Rin duduk di sudut ruangan, matanya menatap kosong ke luar jendela yang menghadap ke kota yang dipenuhi dengan hiruk-pikuk kehidupan yang tidak ia pahami. Setiap hari yang berlalu terasa semakin berat, seperti ada beban yang menekan dadanya. Meskipun Aidan berjanji akan membantunya, Rin mulai merasa bahwa tidak ada yang benar-benar bisa ia percayai, termasuk dirinya sendiri. Dunia yang dulunya ia kenal, kini terasa asing dan berbahaya.
Hari itu, ia mendengar kabar bahwa Luca akan mengadakan pertemuan penting dengan seseorang yang disebut sebagai "pimpinan". Rin merasa ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi. Siapa sebenarnya pimpinan itu? Apa hubungannya dengan dirinya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui pikirannya, membuatnya tidak bisa tidur malam itu. Aidan belum kembali sejak percakapan mereka pagi tadi. Rin tahu bahwa ia harus memanfaatkan setiap kesempatan yang ada. Jika Aidan bisa mendapatkan lebih banyak informasi, mungkin itu akan memberi mereka sedikit keuntungan. Namun, ia juga tahu bahwa bahaya selalu mengintai di setiap sudut. Tidak ada ruang untuk kelengahan. Tiba-tiba, suara ketukan terdengar di pintu. Rin terkejut dan cepat-cepat berdiri. Matanya melirik ke arah pintu yang tertutup rapat. Sejenak ia ragu, namun kemudian ia membuka pintu perlahan. Di luar, berdiri seorang pria muda yang wajahnya tidak asing. Itu adalah salah satu pengikut Luca yang sebelumnya pernah dia temui di dalam ruangan. “Rin,” kata pria itu dengan nada datar, “Luca ingin bicara denganmu.” Hati Rin berdegup kencang. Ia tahu bahwa ini adalah kesempatan yang tidak bisa ia sia-siakan. Meskipun pertemuan dengan Luca tidak pernah terasa menyenangkan, ia tidak punya pilihan lain. “Apa yang dia inginkan?” Rin bertanya, berusaha menjaga ketenangannya. “Dia hanya ingin mengklarifikasi beberapa hal,” jawab pria itu, sambil melangkah mundur memberi ruang bagi Rin untuk keluar dari kamarnya. Rin mengangguk pelan dan mengikuti pria itu menuju ruangan yang sudah dikenalinya. Sepanjang perjalanan, pikirannya berputar-putar. Apa yang Luca ingin bicarakan dengannya? Apakah ini terkait dengan rencananya? Rin tidak bisa memastikan, tetapi ia merasa bahwa apa pun yang terjadi, ia harus siap menghadapi apapun yang ada di depan. Sesampainya di ruangan itu, Rin melihat Luca duduk di meja besar, dengan ekspresi wajah yang sulit ditebak. Ia mengenakan pakaian gelap, rambutnya yang sedikit berantakan menunjukkan bahwa ia baru saja menyelesaikan sesuatu yang penting. Luca menatap Rin dengan mata tajamnya, seolah menilai setiap gerak-geriknya. “Rin,” kata Luca akhirnya, suara rendah namun penuh ketegangan. “Ada banyak hal yang perlu kamu ketahui.” Rin menelan ludah, merasa ketegangan semakin meningkat. “Apa yang terjadi, Luca? Apa yang sebenarnya kamu inginkan dariku?” Luca tersenyum tipis, tetapi senyum itu terasa dingin dan tidak menyenangkan. “Aku sudah memberitahumu sebelumnya. Kamu terlibat dalam sesuatu yang lebih besar dari yang kamu kira. Dan aku hanya ingin kamu tahu bahwa tidak ada jalan keluar tanpa konsekuensi.” Rin merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya. Kata-kata Luca seperti mengandung ancaman, tetapi juga seperti peringatan. Ia merasa semakin bingung, tetapi juga tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. “Apa yang lebih besar itu? Mengapa aku terlibat?” Luca berdiri dan berjalan mendekat. “Karena kamu adalah bagian dari sesuatu yang sudah ada sejak lama, Rin. Kamu tidak tahu siapa dirimu sebenarnya, atau apa yang seharusnya kamu lakukan. Tapi kamu akan tahu segera.” Rin merasa ada sesuatu yang gelap dan misterius dalam kata-kata Luca, tetapi ia tidak tahu bagaimana melanjutkan percakapan ini. “Apa yang kamu maksud dengan ‘bagian dari sesuatu’? Aku hanya ingin kembali ke hidupku yang biasa, Luca. Aku tidak ingin terlibat dalam permainanmu.” Luca menatapnya dengan tatapan yang tajam. “Kamu tidak