Home / Romansa / DIARY SKIZO / Suami Luar Biasa

Share

Suami Luar Biasa

Author: Indahyulia
last update Huling Na-update: 2021-06-16 15:31:44

Pernikahan adalah proses belajar seumur hidup. Menerima apapun kondisi pasangan. Susah senang, salah benar, bangga maupun kecewa.

-------------

Aroma masakan menguar menggelitik indera. Jam setengah enam pagi. Aku bangkit dari ranjang, membersihkan diri, lalu segera ke dapur untuk memastikan.

Tampak punggung lelaki kesayangan dengan kaus biru muda favoritnya. Rambut cokelat gelap itu terlihat masih basah.

Kulit putih dengan mata tajam dan alis tebal menghias tubuh menjulang tinggi. Ya ... meskipun terlihat sedikit kurus menurutku. Dengan penampilan seperti ini, siapa yang akan mengira kalau dia sedang sakit dan bukan penyakit biasa.

"Mas, masak?"

"Iya, goreng nasi pakai telur mata kuda," jawabnya sambil mengaduk nasi yang warnanya agak kecoklatan.

Tumben dia masak nasi goreng pakai kecap, biasanya resep jawa berbumbu bawang merah, terasi bakar, garam dan penyedap.

"Pakai kecap?" tanyaku kepo.

"Bumbunya gosong, apinya kebesaran."

"Oohh." Aku tertawa lirih, teringat dulu saat pertama kali memasak untuknya.

Telur mata sapi yg kuning telurnya melebar karena kesalahan waktu memecah. Dia bilang memang lebih enak yang bentuknya seperti itu, namanya telur mata kuda, karena matanya lebih besar. Rasanya lebih gurih. Padahal kutahu kalau dia hanya sedang menghargai usaha wanitanya ini.

"Sana mandi dulu, trus sarapan!"

"Nggak ah, mandi habis sarapan aja.

"Kemprus!" ejeknya dalam bahasa jawa yang artinya jorok.

"Biarin, uda gosok gigi, kok," sangkalku sambil menjulurkan lidah.

Aku bersandar di kulkas, mengamatinya membuat telur mata kuda.

"Mas kok masak sendiri, sih? Kenapa gak bangunin aku?" tanyaku.

"Kasian, kamu capek kan kerja terus. Disuruh berenti juga gak mau! Kan harusnya aku yang kerja, kamu diem aja di rumah! Nyantai ..."

Aku mendekatinya, berjinjit, lalu ... cuuup! Harus segera dibungkam sebelum bibir itu melantur macam-macam.

Mas Ichsan memandang tajam, lalu tersenyum. Sedang aku, dengan santai menarik kursi dan menyelipkan tubuhku di sana. Pura-pura tak melakukan apa-apa.

Kalau mengomel seperti itu, artinya Mas Ichsan sedang dalam kondisi normal. Ingat tentang tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Kalau begitu, bisa-bisa dia melarangku berangkat kerja hari ini.

Kadang, aku malu ketika harus bertindak agresif padanya. Memeluk atau menciumnya lebih dulu. Tapi jujur, di suatu waktu, aku memang merindukan kemesraan kami dahulu.

Lembur tadi malam ditambah kejadian di rumah yang cukup menguras emosi, membuat tubuh terasa letih. Kebetulan sedang libur salat, meringkuk di dalam selimut sambil memeluk guling adalah  cara paling ampuh untuk mengembalikan semangat di pagi ini. Dan hasilnya, istri pemalas ini sukses bangun kesiangan.

"Hmmm enak nih baunya, aku jadi laper!" pekikku saat sepiring nasi goreng dengan telur mata kuda di atasnya terhidang di meja.

"Lho, kok cuma sepiring? Punya Mas, mana?"

"Aku kenyang, dah makan brownies tadi."

Astagaaa! Pagi tadi aku lupa mengecek sisa nasi.

Biarlah, nanti kupesankan sarapan untuknya. Mengajaknya makan sepiring berdua, jelas akan ditolak. Yang ada malah dikiranya aku tak suka masakannya.

