Home / Romansa / DIARY SKIZO / Malam Romantis

Share

Malam Romantis

Author: Indahyulia
last update Last Updated: 2021-06-16 16:17:48

Jam empat sore, aku tiba di rumah ketika Mas Ichsan sedang menyiram bunga di halaman. Beberapa bulan terakhir ia memang gemar berkebun. Kubelikan beberapa bibit bunga dan sayur hidroponik untuk menunjang hobinya tersebut.

"Assalamualaikuuum!"

"Waalaikum salam. Kok udah pulang? Padahal aku mau jemput." 

Aku mencium tangannya. "Iya, pulang cepat hari ini," bohongku.

Biar ia tak merasa bersalah. Padahal memang tiap hari begini, kecuali jika ada lemburan. Kulepaskan sepatu dan mengamatinya dari kursi teras. Ia masih asik dengan aktifitasnya.

Mas Ichsan bersikap layaknya orang normal, hanya saja sering kehilangan fokus ketika sedang mengobrol. Meski kerap kali ketika halusinasinya kambuh, ia akan melakukan hal-hal tak wajar karena adanya bisikan-bisikan yang ia dengar.

Dua bulan terakhir, ia tak pernah menolak ketika minum obat. Pun tak pernah lagi bertindak kasar. Emosinya sudah cukup stabil.

Bagaimana mungkin bisa dengan egois kutinggalkan lelaki sebaik dia. Semua yang terjadi bukan salahnya, bukan juga ujian untuk keluarga. Mungkin, inilah cara Tuhan menyeimbangkan timbangan amal bagiku yang pernah terjerumus dalam kubangan dosa di masa lalu.

"Mas, mas!" panggilku.

"Hmm?" jawabnya masih dengan selang air di tangan.

"Kok kayak bau gosong, ya?"

"Oh, aku lupa! Tadi manasin sayur lodeh!"

Dengan kecepatan cahaya, aku berlari ke dapur.

Panci kesayangan, salah satu kitchen set hadiah pernikahan dari Nenek sudah tak bisa terselamatkan.

"Maaf ya, Rin. Aku lupa." Mas Ichsan menyusul di belakangku.

"Iya gak papa, untung cepet kecium baunya." ujarku lembut. Takut ia menyesal dan terbawa perasaan. Sejak sakit, dia memang sangat sensitif.

"Mahal, nggak? Nanti kuganti." tanyanya polos seperti seorang bocah yang tak sengaja memecahkan balon kawannya.

"Nggak nggak usah! Aku masi punya lainnya, kok," jawabku sambil tersenyum mengelus pipi pucatnya.

"Tapi ... aku ..."

"Kenapa?"

"Aku belum punya uang. Nanti nunggu sayurku tumbuh, ya. Terus aku jual di pasar."

Tawaku pecah seketika, akan tetapi saat melihat ada kesungguhan di matanya, hati ini merasa trenyuh. Kudekap erat tubuh itu dan menyembunyikan mata yang sudah berkabut di lengannya yang kokoh. Lengan yang dulu menjadi satu-satunya tempatku bersandar. Lengan yang merengkuh dengan penuh cinta, tanpa penghakiman. Lengan yang menjaga, membela dan padanya kegantungkan masa depan.

Mas, andai kamu ingat. Isi rekeningmu masih lebih dari cukup untuk membeli rumah ini beserta segala isinya.

Selama ia sakit, memang hanya aku yang bekerja. Namun untuk keperluan rumah tangga, tak pernah menggunakan gajiku. Semua kuambil dari hasil keuntungan toko Mas Ichsan, sebagai nafkahnya atasku. Bukan karena pelit, itulah caraku menjaga harga dirinya. Harga diri seorang laki-laki adalah bekerja. Bukankah dulu ia telah bekerja keras merintis usahanya.

~ndaa~

Usai makan malam, seperti biasa Mas Ichsan membantu membereskan meja makan.

"Biar aku yang nyuci, Rin!"

"Aku aja, Mas."

