Keadaan Serena tak membaik sepanjang sore. Untuk pertama kalinya dia terbaring di kasur dengan sebab yang menggelikan baginya, telat makan. Asam lambung.Max sudah memberinya obat untuk meringankan gejalanya, tapi entah kenapa tidak banyak membantu.Pada akhirnya Serena hanya bisa meringkuk sambil memeluk botol kaca berisi air hangat yang Al ganti begitu airnya berubah dingin."Parah sekali kelihatannya," gumam Al setelah mengganti botol untuk ketiga kali."Maaf, kalau merepotkan. Desain untuk Mrs Camelio juga tertunda.""Kerjaanmu tidak ada deadline. Selesai cepat ya beneran, enggak ya tidak masalah."Alterio coba menenangkan Serena, hingga akhirnya wanita itu bisa tidur. Al menghela napas, lantas keluar dari ruang kerja.Dia memeriksa pekerjaannya sebelum denting ponsel membuatnya menoleh. Bibirnya mengulas senyum melihat pemberitahuan yang ditampilkan oleh gadgetnya."Dia sudah menemukannya rupanya. Baguslah, mau ngajak duel lagi, ayo aja. Kalau dia mau minta maaf, kayaknya impossi
Serena melenguh lirih sebelum memyentuh dahinya. Dia seketika sadar ada infus tertancap di sana. Dia mendengus, lagi-lagi dirawat.Keluhannya membuat Alterio meletakkan laptop lalu mendekat ke arah ranjang. "Sudah bangun?"Pertanyaan terdengar diikuti telapak tangan Al memyentuh dahi Serena."Aku gak sakit.""Tapi pingsan," ledek Alterio."Gak semua orang sakit pingsan.""Tapi orang pingsan pasti sakit. Kamu jelas terlihat seperti itu."Serena menyerah, dia tidak mau berdebat dengan sang suami. Sebab sudah jelas dia pasti kalah."Sebenarnya kamu kenapa? Masak ditampar Vasti saja kalah."Serena memandang Alterio yang duduk di sampingnya. Sang istri saat ini rebahan sambil memeluk lengan kekar Al.Dia tidak heran Al bisa tahu kejadian di mall. Pasti Beita yang melapor. Serena tidak tahu saja, Al dan Beita sedang perang dingin."Aku enggak tahu. Mungkin karena perutku mual. Rasanya mau muntah.""Kamu hamil?""Enggaklah. Kata Max mungkin asam lambungku naik. Tadi sudah minum obat.""Sakit
Edgar sungguh tidak mengerti dirinya. Terkadang dia sangat membenci Serena. Sebabnya apa, dia sendiri tidak paham. Apa hanya karena dia perempuan, lantas Edgar tidak menyukainya.Tapi di sisi lain, saat dia berhadapan langsung dengan putrinya. Ada getar dalam hatinya. Sungguh, di relung hatinya yang paling dalam, dia ingin memeluk Serena."Kehidupannya tidak baik. Bahkan sejak lahir. Keluarga Hernandez menyiksanya dan ibunya."Laporan asistennya membuat Edgar mengepalkan tangan. Pada awalnya Edgar ingin membalas dendam pada keluarga Hernandez. Namum sang asisten mengatakan kalau keluarga itu sudah dibuat hancur berantakan oleh Serena sendiri."Tentu saja, dia adalah nyonya Inzaghi sekarang. Alterio jelas tidak akan membiarkan orang yang telah mengusik istrinya hidup tenang."Sekarang fakta kalau Serena adalah orang yang paling diprioritaskan oleh Alterio, membuat Edgar berpikir. Kalau dia tidak mengakui Serena, tidak akan ada masalah.Alterio bisa menjamin kehidupan Serena, lebih baik
Serena melihat rombongan Edgar memasuki pusat perbelanjaan. Pria itu tak sendiri, di sampingnya ada Vasti yang bergelayut manja di lengannya. Perempuan itu melihat Serena.Vasti cukup terkejut, meski detik setelahnya ekspresi Vasti berubah jadi cibiran. Mereka lewat tanpa mempedulikan Serena. Seolah gadis itu makhluk tak kasat mata.Edgar sendiri hanya melirik Serena sekilas. Istri Alterio? Pantas saja jika Beita sendiri yang mengawal. Sementara Ben, pria itu jelas menampilkan ekspresi sangat tertarik begitu menyadari kehadiran Serena.Perempuan itu jelas sangat menggoda di mata Ben. Tidak masalah Alterio telah menikmati. Justru Ben makin tertarik pada perempuan yang mampu menakhlukkan seorang Alterio. Seperti apa rasanya."Bapakmu, Ren," bisik Ravi.Ucapan Ravi membuat Riva kaget. "Dia ayahnya Kak Rena?""Biologis iya," balas Ravi setengah berbisik.Riva memandang rombongan Edgar yang langsung naik lift. Sikap beberapa orang sangat hormat pada rombongan Edgar."Dia tahu?" Riva makin
Tubuh Riva serasa membeku di tempatnya berdiri. Suara kakaknya. Ravi Alexander, mengudara. Sambil menggetutu, Riva le2kas berbalik. Saat itu dia mendapati Ravi berdiri tak jauh darinya.Mata sang kakak nyalang memandang Riva dan pria yang tangannya masih ada dalam genggaman sang adik.Menyadari arah pandangan Ravi, Riva langsung melepaskan genggaman tangannya pada Beita. Beita sendiri tampak tenang menghadapi tatapan tidak suka Ravi padanya."Ada apa sih, Rav?" Serena muncul tak lama setelahnya. Dia berdiri di samping Ravi."Kakak ngapain di sini?"Suara Riva membuat Serena menoleh. Barulah dia mendapati sepupunya berjalan ke arahnya. Selain itu Serena melihat seorang pria yang dari posturnya sepertinya dia kenal.Beita lagi-lagi hanya diam tanpa merespon, walau yang dia hadapi adalah istri Al."Kau yang ngapain di sini? Dia siapa?" Tunjuk Ravi tanpa ragu pada Beita."Beli ini. Dia? Aku tidak kenal. Dia tadi mengikutiku jadi mau kuusir."Riva menunjukkan paper bag dengan logo pakaian
Helaan napas terdengar bersamaan. Pelakunya saling pandang untuk kemudian terbahak. Mereka, Ravi dan Serena. Duduk saling berhadapan dengan tangan menopang dagu masing-masing.Berada di sebuah kafe, keduanya sepakat untuk keluar guna mengusir suntuk yang melanda."Kenapa?"Lagi-lagi mereka berujar berjamaah.Ravi melirik Serena, pun sebaliknya."Riva kayaknya punya pacar.""Aku ketemu bapakku."Ha? Ravi dan Serena kembali bicara barengan. Heran, ada apa dengan mereka hari ini. Kompak sekali."Serius?""Heh! Aku dulu yang tanya. Aku yang lebih tua.""Di mana-mana yang tua itu harus ngalah sama yang muda.""Aturan dari itu?"Serena mengedikkan bahu. "Aku dulu yang tanya. Pacar Riva siapa?""Urusanmu lebih penting. Lagi pula aku tidak tahu pacar Riva. Siapa bapakmu? Lakik brengsek mana yang punya nyali begitu besar untuk menelantarkanmu dan Bibi.""Kenapa? Kau ingin menghajarnya? Susah.""Heleh, kau meremehkanku? Sebutkan namanya.""Edgar Martinez."Uhuk! Ravi tersedak ludahnya sendiri.