Share

Boss Baru di Kantor

Aku melangkah pelan memasuki kantor yang hanya berupa ruko dua lantai dengan lahan parkir tak terlalu luas. Ruanganku di lantai dua. Sesekali membalas senyum beberapa anak magang dan frontliner. Lalu mempercepat langkah saat menyadari bahwa di ujung tangga sana, seorang laki-laki sedang berdiri.

Laki-laki dengan kemeja tosca itu menaiki tangga. Tak lama kemudian, aku menyusul di belakangnya.

Humff! Mungkin hanya perasaanku saja. Mana mungkin dia menatapku. Ge Er banget kamu, Rin!

Dia? Harusnya kan beliau, itu lebih sopan untuk menyebut atasan. Hi hi hi biarin ajalah, lha wong usia kami hampir sebaya.

Di lantai dua, hanya ada tiga ruangan. Ruang rapat, ruang back office yang terbagi dengan beberapa sekat dan satu ruang untuk Manager. Kutaruh tas, lalu menyalakan komputer. Ada laporan yang harus kuperiksa sebelum rapat bulanan siang nanti.

"Mbak Rinda!"

"Nggih, Pak?"

"Diutus ke ruangan Pak Afnan."

"Oh, nggih, Pak. Matur nuwun."

Pak Ali-OB berusia paruh baya barusan menghampiri- sudah belasan tahun beliau bekerja di sini.

Kuselesaikan pekerjaan secepatnya. Lalu bergegas menuju ruang manager.

Tok tok tok.

"Permisiii, Pak!"

"Masuk."

Pintu kaca itu kudorong pelan dengan memamerkan senyum sopan. "Maaf, apa Bapak memanggil saya?"

"Iya, duduk!"

Agak canggung, aku duduk di depannya. Belum pernah ia memanggilku ke ruangan seperti kali ini. Kecuali aku sendiri yang datang untuk menyerahkan laporan ataupun meminta tanda tangan.

Dia adalah staff kantor pusat yang baru beberapa bulan diperbantukan di sini untuk mengisi posisi manager cabang yang kosong. Manager sebelumnya lumpuh setelah mengalami kecelakaan.Koperasi tempatku bekerja ini memiliki cabang hampir di seluruh Pulau Jawa.

"Sudah cukup lama, kan, kerja di sini?" tanyanya memastikan.

"Empat tahun, Pak!" jawabku.

"Pekan depan ada training ..." Gawainya bergetar.

"Sebentar!" ujarnya lalu menerima panggilan tersebut.

Aku hanya mengangguk. Sementara dia membelokkan kursi, menyamping. Jarak kami hanya sekitar satu meter, dibatasi meja. Dari sini, jelas terlihat leher jenjang dengan jakun menonjol itu.

Kuhela napas perlahan untuk menghalau kegugupan. Aroma parfum yang menguar dari lelaki di depanku ini ternyata ... masih seperti dulu.

Jangan membayangkan visualisasi Afnan ini semacam oppa-oppa koreyah, lho ya. Tentu tak sesempurna itu. Kulit kuning langsat, badan tegap dengan tinggi rata-rata laki-laki Indonesia. Wajah oval dengan garis wajah menonjol. Mata tajam dengan alis hitam lebat. Sekilas, dia terlihat sombong dan arogan.

Sejak kedatangannya, ia berhasil menggeser pesona Rifky Si Popcorn berlesung pipi anak marketing. Kata rekan-rekan kantor, jakun menonjol itu seksi!

Tanpa sadar, aku memandanginya. Benar juga sih, sedikit ... seksi.

Astaga astaga astagaaa! Ya ampuuuuun Rinda! Dosa dosa dosa. Jaga mata, Rindaaa. Kamu bukan lagi ABG.

Tiga kali kujitak kepalaku sendiri. Mungkin sedang konslet sehingga perlu diservis biar kembali waras.

Selalu kuingat wejangan Ibu beberapa waktu sebelum aku menikah.

'Seorang istri, di manapun dia berada. Ada harga yang harus selalu ia jaga. Harga diri suami! Bagaimanapun dan siapapun suamimu, selama statusmu masih seorang istri, ada batas pasti bagi tingkah lakumu.'

"Rin?" Dia mengernyit heran.

"Eh ... iya Pak?" jawabku gugup.

Mampusss! Dia sudah lihat tingkah absurdku jitak-jitak kepala sendiri. Eee tunggu tunggu! Tumbenan dia panggil namaku.

"Ehmm ... soal tadi, sampai mana ya?"

"Training, Pak."

"Oh ya, minggu depan ada training leadership di kantor pusat. Saya delegasikan kamu ke sana," ujarnya santai.

"Kenapa harus saya, Pak?" tanyaku heran.

"Keberatan?" Dia balik bertanya.

"Emm ... eehh maaf, Pak. Maksud saya, saya belum cukup berpengalaman."

"Justru itu, biar kamu lebih terlatih dan berpengalaman. Mungkin bulan depan, saya sudah tidak di sini."

"Ooh begitu. Maaf, trainingnya berapa lama?"

"Tiga hari. Kemungkinan setelah training tersebut, kamu bisa dipromosikan menggantikan saya di sini."