"Kamu capek." Ia mengambil alih wastafel, membuat posisiku tergeser.

Aku duduk di meja makan mengamatinya. Dulu, kalau sedang mencuci piring, ada saja tingkah jahilnya. Dua tangannya melingkar di pinggang, memeluk dari belakang. Lalu memberi beberapa kecupan di tengkuk yang selalu berhasil membuat bulu kuduk meremang. Kalau sudah begitu, mustahil acara mencuci piring bisa kulakukan dengan benar.

Aku tertawa lirih, menertawakan diri sendiri. Jablay, lu, Rin!

"Rin! Dah selesai. Kok bengong di situ?"

"Eh ... ngantuk aku, Mas," jawabku. Memang nyatanya  aku sudah mengantuk. Padahal masih jam setengah delapan.

"Yodah, tidur sana!" perintahnya, "Aku mo nonton TV."

Dia duduk berselonjor pada karpet bulu di depan TV. Kurebahkan kepala di pahanya. Biasanya aku segera masuk kamar, entah beneran tidur, menulis atau sekadar berselancar di dunia maya. Kali ini aku masih ingin bersamanya.

"Katanya mau tidur?"

"Tidur sini aja deh."

"Di sini dingin."

"Pelukin biar anget." Tangan kanannya terulur mendekapku.

"Kusuk-kusuk!" pintaku manja.

Tangan kirinya mengelus kepala, kadang ibu jarinya bermain di antara kedua alisku. Membuat kesadaran sudah timbul tenggelam. Tak lama kemudian, hilang total.

Pelan-pelan kubuka mata tanpa merubah posisi saat kurasakan ada sensasi aneh di balik baju. Tangan hangat itu bermain di sana, kupejamkan mata, pura-pura masih tertidur.

Menit-menit kemudian, tak dapat lagi kutahan degup di dada. Napas tak lagi beraturan saat tangan itu begeser beberapa puluh senti ke bawah. Entah siapa yang memulai, tak lagi ada jarak diantara kami berdua. Air mata mengalir tak terbendung menciptakan isak bercampur desah tertahan. Kuseka peluhnya dengan tangan bergetar menahan sesuatu yang tak lagi dapat kubendung.

Ada sesak di dada, tapi bukan karena sedih. Aku tak lagi dapat menerjemahkan apa yang terasa. Mungkin ini haru yang bercampur bahagia.

Kami berdua saling memunggungi dengan kondisi masih polos. Tiba-tiba saja rasa malu mendera. Entah sudah semerah apa rona di wajah.

Aku bangkit, berjalan cepat ke kamar. Mungkin, mandi bisa menormalkan kembali otak yang sepertinya tak lagi berfungsi. Dinginnya air tak lagi terasa, kalah oleh kehangatan yang meruap di dada. Dua tahun lebih memeluk sepi sendiri, dan tanpa terduga, malam ini ia mengobatinya.

Lega dan bahagia.

Astaga ...! Handukku ada di jemuran belakang. Satu handuk baru kucuci, dan satunya lagi sengaja kuanginkan sehabis mandi wajib sore tadi.

Dengan berjingkat dan tanpa pakaian, hendak kuambil handuk di lemari. Jarak kamar mandi dan lemari tak lebih dari dua meter.

"Rin?"

Ya ampuuun!

Aku berbalik ke kamar mandi. Dari balik pintu, kulongokkan kepala.

"Aku mau ambil handuk, Mas!" seruku. Bisa jadi sudah ada semburat merah di pipi.

"Ini aku bawa handukmu yang dibelakang," ujarnya sambil mengulurkan handuk.

Secepatnya kupakai.

Kukira dia masih di depan TV. Lebih tiga tahun menjadi istrinya, tapi tetap saja canggung jika tampil polos di depannya. Mungkin karena sudah lebih dua tahun ini tak pernah melakukannya.

Aku keluar berbalut handuk, mengambil satu lagi di lemari untuk mengeringkan rambut.

"Cepetan pakai baju, tar masuk angin!"

