"Halo, Pak Bos." Dengan santai Indah menjawab telepon. Mendengar suara indah, Edwan begitu bersemangat.
"Halo, gimana kabar kamu? Baik-baik saja kan? Kenapa tidak pamitan sama saya kalau kembali ke Jakarta hari ini?" Edwan bertanya diseberang telepon. Sementara Reyhan pura-pura cuek meskipun kupingnya menguping. "Gak mungkin Edwan jadi saingan gue. Dia kan tahu Indah istri gue. Masih berani nelpon. Parah," batin Reyhan. "Kalau saja tidak sedang ingin meyakinkan Indah pasti udah gue ambil hape itu dan gue banting supaya mereka gak bisa komunikasi lagi," ucapnya lagi dalam hati.
"Maaf, Pak Bos. Saya baik-baik saja. Terima kasih untuk kebaikannya selama ini. Maaf tidak sempat berpamitan," ucap Indah.
"Iya, Ndah. Tidak apa-apa. Kamu sehat-sehat di sana. Bahagia selalu. Kau punya masalah atau butuh bantuan saya suatu saat nanti, saya siap membantu. Saya akan selalu ada untuk kamu kapanpun kamu butuh bantuan saya. Pokoknya kamu sehat-sehat. Jag
"Sampai kapan kamu diemin aku seperti ini? Ya Allah! Ini kita suami istri tapi kenapa seperti orang asing?" keluhku kesal. Tapi hanya bicara di dalam hati. Sebab, aku enggan untuk mengatakannya. Berat bibir serasa. Bagaimana tidak? Setiap aku ajak bicara, berujung diam. Lelah aku pun sama memilih diam. Hingga akhirnya dua manusia ini tidak saling bicara. Ternyata rasanya diabaikan itu tidak enak. Seperti orang bodoh yang harus terus mengalah. Seperti inikah perasaan Indah dulu?Sejak awal bulan, sampai sekarang akhir bulan, baru dua kali ini seingatku bicara dengan Indah. Ya masa dia diem aku suruh nyerocos kaya burung beo? Hancur wibawaku sebagai seorang laki-laki. Ya tapi tak bisa kupungkiri ini semua sangat membuatku lelah dan ingin menyerah. Sulit banget… sumpah demi tuhan aku ingin sekali melempar makanan ini. Tapi aku tidak mungkin melakukannya. Yang ada aku sendiri repot membereskan bekasnya. Indah tidak mau ada pembantu di rumah ini. Jadi kalau aku melakukan in
Tok … tok … tok ….!Luna mengetuk pintu ruangannya dan ruangan Haris."Masuk," jawab Haris dari dalam."Gimana, Lun? Reyhan setuju?" tanya Haris. Luna sedikit tidak enak menyampaikan maksud dan tujuannya membawa Lena temannya menemui Haris."Gini, Ris. Reyhan minta aku yang jadi sekretarisnya. Dan Lena jadi sekretaris kamu. Katanya sih takut gak cocok lagi. Gimna?" Luna bertanya. Haris terdiam sebentar. Tidak masalah baginya jika memang Luna menjadi sekretaris kakaknya itu. Sebab, bosan juga dia tidak ada yang cocok dengan Reyhan."Aku si terserah kamu saja. Kamu cocok?" Haris bertanya. Luna mengangguk cepat. Memang itu sebe
"Ma--suk," lirihku terbata. Pemuda bertubuh tinggi dengan memakai jas warna hitam mendongak. Aku merintih menahan sakit. Dia menghampiriku. Mataku berlinang ada rasa haru."Pak bos?" lirihku. Pemuda itu mengangguk. Lalu meletakkan sebuah kotak yang mungkin berisi dimsum pesananku itu di atas meja. Dengan panik Pak Bos langsung menghampiriku."Kamu kenapa? Reyhan mana?" tanya Edwan."Reyhan keluar kota. Tolong bantu saya bawa ke rumah sakit, Pak," lirihku. Edwan mengangguk dan langsung membopongku ke mobilnya. Rasanya ingin bertanya kenapa bisa ada dia. Tapi rasa sakit membuatku lupa akan segalanya. "Kamu jangan ngeden ya, Ndah. Tarik nafas," ucap Edwan panik. Dia membuka pintu mobil belakang kemudian menidurkanku di jok belakang. "Tahan ya," ucapnya dengan nada p