punya pilihan, Rin. Semua ini sudah diatur. Kamu tidak bisa kembali ke kehidupanmu yang lama. Dunia ini jauh lebih rumit daripada yang kamu bayangkan. Dan sekarang, kamu berada di tengah-tengahnya.” Rin merasa semakin cemas. Apa yang dimaksud Luca dengan “semuanya sudah diatur”? Ia tidak bisa memahami seluruh gambaran yang ada. Semua ini terasa seperti teka-teki yang semakin rumit dan tidak ada jalan untuk keluar. “Aku tidak tahu siapa yang mengatur semua ini,” kata Rin dengan suara bergetar. “Tapi aku ingin tahu. Jika kamu bisa memberitahuku, mungkin aku bisa mengerti.” Luca mengangguk pelan, seolah-olah memikirkan sesuatu. “Baiklah, Rin. Aku akan memberitahumu sedikit. Tapi ingat, informasi ini hanya akan membuatmu semakin terperangkap.” Luca mulai berbicara dengan suara yang semakin rendah. “Kamu adalah bagian dari keluarga yang lebih besar, Rin. Keluarga yang memiliki kekuatan yang lebih besar dari yang kamu tahu. Mereka telah lama mengendalikan banyak hal di dunia ini, dan kamu… kamu adalah salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari mereka.” Rin merasa darahnya beku mendengar kata-kata itu. Keluarga? Apa yang sebenarnya Luca coba katakan? Ia hanya seorang gadis biasa—atau setidaknya ia merasa seperti itu—yang tiba-tiba terperangkap dalam dunia yang tidak dikenalnya. “Siapa mereka?” tanya Rin, mencoba mencari kejelasan. Luca menghela napas panjang dan melangkah mundur. “Aku tidak bisa memberitahumu lebih banyak sekarang. Tapi kamu akan tahu, Rin. Semua ini akan terbuka seiring waktu.” Dengan itu, Luca berbalik dan berjalan keluar dari ruangan, meninggalkan Rin yang masih terdiam dengan seribu pertanyaan yang mengganggu pikirannya. Dunia yang ia kenal sudah hancur, dan kini ia berada di dalam lingkaran yang tidak bisa ia pahami. Namun, satu hal yang pasti—semakin banyak ia tahu, semakin banyak bahaya yang menantinya.Rin berdiri di depan rumah Aidan. Tangannya gemetar, jantungnya berdegup kencang. Selama ini, dia selalu menghindari perasaannya sendiri. Tapi sekarang, dia tidak bisa lagi bersembunyi. Dia harus mengatakannya. Dia mengetuk pintu perlahan. Tidak lama kemudian, Aidan muncul di ambang pintu. Mata coklatnya yang teduh menatap Rin dengan penuh keterkejutan. "Rin?" suaranya serak, seolah tidak percaya Rin ada di sini. "Hai, Aidan..." Rin tersenyum kecil, tetapi hatinya berdebar tak karuan. Aidan terdiam sejenak sebelum akhirnya melangkah ke samping, memberi isyarat agar Rin masuk. Rin melangkah masuk ke dalam rumah yang begitu familiar. Tempat di mana dia menghabiskan begitu banyak waktu bersamanya dulu. Semua kenangan itu kembali menyeruak dalam pikirannya—tawa mereka, perbincangan panjang, perlindungan yang selalu Aidan berikan. Aidan berjalan ke dapur dan kembali dengan segelas air. "Kau kelihatan lelah," ujarnya sambil menyodorkan gelas itu. Rin mengambilnya, tetapi tidak
Rin duduk termenung di tepi jendela, memandangi hujan yang turun perlahan. Di luar, jalanan basah diterangi lampu jalan yang temaram, menciptakan suasana yang sepi dan sendu—persis seperti hatinya saat ini.Pikirannya masih dipenuhi kata-kata Luca semalam. "Aku akan tetap di sini, menunggumu."Kenapa kata-kata itu begitu mengguncang perasaannya? Kenapa bayangan Aidan juga terus menghantuinya?Rin menarik napas dalam, mencoba menenangkan hatinya yang kacau. Tetapi sekeras apa pun dia mencoba, ada sesuatu yang terasa janggal. Sesuatu yang membuatnya gelisah.Tiba-tiba, pintu kamarnya diketuk. Rin tersentak dari lamunannya.“Rin, boleh aku masuk?” Suara Luca terdengar dari balik pintu.Rin menelan ludah. Setelah pernyataan cinta Luca semalam, ia merasa canggung untuk menatapnya lagi. Namun, menolak Luca juga terasa salah.“Masuklah,” jawabnya, mencoba terdengar biasa.Luca melangkah masuk dengan senyum lembut, tetapi matanya menyiratkan kekhawatiran. Dia berjalan mendekati Rin dan berdir