"Bentar," jawabku. Dia mengambil handuk di tangan, lalu dengan lembut mengeringkan rambutku yang basah. Persis seperti yang sering ia lakukan dulu, setiap kali kami bersama.

Sekilas kulirik, rambutnya juga basah. Sepertinya sudah mandi, memang jarang sekali dia mandi di sini. Dia tak terlalu suka kamar mandi sempit tanpa bak mandi. Katanya kurang leluasa.

"Kering dah! sana pakai baju!" perintahnya

 

"Ambiliiiin," pintaku manja.

"Tanganmu kenapa?"

Ha ha ha gagal sudah momen bermanja. Mas Ichsan sudah kumat lagi olengnya.

ASMARADHANA

Berpuluh purnama tereguk hampa

Atma membatu hilang gelora

Bunga mekar tanpa kumbang

Tetes hujan menguap sebelum rintik menghujam

Deru mengering terkikis prahara

Frigid ku dibuatnya

Tempias rindu setia menunggu

Kapan kau jejak madu asmara

Padamu kutuntas debar jiwa

Terpendam asa bergolak manja

Pada kuncup-kuncup mawar di taman titip bahagia

Haru mendera

Padamu belahan jiwa

Panjat doaku sepanjang masa

____________________

Terima kasih sudah membaca ;)

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DIARY SKIZO   Pulang (ending)

    45. PulangPULANG"Kamu kurusan, Nduk," ujar Ibu saat menungguiku bersiap-siap.Aku hanya tersenyum ke arahnya. Memang benar, beberapa bulan terakhir, aku tak selera makan. Bagaimana mungkin aku bisa menikmati makanan, sementara seluruh pikiran hanya tertuju pada Mas Ichsan."Jaga kesehatan, Nduk. Setelah ini, kamu harus dua kali lebih kuat. Karena yang akan kamu jaga bukan cuma Nohan.""Nggih, Bu. Rinda dah nyiapin semuanya," jawabku untuk membesarkan hati Ibu. Padahal kenyataannya, masih ada keraguan menyelimuti hati.Bagaimana jika nanti Mas Ichsan kambuh dan berulah?Bagaimana perasaan Nohan jika tahu kondisi ayahnya yang sebenarnya?Bagaimana bila nanti ... ah, biarlah apa kata nanti. Terpenting, aku sudah berusaha.Sebenaranya hal itulah yang selama ini berkecamuk di dalam pikiran dan membuat hidupku tidak tenang.Jujur, kembalinya Mas Ichsan tak hanya membawa kebahagiaan bagiku, ada suatu perasaan lain yang

  • DIARY SKIZO   Jalan Hidup

    Tak biasanya wifi portabel milikku ini bermasalah. Aku segera membawa laptop menuju balkon, lalu menggantinya dengan jaringan internet hotel dan kembali berselancar di akun youtube milik Arbian Herdi.Gerak jemariku terhenti tatkala terpampang sebuah video dengan gambar pemuda yang sedang mencoba berinteraksi dengan seorang ODGJ di suatu emperan toko.Dadaku berdesir melihatnya. Segera menekan tombol play dan kuperhatikan dengan seksama. Dari tanggal yang tertera, video tersebut diunggah beberapa hari yang lalu.Menit-menit berlalu tanpa terasa. Jiwaku seolah melayang di suatu tempat antahberantah, rasanya itu semua tak mungkin. Aku ... masih belum percaya. Lebih tepatnya aku menolak percaya terhadap apa yang baru saja kusaksikan.Video milik seorang aktivis tersebut sukses membuat hatiku jatuh sejatuh-jatuhnya. Bahkan aku tak bisa lagi menerjemahkan apa yang kini terasa.Antara sadar atau tidak. Antara mimpi atau nyata. Antara ilusi atau fakta. Ak