~ndaaa~

Usai bersiap kerja, kutemui Mas Ichsan di ruang TV untuk berpamitan.

"Dah mau berangkat?"

"Iya." Tangan kanan terulur hendak bersalaman.

"Aku anter!" ujarnya lalu bergegas mengambil kunci mobil di kamar.

Aku masih kaget, entah mimpi apa semalam, sehingga suamiku berinisiatif mengantarkan. Sedangkan beberapa bulan ini, aku lah yang selalu menyetir untuknya. Semenjak ia mengalami kecelakaan karena hilang fokus ketika mengemudi.

"Ayo! Selak (keburu) telat!" sergahnya membuyarkan lamunan.

"Eh ... ohh, emmm pake motor aja, Mas!" Aku menimpali.

"Kenapa?"

"Biar segeeer, sejuk banget udara pagi ini!"

Mas Ichsan berbalik ,mengambil kunci motor.

Kutatap punggung itu, dua titik bening lolos dari ujung mata. Antara haru juga bahagia. Teringat semasa dia masih baik-baik saja. Mengantar bekerja setiap hari, dan mengajak jalan-jalan atau berlibur di akhir pekan.

Motor melaju pelan membelah jalanan yang masih agak sepi. Aku bersyukur hidup di kota kecil seperti ini, jarang macet dan suasana pun cukup asri.

Dilingkarkannya lengan kanananku pada pinggangnya, menggenggam jemariku sejenak lalu melirik lewat kaca spion. Sungguh, debar-debar aneh itu kembali hadir di dalam dada.

"Kayak orang pacaran, kita, ya?" ujarnya tiba-tiba.

"Kan emang pacaran?" Kujawab sekenanya, sementara debar di dada belum terarah.

"Lho, bukannya dah nikah?" tanyanya polos.

Aku tertawa sampai bahu terguncang. Sepertinya kesadarannya mulai goyah.

"Iya laaah, kalo cuma pacaran mana boleh tinggal serumah!" jelasku sambil mencubit perutnya. Moment olengnya memang selalu berhasil membuat gemas.

Setitik bahagia menelusup di hati bersama secercah harapan akan datangnya keajaiban. Semoga suatu saat nanti kehidupan kami kembali normal, meskipun aku paham, bahwa kemungkinan seumur hidupnya akan bergantung kepada obat.

Mungkin sebagian orang mengira bahwa hidupku nyaris sempurna. Karir cukup bagus, keluarga harmonis dan kondisi ekonomi cukup baik. Nyatanya, tiap sepertiga malam harus bersimpuh memeras air mata, bukan hanya memohon kesembuhan, terlebih keteguhan dan kelapangan dalam menerima apa pun ujian, juga meminta stok kesabaran yang takkan pernah ada habisnya untuk bisa tetap bersamanya.

Suamiku memang bukan orang biasa. Butuh cinta luar biasa untuknya yang di luar biasa.

Selalu kupegang teguh nasihat leluhur Jawa yang sering kutulis dalam narasi beberapa karya fiksiku.

'Biraten susahmu, tatagna atimu, adephana apa kang dumadhi sarana dadha kang ngeblak.'

'Perempuan diuji ketika roda kehidupan berada di titik terbawah, sedang ujian laki-laki ketika roda itu berada pada puncaknya.'

Kini ... ujianku telah tiba. Semoga saja bisa kulalui meski ini tak mudah.

"Berenti di depan sana, Mas! Aku mau beli-beli," pintaku.

Ia menepikan motor dan tetap tinggal di atasnya. Sementara aku membeli beberapa kue, lauk dan seporsi lontong sayur. Tadi sudah kusempatkan memasak nasi di rumah. Biasanya tak hanya nasi, lengkap dengan lauknya. Atau jika tak sempat, kupesankan melalui aplikasi.

Dua puluh menit kemudian, kami pun tiba.

Aku berdiri di depannya. Lelak terbaik yang pernah kutemui semasa hudupku. Kutampilkan senyum termanis, lalu mencium punggung tangan yang masih selembut dulu. Ketika menciumnya di depan penghulu dan puluhan tamu.

