MasukPagi itu, Rio Dirgantara kembali dalam mode Asisten Manajer yang terbuat dari baja. Tidak ada lagi keluhan lelah, tidak ada lagi sentuhan hangat, dan tidak ada lagi pembicaraan tentang politik kantor atau masalah keluarga. Rio memasang dinding kaca yang lebih tebal di sekeliling dirinya setelah ia secara tidak sengaja menunjukkan kerentanan di Bab 6.
Saat Rio tiba, ia langsung menuju kantornya. Lima menit kemudian, Anya dipanggil. “Selamat pagi, Pak Rio.” “Pagi. Lupakan percakapan kemarin. Itu adalah keluhan yang tidak profesional. Anda di sini untuk bekerja, bukan untuk mendengar curahan hati saya,” Rio mengawali dengan dingin, menegaskan kembali kendalinya. “Siap, Pak Rio,” jawab Anya, berusaha tidak menunjukkan bahwa hatinya sedikit perih karena penolakan itu. “Bagus. Tugas Anda hari ini: memimpin audit mini mendadak di gudang arsip lama. Cari semua faktur pengeluaran yang mencurigakan di atas lima puluh juta rupiah dalam tiga bulan terakhir. Saya ingin laporan itu di meja saya sebelum jam tiga. Ini tugas rahasia,” perintah Rio, nadanya mutlak. Tugas ini berbahaya. Rio secara tidak langsung menugaskan Anya untuk mencari tahu siapa yang mungkin terlibat dalam penggelapan di internal perusahaan, tugas yang seharusnya dilakukan oleh auditor senior. Ini jelas merupakan upaya Rio untuk menguji kesetiaan Anya dan menjauhkannya dari kantor Rio yang tegang. Anya menghabiskan empat jam berikutnya di gudang arsip yang dingin dan berdebu—gudang yang dulunya menjadi tempat ia menangis di hari pertamanya. Dengan konsentrasi penuh, ia menelusuri ratusan faktur, mencocokkan data, dan mencari pola yang janggal. Saat ia sedang bekerja, Dina datang membawakannya kopi dan sepotong roti. “Kamu dihukum lagi, Anya?” tanya Dina berbisik. “Kenapa tiba-tiba kamu disuruh jadi auditor? Itu bukan tugas magang.” “Ini adalah tugas Asisten Pribadi yang dipaksa menjadi ekstensi otak Rio,” jawab Anya, mencoba tersenyum. “Ada audit internal mendadak.” “Hati-hati, Anya,” Dina memperingatkan, wajahnya serius. “Pak Rio memang sangat kompeten, tapi dia membuat banyak musuh karena dia terlalu bersih. Mereka akan menyerang siapa pun yang dekat dengannya, termasuk kamu.” Anya menatap tumpukan faktur yang mencurigakan di depannya. Ia tahu Dina benar. Ia sedang mempertaruhkan kontrak magangnya, dan bahkan mungkin reputasinya, untuk Rio. Pukul 14:45, Anya kembali ke lantai 32. Ia telah menemukan empat faktur pengeluaran yang sangat mencurigakan—semuanya ditandatangani oleh kepala departemen Procurement, yang kebetulan adalah kolega dekat Direktur Kusuma. Anya meletakkan laporan setebal dua puluh halaman itu di meja Rio. Rio sedang berada di kantor, mematikan telepon. Ia mengambil laporan itu dan mulai membacanya. Ekspresinya semakin mengeras di setiap halaman yang ia baca. "Empat faktur. Semuanya melibatkan departemen Procurement," Rio bergumam, lebih kepada dirinya sendiri. Ia mendongak, menatap Anya dengan tatapan yang sangat intens. "Anda meloloskan tugas ini. Anda menemukan apa yang tidak bisa ditemukan oleh auditor kami," Rio memuji, suaranya mengandung nada kekaguman yang tersembunyi. "Anda tidak hanya menjadi ekstensi otak, Anda menjadi mata saya." Pujian Rio yang langka itu membuat rasa lelah Anya hilang seketika. “Terima kasih, Pak Rio. Tapi apa yang akan Bapak lakukan dengan ini?” tanya Anya, khawatir Rio akan mengambil tindakan gegabah. Rio menghela napas. "Saya tidak bisa bertindak. Jika saya menyerahkan ini ke SDM, itu akan dianggap sebagai serangan pribadi terhadap Kusuma. Saya harus menyimpannya sampai saya punya bukti yang lebih besar." Rio lalu mengambil flash drive dari lacinya. "Ini berisi data proyek Sentosa Plaza. Saya tidak bisa membiarkan ini ada di server perusahaan. Ambil ini. Tugas