  • DIARY SKIZO   Pernikahan

    Aku berdiri seraya merapikan kebaya yang terasa cukup sempit di tubuh ini. Berat badanku masih bertahan di angka empat puluh tiga, tak pernah berubah sejak masa gadis. Namun bentuk tubuh gadis-meskipun bukan perawan-tentu akan berbeda dengan seseorang yang sudah pernah melahirkan, apalagi setelah usia kepala tiga. Perubahan ukuran lingkar lengan atas dan bagian dada membuat kebaya terasa agak sesak.Berjalan pelan menuju pelaminan putih berhias bunga warna senada dengan dedaunan hijau menjuntai indah. Sederhana, namun nampak elegan. Lalu mataku tertuju pada sepasang merpati putih yang terkurung di dalam sangkar keemasan. Setelah acara usai nanti, pengantin akan melepaskan merpati tersebut sebagai simbol bahwa mereka sudah siap menempuh hidup yang baru.Ah, kenapa hal ini malah mengingatkan pada prosesi dalam pernikahanku dengan Mas Ichsan dahulu.Di depan sana, seorang laki-laki berdiri tegap dengan senyum santunnya. Wajah itu semakin memesona dalam balutan baju

  • DIARY SKIZO   Dilema

    Bulan ketiga di ibukota, Nohan sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan baru kami, begitupun aku. Mak Nini dan Pak Tikno turut menemaniku ke kota ini. Setidaknya, sampai aku memiliki pendamping lagi, begitulah perjanjian tak tertulisku dengan Ayah sebelum beliau mengizinkanku pindah.Sebulan terakhir, aku menjalani aktivitas di tempat kerja yang baru. Menjadi staf pengajar pada sekolah tinggi manajemen industri di kota ini. Memilih mengikuti jejak Ayah sebagai seorang pendidik, berharap dengan pekerjaan yang tak terlalu menyita waktu ini akan ada lebih banyak waktu untuk membersamai tumbuh kembang Nohan dan mempelajari pola asuh terbaik untuknya.Kembali memulai karir dari nol, kembali memulai hidup yang baru setelah sebelumnya berusaha membebaskan hati dan pikiran dari kenangan masa lalu. Bukan untuk melupakan, melainkan untuk merelakan dan menerima setiap takdir yang sudah digariskan.Melupakan Mas Ichsan adalah salah satu hal yang mustahil kulakukan. Bagaiman

  • DIARY SKIZO   Hadirnya Lelaki Lain

    Setelah beberapa menit memindai dari atas ke bawah, kembali lagi menelisik wajah yang rasanya tak terlalu asing bagiku. Andai cambang lebat tak ada di sana dan menutupi ... lesung pipi itu.Astagaaa! Ternyata benar-benar dia."Bukannya kamu masih di pulau seberang?" tanyaku pada lelaki tersebut."Iya, ini iseng aja mampir ke mari.""Berenang?""Naik sampan."Ayah turut tertawa menanggapi candaan kami. Sejak dulu dia memang sering berkelakar dengan menyebut Australia sebagai pulau seberang, karena memang letaknya hanya terpisah samudera dengan bagian timur Pulau Jawa.Ia lantas duduk kembali berhadapan dengan Ayah, sementara aku memilih tempat di samping Ayah sehingga posisi kami berseberangan.Mata berbingkai bulu lentik tersebut menatap lekat-lekat ke arahku, memindai penampilan seperti yang tadi kulakukan padanya. Sementara aku, setengah menunduk, namun ekor mata sipit milikku tentu masih bisa meliriknya dengan leluasa.

  • DIARY SKIZO   Dia Pasti Kembali

    Hujan deras yang mengguyur kota Banyuwangi pagi itu seakan menambah pilu yang menguasai seluruh sendi kehidupanku. Terdengar tangisan Nohan timbul tenggelam. Ingin sekali membawanya dalam gendongan dan memberikannya ASI, namun tubuh sialan ini berkhianat padaku. Bahkan untuk sekadar membuka mata saja aku tak mampu.Rumah ini terasa sedikit gaduh, diikuti suara-suara orang mengaji beriring isak tangis beberapa perempuan. Cahaya di pelupuk mata seakan mengecil, redup, semakin buram, lalu ... segalanya tertutup kegelapan.***Perlahan membuka mata, memindai setiap sudut ruangan bernuansa ungu muda dengan aneka rupa boneka tertata rapi di salah satu sudutnya. Sepertinya tidurku terlalu lama sehingga tubuh ini terasa begitu lemah.Menoleh ke samping dan mendapati senyuman Ibu, sementara Ayah menatap dengan netra sendu lalu bangkit dari tempat duduknya dan mengusap puncak kepalaku sesaat sebelum keluar dari ruangan."Haus, Nak?" Suara Ibu terasa begitu l

