Share

Malam Romantis

Jam empat sore, aku tiba di rumah ketika Mas Ichsan sedang menyiram bunga di halaman. Beberapa bulan terakhir ia memang gemar berkebun. Kubelikan beberapa bibit bunga dan sayur hidroponik untuk menunjang hobinya tersebut.

"Assalamualaikuuum!"

"Waalaikum salam. Kok udah pulang? Padahal aku mau jemput." 

Aku mencium tangannya. "Iya, pulang cepat hari ini," bohongku.

Biar ia tak merasa bersalah. Padahal memang tiap hari begini, kecuali jika ada lemburan. Kulepaskan sepatu dan mengamatinya dari kursi teras. Ia masih asik dengan aktifitasnya.

Mas Ichsan bersikap layaknya orang normal, hanya saja sering kehilangan fokus ketika sedang mengobrol. Meski kerap kali ketika halusinasinya kambuh, ia akan melakukan hal-hal tak wajar karena adanya bisikan-bisikan yang ia dengar.

Dua bulan terakhir, ia tak pernah menolak ketika minum obat. Pun tak pernah lagi bertindak kasar. Emosinya sudah cukup stabil.

Bagaimana mungkin bisa dengan egois kutinggalkan lelaki sebaik dia. Semua yang terjadi bukan salahnya, bukan juga ujian untuk keluarga. Mungkin, inilah cara Tuhan menyeimbangkan timbangan amal bagiku yang pernah terjerumus dalam kubangan dosa di masa lalu.

"Mas, mas!" panggilku.

"Hmm?" jawabnya masih dengan selang air di tangan.

"Kok kayak bau gosong, ya?"

"Oh, aku lupa! Tadi manasin sayur lodeh!"

Dengan kecepatan cahaya, aku berlari ke dapur.

Panci kesayangan, salah satu kitchen set hadiah pernikahan dari Nenek sudah tak bisa terselamatkan.

"Maaf ya, Rin. Aku lupa." Mas Ichsan menyusul di belakangku.

"Iya gak papa, untung cepet kecium baunya." ujarku lembut. Takut ia menyesal dan terbawa perasaan. Sejak sakit, dia memang sangat sensitif.

"Mahal, nggak? Nanti kuganti." tanyanya polos seperti seorang bocah yang tak sengaja memecahkan balon kawannya.

"Nggak nggak usah! Aku masi punya lainnya, kok," jawabku sambil tersenyum mengelus pipi pucatnya.

"Tapi ... aku ..."

"Kenapa?"

"Aku belum punya uang. Nanti nunggu sayurku tumbuh, ya. Terus aku jual di pasar."

Tawaku pecah seketika, akan tetapi saat melihat ada kesungguhan di matanya, hati ini merasa trenyuh. Kudekap erat tubuh itu dan menyembunyikan mata yang sudah berkabut di lengannya yang kokoh. Lengan yang dulu menjadi satu-satunya tempatku bersandar. Lengan yang merengkuh dengan penuh cinta, tanpa penghakiman. Lengan yang menjaga, membela dan padanya kegantungkan masa depan.

Mas, andai kamu ingat. Isi rekeningmu masih lebih dari cukup untuk membeli rumah ini beserta segala isinya.

Selama ia sakit, memang hanya aku yang bekerja. Namun untuk keperluan rumah tangga, tak pernah menggunakan gajiku. Semua kuambil dari hasil keuntungan toko Mas Ichsan, sebagai nafkahnya atasku. Bukan karena pelit, itulah caraku menjaga harga dirinya. Harga diri seorang laki-laki adalah bekerja. Bukankah dulu ia telah bekerja keras merintis usahanya.

~ndaa~

Usai makan malam, seperti biasa Mas Ichsan membantu membereskan meja makan.

"Biar aku yang nyuci, Rin!"

"Aku aja, Mas."

"Kamu capek." Ia mengambil alih wastafel, membuat posisiku tergeser.

Aku duduk di meja makan mengamatinya. Dulu, kalau sedang mencuci piring, ada saja tingkah jahilnya. Dua tangannya melingkar di pinggang, memeluk dari belakang. Lalu memberi beberapa kecupan di tengkuk yang selalu berhasil membuat bulu kuduk meremang. Kalau sudah begitu, mustahil acara mencuci piring bisa kulakukan dengan benar.

Aku tertawa lirih, menertawakan diri sendiri. Jablay, lu, Rin!

"Rin! Dah selesai. Kok bengong di situ?"

"Eh ... ngantuk aku, Mas," jawabku. Memang nyatanya  aku sudah mengantuk. Padahal masih jam setengah delapan.

