Di sepanjang perjalanan, Ryan duduk di jok depan di samping sopir. Sementara Titi, Melati dan Sifa di jok tengah. Jok belakang untuk membawa barang-barang yang akan jadi bahan lamaran untuk Titi, dan di atas mobil ada barang bawaan mereka semua. "Ma, kita mau ketemu Kakek dan Nenek?" tanya Sifa semangat. Ia memeluk boneka beruangnya dengan alami, karena itu boneka kesukaannya bahkan saat tidur ia membawanya. "Iya, Sayang. Pasti kamu gak sabar kan, kan?" tanya Titi sambil menggoda. "Iya, Ma! Akhirnya aku bisa cerita sama temen-temen baru aku tentang kampung halaman, soalnya sebelumnya aku diejek karena gak punya cerita," ujar Sifa. Hal itu langsung membuat Melati dan Titi tertohok, keadaan mereka yang tidak memungkinkan membuat Sifa terlantar. Melihat situasinya yang tegang, Ryan pun mengajak Sifa untuk mengobrol hal dan membuat suasana kembali seperti semula.Ia tahu kalau perbincangan itu sangat sensitif bagi Melati dan Titi, jadi ia mencoba untuk menengahi.Tiba jam 22.
"Cie Mama dilamar Papi, cie...." ujar Sifa dengan antusias.Titi pun terkejut dengan hal itu, "Sayang, kok kamu tahu sih?"Itu karena ia tidak pernah mengajari Sifa seperti itu."Aku pernah lihat temen aku bilang kayak gitu."Titi benar-benar tidak fokus pada Ryan yang sedang menunggu jawabannya, ia malah fokus pada Sifa.Sifa sudah mengerti arti dari Will you marry me, meskipun bahasa inggris Sifa bagus, tapi itu perkataan yang biasanya tidak dijadikan sample untuk pengajaran anak-anak."Ih.. kamu anak kecil harusnya nggak usah tahu.$Ryan terkekeh, "Hehe... ggak papa dong Sayang, dia harus tahu."Titi menghela napas, ia khawatir anak sekecil Sifa terpapar konten bucin sejak dini."Gimana, mau kan nikah sama aku?" tanya Ryan lagi memancing.Titi mulai kesal, "Ryan, kamu suka banget ngelakuin hal-hal yang enggak berguna ya? Lagian aku kan udah bilang kalau aku nggak punya pilihan. Ya udah berarti kita nikah," balas Titi sewot."Tuh dengar kan Sifa? Kamu bisa panggil Papa setelah Papi
Melihat kebingbangan Titi, Ryan pun menggenggam tangannya. "Sayang, maaf kalo aku gak mengungkapkannya secara baik-baik. Tapi pikirkanlah, aku akan bertanggungjawab sepenuhnya pada kalian...." Titi masih diam, berpikir keras. "Titi, maukah kamu menikah denganku?" tanya Ryan berlutut. Hal itu membuat Titi merasa risih, dan melepas tangan Ryan. "Apaan sih bangun, gak usah sok berlutut kek gitu, kek pangeran aja." "Aku emang pangeran kan?" "Ih, PD." "Dulu kan kamu pernah bilang kayak gitu, My Prince!" Titi pun memutar bola matanya dan pergi ke dapur untuk membuat makan siang. "Kenapa kamu masih di sini? Pergi sana!" usirnya. "Ya ampun. Kok ngusir kayak gitu. Aku kan belum dapat jawaban." "Emang aku punya pilihan lain?" tanya Titi balik. "Berarti kita fix nikah ya," ujar Ryan. "Iya, tapi kan kita gak seiman, aku gak boleh nikah sama cowok non muslim. Gak bisalah." "Bisa, nih!" Ryan tiba-tiba mengeluarkan ponselnya dan di sana ada foto ia menyalami seorang Ustaz te
Titi diserang lagi oleh orang-orang yang memiliki banyak followers, sepertinya kini ia bukan lagi hanya menghadapi Queen tapi juga para influencer terkenal. "Titi...." Titi langsung masuk dan menutup pintu tanpa mau mendengarkan apa yang ingin dikatakan oleh Ryan. Ia tak ingin lagi dekat-dekat dengan Ryan, katakanlah ia tak tau diri, tapi ia juga berhak mendapatkan kompensasi rumah ini setelah Ryan benar-benar merusak semuanya. Di luar banyak orang yang menggerebek, menanyakan terkait hubungannya dengan Ryan dan menuduhnya macam-macam seperti yang dikatakan para influencer itu. Ia tidak tahu apa yang dilakukan oleh Ryan sekarang, karena Ryan dikelilingi oleh banyak orang yang menggerebek rumahnya.Sementara, ia memilih untuk melindungi Sifa yang tadi terlihat ketakutan.Ia meminta maaf pada Sifa karena telah membawanya kepada dunia yang seperti ini."Maafin Mama ya...""Mama nggak salah, orang itu yang tiba-tiba ke sini. Bikin ribut! Mama nggak salah," ujar Sifa.Sifa lagi-la
Ryan menemui Tristan di apartemen Tristan, keduanya sudah janjian di sana karena Tristan yang meminta. Ada beberapa masalah yang tidak bisa ia tangani sendiri, ia kesulitan setelah Ryan mengundurkan secara resmi dari kepemimpinannya.Selama ini ia merupakan pemimpin di kantor tersebutx tetapi bukan sebagai pengambil keputusan sepenuhnya. Jadi, ia masih kesulitan dalam mengambil keputusan ketika menghadapi masalah sendiri tanpa bantuan Ryan."Gue nggak tahu kalau ternyata selama ini lu ngadepin begitu banyak orang yang emang udah niat nipu dari awal."Ryan terkekeh, "Di dunia bisnis emang kayak gitu, kalau lu nggak berani keras sama mereka, lu nggak punya pegangan yang bikin mereka tunduk sama lu. Lu bisa dimanfaatin sama mereka terus kalo gak punya power.""Ya gimana gue punya power, gue gak sekaya lu anjir. Mereka udah bermaksud untuk manfaatin gue dan sekarang gue gak mungkin pasrah gitu aja kan? Nasib perusahaan di tangan gue," keluh Tristan."Ya nggak pasrah juga, sini gue kasi
Suasana menjadi hening, sebelum akhirnya Ryan berkata. "Hehe... aku cuma bercanda tapi, kalau kamu bersedia, ayo!" Titi merasa kesal dengan sikap Ryan yang suka main-main itu. "Em... kamu mau pulang atau ke mana?" tanya Titi mengalihkan pembicaraan. Ia berjalan menuju dapur, melihat barang-barang di sana yang sudah lengkap dengan perabotan dapur. "Aduh aku capek banget!" Titi lalu menoleh mendapati Ryan yang terlihat memijat-mijat lengannya, ia memang tampak lelah sih, tapi Titi juga tifak bersedoa membiarkannya menginap. Tirak ada orang lain, takutnya digrebek. Titi masih belum terbiasa hidup di komplek yangs erba individualis, jadi masih mengira ada tetangga yang sempat mengurusi urusan orang lain. "Kalau aku nginep di sini semalam gimana?" "Tapi nggak ada orang lain di sini, aku ngerasa nggak enak." "Nggak enak sama siapa? Ini kan rumah kamu," ujar Ryan. Titi merasa bingung, "Emang kamu gak bisa nginep di hotel gitu? Semalam ada yang 200k," ujarnya. "Gak mau serem, ak