Share

DIA AYAHKU
DIA AYAHKU
Author: Manda Azzahra

Part 1

"Aku sudah lelah mengurus Abang. Tidakkah Abang kasihan melihatku dan anak-anak?" Kudengar keluhan Ibu dari ambang pintu. 

"Maafkan Abang, Risma. Abang memang laki-laki yang tidak berguna." Ayah menjawab dengan lirih. 

"Kalau Abang sadar, seharusnya Abang tahu diri dan tidak lagi menyusahkan kami."

Suara tangis Ibu terdengar bahkan sampai ke halaman depan. Tidakkah dia malu bila didengar tetangga yang jaraknya tidak sampai satu jengkal baik di sebelah kiri dan sebelah kanan? 

Aku hanya tertunduk pilu mendengar keseharian  Ibuku yang hanya bisa mengomel dan memarahi Ayah. 

"Apa saja yang Abang lakukan seharian di rumah? Kenapa sampai masak nasi saja tidak sempat? Abang pikir kita masih sanggup membayar pembantu di rumah ini, ha?" Ibu kembali meninggikan suara. 

"Maaf, Risma. Abang pikir tadi sudah dimasak sama Dara."

"Halah, alasan saja."

"Ya, sudah. Biar Abang masak sekarang."

Kulihat Ayah berusaha bangkit dari duduknya. Berjalan melangkah menuju dapur. Tak sampai lima langkah, kudengar sesuatu terpelanting dan terdengar rintihan dari mulut Ayah. Cepat aku masuk dan mendapatinya. 

"Ayah duduk saja, biar Sarah yang memasak," ujarku. 

Kubantu Ayah bangkit dan memposisikannya kembali ke kursi. Dia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, seperti hendak melepaskan sebuah beban. 

Kupungut tongkat kayu sebagai penopang kaki ayah yang tadi terjatuh, kemudian meletakkannya di samping kursi agar mudah bagi Ayah untuk menggapainya. 

Ibu berjalan ke kamar sambil menghentakkan kakinya tanpa kata. Namun aku tahu, itu adalah bentuk kemarahan atas apa yang terjadi barusan. Tak lama terdengar suara pintu kamar dibanting.

"Ayah jangan pedulikan perkataan Ibu. Juga jangan terlalu menuruti keinginannya," ucapku sambil meletakkan tas di atas meja. Sebisa mungkin aku menghindari bertatapan dengannya. Aku tak mau kalau dia melihat mataku yang mulai menghangat dan kini tampak berkaca-kaca. 

Aku bergegas ke dapur dan mencuci beras.  Selesai menanak nasi menuju kamar untuk berganti pakaian. 

Kulihat Dara, adik perempuanku yang sudah dua tahun lulus dari sma dan tidak punya kegiatan apa-apa sedang bersantai di ranjang sambil memainkan telepon genggamnya. 

"Apa kau lupa caranya menanak nasi? Atau kau sengaja menungguku pulang? Tidak punya hatikah kau melihat Ibu memperlakukan Ayah? Kenapa diam saja dan tidak keluar saat Ibu meneriaki Ayah?" Kuberondongi dia dengan banyak pertanyaan bernada kesal. 

" Tadi listrik mati. Aku tidak tahu kapan mulai hidup," sahutnya santai tanpa rasa bersalah. 

"Apa seharian kau tidak keluar dari kamar ini, meski hanya untuk mengecek listrik yang mati?" Aku semakin menggeram mendengar jawabannya.

"Memangnya aku harus ke mana lagi? Apa aku punya tempat lain untuk bersembunyi selain di kamar pengap ini, ha?" Dia mulai meradang. "Kau masih enak, masih bisa kuliah. Sedangkan aku? Apa sanggup, Ayah membiayai kuliahku?"

"Kalau tidak bisa kuliah, kau bisa bekerja. Untuk apa kau mengurung diri di rumah layaknya tuan putri?" balasku, tak mau kalah. 

"Bekerja? Dengan ijazah sma? Mau jadi apa? Menjadi kasir, seperti kau saat ini?" Dia mulai histeris dan melempar asal ponsel di ranjang. Lalu bergegas keluar dari kamar. 

