"Kalian bersaudara. Kau dan Benjamin Cestra saudara kandung. Satu ayah, satu ibu. Sementara dengan Mateo Jefferson kalian saudara satu ayah beda ibu.""Selamat Al, akhirnya kamu tahu siapa keluargamu. Ibumu Anne Jefferson dan ayahmu sudah jelas Steve Jefferson."Alterio mematung untuk sesaat. Dia perlu beberapa detik guna mencerna semuanya. Sampai akhirnya dia kembali bersuara setelah Max mendesaknya."Max boleh minta tolong, pastikan Matilda Winter tetap hidup."Sesuai prediksi Al, Zack Alejandro langsung bereaksi begitu nama Matilda Winter ia sebut."Kau sembunyikan dia di mana?"Alterio tersenyum lebar. Tapi senyumnya kali ini justru tampak mengerikan. Seperti psikopat yang menemukan incarannya. Mata Al berkilat tajam, memancarkan binar benci yang teramat kuat."Tidak semudah itu untuk memberitahumu. Kecuali kau patuh padaku.""Apa yang kau inginkan?""Sudah kukatakan, turuti keinginan mereka.""Non sense! Tidak masuk akal. Kita yang bekerja keras untuk negeri ini ....""Dan mereka
Semua yang hadir di gedung parlemen menganga. Melihat sosok Alterio Inzaghi yang selama ini hanya didengar melalui berita, tanpa tahu wujud aslinya. Kini menampakkan diri di hadapan mereka.Seorang pria tampan dengan karisma luar biasa. Sorot mata tajam serta aura yang membuat siapa saja segan saat bertatap muka.Sangat mengejutkan ketika pria yang di kalangan intern parlemen dikenal sebagai sosok yang transparan, nyaris tak tersentuh hukum. Saking besarnya power yang dia miliki. Dan figur itu kini duduk di depan mereka. Seraya bertopang kaki sambil memandang lurus pada Zack Alejandro. Pria yang beberapa waktu lalu getol berorasi dari kursinya. Kini lelaki tersebut bungkam seribu bahasa melihat kehadiran Alterio.Tangannya sejak tadi menekan tombol rahasia di bawah meja. Namun yang Zack harapkan tak kunjung tiba."Mereka tidak akan datang. Meski kau memanggilnya ribuan kali."Fix, pasukan khusus pengawal kepresidenan telah Al lumpuhkan."Apa yang kau inginkan?" Zack akhirnya bertany
"Aku cuma kebetulan melahirkan anaknya. Statusku tidak akan lebih dari ibu untuk anaknya. Jadi jangan cemas, aku tidak akan merebut posisimu."Itu yang dikatakan Tere ketika Vasti menghadangnya saat pergi ke toilet. "Kamu pikir aku percaya?" Vasti melipat tangan di depan dada."Itu terserah padamu. Siapa diriku tidaklah penting. Aku di sini hanya karena Ivander membutuhkan ibunya."Tere berjalan melewati Vasti yang menggeram kesal. Tak berapa lama suara Ben terdengar."Vasti, kamu tahu di mana ponselku. Tadi Serena bilang titip ke kamu."Yang disebut namanya langsung mendekat. Dia serahkan ponsel Ben yang telah dicas. Tanpa ragu Ben segera menghubungi Serena."Kenapa balik?"Di ujung sana Serena mengerutkan dahi. "Lalu aku disuruh di sana sambil lihat kamu dilayani dayang-dayangmu. Sorry, bikin enek."Sudut bibir Ben tertarik, membentuk lengkung senyum yang membuat Tere dan Vasti tahu siapa sebenarnya yang disukai oleh Ben.Vasti makin emosi, sedang Tere hanya menggeleng pelan. Tahu
Mereka menunggu cukup lama, selama itu Al terus berada di samping Serena. Memeluk Arthur sementara sang istri selalu menenangkan Ivander. Meski hanya diam, Serena paham kalau Ivander ketakutan."Papamu akan baik-baik saja. Dia sudah ditangani dokter.""Tante bisa panggilkan Ibu?" Pinta Ivander ketika sudah hampir lima belas menit Ben belum juga keluar dari ruang operasi."Dia sedang ke sini." Serena menunjukkan chat dari Tere yang menyebut kalau kendaraannya terjebak macet.Ivander mengangguk sambil menerima susu kotak pemberian Felix. Pun dengan Arthur. Al sendiri sejak tadi terus terhubung dengan banyak orang. Mulai dari Max yang akan meminta rumah sakit untuk menangani Ben dengan baik.Juga Beita dan Paul terkait dirinya yang tampil di depan umum.Tugas dua pria itu tentu saja menghapus semua bukti yang merekam dirinya muncul di publik. Selain itu ada Sergie yang menghubungi kalau pelaku penembakan Ben sudah tertangkap tapi sayangnya sudah masuk perlindungan kepolisian."Aku tidak
Raut wajah Alterio sungguh tidak sedap dipandang. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, dia sibuk menghubungi semua orang yang dia kenal di jajaran pemerintahan.Terakhir sekali, dia berteriak pada pada kepala polisi di ujung sana. "Kalau orangku sampai kenapa-kenapa! Habis kau!"Walau Serena mengatakan dia dan anak-anak tidak apa-apa. Tetap saja kemarahan melingkupi Alterio. Apa yang mereka pikirkan dengan menggiring para demonstran ke komplek tempat Edgar tinggal."Ingin menjarah pejabat yang korup. Nih, aku kasih alamatnya. Tapi jangan asal serang orang."Felix sibuk dengan tab-nya, sementara Jeff fokus mengemudi."Beita dapatkan rekaman kamera pengawasnya. Kepala polisi bilang Ben adalah korban peluru nyasar. Tapi lihat ini."Rahang Al mengatup rapat. Dari rekaman jelas sekali orang itu sengaja menargetkan Ben. "Bawa dia. Harus dia orangnya bukan kambing hitam seperti kemarin.""Yang kemarin hanya dipenjara dua puluh hari. Yang benar saja. Dia tabrak warga sipil sampai meningga
"Barengan saja, Ren. Banyak demo." Ben coba menahan Serena yang nekat berkendara sendiri waktu menjemput Arthur. Padahal situasi sedang kacau. Banyak pengunjuk rasa turun ke jalanan. Menuntut presiden mereka, untuk turut memeriksa bawahannya, yang disinyalir melakukan penyimpangan sewaktu menjalankan pekerjaannya.Salah satu dan yang paling banyak dilakukan tentu saja korupsi, penggelapan dana dan sejenisnya."Enggak mau!" Tolak Serena mentah-mentah. Dia masuk ke mobil diikuti Arthur. Sementara Ben terus mengekor sambil menggandeng Ben."Serena," panggil Ben memperingatkan. Lelaki itu tahu kalau perempuan di depannya memang keras kepala.Namun Ben juga paham kalau Serena belum sepenuhnya memaafkan dirinya soal kesalahannya. Walau secara tersirat, Al dan Serena telah legowo atas kepergian bayi mereka."Aman kok. Jalur kita pulang bersih," Serena tetep kekeuh pada keputusannya."Pulang ke mana dulu. White Villa, The Palace, Palazo, Mansion Alexander?"Serena melotot, hafal sekali Ben