Pagi yang cerah tidak memberikan kenyamanan bagi Rin. Ketegangan masih terasa berat di dadanya, seperti batu besar yang menekan. Setiap detik di tempat itu semakin menambah rasa cemas dan kebingungannya. Apa yang harus ia lakukan? Meskipun Daniel berkata bahwa ia masih memiliki waktu, Rin tahu bahwa tidak ada banyak waktu yang tersisa. Setiap langkah yang ia ambil hanya semakin membawa dirinya ke dalam perangkap yang tidak terlihat.
Selama beberapa hari terakhir, Rin menghabiskan waktu di kamarnya, berusaha untuk mencerna segala informasi yang didapatkan. Aidan, Luca, dan Daniel—semuanya tampaknya memiliki agenda mereka sendiri, dan Rin hanya menjadi pion di tengah permainan ini. Tetapi satu hal yang membuatnya semakin gelisah adalah ketidakpastian tentang siapa sebenarnya musuhnya dan apa yang mereka inginkan darinya. Rin tidak tahu bagaimana, tetapi ia merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekedar penculikan yang terjadi padanya. Semua ini ada hubungannya dengan Luca, dan Luca tampaknya tahu lebih banyak daripada yang ia ungkapkan. Tapi, di balik semua itu, ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya. Apa yang terjadi pada keluarganya? Apakah mereka masih mencari dirinya? Atau apakah mereka sudah menyerah? Hari itu, Rin memutuskan untuk mencoba sesuatu yang berbeda. Ia tahu bahwa tinggal diam di kamar hanya akan membuatnya semakin terjebak. Jika ia ingin keluar, ia harus mencari cara untuk memanfaatkan informasi yang ada, dan mungkin, hanya mungkin, bisa menemukan jalan keluar dari tempat ini. Dengan langkah hati-hati, Rin membuka pintu kamarnya. Hanya ada satu penjaga yang mengawasi lorong, seorang pria besar yang tampaknya tidak terlalu peduli dengan apa yang terjadi di sekelilingnya. Rin mengambil kesempatan itu dan bergerak perlahan menuju tangga. Setiap langkah yang diambilnya terasa seperti langkah menuju kebebasan, meskipun ia tahu bahwa setiap keputusan bisa berakhir dengan risiko besar. Ia berjalan di sepanjang koridor dengan hati-hati, berusaha menghindari suara apapun yang dapat menarik perhatian. Di ujung lorong, ia melihat sebuah pintu yang sedikit terbuka. Tanpa berpikir panjang, Rin meraih gagang pintu dan membuka sedikit. Di dalam ruangan itu, ia melihat Aidan sedang duduk di sebuah meja, matanya tertuju pada layar laptop. “Aidan?” Rin memanggil dengan suara pelan, berusaha untuk tidak mengganggu. Aidan terkejut dan langsung menoleh. Wajahnya terlihat lelah, seolah-olah ia sudah lama menunggu. “Rin, kamu harus hati-hati,” kata Aidan, segera berdiri dan mendekatinya. “Jika Luca atau Daniel melihat kamu keluar, kita akan kesulitan.” “Aku tahu,” jawab Rin dengan suara tegas. “Tapi aku tidak bisa terus terjebak di sini. Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi, Aidan. Apa yang mereka inginkan dariku?” Aidan menghela napas panjang, dan ada keraguan di wajahnya. “Aku... aku belum bisa menemukan semua jawabannya, Rin. Tapi aku sedang berusaha. Aku tidak tahu siapa yang memerintahkan penculikan ini, atau apa yang mereka inginkan, tetapi aku akan melakukan apapun untuk membebaskanmu.” Rin mengangguk pelan, merasa sedikit lega. Setidaknya, Aidan tidak menyerah padanya. Namun, ketegangan masih terasa. Mereka berdua terjebak dalam permainan yang lebih besar, dan jika mereka tidak berhati-hati, bisa jadi mereka akan kehilangan semuanya. “Kita harus segera keluar dari sini, Aidan,” kata Rin, matanya penuh tekad. “Aku tidak bisa terus hidup dalam ketakutan seperti ini.” Aidan mengalihkan pandangannya ke pintu dan menunduk sejenak, seolah berpikir. “Aku tidak bisa membawa kamu keluar sekarang. Luca dan Daniel sudah mengawasi setiap langkah kita. Tapi aku akan mencari cara. Kita butuh lebih banyak informasi.” Rin merasa frustasi, tetapi dia tahu bahwa Aidan hanya berusaha melindunginya. “Apa yang harus kita lakukan?” Rin bertanya dengan suara pelan. Aidan berpikir sejenak. “Aku akan berbicara dengan orang lain yang mungkin tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi. Aku hanya perlu waktu.” Rin mengangguk dan menatap Aidan dengan rasa terima kasih yang mendalam. Meskipun mereka terjebak, Aidan tidak pernah berhenti berjuang untuknya. “Aku akan menunggu. Tapi aku harap kamu tidak terlambat.” Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di luar ruangan, dan Aidan segera menuntun Rin menuju tempat persembunyian. Mereka bersembunyi di belakang tirai besar yang menutupi jendela, dan Rin bisa merasakan jantungnya berdetak kencang. Seseorang berhenti tepat di depan pintu ruangan mereka, dan Rin menahan napas, berharap agar orang itu tidak mendekat. Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, langkah kaki itu akhirnya berlalu, dan mereka berdua menghela napas lega. “Ini semakin berbahaya, Rin,” kata Aidan, suara tegang. “Kita tidak bisa terus bersembunyi seperti ini. Kita harus bergerak cepat.” Rin mengangguk, merasa cemas. Mereka tidak memiliki banyak waktu, dan jika mereka tidak segera bertindak, kemungkinan untuk melarikan diri akan semakin tipis. Namun, apa yang bisa mereka lakukan? Dalam keadaan seperti ini, setiap langkah yang diambil bisa menjadi keputusan hidup atau mati. “Aidan, aku ingin tahu lebih banyak tentang Luca dan Daniel. Apa yang membuat mereka begitu kuat?” Rin bertanya, berusaha untuk berpikir jernih meskipun tekanan semakin besar. Aidan memandang Rin dengan tatapan serius. “Mereka adalah bagian dari sebuah organisasi yang sangat besar. Mereka bukan orang biasa, Rin. Dan aku rasa kamu sudah mulai menyadari betapa berbahayanya dunia yang sedang kita hadapi.” Rin menutup matanya sebentar, mencerna setiap kata yang baru saja didengar. Dunia ini jauh lebih besar dan lebih gelap daripada yang ia bayangkan. Dan kini, ia terjebak di dalamnya.Rin berdiri di depan rumah Aidan. Tangannya gemetar, jantungnya berdegup kencang. Selama ini, dia selalu menghindari perasaannya sendiri. Tapi sekarang, dia tidak bisa lagi bersembunyi. Dia harus mengatakannya. Dia mengetuk pintu perlahan. Tidak lama kemudian, Aidan muncul di ambang pintu. Mata coklatnya yang teduh menatap Rin dengan penuh keterkejutan. "Rin?" suaranya serak, seolah tidak percaya Rin ada di sini. "Hai, Aidan..." Rin tersenyum kecil, tetapi hatinya berdebar tak karuan. Aidan terdiam sejenak sebelum akhirnya melangkah ke samping, memberi isyarat agar Rin masuk. Rin melangkah masuk ke dalam rumah yang begitu familiar. Tempat di mana dia menghabiskan begitu banyak waktu bersamanya dulu. Semua kenangan itu kembali menyeruak dalam pikirannya—tawa mereka, perbincangan panjang, perlindungan yang selalu Aidan berikan. Aidan berjalan ke dapur dan kembali dengan segelas air. "Kau kelihatan lelah," ujarnya sambil menyodorkan gelas itu. Rin mengambilnya, tetapi tidak
Rin duduk termenung di tepi jendela, memandangi hujan yang turun perlahan. Di luar, jalanan basah diterangi lampu jalan yang temaram, menciptakan suasana yang sepi dan sendu—persis seperti hatinya saat ini.Pikirannya masih dipenuhi kata-kata Luca semalam. "Aku akan tetap di sini, menunggumu."Kenapa kata-kata itu begitu mengguncang perasaannya? Kenapa bayangan Aidan juga terus menghantuinya?Rin menarik napas dalam, mencoba menenangkan hatinya yang kacau. Tetapi sekeras apa pun dia mencoba, ada sesuatu yang terasa janggal. Sesuatu yang membuatnya gelisah.Tiba-tiba, pintu kamarnya diketuk. Rin tersentak dari lamunannya.“Rin, boleh aku masuk?” Suara Luca terdengar dari balik pintu.Rin menelan ludah. Setelah pernyataan cinta Luca semalam, ia merasa canggung untuk menatapnya lagi. Namun, menolak Luca juga terasa salah.“Masuklah,” jawabnya, mencoba terdengar biasa.Luca melangkah masuk dengan senyum lembut, tetapi matanya menyiratkan kekhawatiran. Dia berjalan mendekati Rin dan berdir
