Hari berlalu tanpa ada hambatan sama sekali. Semua berjalan normal, tidak ada hal aneh terjadi. Baik urusan kantor, maupun urusan rumah tangga. Bahkan usaha Edgar yang ingin mengacau Al hilang tanpa bekas. Pria itu sepertinya sudah menyerah pada Al. Atau suami Serena berhasil menundukkanya. Tidak ada yang tahu.Satu-satunya sosok yang merasakan gejolak dalam kehidupannya hanya Beita.Pria itu dibuat makin tidak waras tiap hari. Meski casing luarnya biasa saja. Dalam hatinya pria itu selalu ingin berteriak. Betapa dia bingung dengan dirinya sendiri.Semua masih berputar di sekitar Riva. Sejak gadis itu demam, hubungan keduanya boleh dikatakan begitu-begitu saja. Namun dalam "begitu-begitu saja" ada yang diam-diam tidak biasa. Beita adalah sosok yang menggantikan selimut Riva. Selama dua jam dia dipeluk oleh Riva. Karena hal itu jugalah, panas Riva lekas turun. Walau kulit mereka tidak bersentuhan secara langsung. Namun beberapa bagian kulit yang terbuka turut andil mengalirkan pana
"Apa yang kalian lakukan?" Serena memicingkan mata, melihat Beita menjauh dari Riva. Dia curiga pada tingkah laku Beita."Tidak ada. Aku hanya memastikan dia meminum obatnya." Jawab Beita santai, seolah tidak pernah terjadi apa-apa."Jadi obatnya sudah diminum?" Serena bertanya sambil meletakkan mangkok di meja."Sudah, Kak. Jangan cemas. Aku cuma deman sebab semalam mandi air dingin."Riva melirik Beita yang tampak acuh. Sudah jelas dialah penyebab Riva demam. "Besok jangan diulangi. Kalau begitu kamu makan dulu, baru tidur lagi.""Tidak mau, pahit."Beita menggertakkan gigi. Apa susahnya tinggal telan. Dari tadi ribut bilang pahit terus."Kalau gak gitu kamu tidak akan cepat sembuh. Makan ya, Va," bujuk Serena.Tadinya Riva ingin menggeleng. Tapi dia mendapati sorot mata Beita tajam terarah padanya. Satu aksi yang menyiratkan ancaman apa yang bakal dia terima jika berani membangkang."Tidak perlu banyak, sedikit juga tidak apa-apa. Yang penting perutmu ada isinya, jangan dibiarkan
Perlu beberapa detik bagi Riva untuk meraih kembali kesadarannya. Aroma bergamot bercampur mint serasa membuai Riva. Dia terlena sesaat sebelum naik kembali ke alam atas sadar."Kok malah cium?!" Protes Riva.Bukannya jawaban yang dia jawab. Namun segelas air putih. "Telan dulu."Riva nyaris tersedak, menyadari sesuatu tersangkut di tenggorokannya. Dia buru-buru minum dari gelas yang disodorkan Beita. Wajah pria itu meninggalkan rona merah samar. Beda dengan Riva yang paras cantiknya terlihat malu-malu."Kak, jangan main cipok aja.""Bahasamu!" Potong Beita cepat. Pria itu memindai tampilan Riva."Buang selimutnya," pinta Beita setelah itu."Dingin," tolak Riva justru makin menenggelamkan diri dalam kain tebal yang tampak lembut untuk disentuh."Ngeyel!" Beita tanpa ampun merebut selimut Riva, menyingkirkannya. Namun detik setelahnya dia menyesali tindakannya.Pria itu gantian melotot, melihat Riva hanya mengenakan gaun tidur tipis. Entah pakai dalaman atau tidak. Yang jelas wajah
"Al, aku antar Serena ke mansion Alexander. Rivaya sakit."Awalnya Al ingin protes, tapi setelah nama Riva disebut, suami Serena urung melakukannya. Sebaliknya, dia mengulum senyum. Sepertinya, taktiknya berhasil.Riva perlahan masuk dalam kehidupan Beita, dan ini bagus. Entah kenapa setelah bertemu Riva, Al merasa gadis tomboy itu akan bisa menakhlukkan Beita. Si kutub berjalan, si irit bicara. Si paling perjaka. Beuh semua julukan diborong oleh pria bermanik coklat tersebut.Al kembali dengan meetingnya, sementara Beita melaju kencang di jalanan. Dia biarkan saja Serena berpegangan pada pinggangnya. Di antara keduanya masih ada jarak, jadi aman.Pikiran Beita masih penuh tanya. Bagaimana bisa Riva sakit. Padahal semalam gadis itu baik-baik saja saat dia antar pulang.Riva bahkan masih sanggup memanjat jendela kamarnya. Itu adalah cara Riva keluar saat malam, biar orang tua dan kakaknya tidak mengetahui kelakuan bandelnya."Ripaya! Kamu kok bisa sakit sih?" Serena menghambur masuk m
"Kamu tidak apa-apa?"Serena tak mengubah posisinya ketika suara Al terdengar. Dia tetap duduk sambil memeluk lutut. Setelahnya dia tahu Al mengambil tempat di sampingnya.Aroma cedarwood Al tercium begitu dekat, serasa menempel di tubuhnya. "Jadi dia bapakku?"Itu yang Serena tanyakan setelah diam untuk beberapa waktu.Tak ada jawaban dari Al. Hingga Serena pilih menghembuskan napas sebagai pelampiasan perasaan, yang entah dia sendiri tidak tahu apa namanya.Marah, dia tidak punya rasa itu. Kecewa, sedikit. Bingung dan terkejut adalah perasaan yang mendominasi hatinya."Sejak kapan kamu tahu?" Serena mengubah pertanyaannya. "Sejak Edgar mengenali kalungmu sebagai miliknya. Saat itu aku tahu dia ayahmu."Serena tertawa lirih. Jadi begitu ceritanya. "Lalu yang di-lab Max hari itu.""Dia mencoba memastikan asal usulmu. Sekaligus tes DNA ulang. Dan ya, selamat kamu putri kandung Edgar Martinez dan Nereida Alexander."Serena mendengus mendengar ucapan selamat dari Al. Entah kenapa perka