"Apa boleh saya pertimbangkan lebih dulu, Pak?" ujarku hati-hati. Semoga Pak Afnan tak menilai langkah ini sebagai wujud ketidakprofesionalanku.

"Oke. Saya tunggu besok pagi."

Dengan perasaan bahagia sekaligus bimbang, aku keluar dari ruangan Pak Afnan. Mendapat promosi dan kemungkinan naik jabatan adalah impianku selama ini. Tapi ... untuk pergi ke luar kota selama tiga hari, bukan hal yang mudah bagiku. Bagaimana dengan suamiku? Meninggalkannya di rumah seorang diri, jelas bukan pilihan bijak. Sementara membawanya turut serta, lebih beresiko. Pasti kegiatan di sana cukup padat, aku takkan bisa bersamanya sepanjang waktu.

Ada saat-saat di mana aku meratapi nasib yang seperti tak adil untukku. Menjadi caregiver tunggal bukanlah hal yang mudah. Ada kalanya aku lelah, nyaris menyerah.

Keluargaku tak mendukung juga tak menentang perihal keputusan untuk tetap bersama Mas Ichsan. Tapi kutahu jika sebenarnya Ayah dan Ibu tak tega melihatku seperti ini. Pun keluarga Mas Ichsan juga tak pernah menuntut apapun padaku.

Kala itu, Mama pernah bilang. Jika ada saatnya, aku tak sanggup merawat Mas Ichsan, keluarga akan menerima dengan hati lapang jika aku berniat mengakhiri pernikahan kami.

Aku cukup sadar, bahwa memilih terus bersamanya. Ada banyak hal yang harus kukorbankan. Salah satunya, keinginan untuk memiliki keturunan. Bisa kubayangkan betapa terlukanya Ayah ketika putri satu-satunya terancam tak memiliki keturunan seumur hidupnya.

"Woy! Biasaan deh, ngelamun sambil kerja." Satu cubitan Mayang mendarat di lenganku.

"Ha ha ha." Aku tertawa lirih. "Lagi oleng!"

"Napa lagi? Diputusin cowok dunia maya? Atau naskah ditolak karena kebanyakan adegan plus-plus?"

"Issh! Sembarangan nih, bocah!"

Kami tergelak bersama. Mayang, gadis cantik semampai dengan rambut panjang tergerai. Usianya lima tahun di bawahku. Baru setengah tahun ia bergabung bersama kami.

"Ayo, Mbak! Pindah ruang sebelah!" ajaknya.

"Kuyyy!" seruku sambil membereskan beberapa berkas. Rapat bulanan akan segera dimulai.

Rapat bulanan, hanya dihadiri oleh manager, back office, perwakilan FL juga marketing. Bersifat tertutup. Beda lagi jika acara rapat tahunan, kami menghadirkan pengurus, seluruh staff, admin, marketing dan beberapa perwakilan anggota. Biasanya dilaksanaan bersama dengan acara family gathering. Aku selalu mengajak Mas Ichsan turut serta jika ada acara semacam itu.

Semua kursi di meja besar itu sudah penuh, hanya ada satu kursi kosong di samping Pak Afnan. Astagaaa ... cobaan apalagi ini. Bisa-bisa otakku konsletnya kumat lagi.

Waktu terasa begitu lambat. Kulirik jam di ruangan, beberapa menit menuju istirahat makan siang. Syukurlaaah.

Rapat selesai tepat ketika dua jarum jam berimpit di angka tertinggi. Aku bergegas keluar, tak betah jika harus berlama-lama mencium aroma parfum yang timbul tenggelam. Bikin konslet otakku yang sudah susah payah kunormalkan semenjak aku memutuskan menerima lamaran Mas Ichsan.

Untung saja sedang libur salat, aku punya waktu cukup panjang untuk makan siang. Kurapihkan berkas di ruangan, mengambil gawai dan dompet lalu berjalan ke depot sebelah kantor. Mungkin semangkuk Cwie Mie dan segelas teh tawar bisa menyelamatkan perut yang keroncongan.

Setelah pesanan terhidang di meja, kuambil gawai lalu memfotonya. Kukirimkan pada Mas Ichsan.

"Mau?"

Tak lama kemudian, muncul balasan. "Aku nggak suka.

"Sukanya apa?"

"Ind*mie goreng campur telur."

"Bikinan siapa?"

"Kamu."

Aku terkikik geli. Ingat waktu memasak mie telur untuknya, tapi hasilnya malah lebih mirip bubur karena terlalu banyak memasukkan air.

Kuakhiri obrolan singkat dengan mengingatkannya makan siang, lalu menyimpan HP di saku. Saat menatap ke seberang sana, malah bertemu pandang dengan seseorang yang sepertinya sedang menunggu pesanan makan siang. Laki-laki dengan aroma parfum yang sampai detik ini masih sanggup membuat oleng otakku.

Aku mengangguk dan menampilkan senyum sopan. Detik kemudian, kunikmati makan siang dengan sedikit kaku dan terburu.

_________

Next

Terima kasih sudah berkenan membaca cerita saya ;)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status