  • DIARY SKIZO   Kenang Luka

    39. Kenang LukaLaptop di hadapan menampilkan jejak tindih jemari yang tertuang dari ungkapan rindu di dalam dada. Berpuluh menit memindai rasa menjadi sebuah tulisan yang selama ini selalu berhasil mengobat resah. Menulis adalah caraku berbicara tentang segala hal yang tak mungkin terungkap sempurna di dunia nyata.KENANGOleh: Arinda PrasetyaSisa-sisa senyummu masih tercecer pada tiap sudut ruangan. Aroma tubuh, deru napas juga kelabat bayang masih memenuhi ruang pikiran.Setiap kata, tingkah laku, gaya bicara khas jiwamu yang begitu lembut, dan tiap tatapan mesra dari netra teduhmu itu, menjadi candu yang lagi dan lagi selalu kurindu.Kunikmati masa-masa sakit saat kehilanganmu. Kunikmati haru biru tangis menanti kepulanganmu, berharap kenyataan hanyalah mimpi buruk yang akan berakhir ketika azan subuh. Kunikmati tiap jengkal harapan semu. Kunikmati perih sepi yang menyusup pada setiap inchi pori-pori.Merindumu yang tak lagi terjan

  • DIARY SKIZO   Aku Cuma Cinta Kamu

    38. Aku Cuma Cinta KamuDering panggilan pada handphone Mas Ichsan mengagetkan Nohan yang hampir saja terlelap. Bayi enam bulan tersebut menggigit sumber asinya kuat-kuat, membuatku terpekik kesakitan."Sayang ... mimik bunda jadi sakit kalau digigit. Nih jadi merah. Disayang aja, ya?" ujarku pada bayi dengan satu gigi tersebut. Dia sedang berada pada fase oral, senang menggigit apapun, terlebih ketika sedang kaget atau marah.Bayi mungilku seolah menjawab dengan ocehannya. Sejak masih dalam kandungan, aku memang sering melatihnya berkomunikasi. Menurut penjelasan dokter, kesehatan mental dan kecerdasan bayi bisa dibentuk sejak sebelum ia lahir. Salah satu cara ialah dengan mengajaknya berkomunikasi secara rutin.Nohan memandangku sambil mengucek matanya, sepertinya ia sangat mengantuk.Samar-samar terdengar Mas Ichsan berbicara serius dengan lawan bicaranya di seberang telepon. Tentang ... Zara. Jantungku berdebar tak karuan saat mendengar nada bi

  • DIARY SKIZO   Kembali Pulang

    Perjalanan kali ini terasa begitu melegakan. Ada Mas Ichsan bersama kami. Kami sedang dalam perjalan kembali ke rumah setelah lebih dahulu mengantarkan Mama dan Papa.Masih teringat wajah sedih Mama saat melepas kami pergi. Bukan karena tak ingin berpisah dengan putranya, namunvkarena beliau khawatir dan tak tega jika aku harus mengurus seorang bayi dan juga suamiku yang sedang tak stabil. Akan tetapi, membiarkannya tinggal jauh dariku, malah berpotensi memperburuk keadaannya. Lagi pula ... aku juga tak tega jika harus berpisah lagi dengannya.Mobil melaju membelah jalanan pantura. Mas Ichsan mengobrol dengan Pak Tikno sementara Mak Nini tertidur di sampingku. Kudekap Nohan yang tengah tertidur dengan satu tangan, lalu bermain dengan gawai di tangan kanan.Bucin Cinta Tanpa PamrihRaung-raung memuj

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status