"Yodah, tidur sana!" perintahnya, "Aku mo nonton TV."

Dia duduk berselonjor pada karpet bulu di depan TV. Kurebahkan kepala di pahanya. Biasanya aku segera masuk kamar, entah beneran tidur, menulis atau sekadar berselancar di dunia maya. Kali ini aku masih ingin bersamanya.

"Katanya mau tidur?"

"Tidur sini aja deh."

"Di sini dingin."

"Pelukin biar anget." Tangan kanannya terulur mendekapku.

"Kusuk-kusuk!" pintaku manja.

Tangan kirinya mengelus kepala, kadang ibu jarinya bermain di antara kedua alisku. Membuat kesadaran sudah timbul tenggelam. Tak lama kemudian, hilang total.

Pelan-pelan kubuka mata tanpa merubah posisi saat kurasakan ada sensasi aneh di balik baju. Tangan hangat itu bermain di sana, kupejamkan mata, pura-pura masih tertidur.

Menit-menit kemudian, tak dapat lagi kutahan degup di dada. Napas tak lagi beraturan saat tangan itu begeser beberapa puluh senti ke bawah. Entah siapa yang memulai, tak lagi ada jarak diantara kami berdua. Air mata mengalir tak terbendung menciptakan isak bercampur desah tertahan. Kuseka peluhnya dengan tangan bergetar menahan sesuatu yang tak lagi dapat kubendung.

Ada sesak di dada, tapi bukan karena sedih. Aku tak lagi dapat menerjemahkan apa yang terasa. Mungkin ini haru yang bercampur bahagia.

Kami berdua saling memunggungi dengan kondisi masih polos. Tiba-tiba saja rasa malu mendera. Entah sudah semerah apa rona di wajah.

Aku bangkit, berjalan cepat ke kamar. Mungkin, mandi bisa menormalkan kembali otak yang sepertinya tak lagi berfungsi. Dinginnya air tak lagi terasa, kalah oleh kehangatan yang meruap di dada. Dua tahun lebih memeluk sepi sendiri, dan tanpa terduga, malam ini ia mengobatinya.

Lega dan bahagia.

Astaga ...! Handukku ada di jemuran belakang. Satu handuk baru kucuci, dan satunya lagi sengaja kuanginkan sehabis mandi wajib sore tadi.

Dengan berjingkat dan tanpa pakaian, hendak kuambil handuk di lemari. Jarak kamar mandi dan lemari tak lebih dari dua meter.

"Rin?"

Ya ampuuun!

Aku berbalik ke kamar mandi. Dari balik pintu, kulongokkan kepala.

"Aku mau ambil handuk, Mas!" seruku. Bisa jadi sudah ada semburat merah di pipi.

"Ini aku bawa handukmu yang dibelakang," ujarnya sambil mengulurkan handuk.

Secepatnya kupakai.

Kukira dia masih di depan TV. Lebih tiga tahun menjadi istrinya, tapi tetap saja canggung jika tampil polos di depannya. Mungkin karena sudah lebih dua tahun ini tak pernah melakukannya.

Aku keluar berbalut handuk, mengambil satu lagi di lemari untuk mengeringkan rambut.

"Cepetan pakai baju, tar masuk angin!"

"Bentar," jawabku. Dia mengambil handuk di tangan, lalu dengan lembut mengeringkan rambutku yang basah. Persis seperti yang sering ia lakukan dulu, setiap kali kami bersama.

Sekilas kulirik, rambutnya juga basah. Sepertinya sudah mandi, memang jarang sekali dia mandi di sini. Dia tak terlalu suka kamar mandi sempit tanpa bak mandi. Katanya kurang leluasa.

"Kering dah! sana pakai baju!" perintahnya

 

"Ambiliiiin," pintaku manja.

"Tanganmu kenapa?"

Ha ha ha gagal sudah momen bermanja. Mas Ichsan sudah kumat lagi olengnya.

ASMARADHANA

Berpuluh purnama tereguk hampa

Atma membatu hilang gelora

Bunga mekar tanpa kumbang

Tetes hujan menguap sebelum rintik menghujam

Deru mengering terkikis prahara

Frigid ku dibuatnya

Tempias rindu setia menunggu

Kapan kau jejak madu asmara

Padamu kutuntas debar jiwa

Terpendam asa bergolak manja

Pada kuncup-kuncup mawar di taman titip bahagia

Haru mendera

Padamu belahan jiwa

Panjat doaku sepanjang masa

____________________

Terima kasih sudah membaca ;)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status