MasukLima hari sejak insiden "tunangan pura-pura" dan makan siang rahasia di van, kehidupan Anya kembali didominasi oleh kecepatan dan ketelitian yang diminta Rio. Rio semakin keras dalam pekerjaan, seolah mencoba menutupi fakta bahwa ia pernah menunjukkan kehangatan.
"Laporan bulanan untuk Direktur Utama harus rampung dan diperiksa ulang tiga kali sebelum jam empat sore," Rio memerintahkan pagi itu. "Saya tidak mau ada kesalahan ketik, apalagi kesalahan data. Ini menentukan anggaran kita tahun depan." Anya sibuk memproses data saat ia mendengar percakapan yang tidak mengenakkan dari kubikel sebelah. Beberapa staf senior terlihat tegang. "Kabarnya Pak Kusuma (salah satu direktur senior) terus menekan Rio agar mundur dari proyek Sentosa Plaza," bisik seorang staf, Dina. "Kenapa? Proyek itu kan akan membawa keuntungan terbesar?" tanya rekan lainnya. "Justru itu. Ada yang ingin menjatuhkan Rio. Mereka bilang cara kerjanya terlalu ekstrem, bahkan untuk Artha Yudhistira. Rio terlalu banyak memegang kendali," jawab Dina. Anya menyadari, Rio bukan hanya tiran bagi bawahannya, tapi juga target empuk bagi pesaingnya di level direksi. Ia bekerja di bawah tekanan yang jauh lebih besar daripada yang ia tunjukkan. Pukul 15:00, Anya sudah menyelesaikan laporannya. Rio sedang berada di rapat tertutup dengan Direktur Keuangan. Anya meletakkan laporan tebal itu di meja Rio. Saat itu, ponsel pribadi Rio berdering di dalam laci mejanya. Itu adalah pelanggaran protokol Rio tidak pernah membiarkan notifikasi ponselnya menyala, apalagi saat rapat. Karena takut itu adalah panggilan darurat yang penting, Anya ragu sejenak, lalu teringat kendali Rio: ia harus memprediksi kebutuhan Rio. Jika itu penting, Rio akan marah karena Anya tidak mengangkatnya. Anya membuka laci. Telepon itu berkedip-kedip menampilkan nama: Ibunda. Ia menekan tombol diam, tetapi kemudian melihat serangkaian pesan masuk dari nomor yang sama. Pesan itu tidak terkunci karena Rio mungkin lupa mengaturnya. Isi pesannya tidak profesional, melainkan pribadi dan penuh tekanan: > Ibunda: Kapan kamu akan pulang? Ayahmu sakit lagi dan pengobatan ini sangat mahal. Bisakah kamu minta kenaikan gaji? Kamu bekerja terlalu keras di bawah orang-orang itu. > Ibunda: Kita butuh uang untuk biaya operasi, Rio. Kamu harus mengorbankan proyek itu jika perlu. Keluarga lebih penting. > Jantung Anya mencelos. Rio yang dingin dan perfeksionis ternyata membawa beban keluarga yang berat. Kesempurnaan kerjanya mungkin bukan ambisi semata, melainkan kebutuhan mendesak untuk menopang keluarganya. Anya segera menutup laci itu, tangannya gemetar. Ia baru saja melihat ke dalam celah terdalam perisai Rio. Lima belas menit kemudian, Rio kembali dari rapat. Wajahnya tampak lebih tegang, seolah baru saja menelan pil pahit. "Ada yang mencari saya?" tanya Rio, suaranya lelah. "Tidak, Pak. Hanya ada satu panggilan dari nomor pribadi. Sudah saya bisukan," jawab Anya, berusaha terdengar datar. Rio mengangguk, lalu menunjuk laporan di mejanya. "Coba bacakan poin-poin pentingnya. Saya tidak punya energi untuk membaca semuanya sekarang." Anya mulai membacakan ringkasan laporan keuangan, menjelaskan anomali dan alasan di baliknya dengan suara yang tenang. Saat ia sedang membaca data tentang biaya operasional, Rio tiba-tiba memijat pelipisnya. "Kepala saya sakit. Saya sudah seharian bernegosiasi tentang proyek yang coba digagalkan Direktur Kusuma," Rio mengeluh, nadanya tidak lagi seperti atasan, melainkan seperti rekan kerja yang sedang berbagi beban. Anya segera bangkit, tidak meminta izin. Ia pergi ke pantry, mengambil segelas air hangat, dan mengeluarkan kantong teh chamomile yang ia bawa sendiri (ia sudah belajar bahwa Rio tidak menyukai aroma teh kantor). Ia kembali dan meletakkan teh itu di depan Rio. "Pak Rio, ambillah istirahat sebentar. Teh ini akan membantu," kata Anya lembut. Rio menatap teh itu, lalu menatap Anya. Matanya sedikit melembut, ada kehangatan yang kembali muncul di wajahnya. "Anda memprediksi kebutuhan saya