"Ini semua salah Ayah. Kenapa Ayah harus cacat dan menjadi miskin seperti ini. Dara bahkan belum pernah menginjakkan kaki di kampus favorit Dara. Ayah memang mau bikin malu Dara, kan? Ayah sudah puas karena teman-teman Dara sudah menjauhi Dara karena Ayah jatuh miskin? Memang itukan yang Ayah inginkan?" bentak Dara di hadapan Ayah. 

Aku keluar dan langsung pasang badan melindungi Ayah yang matanya kini mulai menganak sungai tanpa perlawanan. 

Bicaralah, Ayah. Jangan diam saja. Tunjukkan dirimu yang dulu. Bagaimanapun kau tetap kepala keluarga di rumah ini. 

Ayah masih diam saja. Begitu besarkah rasa cintanya kepada kami hingga tak sanggup marah bahkan meski untuk membela diri? 

"Berikan Dara uang, Yah. Dara mau kuliah. Dara mau kuliah seperti kak Sarah." Dara kembali mengamuk. 

"Hentikan semua omong kosongmu, Dara. Menjauhlah dari Ayah!" perintahku. 

"Dara benci sama Ayah. Ayah sungguh tidak berguna," pekiknya lagi. 

Spontan telapak tangan ini mendarat keras di pipinya. Dara terdiam sambil mengarahkan pandangan yang tajam kepadaku. 

"Hentikan kalian berdua!" Ibu sudah berdiri di ambang pintu kamarnya dengan memakai daster dan handuk di kepalanya. Dia baru selesai mandi saat tadi kami berada di kamar. 

"Ibu lihat sendiri apa yang sudah berani diperbuatnya pada Dara kan, Bu?" Seperti anak kecil, Dara mengadu. 

"Dia sudah hebat sekarang. Sudah bekerja dan mulai kuliah pula. Jangan lagi melawan padanya," sindir Ibu kepadaku, namun matanya tetap mengarah tajam kepada Ayah. 

"Berhenti mengintimidasi aku dan Ayah, Bu. Jangan terus mengeluh seperti anak kecil. Apa sebelumnya Ibu tidak pernah hidup susah?" Aku terpaksa membalas ucapannya karena tak tahan lagi melihat Ayah yang terus sesenggukan. 

Ayah yang dulu kukenal tidaklah selemah ini, hatinya. Dia bahkan tak pernah terlihat bersedih ataupun kecewa. Apa pun yang Ibu dan kami lakukan dia hanya tersenyum. Tersenyum dan terus tersenyum tanpa pernah marah atau berkata kasar. 

"Ayo, Yah. Beristirahat saja dulu. Nanti Sarah antarkan nasi dan lauk untuk Ayah. Sebentar lagi nasinya akan matang."

Kubantu Ayah berdiri menuju ruang tengah yang menyatu dengan dapur. Ibu sudah meletakkan dipan yang dialasi tilam kapuk untuk Ayah tiduri siang dan malam. Ibu bahkan tidak memperbolehkan Ayah untuk tidur dengannya lagi di dalam kamar. 

"Biar Ayah mudah kalau mau ke kamar mandi." Alasannya waktu itu. 

Aku hanya bisa menghela napas mendengarnya. Tak ingin terus-terusan membantah dan menjadi anak durhaka. Ayah juga tak merasa keberatan. Dengan penuh senyuman, dia mendukung usulan Ibu. 

"Ibumu benar. Memangnya kalau Ayah ngompol di tempat tidur, kau mau membersihkannya?" seloroh Ayah. Namun dibalik senyum itu, aku tahu kalau hatinya begitu perih. 

Di rumah sederhana ini hanya ada dua kamar saja. Sangat berlawanan dengan rumah lama kami sebelum Ayah sakit dan sulit berjalan. Bahkan kini aku dan Dara harus berbagi kamar walau dengan tempat tidur terpisah. 

Aku dan Ayah selalu bersikap sabar dan menerima ini sebagai takdir yang sudah ditetapkan. Kalau jalannya kami harus hidup seperti ini, kami harus menyalahkan siapa? 

Berbeda dengan Ibu dan Dara. Mereka yang sudah terbiasa diberi kemewahan oleh Ayah, masih tampak syok dan belum bisa menerima keadaan ini. Padahal semua itu sudah terjadi lima tahun yang lalu. 

      ********

Pagi ini seperti biasa aku membereskan rumah sebelum berangkat kuliah. Kuletakkan sarapan untuk Ayah dan Dara, karena Ibu sudah berangkat kerja pagi-pagi sekali. 