Malam semakin larut, dan Rin masih duduk di ayunan taman sekolah. Hembusan angin dingin menyentuh kulitnya, membuatnya sedikit menggigil, tetapi dia tetap di sana. Bukan karena dia menyukai udara malam, tetapi karena pikirannya terlalu penuh untuk membawanya kembali ke asrama.Bayangan wajah Luca dan Aidan bergantian muncul dalam benaknya. Kata-kata mereka terus terngiang-ngiang, seolah berusaha merebut ruang dalam hatinya. Rin memejamkan matanya, mencoba menenangkan diri. Namun, usaha itu sia-sia.“Apa aku terlalu egois?” gumam Rin pada dirinya sendiri.Dia merasa bersalah kepada keduanya. Luca, dengan tatapan matanya yang tulus dan senyum hangatnya, selalu ada di saat dia merasa kehilangan arah. Lelaki itu memberinya rasa aman, meski dalam kondisi yang jauh dari kata normal.Dan Aidan… sahabat kecilnya yang selalu melindunginya. Aidan tahu segalanya tentang Rin, mulai dari kebiasaannya yang aneh hingga mimpi-mimpi kecil yang pernah dia ceritakan saat mereka masih kecil.“Kenapa aku
Rin duduk di bangku taman sekolah, menatap kosong ke arah langit senja. Cahaya oranye keemasan membias di wajahnya, namun pikirannya melayang jauh. Sejak perpisahannya dengan Aidan, hatinya terasa kosong. Dia mencoba untuk tidak memikirkannya, tapi bayangan laki-laki itu terus muncul dalam benaknya.Luca yang duduk di sampingnya menatapnya dengan tatapan serius. “Kau sudah melamun sejak tadi. Apa yang kau pikirkan?”Rin tersentak dari lamunannya dan tersenyum kecil. “Tidak ada,” jawabnya singkat.Luca menghela napas, jelas tidak percaya. “Rin, aku bukan orang yang suka mendesak. Tapi, kau tahu kan? Aku selalu ada kalau kau ingin bercerita.”Rin menatap Luca. Mata biru kehijauannya berkilat lembut dalam cahaya senja, memberi kehangatan yang aneh di hatinya. Selama ini, Luca selalu menjadi tempatnya bersandar, memberikan kenyamanan yang dia butuhkan.Namun, ada sesuatu yang berbeda.Aidan.Nama itu muncul dalam pikirannya lagi. Rin menghela napas dalam, mencoba mengabaikannya.Luca tiba
Angin malam berhembus lembut, membawa aroma tanah basah setelah hujan. Rin berdiri di depan Aidan, menatap matanya dengan penuh kebimbangan. Tangannya gemetar saat dia mencoba menggenggam jemari Aidan, seolah takut jika dia melepaskan, segalanya akan hilang begitu saja."Aidan..." suara Rin lirih, hampir tenggelam dalam hembusan angin. "Aku... aku tak tahu harus bagaimana."Aidan menatapnya dengan lembut, matanya penuh ketenangan yang selama ini selalu membuat Rin merasa aman. "Jangan takut, Rin," ujarnya, suaranya hangat seperti biasanya. "Aku di sini.""Tapi... bagaimana jika kita tak bisa bertemu lagi? Bagaimana jika semuanya berubah setelah ini?" Rin menggigit bibir bawahnya, menahan gemuruh di dadanya.Aidan tersenyum kecil, meskipun ada kesedihan di matanya. "Dengar, Rin. Tidak peduli seberapa jauh kita terpisah, hatiku akan selalu bersamamu. Kau tahu itu, kan?"Rin menatapnya lekat-lekat. Dia ingin percaya, sungguh. Tapi ada sesuatu dalam hatinya yang membuatnya begitu takut. S
Mobil melaju dengan cepat di jalanan sepi, hanya ditemani cahaya bulan yang samar-samar menyinari malam. Suasana di dalam mobil terasa hening, hanya terdengar deru mesin dan napas mereka yang masih memburu setelah kejadian tadi.Aidan duduk di kursi belakang bersama Rin, sementara Luca mengemudi dengan ekspresi serius. Luka di bahu Aidan masih mengeluarkan darah, tetapi dia tetap menahan sakit tanpa mengeluh.Rin menatapnya dengan mata yang penuh kekhawatiran. Dengan tangan gemetar, dia merobek sedikit ujung bajunya dan menekan luka Aidan agar pendarahan berhenti.“Aku baik-baik saja,” kata Aidan, meskipun wajahnya pucat.“Jangan berbohong,” Rin mendesis pelan. “Aku tahu kau kesakitan.”Aidan hanya tersenyum tipis, meskipun matanya menunjukkan kelelahan yang luar biasa. “Selama kau aman, itu sudah cukup untukku.”Hati Rin terasa diremas. Lelaki ini… selalu menomorsatukan dirinya, bahkan saat nyawanya sendiri dalam bahaya.Luca melirik ke kaca spion dan mendengus. “Kalau kalian mau rom