"Kau masak apa di rumah?" tanya Paman. "Masih yang tadi pagi saja. Masih cukup sampai makan malam. Ibu tak jadi datang, sementara Dara pulang cepat," sahutku."Pasti semua tak berjalan sesuai rencana," pekiknya. Aku mengangguk. "Bungkuskan aku camilan buat Ayahmu.""Ayah sedang tak enak hati. Percuma dibawakan.".Paman segera pulang setelah meneguk habis susu stroberi pesanannya. Andar masih penasaran melihat kami yang saling bersahut-sahutan dari tadi tanpa dia tahu apa yang sedang kami bahas. "Lama sekali menunggu sampai hari Minggu, aku sudah tidak sabar ingin mengenal keluargamu," pintanya sambil menyesap kopi espresso yang sangat pahit menurut lidahku. Aku kembali tertegun. Bayangan kalau Andar akan menjauh setelah tahu keadaan keluargaku semakin membuatku takut. Selama ini aku membiarkan dia mengantarku hanya sampai di depan pagar saja. Selain terlalu cepat mengenalkannya pada Ayah, aku juga harus menghormati Paman Harun selaku pemilik rumah. Dari luar, jelas terlihat rumah
Hari hampir malam, saat kudengar bunyi ponsel berdering. Ada nama Dara di sana. Tumben sekali dia menghubungiku. Aku yang masih kesal malas meladeni dan memilih mengabaikannya. Tak lama bunyi notifikasi pesan whatsapp terdengar. [Ini Ibu]. tertulis di sana. Dara pasti sudah mengadukan apa yang terjadi. Dan Ibu pasti menghubungi hanya untuk memarahiku. Belum sempat kubalas pesannya, ponselku kembali menyala."Ada apa, Bu?" jawabku malas. "Dari mana kau mendapatkan uang untuk membeli motor baru dan tinggal di rumah mewah seperti itu?" desak Ibu tanpa berbasa-basi. "Menurut Ibu?""Jangan main-main, Sarah. Apa Ayahmu menjualmu?""Cukup, Bu. Berhenti ikut campur urusan keluarga kami!" Aku menutup percakapan dan meletakkan ponsel secara asal. Bagaimana mungkin Ibu sampai berpikiran seperti itu. Mungkin Dara hanya iri dan mengatakan yang tidak-tidak kepadanya. Tapi tetap saja dia tidak berhak mengatakan semua itu, setelah sebelumnya memutuskan untuk tak lagi menjadi anak Ayah. Benda pip
Minggu pagi. Aku tersentak kala mendengar suara ribut-ribut dari luar kamar. Ramai suara gaduh yang bersahut-sahutan seperti masyarakat yang hendak memukuli maling. Suara itu sudah tak asing lagi di telinga, dan aku hafal betul nada dan gaya bicara mereka."Ada apalagi, Bu?" Aku mengucek mata dan merapikan sedikit rambutku. Ayah dan Paman seperti dua orang terdakwa yang tersudut karena serangan Ibu. "Siapa laki-laki ini, Sarah? Kenapa kalian bisa berada di sini?" Desak Ibu begitu melihatku. "Kau tidak berhak lagi mencampuri urusan kami, Risma. Segeralah kau angkat kaki dari rumah ini!" Ayah tak lagi terlihat lemah seperti biasanya. "Kenapa kau biarkan mereka masuk, Harun?" Paman Harun diam saja tak menjawab. Mungkin tak berani terlalu mencampuri urusan keluarga kami. "Abang tega menjual anakku, agar supaya bisa hidup enak? Laki-laki seperti apa Abang ini?" Lagi-lagi Ibu melawan. Dara masih memasang wajah angkuhnya, memperhatikan Paman dari atas sampai bawah. Mungkinpun mereka pi
"Kenapa kau biarkan mereka lama-lama di rumah ini, Sarah? Harun tak akan pulang kalau mereka tak segera pergi. Kau tak ingin melihat Pamanmu itu marah, kan?" Ayah keluar dari kamar tempat persembunyiannya tadi, enggan berlama-lama melihat mereka.Paman memang pergi tak tahu kemana setelah kejadian tadi. Sepertinya dia juga menghindari sosok Ibu dan Dara yang sudah mengusir aku dan Ayah dari rumah kami dulu. Sejak awal, Paman memang marah dan ingin segera mengadu kepada Nenek, namun karena aku meminta sedikit waktu agar bisa memperbaiki semuanya, Paman mengalah dan memilih ikut merahasiakannya. .Aku menyiapkan makan malam untuk kami nikmati. Puluhan pesan dari Andar menghiasi ponselku memberitahukan bahwa dia sudah tak sabar ingin datang. Paman terus memasang wajah tak suka dari sore tadi. Padahal saat kemarin di kafe, dia yang mendatangi meja Andar. Walaupun hanya diam sembari memperhatikan apapun yang diperbuat laki-laki yang telah membuat keponakannya jatuh hati tersebut. "Pama
