"Ryan," pnggil Titi. "Hem?" Ryan yang sedang angkat beban pun langsung menoleh dan meletakkan alatnya. Titi sudah siap, "Katanya mau ketemu Kak Melati?" tanyanya. "Kan setengah jam lagi," ujar Ryan. "Kan setengah jam perjalanan ke sana," balas Titi. "Ya udah, bentar aku siap-siap." Titi menghela npas, kebiasaan sekali pria itu kalau janjian. Tidak sih, sepertinya hanya dengannya ia santai, sementara dengan pekerjaannya sangat disiplin. Tiba-tiba Sifa memeluk pinggangnya dengan erat. "Mama! Aku gak boleh ikut nih?" tanya Sifa seolah membujug sang ibu. Titi pun mencium pipi putri tercintanya itu."Enggak dulu ya, Sayang. Nanti kalau Mama udah pulang, Mama akan ajak kamu ke suatu tempat yang bagus dan kita jajan di sana.""Janji?!" ujar Sifa."Iya, Sayang. Bantu doain Mama ya ... biar urusan kami lancar. Jadi, Mama bisa tepatin janji.""Oke, Mama."Kemudian Titi pun pamit pada Nyonya Miller dan Sifa untuk pergi menemui Melati seperti yang sudah direncanakan dengan R
"Ngantuk, Ma. Gendong!" ujar Sifa mengulurkan tangan pada Titi. Itu setelah mereka mengunjungi beberapa tempat seru di Washington DC. Ryan langsung maju dan menggendong Sifa. "Akhhhh!" teriak Sifa kaget. "Haha! Udah sama Papi aja! Mama juga kelihatan capek,x ujar Ryan tersenyum tulus. "Kamu emang nggak capek?" tanya Titi. "Kalaupun aku capek masa aku biarin kamu gendong Sifa, padahal aku lebih kuat dari kamu," balas Ryan."Dih pamer!" ujar Titi membuang muka tapi tersenyum. Hal itu membuat Ryan tertawa, ia bersyukur.Cara Titi membalas semua kata-katanya, jelas ia sudah membuka hati padanya.Setelah Sifa benar-benar tidur, Ryan meminta David dan Nyonya Miller untuk kembali ke apartemen dulu. Itu karena ia ingin mengajak titi ke tempat lain."Em... kita mau ke mana sih? Terus Sifa?" "Dia aman sama mereka. Tenang aja, aku nggak cuma punya mereka kok, ada orang yang jagain dari jauh juga." Titi makin curiga kalau sebenarnya Ryan punya banyak bisnis di manapun ia berada, tak
"Kok cepet banget udah sampe sini?" tanya Titi. Mereka sudah mulai bergerak dari tepian, mengontel dengan gerakan kompak dan santai. "Sesuai prediksi, pagi tiga jam lalu sampai," jawab Ryan. "Iya, kok tiba-tiba udah di sini?" "Emang sengaja surprise hehe..." Titi terkekeh, "Apaan sih." Titi tidak tahu kenapa ia jadi mulai terbawa perasaan oleh perlakuan Ryan. Padahal ia sudah meyakinkan hatinya agar tidak terbawa arus, terbawa suasana. Perahu ontel ini justru membuatnya kembali mengenang masa lalu. Ryan tahu bahwa Ia senang pergi ke alam, sehingga mereka sering pergi kencan ke alam jika tidak sedang pergi ke area Ice Skating. Seperti ke pantai, ke gunung, ke danau sehingga mereka bisa naik perahu atau dengan perahu ontel yang di mana di Indonesia biasanya bentuknya macam-macam. Seperti bentuk Bebek, dan lain-lain. "Mama, Mama! Kok nggak ada yang Bebek ontel ya?" tanya Sifa sambil makan Ciki. "Iya, Sayang. Soalnya beda kalo di sini bentuknya gak macem-macem karena
"Nyonya Miller, apakah Tuan kalian bisa mengemudikan Jet Pribadi seperti Pilot?" tanya Titis saat mereka sampai mobil. Nyonya Miller terkekeh mendengar pertanyaan itu, "Tentu saja, dia pandai dalam melakukan banyak hal." "Owh...." "Bukankah kalian saling kenal sejak masa kuliah?" Titi mengangguk, "Iya, tapi sejauh ini saya tidak tau dia bisa mengemudikan Privat Jet." "Haha, ya... dia memang agak rendah hati tapi juga sombong di saat bersamaan ya." "Kalian kelihatannya sangat akrab?" tanya Titi. "Bagaimaa tidak akrab? Saya tau dirinya saat masih kecil. Saya salah satu mantan Koki di sebuah hotel milik keluarganya di sini. Taoi semenjak bangkrut, saya kemudian beralih profesi menjadi pelayan." Titi pun mengangguk-angguk, "Dengan kata lain, Anda adalah orang kepercayaan dari keluarga Ryan?" "Ya, itu benar." "Pantaslah dia percaya pada Anda sampai curhat hal-hal lain di luar kerjaan." "Haha, begitulah... tapi sepertinya Anda juga sangat istimewa bagi Tuan, sehingga ka
"Nggak apa-apa, cuman jangan sampai jauh-jauh. Kalau butuh apapun, bisa bilang sama Nyonya Miller, oke?" Titi pun mengangguk. "Terima kasih." "Sama-sama. Inget, aku sayang sama kamu. Aku khawatir banget sama kalian, jadi tolong ... jangan menghampiri bahaya. Di sana lebih berbahaya daripada di sini kalo kamu gak tau apa-apa tentang dunia mereka." Titi pun mengangguk, "Ya..." Lagi-lagi Ryan mengungkapkan rasa sayang secara blak-blakan, masalahnya ia sendiri yang ketar-ketir. Sementara Ryan malah hanya menampilkan wajah senyum tanpa dosa. . Namun, keesokan harinya. Sifa malah meminta keluar sampai menangis karena ia sangat bosan di tempat asing itu. Meskipun ia senang pergi ke luar negeri, ke Amerika bertemu dengan banyak hal asing, dan pengalaman baru. Ia tetap tidak nyaman. Jadi, ia memilih untuk menangis karena luapan emosi yang tak bisa dibendung itu. "Oke oke... kita keluar ya. Tapi ingat, jangan jauh-jauh." Sifa pun mengangguk sambil mengusap air matanya
