status

    Udara di sekitar mendadak hening. Semua mata tertuju pada Anaya. Penuh tanda tanya. Sementara, suara Siska timbul tenggelam. Meskipun belum ada kabar terburuk, kata-kata ‘helikopter jatuh’ bagai firasat yang membekukan otak.“Anaya?!” Marini memanggil sembari mengguncang lengannya.Ia tersadar. Dengan mata nanar ia menatap mama mertuanya. Wajahnya pucat pasi.“Ada apa?” tanya Marini dengan nada cemas.“Kak Damar … kecelakaan …,” jawab Anaya lirih. “Ya, Tuhan!” ucap orang-orang di sekeliling Anaya, nyaris serempak.Suasana sekejap berubah. Semua menahan diri. Bahkan anak-anak kecil terdiam. Tubuh Anaya terasa ringan, sementara pikirannya melayang-layang. Ia diam saja saat Marini mengambil alih ponsel yang masih menempel di telinganya. Selanjutnya, semua terasa seperti mimpi panjang yang bernuansa abu-abu. Keributan di sekitarnya, terdengar mengambang. Kakinya tak menjejak bumi. Dirinya seperti berjarak dengan dunia nyata. Namun ia tak berdaya menguasai kembali kenyataan. Bersama me

  • DI ANTARA DUA SUAMI   1 - Akhir Hari Bahagia

    “Anaya ….” Ciuman di pipi dan bisikan Damar menelusup lembut di telinga Anaya. Membangunkannya dari tidur yang lelap. Perlahan, ia membuka mata. Di kamar yang gelap, ia tertegun mendapati suaminya duduk begitu dekat di sisinya. “Ada apa?” Suara korek api terdengar memantik, diikuti cahaya yang remang menerangi ruang. Anaya tersenyum.“Selamat ulang tahun yang ke dua empat … Sayangku!” ucap Damar sambil menyulut sumbu lilin kecil di atas sesuatu dalam piring yang dipegang tangan kirinya. “Terima kasih ….” Anaya bangkit duduk.“Tiup lilinnya!” Damar mendekatkan piring di tangannya ke hadapan istrinya.Bukannya langsung menuruti perintah Damar, Anaya malah tergelak melihat isi piring yang terterangi cahaya. Hanya nasi dan lilin, tak ada yang lain. “Kok, cuma nasi?” tanya Anaya sambil menahan tawa.“Nggak ada makanan lain di dapur. Cuma ada sisa nasi di rice cooker.” Damar ikut tertawa.“Kenapa nggak modal beli apa dulu gitu.” Anaya heran.“Sekarang ini masih jam empat pagi. Aku juga

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status