"Aku balik! Assalamualaikum."

"Waalaikum salam. Hati-hati, Mas! Pelan-pelan," pintaku.

"Iya."

"Itu motornya lama nggak diservis, pelan-pelan aja ya," kataku berkilah. Padahal hanya tak ingin terjadi sesuatu yang buruk padanya.

"Sekalian kuservis aja, ya?"

"Nggak! nggak usah! Sudah janjian sama bengkel deket rumah, kok!" ujarku beralasan. Padahal, takut dia membongkar motor itu seperti yang ia lakukan pada laptopku. Bisa geger dunia keuangan!

Punggung itu pun segera menjauh, lalu menghilang dari pandangan. Tak jauh di belakangnya, seorang pengendara motor berjaket hijau muda mengikuti.

Aku mminta bantuan Amir untuk mengantar Mas Ichsan pulang. Ojol langganan yang biasanya mengantar jemput ke kantor jika aku sedang malas menyetir. Tentu saja secara diam-diam. Bukan karena takut suamiku macam-macam, hanya saja ... dia sering lupa jalan.

Untung saja tadi berhasil kularang membawa mobil. Jika tidak, pasti akan lebih sulit mengawasinya, dan lagi dia sering menyetir sesuka hati jika tak ada aku yang memperingatkan.

Mas ... semoga Allah melindungimu, semoga selamat sampai rumah.

______

Terimakasih sudah berkenan membaca ;)

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • DIARY SKIZO   Pulang (ending)

    45. PulangPULANG"Kamu kurusan, Nduk," ujar Ibu saat menungguiku bersiap-siap.Aku hanya tersenyum ke arahnya. Memang benar, beberapa bulan terakhir, aku tak selera makan. Bagaimana mungkin aku bisa menikmati makanan, sementara seluruh pikiran hanya tertuju pada Mas Ichsan."Jaga kesehatan, Nduk. Setelah ini, kamu harus dua kali lebih kuat. Karena yang akan kamu jaga bukan cuma Nohan.""Nggih, Bu. Rinda dah nyiapin semuanya," jawabku untuk membesarkan hati Ibu. Padahal kenyataannya, masih ada keraguan menyelimuti hati.Bagaimana jika nanti Mas Ichsan kambuh dan berulah?Bagaimana perasaan Nohan jika tahu kondisi ayahnya yang sebenarnya?Bagaimana bila nanti ... ah, biarlah apa kata nanti. Terpenting, aku sudah berusaha.Sebenaranya hal itulah yang selama ini berkecamuk di dalam pikiran dan membuat hidupku tidak tenang.Jujur, kembalinya Mas Ichsan tak hanya membawa kebahagiaan bagiku, ada suatu perasaan lain yang

  • DIARY SKIZO   Jalan Hidup

    Tak biasanya wifi portabel milikku ini bermasalah. Aku segera membawa laptop menuju balkon, lalu menggantinya dengan jaringan internet hotel dan kembali berselancar di akun youtube milik Arbian Herdi.Gerak jemariku terhenti tatkala terpampang sebuah video dengan gambar pemuda yang sedang mencoba berinteraksi dengan seorang ODGJ di suatu emperan toko.Dadaku berdesir melihatnya. Segera menekan tombol play dan kuperhatikan dengan seksama. Dari tanggal yang tertera, video tersebut diunggah beberapa hari yang lalu.Menit-menit berlalu tanpa terasa. Jiwaku seolah melayang di suatu tempat antahberantah, rasanya itu semua tak mungkin. Aku ... masih belum percaya. Lebih tepatnya aku menolak percaya terhadap apa yang baru saja kusaksikan.Video milik seorang aktivis tersebut sukses membuat hatiku jatuh sejatuh-jatuhnya. Bahkan aku tak bisa lagi menerjemahkan apa yang kini terasa.Antara sadar atau tidak. Antara mimpi atau nyata. Antara ilusi atau fakta. Ak

