Share

DIARY SKIZO
DIARY SKIZO
Penulis: Indahyulia

ODS

"Assalamualaikum, Mas ... aku pulaaang!" seruku lantang dengan senyum terkembang. Meskipun tubuh dan pikiran teramat lelah karena pekerjaan, kuusahakan selalu menampakkan wajah ceria ketika tiba di rumah.

Jarum jam sudah menunjuk angka sepuluh ketika kulangkahkan kaki menaiki teras rumah. Pintu depan sudah tertutup, namun tak terkunci. Mungkin Mas Ichsan sedang menunggu sambil menonton TV di ruang tengah.

Di tanganku ada sekotak brownies pandan kesukaannya. Semoga dia tak marah padaku karena lembur kali ini cukup memakan waktu.

Hening tak ada suara televisi. Mas Ichsan tak ada di ruang tengah. Kucari di kamar, juga tak ada. Lalu kuperiksa kamar tamu, barangkali ia tidur di sana. Tak ada juga.

Oh ... mungkin dia di kamar mandi belakang.

Melangkahkan kaki bersama degup jantung yang mengencang. Berbagai prasangka buruk memenuhi pikiran. Kuperiksa dapur, kamar mandi, juga halaman belakang tempat menjemur pakaian, namun tak menemukannya di sana.

Aku duduk di meja makan, menarik napas panjang lalu mengembuskan perlahan.

Oke, tenang, Rinda! Tenaaang.

Ohh, ya ampuuun, aku lupa! Kamar belakang belum kuperiksa. Barangkali Mas Ichsan ada di sana. Kamar itu kufungsikan menjadi ruang kerja dan tempat menyimpan buku-buku serta barang berharga. Selalu terkunci jika aku sedang tak di rumah. Akan tetapi, bisa saja dia ada di dalam sana.

Cepat-cepat menuju kamar tersebut dan memutar handlenya. Pintu cokelat muda terbuka pelan-pelan, tak terkunci. Itu artinya suamiku tahu tempat persembunyian kunci ruangan ini.

Tampak punggung lelaki kesayanganku duduk di lantai, ia menunduk, entah sedang sibuk melakukan apa.

Alhamdulillah ya Allah ... ternyata kali ini ketakutanku tak terbukti, lega rasanya. Sempat berpikir kalau Mas Ichsan sudah pergi dari rumah, seperti yang pernah ia lakukan beberapa bulan yang lalu. Tak lama setelah kami menjemputnya dari rumah sakit jiwa.

"Mas ...." Kusentuh bahunya.

Ia menoleh, lalu tersenyum menunjukkan obeng kecil dalam genggamannya.

Aku berjongkok di depannya, menggigit bibir kuat-kuat sambil memegang dada. Jangan tanya bagaimana detak jantungku saat ini, mengentak tak terarah karena menahan amarah.

Astagfirullahhalladzim ... astagfirullahalladzim, ucapku tanpa suara. Berusaha menetralkan amarah yang berkecamuk di dalam dada. Dua tetes air bening lolos dari ujung mata

Sejenak, menghela napas dan mengembuskannya perlahan. Mengumpulkan segenap sabar dan kesadaran. Jangan sampai amarah menjadikanku hilang kendali.

"Laptopnya kenapa, Mas?" tanyaku perlahan sambil tersenyum. Sekuat tenaga menyembunyikan amarah.

"Rusak ini, Rin. Makanya aku benerin!" jawabnya santai.

"Ohh ... siapa yang bilang kalau ini rusak?" tanyaku heran.

"Ada yang bilang sama aku ... lho, bukan kamu ya, yang bilang?" ujarnya dengan tatapan polos.

Hmm ... aku tahu maksudnya, pasti itu hanyalah bagian dari halusinasinya.

"Ohh, yaudah, dilanjut besok aja benerin laptopnya, sekarang udah malem. Ayo maem kue trus istirahat, aku beli brownies pandan buat Mas," bujukku seraya menepikan laptop yang sudah tak jelas lagi bagaimana bentuknya, lalu meraih tangannya, membantunya berdiri dan membimbingnya ke luar kamar.

