Serena memandang Ravi dengan tatapan bingung. Ini ada apa. Kenapa Serena tidak paham. Sementara Ravi memandang penuh makna ke arah Mona. Tampak kepuasan di mata pria itu. Hal ini sungguh aneh dalam penilaian Serena."Ini sebenarnya ada apa sih?" Serena akhirnya bertanya seraya melihat bergantian antara Ravi dan Mona."Enggak ada apa-apa. Biasa kan pengantin baru," Ravi mengerling penuh goda ke arah Mona.Serena sesaat kaget mendengar ucapan Ravi. Apa tadi katanya? Pengantin baru, kapan mereka menikah."Saya gak pernah sudi nikah sama Bapak!" Raung Mona tidak terima."Loh kemarin manut aja waktu disuruh tanda tangan. Sekarang terlambat kalau kamu mau protes," balas Ravi santai.Mona berurai air mata. Dia tidak pernah menyangka kalau acara yang kemarin dia kira bohongan ternyata betulan."Ibu, tolong," Mona menggoyangkan lengan Serena minta diselamatkan."Tunggu dulu! Ini sebenarnya ada apa? Jelaskan!"Ravi memandang ke arah Mona yang ketakutan. Apa dia terlalu bersemangat tadi. Atau Mo
Sergie lekas berlari menyusul seorang perempuan yang menggendong Aria. "Tuan muda, hubungi tuan Paul. Juga beritahu mama Nona Aria kalau dia datang nanti."Pinta Sergie pada Arthur melalui alat komunikasinya. Arthur patuh, dia langsung mencari kontak Paul dan melaporkan apa yang terjadi.Tak berselang lama Lucia datang dengan wajah cemas. Dia terlambat karena macet. Astaga, hari ini dia sial sekali."Tante Lucia, ikut aku." Arthur langsung menggandeng Lucia yang kebingungan."Mau ke mana tuan muda. Aria mana?""Ini mau ke tempat Aria, tapi dia pergi sama om Sergie. Makan es krim," sahut Arthur enteng.Lucia terpaksa mengikuti Arthur. Setidaknya dia tahu kalau Aria bersama Sergie berarti aman.Sementara itu, Sergie terus berlari mengejar Aria dan entah siapa. Sampai dia berhasil menyusul keduanya. Tapi langkahnya terhenti ketika si perempuan menodongkan pisau ke leher Aria."Kamu maju, dia mati!" Ancam wanita tadi."Anda akan dihabisi jika tuan Paul tahu Anda menyentuh putrinya.""Mana
"Pelan-pelan, Ren. Kelamaan tidur jatuhnya malah pusing."Benar yang dikatakan Alterio. Entah berapa banyak obat bius yang orang itu berikan. Dia tertidur nyaris sepanjang sisa hari.Bahkan Arthur urung mencari ibunya ketika tahu Serena sedang tidur. Untungnya bocil itu tidak banyak tanya. Dia lantas pergi melihat Sera yang kemarin diimunisasi kemudian tinggal di sana untuk sementara. Lagi pula Felix lebih suka Eva dan Sera berada dalam jangkauannya. Dibanding membiarkan Eva tinggal di rumah atau di kediaman orang tuanya. Kejadian Serena cukup membuat semua orang waspada."Dia itu siapa sih? Dia kenal aku."Serena memegang kepalanya yang berdenyut nyeri. Rasanya dunia berputar, seperti orang kena vertigo. "Minum ini dulu." Al menyerahkan sebutir pil beserta segelas air putih. Serena langsung meminumnya tanpa banyak bertanya.Setelahnya dia kembali merebahkan diri, diikuti Alterio yang lekas memeluknya. Dalam dekapan hangat sang suami Serena merasa aman juga nyaman."Dia gak lakuin h
"Dokter bilang dia tidak apa-apa. Cuma memar di kening, sepertinya terbentur lantai atau sejenisnya."Ravi terdiam mendengar orang di ujung sana bicara. Bola matanya sesekali melirik ke arah ranjang, di mana seorang gadis berada di sana.Terlelap begitu damai, membuat Ravi sejak tadi betah memandangnya. Cantik nian wajah tadi bila matanya terpejam. Sebab kalau si pemilik mata indah tersebut bangun, ekspresi langsung berubah garang. Apalagi kalau melihat Ravi. Coba saja."Iya, aku tahu. Serena bagaimana?""....""Bagus kalau begitu."Panggilan diakhiri bersamaan dengan lenguhan lirih terdengar dari arah kasur. Ravi mendekat dengan hati-hati. Takut mengagetkan si gadis."Sudah bangun?" Pertanyaan klise yang hampir tiap pria tanyakan pada wanita saat mereka membuka mata.Yang ditanya tidak segera menjawab. Dia sibuk mengucek mata. Berupaya mengingat apa yang terjadi.Sementara Ravi malah salfok pada kemeja yang sang gadis kenakan. Bibir Ravi melengkungkan senyum. Kemejanya tampak seksi
Alarm peringatan meraung dari kantor Serena. Alterio dengan gesit merespon. Mobilnya secepat kilat melesat keluar dari The Palace. Sementara Paul langsung terhubung dengannya."Seseorang membawa Serena. Mona pingsan. Anak buah kita kalah cepat dibanding orang itu."Tangan Alterio terkepal. "Lacak mobilnya. Tidak ada yang boleh menyentuhnya istriku." Rahang Alterio mengatup rapat setelahnya. Kemarahannya meledak sampai ke ubun-ubun.Sementara itu, tubuh Serena saat ini telah berada dalam dekapan seorang pria bertubuh tegak. Tapi berwajah seumuran Edgar.Serena sempat melawan, tapi bahkan ketika kemampuannya sudah mendapat predikat lumayan dari Beita. Dia tetap kalah dalam pertarungan satu lawan satu dengan sosok tadi.Saat tubuh Serena berada dalam dekapannya, pria itu beberapa kali mencium aroma istri Alterio. Sangat menggoda, hal ini membuatnya semakin tidak tahan ingin segera menikmati tubuh sang wanita.Namun semua tidak berjalan seperti keinginannya. Begitu dia merebahkan tubuh Se
Louise menjatuhkan rahang, dengan karyawan lain syok mendengar jatah uang bulanan Serena. Mereka lantas sibuk menghitung gaji masing-masing untuk bisa membiayai hidup Serena."Wah, jangankan jadi suaminya. Jadi kacungnya saja, saya tidak mampu!" Ceplos seorang staf yang langsung menyindir Louise.Mona hampir tersedak menahan tawa. Manis sekali cara sang nyonya menangani Louise Walsh. Manis tapi telak mengenai sasaran."Kau mengaku suamiku? Berikan!" Tangan Serena terulur, meminta pada Louise yang seketika tampak pucat.Serena tersenyum sinis. Tangannya bergerak hingga Louise bisa melihat kilauan cincin bermata safir yang melingkar di jari manis Serena. Jelas itu adalah cincin pernikahan Serena."Blue Forever," gumam Louise tanpa sadar. Sebagai lapidary, dia tentu tahu kalau benda di jari Serena punya nilai sangat tinggi. Standar 4C-nya nyaris sempurna.Serena menyadari arah tatapan Louise. Satu tatapan penuh kemenangan perempuan itu berikan. "Kamu pikir aku akan kalah hanya dengan rum