lagi," kata Rio, tersenyum kecil, kali ini bukan senyum kemenangan yang licik, melainkan senyum kelelahan yang tulus. "Tapi bagaimana Anda tahu saya butuh teh chamomile?" "Saya tidak tahu," jawab Anya jujur. "Tapi saya tahu Anda sakit kepala, dan Anda menghindari kopi sore ini. Teh herbal lebih baik." Rio mengambil cangkir itu dan menyesap tehnya. Keheningan yang nyaman menyelimuti mereka. "Mengapa Direktur Kusuma mencoba menggagalkan proyek itu, Pak?" tanya Anya, memancing Rio untuk berbagi informasi, meskipun itu berisiko melanggar batas. Rio menghela napas panjang. "Karena dia melihatnya sebagai ancaman. Saya terlalu muda, terlalu sukses, terlalu independen. Mereka ingin saya kembali ke bawah kendali mereka, sehingga mereka bisa memaksakan agenda mereka sendiri." Rio berbicara tentang politik kantor, tentang intrik para direktur yang mencoba memanipulasi keputusannya. Untuk pertama kalinya, Anya melihat Rio bukan sebagai tiran, melainkan sebagai korban yang berjuang sendirian di puncak. Saat Rio berbicara, ia secara naluriah mengambil tangan Anya yang ada di meja—hanya sebentar, hanya memegangnya dengan ibu jarinya—seolah mencari jangkar di tengah badai. Anya merasa jantungnya melonjak. Kontak singkat itu, meskipun mungkin tidak disadari oleh Rio dalam kelelahan, terasa begitu intim. "Terima kasih," bisik Rio, melepaskan tangan Anya, tapi matanya masih menatap mata Anya. "Hanya Anda yang bisa mendengar keluhan ini tanpa menghakimi." Anya merasakan ikatan baru terbentuk, ikatan yang jauh lebih kuat daripada kontrak kerja. Mereka bukan lagi hanya Asisten Manajer dan Magang. Mereka adalah dua orang yang berbagi rahasia, dan Anya tahu, ia tidak akan bisa lagi melihat Rio sebagai pria yang sepenuhnya dingin. "Saya akan ada di sini, Pak Rio. Sampai kontrak magang saya selesai," janji Anya, matanya memancarkan dukungan. Rio mengangguk, kembali fokus, tapi ada kehangatan baru di udara yang belum pernah ada sebelumnya. Kendali Rio mungkin mutlak di kantor, tetapi di bawah kendali itu, kerentanannya justru menarik Anya semakin dekat.Nyonya Winda menatap ke belakang, matanya awas penasaran, menunjuk ke jalanan di belakang Rio. "Rio, tunggu! Siapa mereka di belakangmu!" Rio segera berbalik. Di ujung jalan, sebuah mobil hitam dengan lampu dimatikan berhenti perlahan. Pintu mobil terbuka, dan dari sana, muncul dua sosok berjaket gelap preman yang mengejar mereka dari apartemen Rio. Mereka berdua telah dilacak. "Sial! Mereka melacak sinyal telepon Ibu!" desis Rio. Ia menarik Anya dan mendorong Nyonya Winda. "Ibu, masuk! Sekarang! Jangan telepon siapa pun!" Rio mendorong Anya ke pintu belakang, sementara Nyonya Winda bergegas menutup pintu depan dengan panik dan bingung. "Ada apa Rio?" tanya Nyonya Winda, suaranya tercekat. "Nanti Rio jelaskan, Bu," jawab Rio terburu-buru, matanya mencari jalan keluar. "Lantai atas, Anya! Kamar tidur Ayah!" ucap Rio, menarik Anya menaiki tangga. Mereka mencapai kamar tidur utama. Ayah Rio yang sakit-sakitan hanya bisa menatap bingung dari tempat tidurnya. "Maaf, Ayah,"
Itu Taksi melaju kencang, meninggalkan tempatnya apartemen Rio yang kini diselimuti suara sirene darurat. Di dalam mobil, keheningan terasa memekakkan telinga. Rio dan Anya duduk berjauhan, meskipun hanya beberapa menit yang lalu Rio mencium Anya dengan paksa di depan umum. Anya menyentuh bibirnya, mencoba memproses. Ciuman itu cepat, mendesak, dan penuh adrenalin—sama sekali tidak romantis, tetapi sangat mengguncangnya. "Kenapa Bapak melakukan itu?" tanya Anya pelan dan ragu, akhirnya memecah keheningan. "Itu tidak ada hubungannya dengan pengalihan perhatian, Pak Rio." suaranya semakin terdengar tegas Rio menoleh, wajahnya masih dingin dan kaku, tetapi ia terlihat malu dan sangat tertekan. "Itu adalah akting, Anya. Mereka sedang melihat kita, mereka merekam. Saya harus memberikan mereka sesuatu yang meyakinkan agar mereka berpikir kita... terlalu terganggu secara emosional untuk menyimpan data rahasia," jawab Rio, meskipun ia menghindari tatapan Anya. "Pengalihan perhatian,"