Ibu tidak pernah sarapan di rumah. Sebelum jam tujuh dia sudah berangkat ke rumah makan Padang di ujung gang, pinggir jalan. Ya, Ibu bekerja sebagai asisten untuk membantu pemiliknya untuk memasak dan mencuci piring. 

Hanya setengah hari saja. Pukul satu setelah pekerjaan di dapur selesai, dia diperbolehkan pulang dengan membawa beberapa potong lauk dan sayur. Itulah yang kami makan pada siang hari. Lauk yang dibawa Ibu cukup banyak. Bisa untuk makan kami berempat. 

Mungkin karena si pemilik kedai sudah cukup mengenal Ibu dan tahu bagaimana keadaan keluarga kami setelah Ayah sakit. 

Kubiarkan Dara yang masih saja tidur meski sudah hampir pukul delapan. Aku berpamitan pada Ayah yang sedang duduk di teras depan. Dengan takzim kucium punggung tangannya yang sedikit bergetar itu. 

"Sarah berangkat kuliah dulu ya, Yah. Sekalian dari kampus berangkat kerja. Soalnya ada mata kuliah tambahan," pamitku. "Jangan khawatir, nasi sudah sekalian Sarah masak yang banyak. Biar Ibu tidak ngomel-ngomel lagi." Sebisa mungkin kuulas senyum agar Ayah bisa kembali tenang. Dia harus tahu, aku tak pernah menyesal menjadi anaknya meski dengan keadaannya sekarang. 

"Hati-hatilah di jalan. Maaf, karena Ayah, kalian harus bekerja keras seperti ini," ucapnya lirih. 

Aku tak lagi menjawab ucapannya yang sudah setiap hari kudengar. Tak seharusnya dia merasa bersalah. Kecelakaan itu yang membuat nya jadi begini. 

Seorang pemuda dibawah pengaruh alkohol menabraknya saat Ayah tengah bersepeda saat olah raga pagi. Keadaan Ayah cukup parah. Menurut beberapa orang saksi, Ayah terpelanting jauh dari lokasi kejadian. Kepalanya terbentur dan tulang kakinya patah. 

Ayahku yang gagah harus dirawat untuk waktu yang lama di rumah sakit. Ibu menangis histeris sambil berteriak-teriak ingin memenjarakan si pelaku. 

"Tolong, Bu. Tolong maafkan kesalahan anak kami. Kami akan segera membayar uang damai berapapun yang Ibu minta," pinta si Ibu pelaku. 

"Uang damai? Kalian pikir kami ini orang miskin yang tidak punya uang?" sungut Ibu. 

Sedikit pun dia tak ingin direndahkan oleh orang lain. Pemuda itu akhirnya disidang dan dijatuhi hukuman kurungan. Kemudian kami tak pernah lagi mendengar kabar mereka setelah kejadian itu. Mungkin bila bertemu pun, mereka akan tertawa melihat keadaan kami sekarang ini. 

             *******

Sepulang kuliah aku langsung menuju cafe milik temanku. Kami dulu bersekolah di SMA yang sama. Bahkan sekelas. Dialah sahabatku selama beberapa tahun ini. Tak pernah lari dan menjauh seperti yang lain, saat kami terpuruk dan jatuh miskin. 

Perkataan Dara benar dalam hal ini. Bukan hanya kehilangan harta, kami bahkan kehilangan orang-orang yang dulu sempat akrab dan menganggap kami sahabat. 

Begitu pula dengan keluarga Ayah, masing-masing dari mereka lepas tangan dan sebisa mungkin menghindari kami. Bahkan grup w******p keluarga tak pernah lagi aktif. Belakangan kami baru tahu, kalau salah satu dari mereka membuat grup baru, tanpa kami ikut serta di dalamnya.

"Bisakah kau menunggui kafe hari ini? Aku harus pergi dan malam baru kembali," pinta Hana sang pemilik. 

"Pergilah, seperti aku akan kabur saat sore hari bila kau tidak ada," ledekku. 

"Kau memang tukang kabur. Berapa kali kau mendadak pulang begitu mendengar Ayahmu bertengkar," balas Hana. 

"Sori, Bos. Kali ini aku akan sampai malam berada di sini." Sikap angkuhku tadi tiba-tiba melunak karena apa yang dikatakan Hana memang benar. 

