LOGINAbizar menoleh kaget. Namun tidak langsung menjawab. Lampu lalu lintas telah berganti ke warna hijau. Ia kembali berkonsentrasi mengemudi. Dengan gerakan halus, ia menurunkan ujung tangan bajunya.
“Jangan ditutupin!” larang Anaya.
“Maaf … tangan saya dingin kena AC. Kalau soal tato ini, siapapun bisa punya yang sama. Bentuk hurufnya memang umum ada di katalog tukang tato ‘kan?” Abizar berkata. Sangat panjang dibanding biasanya.
“Tapi kok bisa huruf A juga, dan di tempat yang sama dengan almarhum suami aku?” Anaya heran.
“Saya pilih huruf A sesuai inisial nama saya. Kalau tempat, mungkin hanya kebetulan saja.” Abizar menjawab dengan pandangan yang tetap jeli pada jalanan di depannya.
“Mama ….” Sasha memanggilnya meminta perhatian
“Ya?” Anaya mengalihkan pandangan pada anaknya.
“Aku mau tanya. Siapa itu almarhum suami?” tanya Sasha dengan intonasi menginterogasi. “Suami mama ‘kan papa. Bukannya almarhum itu panggilan buat orang yang sudah meninggal? Tapi, papa ‘kan masih hidup!”
Pertanyaan anaknya membuat Anaya tertegun. Ia lupa Sasha termasuk yang terpintar di sekolah.Walau usianya masih sangat belia, ia pemikir yang kritis.
“Siapa?” Sasha menuntut jawaban.
“Hmmm ….” Anaya sungguh tersudut. Namun, ia tidak bisa mengarang cerita.
“Aku tanya papa nanti kalau gitu,” Sasha pandai bermanuver.
“Nggak usah. Biar Mama aja yang kasih tahu.” Anaya memutuskan. “Dulu, sebelum Mama menikah dengan papa, mama pernah punya suami. Dia sudah meninggal karena kecelakaan. Setelah itu, baru mama menikah dengan papa.”
Anaya berkata sambil melirik Abizar. Dari tempat duduknya, ia tanpa sungkan memperhatikan lebih tajam sosok sopir di depannya walau dari posisinya, profil lelaki itu hanya bisa terlihat jelas dari samping kirinya.
Meskipun demikian, entah mengapa setelah melihat tatonya, Anaya merasa tidak asing dengan sosoknya. Huruf A di pergelangan tangan lelaki itu, sangatlah spesial artinya.
Dahulu, Damar membuat tato serupa, saat mereka berbulan madu di Bali, untuk menunjukkan besar cintanya pada Anaya. Walau, menyadari bahwa bukan dirinya saja yang mempunyai nama dengan huruf "A", ia tetap merasa kebetulan tersebut adalah sesuatu yang sangat aneh. Apalagi, Abizar juga adalah nama yang dicita-citakan akan diberikan jika anaknya laki-laki.
“Siapa nama almarhum suami Mama?” tanya Sasha. Anak itu sepertinya langsung paham dengan jawaban yang diberikan Anaya.
“Damar,” jawab Anaya sambil memandang Abizar. “Dia lelaki yang sangat baik. Dia cinta pertama Mama.”
“Papa cinta ke berapa?” tanya Sasha.
“Cinta pertama itu berbeda. Kata orang, first love never die. That’s what i feel until now.” Anaya menahan tangis.
“Aku nggak ngerti maksud jawaban Mama.” Baru kali ini Sasha bingung.
Anaya tidak peduli. Hatinya tengah bergetar menyaksikan bagaimana telapak tangan Abizar merespon kata-katanya dengan menggenggam kuat kemudi mobil hingga kulitnya memerah. Rahangnya mengeras dan punggungnya kaku seperti menahan sesuatu yang berat.
Ia yang tadinya sempat merasa malu karena telah berharap bahwa sopirnya adalah suami pertamanya yang tengah menyamar, jadi terkesiap. Dadanya bergemuruh.
Walau ada perbedaan fisik antara Abizar dan Damar seperti kulit yang lebih putih, bekas luka di punggung tangan kiri yang tidak dimiliki Damar, hidung yang berbeda, serta suara yang lebih ringan saat berbicara … entah mengapa jiwanya kini merasa sangat mengenalnya.
Abizar menghentikan mobil di depan kedai. Tanpa bicara, ia membukakan kunci mobil.
“Tunggu di sini, jangan parkir dulu!” Anaya cepat membuka pintu dan membantu Sasha turun.
