Share

DIABAIKAN MENTANG-MENTANG HANYA ANAK PANCINGAN
DIABAIKAN MENTANG-MENTANG HANYA ANAK PANCINGAN
Penulis: El Baarish

Kelakuan Tiara

Salsa 1

.

"Cepetan dong, Salsa! Salatnya lama amat sih! Udah telat nih gue!" teriak Tiara dari ruang tengah. Ia bahkan kali ini protes waktuku menghadap dengan Rabb-ku.

Di dalam kamar, aku segera melepas mukena dengan gerak cepat. Setelah melipatnya, aku mengganti baju dan memakai jilbab kurung yang tersangkut di belakang pintu. Serba cepat.

Saat aku sedang berdiri di depan cermin ingin sedikit memakai bedak, Tiara telah berdiri di pintu dengan tangan berkacak di pinggang.

"Udahlah, masih gelap juga. Gak bakalan ada cowok yang liat." Ucapan Tiara menghentikan aktivitasku di depan cermin.

Segera saja ia menarik tanganku untuk keluar dari kamar, dan menyerahkan kunci motor.

Kami akan ke rumah seorang MUA yang tak terlalu jauh dari kampung ini. Hari ini Tiara wisuda, dan ia akan merias diri agar terlihat sempurna di hari bahagianya.

Ia menyuruhku untuk mengantarnya ke rumah MUA. Seperti kebiasaannya, sering menyuruh ke mana-mana dan akan merengek dan mengadu pada Mama jika tak dituruti.

Kalian pasti bertanya kenapa bukan Ayah atau Mama saja yang mengantar Tiara?

Ayah akan mengambil mobil rental ke temannya, sementara Mama sibuk di dapur. Sibuk memasak beberapa makanan kesukaan Tiara sebagai perayaan atas berhasilnya menempuh gelar sarjana.

Hari masih gelap gulita, masih pukul lima pagi. Mau tak mau, aku harus menuruti permintaan Tiara. Mutiaranya Ayah dan Mama.

"Lambat amat sih, Sa! Jangan sampai Tiara telat nyampe ke kampus nantinya," Mama ikut mengomel. Dari dapur, ia bahkan mendekat padaku saat motor baru kukeluarkan dari ruang tamu.

"Tau nih, Ma. Sengaja kali biar aku telat," tuduh Tiara.

Aku menggeleng. Sebenarnya kesal setengah mati. Tapi ini masih terlalu pagi untuk mencari keributan dan mengganggu tetangga.

Tiara si anak manja itu, pengen gerak cepat. Tapi, motor saja tidak mau ia keluarkan dari rumah. Ya, ia memang semanja itu, lebih tepatnya malas. 

"Naik!" perintahku tanpa banyak kata setelah memanaskan mesin motor. 

"Hati-hati, jangan ngebut. Jangan sampai Tiara celaka dan gak bisa wisuda." Mama masih sempat mengkhawatirkan Tiara, seolah kalau terjadi kecelakaan hanya akan ada dia yang menjadi pusat perhatian.

Aku hanya diam. Motor terus melaju menuju rumah MUA. Kata Tiara, di sana make up-nya bagus dan sudah profesional. Mama bahkan menyuruhku untuk memberikan sebagian uang pada Tiara, agar ia bisa make up di tempat favorit.

"Kamu kan pintar make up. Kenapa nggak poles sendiri aja, malah kelihatan lebih natural." Aku memberi usulan kala itu, saat Tiara bilang dia butuh delapan ratus ribu untuk biaya make up saja.

"Halah bilang aja pelit. Sama adik sendiri pelit. Kualat tau rasa lo!" sembur Tiara yang memang tidak pernah sopan mulutnya.

Yang Tiara tahu hanya memuaskan keinginan sendiri. Padahal bagiku uang delapan ratus ribu itu hampir setara dengan satu bulan gaji bekerja.

"Iya nih, Salsa. Sama adik sendiri kok perhitungan sih!" tambah Mama yang tak kalah sengitnya dengan Tiara.

Saat itu Ayah hanya diam mengamati kami. Untuk wisuda membutuhkan banyak biaya karena Tiara banyak gaya. Ia bahkan meminta Ayah untuk merental mobil karena tidak mau naik motor ke kampus, malu katanya. Ayah menuruti, padahal aku tahu persis ia sedang tidak punya uang.

Namun, apa pun permintaan yang keluar dari mulut Tiara, selalu Ayah dan Mama sanggupi. Berbeda jika aku yang meminta.

Darah lebih kental dari air. Ungkapan itu sering dimaksudkan bahwa sejahat apa pun hubungan ayah dan anak, mereka pasti akan bersatu karena ada hubungan darah dalam diri mereka. 

Bagiku ungkapan itu memang benar, meskipun sedikit berbeda. Darah lebih kental dari air, yang berarti anak kandung dengan anak tiri pasti akan diperlakukan beda. Terserah sebaik apa pun anak tiri, ia tetap tak memiliki hubungan darah yang secara tak langsung artinya bisa dibedakan.

Seperti aku dan Tiara.

Aku hanya anak angkat yang diadopsi untuk mengundang kehamilam Mama. Cara itu berhasil di Mama, meski tak berhasil di semua orang. Setelah beberapa lama kemudian, lahirlah Tiara. Mutiaranya Mama dan Ayah yang begitu dibanggakan. Apa pun yang dilakukan Tiara selalu mendapat pembenaran.

Aku dan Tiara beda enam tahun, tapi ia tak pernah memanggilku dengan sebutan Kakak atau Mbak.