"Kau tidak lihat? Ada dua buah tindik di masing-masing telinganya. Apa kau tidak berpikir kalau dulunya dia itu wanita jadi-jadian?" "Hish... Paman bicara apa? Dia juga pernah muda dan mungkin salah dalam pergaulan. Yang penting kan sekarang sudah berubah." Aku mencoba membelanya. Seperti yang Andar katakan, dia pernah berada di titik terendah dalam hidupnya. Dia bahkan pernah mencoba ingin mengakhiri hidupnya sendiri. Namun hal itu dia urungkan, karena tiba-tiba terbayang wajah Ibunya yang menangis dan menghiba memohon sesuatu."Kau percaya ceritanya begitu saja?" Lagi-lagi Paman mencoba mempengaruhiku. "Ah, sudahlah. Paman bicara apa? Aku hanya menyukainya, itu saja." Aku mempertegas ucapanku. Raut wajah Paman seketika berubah."Kita kembali saja ke ruang tamu!" Aku menyudahi pembicaraan sambil membawa nampan berisi teh manis dan sepiring bika Ambon yang kupesan saat Paman keluar tadi. "Mana Andar, Yah?" Kulihat Ayah sudah duduk seorang diri. Tatapannya kini terlihat kosong samb
Liburan semester telah tiba. Kali ini Paman melarangku bekerja fulltime di Kafe Hana."Jaga saja Ayahmu, nanti kutambahi lagi uang sakumu!" perintahnya yang dengan senang hati aku turuti. Satu bulan telah berlalu dari perpisahanku dengan seseorang yang menjadi cinta pertamaku. Selama itu pula aku sudah berusaha untuk melupakan semuanya. Aku bahkan tak pernah lagi menyebut namanya di depan Ayah, terlebih lagi Paman. "Bukankah sudah kukatakan, ha?" sindirnya merasa benar tentang penilaiannya terhadap Andar. ."Hei, jomblo! Sudah banyak duit kau sekarang, ya? Sampai-sampai tak mau lagi lembur di tempatku," protes Hana. Seperti dia pernah punya pacar saja memanggilku seperti itu. "Sori, Bos. Terpaksa!" elakku. "Kau tak mau kalau sampai Paman Harun mengusirku karena melawan perintahnya, kan?" Aku berusaha membela diri. "Sejak kapan kau jadi penurut, ha? Alasan saja.""Ayolah, Bos. Jangan marah. Ini kesempatanku punya banyak waktu untuk merawat Ayah." Aku merayu dengan memijat-mijat pu
Aku dan Paman masuk secara bersamaan untuk melihat siapa yang datang. Wajah Paman tampak gusar. Sepertinya dia sudah bisa menebak siapa-siapa saja pemilik alas kaki dari berbagai macam bentuk, warna dan ukuran tersebut.Mungkinpun aku juga sudah bisa menduganya. Keluarga mana lagi yang akan datang mengunjungi Paman selain..."Mak!" Paman segera mendekati dan mencium tangan orang tua yang sudah berdiri di ambang pintu melihat kami. "Kapan Mak sampai? Kenapa tak kasi kabar sama Harun?" Paman tampak bergelayut manja dengan Nenek. Nenek juga tak sungkan untuk memeluk pria yang kini menjadi anak bungsunya tersebut. Matanya mengintip dari balik badan Paman menatapku. Ditariknya ujung jari telunjuk dan digerakkan maju mundur, menandakan sebuah ajakan atau tepatnya sebuah perintah "kemari kau".Dengan langkah yang ragu dan masih belum bisa membaca situasi, aku mendekati mereka yang baru saja saling terlepas dari pelukan. Dengan mengikuti gerakan Paman tadi, aku bermaksud meraih tangan Nenek
"Tidak usah dicari!" Nenek seolah-olah tahu apa yang sedang ku takutkan. "Sudah kuusir dia."Aku dan Paman tersentak kaget. Tak terasa mataku kembali berkaca-kaca. Bayangan penolakan dari Nenek terpampang nyata dan kini benar-benar terjadi. Dengan wajah marah aku bangkit berdiri hingga mengagetkan kedua Undeku dan anak-anaknya. Paman berjalan mendekatiku, menyuruhku untuk tenang. Namun bagaimana mungkin aku bisa tenang dengan keadaan yang seperti ini? "Kenapa Nenek mengusir Ayah Sarah?" teriakku sambil terus menangis. Tak tahu lagi harus mengatur kata-kata seperti apa agar Nenek bisa mengerti."Kau diam saja!" perintah Paman. "Kenapa membentak orang tua?" Paman berusaha menenangkanku."Bagaimana aku bisa tenang, Paman? Kemana Ayah akan pergi? Bagaimana aku bisa mencarinya sedangkan Ayah tidak punya hape untuk dihubungi," aku semakin kesal dan berusaha mencari Ayah keluar dari rumah. Namun seketika itu pula Paman menghentikan aku dan memegangi lenganku."Tenang saja dulu," lagi-lagi