Setelah dua hari Reyhan pun sudah tiba di Jakarta bersama Luna. Keduanya tidak langsung pulang ke rumah. Melainkan beristirahat dulu di hotel. Menenangkan pikiran dan memikirkan cara untuk bicara pada Indah. Sebab di pikiran Reyhan Indah sedang hamil tua. Takut juga terjadi sesuatu pada kandungannya sehingga menyebabkan anaknya mengalami masalah."Sudah sore. Sudah siapkah menemui istri dan orang tuamu, Rey?" tanya Luna sembari memeluk Reyhan dari belakang.Reyhan menyentuh tangan Luna kemudian mengecupnya. "Siap tidak siap harus siap," jawab Reyhan mantap."Dulu kamu sangat mencintai Indah. Apa kamu sudah benar-benar melupakannya?" Luna bertanya. "Mungkin bukan cinta, tapi hanya obsesi untuk mendapatkannya. Sudahlah, tidak usah dibahas. Kan aku sudah sama kamu," ujar
POV REYHANLima menit kemudian Haris kembali dengan membawa hape Indah. Indah mulai mengutak-atiknya. Mata wanita itu melirik Luna dengan sedikit menyunggingkan senyum."Laki-laki bisa mengejar perempuan. Terlihat sangat mencintai, takut kehilangan,, tapi tidak bisa menghargai, berlindung di balik kata cinta, ternyata itu hanya ambisi. Itu adalah kamu! Hanya ingin menyalurkan dendam pada Danang bukan? Tak kusangka," ucap Indah. Meskipun aku tidak paham, kata-kata itu seolah menyindirku."Mengejar seorang perempuan, meyakinkan kemudian mengulang hal yang sama. Berusaha sekuat tenaga untuk berubah tetap tidak bisa. Karena cintanya hanya sebatas obsesi yang kalau sudah berhasil di dapatkan ya sudahlah. Seterusnya akan mengulang kesalahan yang sama. Seperti itulah kamu! Tapi aku selalu be
"Saya malu dengan kelakuan anak saya. Tolong maafkan saya," ucap Lendia langsung bersimpuh di kaki Indah."Mama jangan seperti itu," ucap Indah berusaha membangunkan Mama mertuanya itu berdiri. Lendia terus menangis. Memang perasaannya sungguh malu luar biasa. Ada ketakutan dalam dirinya."Ndah, maafkan kami," timpal Haris. Indah mengangguk. Kemudian ia pun meminta Mama mertuanya itu untuk berdiri. "Kamu yang sabar ya, Ndah. Papa minta maaf atas kelakuan Reyhan. Papa sangat malu," ucap Papa Reyhan menimpali."Mama, Papa, dan juga Haris tidak ada salah apapun. Bukan kesalahan kalian. Kalian orang baik. Hanya saja Indah minta maaf, telah menyebabkan hubungan antara orang tua dengan anaknya jadi renggang," ujar Indah setelah kembali duduk. Sementara Edwan teta
"Assalamualaikum," ucap seorang perempuan paruh baya pemilik kontrakan."Waalaikumsalam," jawab Edwan dan Indah bersamaan. "Kaget ya, sama suara teriakan tadi? Memang suka begitu. Katanya sih depresi karena kehilangan anaknya. Jadi kalau sedang tidak sadar suka teriak-teriak," ucap Bu Lasmi pemilik kontrakan."Oh begitu ya, Bu. Pantesan. Kalau depresi kenapa tidak dibawa ke rumah sakit saja?" kata Edwan menimpali. Indah membenarkan."Depresinya kadang-kadang saja, Neng. Saat teringat anaknya. Akan tenang jika sudah minum obat penenang. Suaminya tidak mau mengirim ke rumah sakit jiwa, katanya tidak tega. Istrinya juga suka dibawa terapi kok seminggu dua kali. Suaminya sangat menyayangi istrinya. Memang gitu, suka teriak minta ampun kalau misal disuruh makan tidak mau,"
Dua minggu berlalu …Panggilan sidang pertama pun datang. Namun, Indah sama sekali tidak hadir. Begitupun dengan Reyhan. Panggilan sidang kedua dan ketiga di minggu berikutnya pun Indah tidak hadir. Hanya Reyhan saja yang hadir saat sidang ketiga dan dibacakan putusan dengan membawa dua orang saksi. Tidak ada tuntutan apapun hingga memperlancar prosesnya."Kok bisa sih Indah gak datang dan gak minta hak apapun untuk anaknya?" ucap Luna membatin. Dalam hatinya dia sangat bahagia. Apalagi melihat Reyhan tenang dan seolah tidak terjadi apapun. "Gak pernah nyangka sebelumnya. Ternyata Reyhan jadi milik aku. Gak sangka juga, di luar dugaan pokoknya Reyhan milih aku daripada Indah. Di mana aku sangka Reyhan sangat mencintai Indah. Humhh! Takdir memang tidak bisa ditebak," batinya lagi kegirangan.