Dengan alasan harus ke bank, Anaya menitipkan Sasha pada Lani yang sudah ditunjuk menjadi manajer kedai. Lalu, setengah berlari ia kembali ke mobil. Kali ini, ia duduk di samping pengemudi.
“Ayo jalan Kak Dam Dam ….” Anaya mengucapkan panggilan khas untuk almarhum suaminya di masa lalu, dengan nada manja yang masih tetap ia ingat.
Abizar menoleh. Mata mereka bertubrukan dan saling menatap. Lelaki itu perlahan membuka kaca mata fotokromiknya. Anaya bisa melihat dengan sangat jelas mata yang basah itu. Seketika, ia menutup mulutnya. Tubuhnya bergetar.
Tak perlu kata, sebab mata adalah jendela batin. Ia menangis karena menemukan kembali bagian jiwanya yang hilang di mata sopir bernama Abizar itu.
“Tato "A" itu?” Anaya mengalihkan pandangannya ke tangan Abizar. Walau ia sudah merasa yakin Abizar adalah Damar, tetap ia harus menanyakan.
“Selamanya Anaya.” Suara berat yang lama dirindukannya, terdengar lagi. Menghamburkan rindu yang tidak terkira.
Anaya menggenggam tangan Arlo. Ia berusaha menenangkan lelaki di sampingnya walaupun ia sendiri gemetar.“Sabar … lampu merahnya memang terlalu cepat. Masih untung dia bisa cepat ngerem.” Anaya memberikan pendapat tentang apa yang terjadi.“Semestinya dia sudah pelan saat lampu masih kuning!” Emosi Arlo masih membara. “Apa dia seceroboh ini selama jadi sopir kamu dan Sasha?”“Nggak … dia selalu hati-hati, kok. Kalau memang ceroboh, aku pasti lapor ke Bapak.” Anaya menyandarkan kepalanya di bahu Arlo, dan membelai lututnya. Kemarahan Arlo pun mereda. Dengan lembut, lelaki itu mencium rambut istrinya. Anaya memandang ke depan. Hatinya berkecamuk resah memperhatikan Abizar dari belakang. Ia bisa merasakan ketegangan di tangannya yang memegang kemudi.Acara yang dihadiri Anaya adalah resepsi pernikahan rekan bisnis Arlo. Mewahnya dekorasi dan makanan lezat yang berlimpah sama sekali tidak menarik minatnya. Benaknya dipenuhi tentang Abizar. Ia sangat ingin berbicara lagi dengan sopirnya i
Pengakuan Abizar seperti angin kencang yang memporakporandakan jiwa Anaya. Meski ia sudah berusaha bersikap biasa seolah tak terjadi suatu apa pun, tetap saja gelisah terpancar dari gerak-geriknya. Ia bahkan hampir saja menabrak Lani yang tengah membawa hidangan.Arlo memanggil, dan meminta dirinya duduk di sebelahnya. Anaya menahan rasa risih yang tidak bisa dicegahnya.“Kamu kenapa?” Arlo berbisik di telinga Anaya.“Aku kenapa?” Ia malah balik bertanya. “Kamu kayak orang bingung. Ada masalah?” Lembut, jemari Arlo menyibak rambut yang menutupi kening Anaya.“Nggak ada. Mungkin, karena capek aja.” Anaya tersenyum, dan mencoba fokus pada perhatian suaminya.“Tahan sebentar. Setelah tamuku selesai makan, kita pulang. Kamu harus istirahat.” Arlo menggenggam tangan Anaya. “Aku pulang sendiri aja … maksudnya sama Sasha.” Anaya mencoba mengelak dari rencana suaminya. “Aku juga mau pulang. Nanti malam ada undangan resepsi pernikahan kawanku. Kamu harus nemanin aku,” ujar Arlo. Pelan tapi
Ingatan terhadap suaminya membuat Anaya panik. Ia mengangkat wajahnya, menatap lelaki di hadapannya. Suami pertamanya ternyata belum mati, tetapi dia sudah menikah lagi. Dunia mengakui dia adalah istri Arlo. Namun, dengan kemunculan Damar dalam versi lain ini, bagaimana kini statusnya? Rasa takut melandanya. Ia merasa sudah berkhianat. Akan tetapi, berkhianat pada siapa? Damar atau Arlo?“Kenapa?” tanya Abizar khawatir.“Aku sudah menikah dengan lelaki lain.” Anaya menunjukkan cincinnya.Abizar yang sudah tahu itu sejak awal, mengatupkan bibirnya. Hanya dirinya yang tahu bagaimana remuk hatinya.“Maaf … aku seharusnya nggak menikah lagi dan tetap menunggu Kakak. Harusnya aku … ini semua salahku.” Anaya menarik napas panjang.“Bukan! Ini bukan salahmu.” Abizar menenangkannya.“Iya, ini memang bukan salah aku. Tapi, salah Kakak!” sentak Anaya. Abizar kaget. Namun, kemudian ia paham. Pastilah emosi Anaya jadi labil menghadapi pengakuan yang tiba-tiba.“Kalau Kakak langsung ngabarin aku