~ndaaa~

Sebagai seorang karyawan di sebuah koperasi simpan pinjam, ada kewajiban lembur setiap akhir bulan untuk memeriksa laporan bulanan. Lelah dan letih berkumpul menjadi satu. Sempat ada sedikit masalah di kantor yang membuat otak bekerja ekstra. Apalagi sesampainya di rumah, laptopku sudah tak karuan bagaimana bentuknya. Untung saja beberapa naskah puisi sudah kuamankan dalam draft email.

Sejak Mas Ichsan sakit, jujur kuakui bahwa hidup ini begitu sepi. Setiap malam, yang kulakukan adalah belajar menulis dan menyibukkan diri dengan beberapa kelas online. Setiap kali Mas Ichsan berulah, ingin sekali memarahinya, tapi itu jelas tak mungkin. Suamiku bukan orang biasa, dia ... luar biasa.

Sebelum kesehatan mentalnya terganggu, suamiku adalah seorang teknisi komputer freelance yang memiliki sebuah outlet dengan tiga karyawan. Ia lelaki yang baik dan bertanggung jawab, juga sangat menyayangiku. Kala itu hidup kami sangat bahagia, meskipun harapan kami akan hadirnya buah hati belum juga terkabul.

Mas Ichsan sempat menyarankanku untuk berhenti bekerja, akan tetapi hati ini masih belum berani mengambil keputusan. Salah satu alasannya adalah takut menyesal karena aku tipe perempuan yang tidak betah jika hanya berdiam diri saja di rumah.

Pada tahun kedua pernikahan, kami sepakat untuk menjalani program hamil. Serangkaian pemeriksaan kami lalui, hingga dokter menyimpulkan bahwa suamiku mengalami Azoospermia Obstruktif, yaitu kondisi di mana sel sperma tidak ditemukan dalam cairan semen yang dihasilkan oleh seorang pria karena adanya infeksi tertentu.

Beberapa bulan setelah pemeriksaan itu, Mas Ichsan mulai bersikap aneh. Dia yang biasanya rajin, mendadak menjadi pemalas. Sering tidur di pagi hari dan akan sangat marah ketika kubangunkan untuk pergi bekerja. Emosinya tak stabil. Beberapakali kutanyakan perihal kondisi suamiku itu kepada salah seorang saudara yang berprofesi sebagai psikolog. Menurutnya, kemungkinan suamiku mengalami depresi karena kondisi kesehatan reproduksinya yang tak sesuai harapan dan dia menyarankan agar kami melakukan pemeriksaan lanjutan.

Ya Tuhan ... kalau tahu akan begini jadinya, aku pasti takkan mengajaknya untuk mengikuti program kehamilan.

Beberapa bulan berlalu, kondisi Mas Ichsan semakin parah. Berbagai pengobatan dilakukan, termasuk pengobatan medis dan non medis seperti terapi pijat dan ruqyah. Jalur apa pun akan kami tempuh, asalkan dia sembuh.

Sungguh, sangat kurindukan suamiku yang dahulu. Dia yang sorot matanya selalu penuh cinta, teduh dan menenangkan. Dia yang tak pernah menolak apa pun mauku, dengan syarat, itu baik untukku. Dia, laki-laki baik hati yang Tuhan kirimkan untuk memperbaiki carut-marut hidupku.

Setelah berdiskusi dengan keluarganya, kami sepakat membawanya ke Rumah Sakit Jiwa. Saat itu, tak ada seorang pun yang bisa mengajaknya bicara selain aku. Sama sekali tak bisa diajak komunikasi, bahkan oleh ibunya sendiri.

Hasil diagnosa Dokter Jiwa menyebutkan bahwa suamiku menderita Skizofrenia Paranoid Disorder. Suatu gangguan jiwa yang ditandai dengan adanya halusinasi, delusi, ketakutan berlebihan, juga kehilangan semangat hidup.