  • DIARY SKIZO   Pernikahan

    Aku berdiri seraya merapikan kebaya yang terasa cukup sempit di tubuh ini. Berat badanku masih bertahan di angka empat puluh tiga, tak pernah berubah sejak masa gadis. Namun bentuk tubuh gadis-meskipun bukan perawan-tentu akan berbeda dengan seseorang yang sudah pernah melahirkan, apalagi setelah usia kepala tiga. Perubahan ukuran lingkar lengan atas dan bagian dada membuat kebaya terasa agak sesak.Berjalan pelan menuju pelaminan putih berhias bunga warna senada dengan dedaunan hijau menjuntai indah. Sederhana, namun nampak elegan. Lalu mataku tertuju pada sepasang merpati putih yang terkurung di dalam sangkar keemasan. Setelah acara usai nanti, pengantin akan melepaskan merpati tersebut sebagai simbol bahwa mereka sudah siap menempuh hidup yang baru.Ah, kenapa hal ini malah mengingatkan pada prosesi dalam pernikahanku dengan Mas Ichsan dahulu.Di depan sana, seorang laki-laki berdiri tegap dengan senyum santunnya. Wajah itu semakin memesona dalam balutan baju

  • DIARY SKIZO   Dilema

    Bulan ketiga di ibukota, Nohan sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan baru kami, begitupun aku. Mak Nini dan Pak Tikno turut menemaniku ke kota ini. Setidaknya, sampai aku memiliki pendamping lagi, begitulah perjanjian tak tertulisku dengan Ayah sebelum beliau mengizinkanku pindah.Sebulan terakhir, aku menjalani aktivitas di tempat kerja yang baru. Menjadi staf pengajar pada sekolah tinggi manajemen industri di kota ini. Memilih mengikuti jejak Ayah sebagai seorang pendidik, berharap dengan pekerjaan yang tak terlalu menyita waktu ini akan ada lebih banyak waktu untuk membersamai tumbuh kembang Nohan dan mempelajari pola asuh terbaik untuknya.Kembali memulai karir dari nol, kembali memulai hidup yang baru setelah sebelumnya berusaha membebaskan hati dan pikiran dari kenangan masa lalu. Bukan untuk melupakan, melainkan untuk merelakan dan menerima setiap takdir yang sudah digariskan.Melupakan Mas Ichsan adalah salah satu hal yang mustahil kulakukan. Bagaiman

  • DIARY SKIZO   Hadirnya Lelaki Lain

    Setelah beberapa menit memindai dari atas ke bawah, kembali lagi menelisik wajah yang rasanya tak terlalu asing bagiku. Andai cambang lebat tak ada di sana dan menutupi ... lesung pipi itu.Astagaaa! Ternyata benar-benar dia."Bukannya kamu masih di pulau seberang?" tanyaku pada lelaki tersebut."Iya, ini iseng aja mampir ke mari.""Berenang?""Naik sampan."Ayah turut tertawa menanggapi candaan kami. Sejak dulu dia memang sering berkelakar dengan menyebut Australia sebagai pulau seberang, karena memang letaknya hanya terpisah samudera dengan bagian timur Pulau Jawa.Ia lantas duduk kembali berhadapan dengan Ayah, sementara aku memilih tempat di samping Ayah sehingga posisi kami berseberangan.Mata berbingkai bulu lentik tersebut menatap lekat-lekat ke arahku, memindai penampilan seperti yang tadi kulakukan padanya. Sementara aku, setengah menunduk, namun ekor mata sipit milikku tentu masih bisa meliriknya dengan leluasa.

  • DIARY SKIZO   Dia Pasti Kembali

    Hujan deras yang mengguyur kota Banyuwangi pagi itu seakan menambah pilu yang menguasai seluruh sendi kehidupanku. Terdengar tangisan Nohan timbul tenggelam. Ingin sekali membawanya dalam gendongan dan memberikannya ASI, namun tubuh sialan ini berkhianat padaku. Bahkan untuk sekadar membuka mata saja aku tak mampu.Rumah ini terasa sedikit gaduh, diikuti suara-suara orang mengaji beriring isak tangis beberapa perempuan. Cahaya di pelupuk mata seakan mengecil, redup, semakin buram, lalu ... segalanya tertutup kegelapan.***Perlahan membuka mata, memindai setiap sudut ruangan bernuansa ungu muda dengan aneka rupa boneka tertata rapi di salah satu sudutnya. Sepertinya tidurku terlalu lama sehingga tubuh ini terasa begitu lemah.Menoleh ke samping dan mendapati senyuman Ibu, sementara Ayah menatap dengan netra sendu lalu bangkit dari tempat duduknya dan mengusap puncak kepalaku sesaat sebelum keluar dari ruangan."Haus, Nak?" Suara Ibu terasa begitu l