Malam semakin larut, dan Rin masih duduk di ayunan taman sekolah. Hembusan angin dingin menyentuh kulitnya, membuatnya sedikit menggigil, tetapi dia tetap di sana. Bukan karena dia menyukai udara malam, tetapi karena pikirannya terlalu penuh untuk membawanya kembali ke asrama.Bayangan wajah Luca dan Aidan bergantian muncul dalam benaknya. Kata-kata mereka terus terngiang-ngiang, seolah berusaha merebut ruang dalam hatinya. Rin memejamkan matanya, mencoba menenangkan diri. Namun, usaha itu sia-sia.“Apa aku terlalu egois?” gumam Rin pada dirinya sendiri.Dia merasa bersalah kepada keduanya. Luca, dengan tatapan matanya yang tulus dan senyum hangatnya, selalu ada di saat dia merasa kehilangan arah. Lelaki itu memberinya rasa aman, meski dalam kondisi yang jauh dari kata normal.Dan Aidan… sahabat kecilnya yang selalu melindunginya. Aidan tahu segalanya tentang Rin, mulai dari kebiasaannya yang aneh hingga mimpi-mimpi kecil yang pernah dia ceritakan saat mereka masih kecil.“Kenapa aku
Rin duduk di bangku taman sekolah, menatap kosong ke arah langit senja. Cahaya oranye keemasan membias di wajahnya, namun pikirannya melayang jauh. Sejak perpisahannya dengan Aidan, hatinya terasa kosong. Dia mencoba untuk tidak memikirkannya, tapi bayangan laki-laki itu terus muncul dalam benaknya.Luca yang duduk di sampingnya menatapnya dengan tatapan serius. “Kau sudah melamun sejak tadi. Apa yang kau pikirkan?”Rin tersentak dari lamunannya dan tersenyum kecil. “Tidak ada,” jawabnya singkat.Luca menghela napas, jelas tidak percaya. “Rin, aku bukan orang yang suka mendesak. Tapi, kau tahu kan? Aku selalu ada kalau kau ingin bercerita.”Rin menatap Luca. Mata biru kehijauannya berkilat lembut dalam cahaya senja, memberi kehangatan yang aneh di hatinya. Selama ini, Luca selalu menjadi tempatnya bersandar, memberikan kenyamanan yang dia butuhkan.Namun, ada sesuatu yang berbeda.Aidan.Nama itu muncul dalam pikirannya lagi. Rin menghela napas dalam, mencoba mengabaikannya.Luca tiba
Angin malam berhembus lembut, membawa aroma tanah basah setelah hujan. Rin berdiri di depan Aidan, menatap matanya dengan penuh kebimbangan. Tangannya gemetar saat dia mencoba menggenggam jemari Aidan, seolah takut jika dia melepaskan, segalanya akan hilang begitu saja."Aidan..." suara Rin lirih, hampir tenggelam dalam hembusan angin. "Aku... aku tak tahu harus bagaimana."Aidan menatapnya dengan lembut, matanya penuh ketenangan yang selama ini selalu membuat Rin merasa aman. "Jangan takut, Rin," ujarnya, suaranya hangat seperti biasanya. "Aku di sini.""Tapi... bagaimana jika kita tak bisa bertemu lagi? Bagaimana jika semuanya berubah setelah ini?" Rin menggigit bibir bawahnya, menahan gemuruh di dadanya.Aidan tersenyum kecil, meskipun ada kesedihan di matanya. "Dengar, Rin. Tidak peduli seberapa jauh kita terpisah, hatiku akan selalu bersamamu. Kau tahu itu, kan?"Rin menatapnya lekat-lekat. Dia ingin percaya, sungguh. Tapi ada sesuatu dalam hatinya yang membuatnya begitu takut. S
Mobil melaju dengan cepat di jalanan sepi, hanya ditemani cahaya bulan yang samar-samar menyinari malam. Suasana di dalam mobil terasa hening, hanya terdengar deru mesin dan napas mereka yang masih memburu setelah kejadian tadi.Aidan duduk di kursi belakang bersama Rin, sementara Luca mengemudi dengan ekspresi serius. Luka di bahu Aidan masih mengeluarkan darah, tetapi dia tetap menahan sakit tanpa mengeluh.Rin menatapnya dengan mata yang penuh kekhawatiran. Dengan tangan gemetar, dia merobek sedikit ujung bajunya dan menekan luka Aidan agar pendarahan berhenti.“Aku baik-baik saja,” kata Aidan, meskipun wajahnya pucat.“Jangan berbohong,” Rin mendesis pelan. “Aku tahu kau kesakitan.”Aidan hanya tersenyum tipis, meskipun matanya menunjukkan kelelahan yang luar biasa. “Selama kau aman, itu sudah cukup untukku.”Hati Rin terasa diremas. Lelaki ini… selalu menomorsatukan dirinya, bahkan saat nyawanya sendiri dalam bahaya.Luca melirik ke kaca spion dan mendengus. “Kalau kalian mau rom