Beita benar-benar tidak mengerti. Kenapa nama Rivaya Alexander sekarang begitu dia pedulikan. Sebelumnya, selain Alterio dan yang lainnya, tidak ada seorangpun yang mampu mengubah keyakinannya. Membelokkan pendiriannya. Awalnya dia begitu acuh saat Al meminta dirinya menemui seseorang yang disebut sang atasan sangat menyukai moge.Selalu jadi hal menyenangkan waktu bertemu teman yang sealiran. Yang tidak pernah Beita sangka, sosok itu adalah Riva. Adik Ravi, sepupu Serena. Perempuan yang diam-diam menarik perhatiannya. Pada mulanya, Beita cukup terkejut ketika Riva mampu melajukan moge Panigale yang Al hadiahkan untuk gadis itu dengan sangat baik di sirkuit.Lebih mnegejutkan lagi ketika Riva tak cuma bisa tapi piawai dalam adu kecepatan dengannya. Dalam sekejap, figur Riva yang masih belia mengusik hatinya.Jika Serena masih memiliki sisi lembut dalam dirinya. Riva totally beda. Gadis itu tomboy, dengan sifat dominan ceria. Tidak ada kelembutan dalam sikap Riva, mengingat gadis i
Serena awalnya terkejut, tapi ekspresi wajahnya berubah santai begitu tahu siapa yang sedang bicara padanya. Vasti, Serena baru ingin membalas tapi Al sudah lebih dulu memblokade pandangannya. Alterio melindungi Serena dari ancaman Vasti."Dengan siapa aku menikah aku yang putuskan. Bukan kau atau ayahmu yang pilihkan."Balasan Al telak membungkam suara Vasti. Dia tak pernah menyangka kalau Al akan langsung pasang badan untuk Serena. "Kau tidak tahu siapa yang kau hadapi."Alterio menyeringai, "Justru kau yang tidak tahu siapa yang sedang kau hadapi. Ingat, kau masih berhutang satu hal padaku. Aku belum membalas perbuatanmu pada Serena. Atau ...."Suami Serena menjeda ucapannya. Dia seolah menikmati bagaimana raut wajah Vasti memucat mendengar ancaman Alterio. Pria itu mana mungkin tidak tahu kalau dirinya adalah dalang di balik penusukan Serena. Vasti tadinya berpikir kalau Al belum menemukan pelakunya. Siapa sangka jika semua karena Alterio belum mengambil tindakan apapun untuk
"Lepas!"Sorot mata Beita menajam, dia melihat tangan Riva menahan lengannya. Tapi Riva bergeming. Dia tetap berpegangan pada lengan kekar Beita."Enggak!" Balas Riva tak kalah sengit.Beita menepis tangan Riva hingga pegangannya terlepas. Pria itu mencondongkan tubuhnya, menguarkan aura intimidasi yang sesaat membuat tubuh Riva merinding.Pria di depannya mengerikan sekaligus sangat memikat. Bagaimana Riva akan melepaskannya begitu saja. Lagi pula, Beita adalah pria pertama yang menarik perhatian Riva."Sudah cukup main-mainnya, nona muda Alexander."Wajah Beita tepat berada di depan Riva. Hingga aroma maskulin Beita berbenturan dengan wangi fruity Riva yang ceria.Beita tak berkedip, pun dengan Riva. Mata coklat Beita sangat menawan dalam pandangan Riva.Keduanya berdiri di koridor kampus yang lumayan sepi. Tapi entah dari mana muncul seseorang yang berlari ke arah Beita.Sosok itu tanpa sengaja menyenggol Beita hingga tubuhnya oleng. Tak ayal tubuh Beita mendorong Riva, hingga gadi
"Jangan sampai Serena tahu. Suruh Paul kendalikan sosial media yang Rena mainkan."Max menghela napas. "Untungnya istrimu tidak terlalu suka main sosmed. Yang jadi masalahnya adalah teman-temannya. Si Pevi ini tukang gosip.""Take down beritanya," titah Al dengan Max membungkuk sebagai tanda dia menerima perintah pria tersebut.Al langsung menghubungi Edgar saat itu juga. Tentu setelah mengunci kamarnya. "Apa maksudmu?""Sudah jelas bukan." Edgar balik bertanya."Dengar Ed, aku bukan putramu. Jika kau ingin pewaris aku akan temukan dia untukmu.""Aku tidak perlu seorang putri yang tidak berguna," Edgar menjawab tegas.Tangan Al terkepal kuat. Pantas saja Serena lebih memilih tidak kenal ayahnya. Sebuah pilihan yang bagus, mengingat Edgar memang brengsek."Apa yang akan kau lakukan andai aku bisa menemukan putrimu, dan dia ternyata punya kemampuan setara denganku?"Di ujung sana, Edgar mengerutkan dahi. Bagaimana kalimat Al terdengar begitu yakin. Apakah pria itu tahu siapa putrinya.