Suara gedoran di balik pintu penthouse Rio terdengar semakin keras dan cepat. Ada suara teriakan dari luar "Serahkan data itu, Rio!" membuat tubuh Anya terasa dingin. Ini bukan lagi drama kantor, ini adalah ancaman fisik. Rio menggemgam lengan Anya, matanya memancarkan perintah mutlak. “Ambil flash drive itu! Sekarang!” perintah Rio Anya, meskipun panik, menanggapi perintah Rio secara naluriah. “Bukan di sini! Saya simpan di buku statistik di indekos!” Rio menampar keningnya sendiri dengan frustrasi, tapi ia segera bertindak cepat. “Sial! Tidak ada waktu. Dengar!, kita tidak punya waktu untuk naik elevator. Ikuti saya!” Rio menarik Anya ke arah balkon yang menghadap pemandangan kota. Anya duga mereka akan melompat, tapi Rio membuka pintu kecil di dinding yang tersembunyi di balik rak buku. Itu adalah tangga darurat tersembunyi. “Turun!” Rio mendorong Anya masuk. Anya menuruni tangga logam curam itu secepat yang ia bisa, diikuti oleh Rio yang bergerak dengan cepat dan waspad
Anya menyimpan flash drive rahasia milik Rio di tempat yang paling tidak mungkin: di antara halaman-halaman buku teks statistiknya yang tebal. Siapa yang mau repot-repot membuka buku statistik?Pagi berikutnya, tekanan di kantor semakin terasa. Rio terus-menerus menghadiri rapat darurat dan menghadapi panggilan telepon yang menegangkan. Ia tampak seperti sedang menghadapi serangan serentak dari internal dan eksternal perusahaan. Anya, sebagai asistennya, harus menjadi benteng, menyaring setiap permintaan dan panggilan telepon yang masuk.Pukul 18:00, ketika kantor sudah mulai sepi, Rio memanggil Anya ke ruangannya. Ia tampak pucat, dasinya sudah sedikit longgar, dan ia memijat pelipisnya lagi.“Laporan Proyek Sentosa Plaza bocor ke media,” Rio berkata dengan nada yang sangat rendah. “Direktur Kusuma pasti berada di baliknya. Dia ingin proyek ini dihentikan agar harga sahamnya tidak naik, sebelum dia membeli saham di perusahaan pesaing.”Anya terkejut. "Tapi bagaimana bisa bocor? Saya
Pagi itu, Rio Dirgantara kembali dalam mode Asisten Manajer yang terbuat dari baja. Tidak ada lagi keluhan lelah, tidak ada lagi sentuhan hangat, dan tidak ada lagi pembicaraan tentang politik kantor atau masalah keluarga. Rio memasang dinding kaca yang lebih tebal di sekeliling dirinya setelah ia secara tidak sengaja menunjukkan kerentanan di Bab 6.Saat Rio tiba, ia langsung menuju kantornya. Lima menit kemudian, Anya dipanggil.“Selamat pagi, Pak Rio.”“Pagi. Lupakan percakapan kemarin. Itu adalah keluhan yang tidak profesional. Anda di sini untuk bekerja, bukan untuk mendengar curahan hati saya,” Rio mengawali dengan dingin, menegaskan kembali kendalinya.“Siap, Pak Rio,” jawab Anya, berusaha tidak menunjukkan bahwa hatinya sedikit perih karena penolakan itu.“Bagus. Tugas Anda hari ini: memimpin audit mini mendadak di gudang arsip lama. Cari semua faktur pengeluaran yang mencurigakan di atas lima puluh juta rupiah dalam tiga bulan terakhir. Saya ingin laporan itu di meja saya seb
Lima hari sejak insiden "tunangan pura-pura" dan makan siang rahasia di van, kehidupan Anya kembali didominasi oleh kecepatan dan ketelitian yang diminta Rio. Rio semakin keras dalam pekerjaan, seolah mencoba menutupi fakta bahwa ia pernah menunjukkan kehangatan."Laporan bulanan untuk Direktur Utama harus rampung dan diperiksa ulang tiga kali sebelum jam empat sore," Rio memerintahkan pagi itu. "Saya tidak mau ada kesalahan ketik, apalagi kesalahan data. Ini menentukan anggaran kita tahun depan."Anya sibuk memproses data saat ia mendengar percakapan yang tidak mengenakkan dari kubikel sebelah. Beberapa staf senior terlihat tegang."Kabarnya Pak Kusuma (salah satu direktur senior) terus menekan Rio agar mundur dari proyek Sentosa Plaza," bisik seorang staf, Dina."Kenapa? Proyek itu kan akan membawa keuntungan terbesar?" tanya rekan lainnya."Justru itu. Ada yang ingin menjatuhkan Rio. Mereka bilang cara kerjanya terlalu ekstrem, bahkan untuk Artha Yudhistira. Rio terlalu banyak meme