Aku sengaja meminta tolong kepada Faris, anak tetanggaku yang sering kubawakan jajanan dari cafe untuk sesekali memperhatikan Ayahku dan melaporkan jika Ibuku memarahinya lagi. 

Bocah kelas empat SD itu dengan senang hati mengemban tugas yang aku berikan. Tak jarang juga aku mengisikan paket datanya meski hanya  dua giga saja. 

"Lumayanlah, Kak. Bisa buat mabar nanti malam," celotehnya girang. Dan dia pun dengan senang hati memberikan semua informasi mengenai Ayahku saat aku tak di rumah. 

Hari ini pengunjung kafe tak begitu ramai. Jadi aku bisa mengerjakan tugas dengan menggunakan laptop Hana. Dan dia juga tak pernah keberatan atas apapun yang kulakukan di kafe miliknya ini. 

"Berapa semua pesanan di mejaku?" tanya seorang pria yang tanpa kusadari sudah berdiri di depanku.

"Meja berapa?" tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari tugas kuliahku. 

"Meja delapan, Kak," sahut Mita, salah seorang waittress yang mungkin tadi melayaninya. 

Dengan cekatan aku mengotak-atik mesin kasir. Tak perlu waktu lama, sebuah lembaran kertas terjulur keluar.

"Seratus dua puluh lima ribu," jawabku sambil menyodorkan kertas bill kepadanya. 

Dia menyambut pemberianku, kemudian merogoh dompet di saku celananya. 

"Apa sebelumnya kita pernah bertemu?" Kupikir dia mulai berbasa-basi.

"Entahlah, tapi rasanya kau orang kesekian yang menanyaiku dengan pertanyaan yang sama. Apa menurutmu wajahku ini pasaran?" balasku dengan nada mengejek. 

Kupikir dia hanya mencari alasan untuk mengajaku ngobrol kemudian bertukar nomor w******p seperti yang biasa dilakukan para pengunjung yang lain.

"Apa kau pikir aku sedang menggodamu... Sarah?" matanya melirik nametag yang kupasang di saku kiriku.

"Kalau kau tidak memiliki niat seperti itu, kau bisa memanggil waittress jika hanya ingin mendapatkan bill. Kau tidak perlu repot-repot datang ke meja kasir," seruku penuh percaya diri. 

"Baiklah, mungkin aku salah orang. Sepertinya gadis yang kumaksud memang bukan kau."

"Maaf, kalau membuatmu kecewa."

"Tapi sepertinya... kau lebih mirip Ibunya." Pria itu pun pergi meninggalkan kasir. 

Kuperhatikan dia kembali menuju mejanya dan mengambil jaket serta sebuah kunci dari atas meja. Dia bergerak duluan menuju luar kafe, meninggalkan dua orang temannya yang masih menikmati kopi dan menghabiskan rokoknya. 

Cih, dia bilang aku mirip ibu-ibu? Apakah kini wajahku setua itu? 

              *********

"Ceraikan aku, Bang. Aku akan pergi dari rumah ini."

Aku tersentak mendengar kembali teriakan Ibu. Aku bergegas bangun dan langsung keluar dari kamar. Hari ini hari Minggu. Selain libur kuliah, aku juga mendapatkan hak istimewa dari Hana, yaitu libur di hari Minggu. 

Jadwal libur yang haram hukumnya bagi karyawan lain. Pelakunya bisa dihukum pemotongan gaji sampai seratus ribu bila kedapatan bolos tanpa alasan yang jelas dan masuk akal. 

"Ada apalagi, Bu? Kenapa pagi-pagi sudah ribut?" Aku mendekati mereka. 

"Ibu benar-benar sudah tidak tahan lagi dengan kehidupan seperti ini."

"Kau mau pergi ke mana Risma? Bagaimana dengan anak-anak?" Ayah mulai angkat bicara. 

"Anak-anak sudah besar. Mereka cukup tahu dengan siapa mereka akan bahagia."

"Iya, tapi kau mau ke mana?"

"Aku mau kemana itu urusanku. Aku bisa mengurus diriku sendiri. Tapi aku tak sanggup lagi mengurus hidupmu."