"Hai! Gimana tadi sama Kakakmu, sukses?" tanya Ryan dengan nada yang hangat. Kini mereka sudah beralih ke video call, karena awalnya Titi hanya menelpon Ryan. Kemudian Ryan mengalihkannya ke video call. Terlihat di sana, Titi sedang duduk di meja rias--seingat Ryan dalam memahami layout kamar di apartemennya itu--yang di belakangnya ada ranjang, dan gundukan. Seolah ada orang yang tidur di sana. Ya, tentu saja. Siapa lagi kalau bukan Sifa. Titi tersenyum tipis, "Hai! Seperti yang udah kamu duga sebelumnya, Kakakku malah mengusir kami dan dia bahkan nggak mau mengakuinya." Ryan pun mengangguk paham. "Aku nggak bisa lakuin banyak hal sih, cuman aku pengen kamu tetap stay di tempatku. Besok aku akan suruh sopir agar bisa nganterin kamu ke manapun." Titi terkejut, "Hem... tapi biayanya pasti mahal?" "Gak kok, udah include sama apartemennya. Jadi kamu nggak usah khawatir." "Makasih," balas Titi akhirnya. "Ya, sama-sama." Mereka diam sejenak, sebelum Ryan kembali berkata. "Nih,
Titi menangis sepanjang jalan, bagaimana bisa Kakaknya berubah sejauh itu? Pakaiannya bahkan sangat terbuka, padahal awalnya ia berpakaian sopan. Dulu, Melati adalah perempuan yang sangat lembut dan baik, tapi berubah menjadi perempuan yang kasar bahkan padanya yang merupakan adik semata wayangnya. Titi tau bahwa mungkin kakaknya memiliki luka masa lalu yakni dihamili tanpa dinikahi. Namun, harusnya Ia hanya marah pada pria brengsek itu, bukan malah marah pada anaknya, keadaan, dan adiknya yang bahkan tidak bersalah dalam kasus itu. Titi tak habis pikir dengan pemikiran Melati, yang memusuhi semua orang setelah kemalangan itu datang. Melati beruntung karena Titi masih mau membersamainya, tapi ia malah seolah menolak lehadiran orang-orang yang masih perduli padanya. Kadang bukan dunia yang meninggalkan kita, tapi kita yang menjauh dari dunia ini. Kita yang mengusir semua orang dari kehidupan ini, dan bertindak sebagai korban, alih-alih mencoba untuk memperbaiki keadaan serusa
Titi dan Sifa akhirnya sampai di Bandara Presiden Ronald Reagan di Washington D.C.. Menurut informasi, kakaknya memang bekerja dan tinggal di Washington D.C., pusat kotanya dari pusat dunia. "Alhamdulillah dan sampe," ujar Titi. Ia berjalan lewat jembatan yang menghubungkan antara pintu pesawat dan bagian dalam bandara. Berbeda kalau di Bandara Indonesia, mungkin fasilitas itu hanya ada di beberapa bandara atau belum ada, ia tak tau karena bukan orang yang bepergian menggunakan pesawat dari bandara manapun. Selama naik pesawat, ia selalu dari bandara Soekarno Hatta, bandara Ngurah Rai, dan Changi. Intinya, Titi bersyukur akhirnya sampai di kota itu. Ini pertama baginya pergi keluar dari Asia, yang pastinya memberi kesan berbeda. Sifa baru bangun tidur dan minta digendong. Untunglah setelah koper keluar, Sifa bisa naik di kopernya. Koper itu juga dibelikan oleh Ryan, takutnya nanti Sifa minta gendong, sementara Ryan juga mengkhawatirkannya yang akan kecapean juga k
"Ti... kamu yakin gak mau aku temenin?" tanya Tristan. "Enggak, aku tau kamu sibuk." "Iya sih, tapi gak papa asal kalian selamat." "Selamat pasti," balas Titi yakin. Tristan hanya bisa mengangguk dan melepaskan kepergian mereka dengan sedih. Sementara itu, Ryan memberikannya sebuah kartu yang akan sangat berguna untuk Titi di sana. "Em... ini kartu buat kamu." Titi bingung, "Kartu apa?" Kartu itu sudah dimasukan ke dalam tempat ID Card dengan tali yang bisa dikalungkan selayaknya tanda pengenal di perusahaan. "Maksudnya, ini bukan kartu kredit atau lain-lain kan?" tanya Titi sambil menerimanya. Kemudian ia membolak-balikkannya, mencoba untuk membaca tulisan-tulisan di sana. Akan tetapi, tidak ada yang bisa ia pahami. Kartu itu berisi tulisan asing, mungkin bahasa mana, tapi Titi tidak tau. Ada juga kode-kode yang menurutnya sangat rumit, bahkan sebagai orang yang belajar ilmu komputer, ia tidak mengerti dengan kode-kode itu. Sepertinya bukan kode komputer atau hal lai