  • DIARY SKIZO   Kenang Luka

    39. Kenang LukaLaptop di hadapan menampilkan jejak tindih jemari yang tertuang dari ungkapan rindu di dalam dada. Berpuluh menit memindai rasa menjadi sebuah tulisan yang selama ini selalu berhasil mengobat resah. Menulis adalah caraku berbicara tentang segala hal yang tak mungkin terungkap sempurna di dunia nyata.KENANGOleh: Arinda PrasetyaSisa-sisa senyummu masih tercecer pada tiap sudut ruangan. Aroma tubuh, deru napas juga kelabat bayang masih memenuhi ruang pikiran.Setiap kata, tingkah laku, gaya bicara khas jiwamu yang begitu lembut, dan tiap tatapan mesra dari netra teduhmu itu, menjadi candu yang lagi dan lagi selalu kurindu.Kunikmati masa-masa sakit saat kehilanganmu. Kunikmati haru biru tangis menanti kepulanganmu, berharap kenyataan hanyalah mimpi buruk yang akan berakhir ketika azan subuh. Kunikmati tiap jengkal harapan semu. Kunikmati perih sepi yang menyusup pada setiap inchi pori-pori.Merindumu yang tak lagi terjan

  • DIARY SKIZO   Aku Cuma Cinta Kamu

    38. Aku Cuma Cinta KamuDering panggilan pada handphone Mas Ichsan mengagetkan Nohan yang hampir saja terlelap. Bayi enam bulan tersebut menggigit sumber asinya kuat-kuat, membuatku terpekik kesakitan."Sayang ... mimik bunda jadi sakit kalau digigit. Nih jadi merah. Disayang aja, ya?" ujarku pada bayi dengan satu gigi tersebut. Dia sedang berada pada fase oral, senang menggigit apapun, terlebih ketika sedang kaget atau marah.Bayi mungilku seolah menjawab dengan ocehannya. Sejak masih dalam kandungan, aku memang sering melatihnya berkomunikasi. Menurut penjelasan dokter, kesehatan mental dan kecerdasan bayi bisa dibentuk sejak sebelum ia lahir. Salah satu cara ialah dengan mengajaknya berkomunikasi secara rutin.Nohan memandangku sambil mengucek matanya, sepertinya ia sangat mengantuk.Samar-samar terdengar Mas Ichsan berbicara serius dengan lawan bicaranya di seberang telepon. Tentang ... Zara. Jantungku berdebar tak karuan saat mendengar nada bi

  • DIARY SKIZO   Kembali Pulang

    Perjalanan kali ini terasa begitu melegakan. Ada Mas Ichsan bersama kami. Kami sedang dalam perjalan kembali ke rumah setelah lebih dahulu mengantarkan Mama dan Papa.Masih teringat wajah sedih Mama saat melepas kami pergi. Bukan karena tak ingin berpisah dengan putranya, namunvkarena beliau khawatir dan tak tega jika aku harus mengurus seorang bayi dan juga suamiku yang sedang tak stabil. Akan tetapi, membiarkannya tinggal jauh dariku, malah berpotensi memperburuk keadaannya. Lagi pula ... aku juga tak tega jika harus berpisah lagi dengannya.Mobil melaju membelah jalanan pantura. Mas Ichsan mengobrol dengan Pak Tikno sementara Mak Nini tertidur di sampingku. Kudekap Nohan yang tengah tertidur dengan satu tangan, lalu bermain dengan gawai di tangan kanan.Bucin Cinta Tanpa PamrihRaung-raung memuj

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status