Seumpama air hujan yang terbendung, kemudian mendapatkan jalan mengalir, membasahi pepohonan yang kering. Begitulah apa yang dirasakan Anaya. Rindu yang selama ini menggumpal di hatinya, telah pecah dan tertabur. Pertemuan kembali dengan lelaki yang dicintainya mengguncang jiwa. Membingungkan, tetapi terasa benar dan wajar“Ini beneran Kak Damar?” Suara Anaya bergetar.Abizar mengangguk. “Ini aku. Tampangku memang beda, tapi … ini aku beneran. Aku Damar Abimana, suamimu.”Air mata Anaya mengalir. Ia percaya. Sorot mata yang menatapnya teduh tersebut, sangat ia kenal. Mata itulah yang dulu membuatnya takluk dan menerima cinta Damar. Tangannya terulur meraba pipi Abizar. Pantas saja ia merasa tak asing biarpun fisiknya “Tapi … kenapa ….” Anaya tidak dapat meneruskan kalimatnya. Terlalu banyak pertanyaan di benaknya. Lelaki itu memejamkan mata. Segenap pori-pori tubuhnya mengembang. Jantungnya berdesir menghangatkan semua nadinya. Ingin ia menarik tangan halus itu dan menciuminya. Namu
Abizar menoleh kaget. Namun tidak langsung menjawab. Lampu lalu lintas telah berganti ke warna hijau. Ia kembali berkonsentrasi mengemudi. Dengan gerakan halus, ia menurunkan ujung tangan bajunya.“Jangan ditutupin!” larang Anaya.“Maaf … tangan saya dingin kena AC. Kalau soal tato ini, siapapun bisa punya yang sama. Bentuk hurufnya memang umum ada di katalog tukang tato ‘kan?” Abizar berkata. Sangat panjang dibanding biasanya.“Tapi kok bisa huruf A juga, dan di tempat yang sama dengan almarhum suami aku?” Anaya heran.“Saya pilih huruf A sesuai inisial nama saya. Kalau tempat, mungkin hanya kebetulan saja.” Abizar menjawab dengan pandangan yang tetap jeli pada jalanan di depannya.“Mama ….” Sasha memanggilnya meminta perhatian“Ya?” Anaya mengalihkan pandangan pada anaknya.“Aku mau tanya. Siapa itu almarhum suami?” tanya Sasha dengan intonasi menginterogasi. “Suami mama ‘kan papa. Bukannya almarhum itu panggilan buat orang yang sudah meninggal? Tapi, papa ‘kan masih hidup!”Pertany
Lima tahun kemudian.Anaya terjaga oleh suara alarm ponselnya yang diletakkan di atas nakas. Ia baru hendak menyingkap selimut ketika merasakan ada beban berat menaiki ranjang dan kemudian, tangan kekar yang hangat mendekapnya dari belakang. Ia menahan diri untuk tidak bergerak. Namun, hembusan napas yang hangat menggelitik telinganya. Ia terjebak, tak bisa bergerak leluasa.“Selamat pagi istriku.” Suara Arlo lembut menyapanya.“Selamat pagi, Bapak … kapan datang?” tanya Anaya. Sejak pertama, ia selalu memanggil Arlo dengan sebutan itu. Demikian juga dengan Sasha. Arlo jadi menyukainya setelah Anaya beralasan bahwa panggilan itu memberikan kesan dirinya adalah lelaki yang bijaksana.“Baru aja.” Arlo menjawab. “Aku harus bangun.” Anaya mencoba mengangkat tangan suaminya yang melingkari bagian atas tubuhnya.“Jangan!” Arlo mengeratkan pelukannya.“Ini sudah pagi, ‘kan? Aku harus menyiapkan sarapan dan juga bekal Sasha.” Anaya mencoba memberikan pengertian.“Setengah jam lagi.” Arlo mem