Anda malam ini: simpan flash drive ini di tempat teraman yang Anda miliki." Anya terkejut. "Maksud Bapak… saya membawanya pulang?" "Tepat," jawab Rio, menyerahkan flash drive itu pada Anya. "Saya tidak percaya pada brankas kantor. Saya percaya pada Anda. Bawa pulang, sembunyikan. Dan jangan buka isinya. Jaga ini dengan nyawa Anda, Anya. Ini adalah masa depan perusahaan ini. Dan juga, karir saya." Anya memegang flash drive kecil itu. Rasanya seperti memegang bom waktu. Rio, yang seharusnya mengendalikan segalanya, kini menyerahkan kendali atas asetnya yang paling berharga kepadanya. "Saya akan menyimpannya di tempat teraman, Pak Rio," janji Anya. Rio mengangguk. "Bagus." Saat Rio beranjak untuk pergi ke rapat lain, ia berhenti di pintu. “Mengenai masalah Ibunda saya,” kata Rio, suaranya hampir berbisik. “Jangan pernah sebutkan itu di kantor. Dan… terima kasih sudah membisukan telepon itu. Anda tahu apa yang harus dilakukan, tanpa saya harus meminta.” Anya mengangguk. Komunikasi mereka kini telah berevolusi. Mereka berbicara dengan kode dan isyarat yang hanya dimengerti oleh mereka berdua. Malam itu, dalam perjalanan pulang, Anya memegang flash drive itu erat-erat. Ia menyadari, Rio tidak lagi mencoba mengendalikan dia agar menjadi asisten yang sempurna. Rio mengendalikan Anya agar menjadi satu-satunya orang yang bisa ia percayai. Anya tidak menyadari bahwa ia telah menjadi lebih dari sekadar Asisten; ia telah menjadi rahasia hidup Rio, dan ia harus melindungi rahasia itu, bahkan dari dirinya sendiri.Nyonya Winda menatap ke belakang, matanya awas penasaran, menunjuk ke jalanan di belakang Rio. "Rio, tunggu! Siapa mereka di belakangmu!" Rio segera berbalik. Di ujung jalan, sebuah mobil hitam dengan lampu dimatikan berhenti perlahan. Pintu mobil terbuka, dan dari sana, muncul dua sosok berjaket gelap preman yang mengejar mereka dari apartemen Rio. Mereka berdua telah dilacak. "Sial! Mereka melacak sinyal telepon Ibu!" desis Rio. Ia menarik Anya dan mendorong Nyonya Winda. "Ibu, masuk! Sekarang! Jangan telepon siapa pun!" Rio mendorong Anya ke pintu belakang, sementara Nyonya Winda bergegas menutup pintu depan dengan panik dan bingung. "Ada apa Rio?" tanya Nyonya Winda, suaranya tercekat. "Nanti Rio jelaskan, Bu," jawab Rio terburu-buru, matanya mencari jalan keluar. "Lantai atas, Anya! Kamar tidur Ayah!" ucap Rio, menarik Anya menaiki tangga. Mereka mencapai kamar tidur utama. Ayah Rio yang sakit-sakitan hanya bisa menatap bingung dari tempat tidurnya. "Maaf, Ayah,"
Itu Taksi melaju kencang, meninggalkan tempatnya apartemen Rio yang kini diselimuti suara sirene darurat. Di dalam mobil, keheningan terasa memekakkan telinga. Rio dan Anya duduk berjauhan, meskipun hanya beberapa menit yang lalu Rio mencium Anya dengan paksa di depan umum. Anya menyentuh bibirnya, mencoba memproses. Ciuman itu cepat, mendesak, dan penuh adrenalin—sama sekali tidak romantis, tetapi sangat mengguncangnya. "Kenapa Bapak melakukan itu?" tanya Anya pelan dan ragu, akhirnya memecah keheningan. "Itu tidak ada hubungannya dengan pengalihan perhatian, Pak Rio." suaranya semakin terdengar tegas Rio menoleh, wajahnya masih dingin dan kaku, tetapi ia terlihat malu dan sangat tertekan. "Itu adalah akting, Anya. Mereka sedang melihat kita, mereka merekam. Saya harus memberikan mereka sesuatu yang meyakinkan agar mereka berpikir kita... terlalu terganggu secara emosional untuk menyimpan data rahasia," jawab Rio, meskipun ia menghindari tatapan Anya. "Pengalihan perhatian,"