.

Sepuluh menit mengendarai motor, akhirnya aku sampai di rumah MUA yang dimaksud Tiara. Aku sedikit mengebut karena takut pada jalan yang masih gelap sunyi.

"Telat deh gue," gerutu Tiara yang melihat banyak motor di luar. Motor para pengantri yang menunggu giliran di-make up untuk wisuda juga.

Sebelum masuk, Tiara sempat menatap tajam padaku. Aku hanya menghela napas, bahkan rasanya tak ingin masuk ke dalam bersamanya.

Namun, kupaksakan kaki untuk masuk karena penasaran juga melihat tangan lihai yang memoles beberapa wajah di dalam sana.

"Gue dulu ya, Mbak!" ucap Tiara menghalangi seorang gadis yang ingin duduk di kursi rias di depan MUA.

"Lah, enak aja. Gue yang duluan nyampe." Gadis itu tak mau kalah. Sepertinya sama galak dengan Tiara. Tapi, memang benar harusnya dia yang duluan. 

"Bangun!" ucap gadis itu dingin seraya melotot.

Terpaksa Tiara bangun dan digantikan oleh gadis tadi. Sang MUA hanya diam karena memang tak bisa membela Tiara.

Beberapa lama Tiara menunggu, hingga matahari mulai terbit dan ia belum mendapatkan antrian. 

Tiara mendekat padaku yang duduk di sofa di ruang itu.

"Gara-gara lo sih! Gue kan udah bilang dari jauh-jauh hari kalau di sini tuh rame ngantri. Ih nyebelin banget!" Tiara menolak bahuku kesal. Aku yang sedang bermain ponsel menatapnya heran, juga kesal.

Tiara kembali duduk meski ia tak tenang, terlihat dari matanya yang beberapa menit sekali melihat jam di ponsel.

Hingga akhirnya giliran ia yang dimake up. Tiara sudah memakai kebaya dan rok batik khas wisuda. Ia terlihat anggun dan cantik setelah wajahnya disentuh polesan make up.

"Pelan-pelan, Salsa! Awas kalau bedak gue luntur!" kesal Tiara, karena aku bawa motornya agak ngebut, takut adikku akan telat.

"Bukankah kamu menyewa MUA mahal?" sindirku.

Aku tahu, harga segitu tidak ada apa-apanya jika mengharapkan kualitas artis. Tapi bagiku itu tetap mahal.

"Jaga itu lambe!" ucap Tiara kasar.

Akhirnya aku diam. Aku memang selalu berada di posisi yang serba salah.

Beberapa menit kemudian, kami tiba di rumah. Di depan sudah terparkir mobil yang dirental oleh Ayah.

Dulu Ayah punya mobil, meskipun bukan mobil mewah. Namun, ia harus menjualnya untuk biaya kuliah Tiara.

"Ayo, Tiara. Kamu di depan ya. Biar Mama sama Salsa di belakang," Mama antusias. Ia bahkan membukakan pintu mobil untuk Tiara. Memperlihatkan sebegitu bangganya ia pada seorang Tiara yang bergelar sarjana.

Berbeda denganku yang hanya karyawan sebuah mini market.

"Kamu mau ke mana lagi, Salsa?" tanya Mama.

"Mandi, Ma!" jawabku.

"Halah nggak usah mandi. Didandani bagaimanapun muka lo tetap nggak berubah tuh!" 

Aku menelan ludah seraya menatap nanar pada Tiara. Selalu saja hinaannya meninggalkan bekas luka dalam hatiku.

Aku sadar diri tidak memiliki wajah seperti dia. Kulitku gelap, parasku tak cantik, bahkan beberapa gigiku tumbuh tak sejajar yang semakin menyempurnakan ejekan Tiara.

"Iya, Salsa. Nggak usah mandi, udah telat ini." Aku kembali perih. Mama mengiyakan ucapan Tiara.

"Aku nyusul pake motor, Ma. Kalian duluan aja." Aku masih tetap pada pendapatku. Masa iya aku tidak mandi ke acara wisuda yang di sana tentu banyak orang. Memang sih, semalam aku mandi pukul sembilan setelah semua pekerjaan rumah kuselesaikan.

"Ck! Ini anak keras kepala banget ya," Mama mendekat dan menarikku ke dalam mobil.

Aku terpaksa masuk ke mobil. Kemudian melihat penampilanku sendiri. Baju kaus biasa, kulot, dan jilbab kurung. Aku menggeleng karena merasa sama sekali tak terlihat bagus mendatangi acara formal seperti wisuda.

Ayah hanya diam dan mulai mengemudi. Aku berkali-kali dikecewakan oleh keadaan.

Tiga puluh menit, kami sampai di kampus tujuan. Banyak wisudawan yang lalu lalang dan baru datang. Langsung saja Tiara masuk ke dalam didampingi Mama. Tak lekang wanita paruh baya itu memegang tangan Tiara, menunjukkannya sebagai anak yang begitu hebat.

Sementara aku masih mematung, menatap penampilanku sendiri.

"Carikan toilet dan ganti bajumu, Sa." Ayah menyerahkan sebuah kantong plastik untukku.

"Maaf ya, tadi Ayah masuk ke kamarmu. Ayah memang sudah menduga kamu tak akan sempat mengurusi diri. Jadi Ayah ambil baju dan jilbab yang kiranya cocok. Pergilah!" Ayah tersenyum.

Aku yang sempat kecewa pada Ayah, tiba-tiba merasa bersalah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status