Banyak kerabat yang mengatakan bahwa penyakit tersebut adalah kiriman orang, semacam santet atau guna-guna. Ada juga yang mengira bahwa itu adalah karma. Pun beberapa orang menyangka bahwa penyebabnya karena rendahnya tingkat iman sehingga diganggu setan. Itu sama sekali tidak benar. Dalam Islam, karma itu tidak ada. Sedangkan jika dibilang kurang iman, Mas Ichsan selalu rutin salat dan pengajian, bahkan sampai detik ini, ia masih rajin salat meskipun sering lupa bilangan raka'at. Skizofrenia adalah murni gangguan jiwa. Ada kelebihan neurotransmitter dopamin pada otak si penderita.

Sudah dua tahun ini Mas Ichsan menjadi ODS (Orang dengan Skizofrenia) dan aku menjadi caregiver tunggal untuknya. Itu tak mudah bagiku. Ketika kondisinya sedang tak stabil, memaksanya minum obat adalah hal yang paling menakutkan, tetapi harus kulakukan dengan berbagai macam drama yang kadang berhasil menghadiahi satu atau dua lebam di tubuh. Kadang ada rasa lelah, lelah hati, tubuh, dan pikiran. Ingin rasanya menyerah, tapi selalu kuingat pesan almarhum Nenek saat kami akan menikah. Nasihat pegangan kami, para wanita Jawa.

'Wanita kedah ririh, ruruh, rereh. Wanita harus lembut, stabil emosinya, teduh dan tenang saat menghadapi masalah.'

Wanita terhormat pantang menyerah, apalagi meninggalkan suami ketika nasib menaruhnya di bawah roda kehidupan. Tentu, aku tak sepengecut itu.

~ndaaa~

"Rin, browniesnya enak. Beli di mana?" tanyanya sambil sibuk mengunyah kue favoritnya.

Aku terhenyak dari lamunan, "Di toko kue seberang terminal. Kenapa, Mas?"

"Cat biru, ya, tokonya? Deket toko komputer? Aku pernah beli di sana," selidiknya memastikan.

"Iya bener."

Tentu saja dia pernah ke sana, dulu hampir setiap hari dia membelikannya untukku.

"Ohh ... pantes enak."

Aku mengangguk dengan senyum tertahan.

"Eh Rin! Aku punya temen kerja di toko komputer sana," ujarnya semringah.

"Oh ya? siapa?" tanyaku antusias.

"Rudi ... Andi ... sama sapa dah aku lupa," jawabnya.

Aku tersenyum, menatap, lalu menggenggam tangannya. Mungkin sudah saatnya untuk pelan - pelan menceritakan tentang kehidupan kami sebelum ia sakit. "Mas ... dengerin!" ujarku.

"Hmm?" Dia berhenti mengunyah, sementara masih ada brownies di dalam mulutnya. Lucu sekali.

"Mas ... toko itu punya kamu. Rudi sama Andi itu bukan hanya teman kamu, tapi mereka karyawanmu," jelasku.

"Toko? toko kue?" tanyanya polos.

Aku tertawa geli. Ya Tuhaaan, ingin rasanya kucubit bibir itu.

"Bukaaan, toko komputer itu lho! Di sana ada Rudi, Andi sama Mbak Firo. Mereka itu kerja, kerja bareng kamu," terangku menjelaskan.

"Ohh ... yaudah! Kasihkan ke Andi aja kalo gitu. Kasihan, dia anaknya ada dua, masih kecil-kecil," ucapnya santai.

"Apanya yang dikasihkan?" Aku mengernyit heran.

"Tokonya, katanya punyaku?" jawabnya acuh.

Aku tertawa kecil, lalu mencium pipi putih pucat itu. Ya sudahlah, sepertinya dia belum siap untuk kembali ke kehidupan nyata.

Next

Indahyuli@ ;)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status