"Kenapa Ibu tega berbicara seperti itu kepada Ayah?" ucapku lirih. Benar-benar tidak menyangka kalau Ibu akan berbuat sejauh ini. 

"Tante Retno menawarkan pekerjaan dengan gaji yang lumayan, dengan syarat Ibu bersedia tinggal di rumahnya," jawab Ibu dengan emosi yang mulai menurun. 

"Ibu kan sudah punya pekerjaan yang enak, Bu. Kenapa harus pindah dan memilih menjadi pembantu? Apa Ibu tidak memikirkan bagaimana Ayah?"

"Sudahlah, Sarah," sela Ayah. "Biarkan Ibumu melakukan apa pun yang dia inginkan. Ayah tidak akan mengahalanginya. Dan Risma, kamu ingin bercerai? Baiklah, mulai saat ini... "

"Jangan Ayah, Sarah mohon jangan lakukan itu." Aku berlutut dan memohon di kaki Ayah. "Bu, cepatlah minta ampun kepada Ayah. Katakan kalau Ibu hanya khilaf dan asal bicara." Aku menangis sejadi-jadinya. 

Ayah langsung membuang pandangan dariku. Aku tahu, dia hanya tak ingin melihatku menangis. 

"Kenapa kau hentikan, Sarah? Ayahmu juga sudah menyetujuinya. Sekarang cepatlah bereskan pakaianmu dan Dara. Kita akan tinggal di rumah besar itu," perintah Ibu. 

"Kenapa Ibu begitu tega melakukan semua ini, Bu? Tidak ingatkah Ibu dengan ketulusan dan kasih sayang dari Ayah?" Aku menangis dan menghiba kepadanya. Kulihat bahu ayah bergetar. Dia juga pasti sangat terpukul. 

"Cepat bangunkan Dara dan kalian berdua ikut Ibu!" Ibu mulai berteriak. 

"Tidak, Bu. Sarah dan Dara akan tetap di sini bersama Ayah."

"Siapa bilang?" Tiba-tiba Dara keluar dari kamar. "Dara akan ikut dengan Ibu."

Ayah memandang sendu kepada Dara. Darah daging yang teramat sangat di sayanginya. Kini berbalik arah dan tega ingin meninggalkankannya. 

Namun lagi-lagi Ayah hanya diam. Mungkin lelah untuk melawan. Ibu dan Dara benar-benar sudah dikuasai oleh hawa dan nafsu terhadap kehidupan yang berlimpah. 

"Kamu dengar itu kan, Sarah? Sekarang cepat bereskan semuanya. Ibu sudah bilang kepada Tante Retno kalau kalian akan ikut tinggal di sana." 

"Maaf, Bu. Jika Ibu ingin pergi, pergilah. Selangkah pun Sarah tidak akan pernah meninggalkan Ayah," ucapku lirih.

Kini suara tangis Ayah pecah. Tak pernah kulihat dan kudengar dia menangis seperti ini. Apakah dia menangisi kepergian Dara? Bukankah seharusnya aku yang pergi dan Dara yang dia harapkan untuk tinggal? 

"Maafkan Sarah, Yah. Sarah tidak bisa menahan mereka untuk Ayah," lirihku dengan wajah yang kini telah basah. 

Ayah meraih tanganku kemudian mendekapku. Diusapnya rambutku berkali-kali. Sama seperti ketika aku masih kecil. Pelukannya begitu menenangkan. 

"Sadarlah, Sarah. Kau tidak akan jadi apa-apa jika terus berada di sini." Ibu berusaha meyakinkanku. 

"Tapi setidaknya Sarah bisa menjadi anak yang berbakti, Bu. Sarah tidak ingin menjadi anak durhaka yang tidak tahu diri," sindirku pedas sambil menantang mata Ibu. 

"Anak durhaka? Kau lebih durhaka jika melawan Ibumu sendiri. Ingat Sarah, dia bukan Ayahmu!"

Ibu benar. Dia memang hanyalah seorang Ayah tiri. Tapi bagiku, dia adalah Malaikat dalam kehidupanku. 

               ******

Comments (3)
goodnovel comment avatar
kunami asdamo
cerita yang menarik
goodnovel comment avatar
Echa Lagi
emg brapa umur ayah nya ... apa ayah ny ini paman harun ?
goodnovel comment avatar
Siti Sartika
sedih amat ya Alloh.... kak Mandaaaaaa...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status