Suara gedoran di balik pintu penthouse Rio terdengar semakin keras dan cepat. Ada suara teriakan dari luar "Serahkan data itu, Rio!" membuat tubuh Anya terasa dingin. Ini bukan lagi drama kantor, ini adalah ancaman fisik. Rio menggemgam lengan Anya, matanya memancarkan perintah mutlak. “Ambil flash drive itu! Sekarang!” perintah Rio Anya, meskipun panik, menanggapi perintah Rio secara naluriah. “Bukan di sini! Saya simpan di buku statistik di indekos!” Rio menampar keningnya sendiri dengan frustrasi, tapi ia segera bertindak cepat. “Sial! Tidak ada waktu. Dengar!, kita tidak punya waktu untuk naik elevator. Ikuti saya!” Rio menarik Anya ke arah balkon yang menghadap pemandangan kota. Anya duga mereka akan melompat, tapi Rio membuka pintu kecil di dinding yang tersembunyi di balik rak buku. Itu adalah tangga darurat tersembunyi. “Turun!” Rio mendorong Anya masuk. Anya menuruni tangga logam curam itu secepat yang ia bisa, diikuti oleh Rio yang bergerak dengan cepat dan waspad
Anya menyimpan flash drive rahasia milik Rio di tempat yang paling tidak mungkin: di antara halaman-halaman buku teks statistiknya yang tebal. Siapa yang mau repot-repot membuka buku statistik?Pagi berikutnya, tekanan di kantor semakin terasa. Rio terus-menerus menghadiri rapat darurat dan menghadapi panggilan telepon yang menegangkan. Ia tampak seperti sedang menghadapi serangan serentak dari internal dan eksternal perusahaan. Anya, sebagai asistennya, harus menjadi benteng, menyaring setiap permintaan dan panggilan telepon yang masuk.Pukul 18:00, ketika kantor sudah mulai sepi, Rio memanggil Anya ke ruangannya. Ia tampak pucat, dasinya sudah sedikit longgar, dan ia memijat pelipisnya lagi.“Laporan Proyek Sentosa Plaza bocor ke media,” Rio berkata dengan nada yang sangat rendah. “Direktur Kusuma pasti berada di baliknya. Dia ingin proyek ini dihentikan agar harga sahamnya tidak naik, sebelum dia membeli saham di perusahaan pesaing.”Anya terkejut. "Tapi bagaimana bisa bocor? Saya
Pagi itu, Rio Dirgantara kembali dalam mode Asisten Manajer yang terbuat dari baja. Tidak ada lagi keluhan lelah, tidak ada lagi sentuhan hangat, dan tidak ada lagi pembicaraan tentang politik kantor atau masalah keluarga. Rio memasang dinding kaca yang lebih tebal di sekeliling dirinya setelah ia secara tidak sengaja menunjukkan kerentanan di Bab 6.Saat Rio tiba, ia langsung menuju kantornya. Lima menit kemudian, Anya dipanggil.“Selamat pagi, Pak Rio.”“Pagi. Lupakan percakapan kemarin. Itu adalah keluhan yang tidak profesional. Anda di sini untuk bekerja, bukan untuk mendengar curahan hati saya,” Rio mengawali dengan dingin, menegaskan kembali kendalinya.“Siap, Pak Rio,” jawab Anya, berusaha tidak menunjukkan bahwa hatinya sedikit perih karena penolakan itu.“Bagus. Tugas Anda hari ini: memimpin audit mini mendadak di gudang arsip lama. Cari semua faktur pengeluaran yang mencurigakan di atas lima puluh juta rupiah dalam tiga bulan terakhir. Saya ingin laporan itu di meja saya seb
Lima hari sejak insiden "tunangan pura-pura" dan makan siang rahasia di van, kehidupan Anya kembali didominasi oleh kecepatan dan ketelitian yang diminta Rio. Rio semakin keras dalam pekerjaan, seolah mencoba menutupi fakta bahwa ia pernah menunjukkan kehangatan."Laporan bulanan untuk Direktur Utama harus rampung dan diperiksa ulang tiga kali sebelum jam empat sore," Rio memerintahkan pagi itu. "Saya tidak mau ada kesalahan ketik, apalagi kesalahan data. Ini menentukan anggaran kita tahun depan."Anya sibuk memproses data saat ia mendengar percakapan yang tidak mengenakkan dari kubikel sebelah. Beberapa staf senior terlihat tegang."Kabarnya Pak Kusuma (salah satu direktur senior) terus menekan Rio agar mundur dari proyek Sentosa Plaza," bisik seorang staf, Dina."Kenapa? Proyek itu kan akan membawa keuntungan terbesar?" tanya rekan lainnya."Justru itu. Ada yang ingin menjatuhkan Rio. Mereka bilang cara kerjanya terlalu ekstrem, bahkan untuk Artha Yudhistira. Rio terlalu banyak meme







