Share

BAB 3. JANJI SAHABAT LAMA

(POV Bu Tata)

Sejak selesai makan siang tadi aku hanya berdiam diri di kamar. Aku sengaja mengurung diri, bahkan saat makan malam aku tidak mau keluar meskipun Bagus sudah membujukku berkali-kali.

Tok tok tok.

"Bu, ayo makan dulu. Nanti Ibu sakit kalau telat makan." Bagus masih setia membujukku di depan pintu kamar. Aku mogok makan, biar saja seperti anak kecil yang penting apa yang kuinginkan tercapai. Mungkin sebenarnya Bagus kesal dengan sikapku ini, tapi aku tahu sekali dengan putraku itu, dia tidak akan bisa marah padaku karena dia sangat menyayangiku.

Bagus masih saja memanggilku tapi aku tetap diam, sedikit pun tidak menyahutinya apalagi berniat beranjak dari tempat tidur. Aku memang sengaja melakukan ini, untuk membuat hati putraku luluh.

Aku yakin, kalau aku tetap seperti ini, lambat laun putraku pasti tidak akan tega. Apalagi kalau nanti aku sampai jatuh sakit. Pada akhirnya Bagus tidak ada pilihan lain, dia pasti akan mengabulkan permintaanku untuk menikah dengan putri sahabatku.

Tak perlulah aku memikirkan perasaan Mita, dia menantu yang tidak bisa diandalkan. Dulu memang aku baik dan sayang padanya, berharap dia akan memberiku cucu yang akan menjadi penerus keluarga kami. Tapi ternyata lima tahun berumah tangga dia tak kunjung hamil juga. Aku sudah cukup bersabar, lima tahun bukanlah waktu yang singkat bukan?

Seandainya Bagus menikah dengan perempuan yang subur, mungkin saat ini aku sudah memiliki banyak cucu.

Tapi kenyataannya, diumurku yang sudah menginjak kepala lima satu orang cucupun aku belum punya. Bahkan aku sering malu bila bertemu dengan teman-teman yang selalu bertanya, "Ta, sudah berapa cucumu?"

Dan saat aku mengatakan belum memiliki cucu mereka selalu bilang, "Sabar ya, Ta, mungkin belum saatnya." Meskipun mereka seolah memberikan dukungan, tapi bagiku tidak seperti itu, kata-kata mereka hanyalah ejekan yang sangat menyakitkan.

Oh

Itu sebabnya semakin hari aku jadi semakin kesal pada Mita, menantu mandul yang tidak bisa memberikan kebahagiaan pada keluarga kami.

**

Saat sedang berbaring, tiba-tiba ponselku berdering. Sebenarnya malas turun dari tempat tidur, tapi takutnya penting. Mungkin saja telepon dari anak-anakku di kampung, Sekar dan Gendis.

Aku menatap layar ponselnya yang masih menyala. Ternyata telepon dari sahabat lamaku, Sukma.

Melihat nama Sukma yang ada di layar ponsel, membuat senyumku langsung merekah. Sukma merupakan sahabatku saat masih SMA dulu, kami sangat dekat. Bahkan dulu kami sempat membuat janji, kalau nanti kami punya anak laki-laki dan perempuan, kami akan menjodohkan anak-anak kami.

Namun sayang, sejak Sukma memutuskan untuk mencari pekerjaan di Ibukota, kami tidak pernah bertemu lagi. Berpuluh-puluh tahun kami tidak pernah ada komunikasi, Sukma pun tidak pernah pulang ke kampung. Hingga suatu hari dia pulang sudah menjadi orang kaya raya, terlihat dari penampilan dan juga mobilnya yang mewah.

Masih teringat saat itu kami bertemu di acara pernikahan kerabat jauh Sukma. Sukma bercerita padaku kalau dia menikah dengan seorang pengusaha di Jakarta.

"Suamimu mana, Suk?"tanyaku karena hanya melihat Sukma bersama seorang gadis cantik.

"Suamiku nggak ikut, Ta. Maklum pengusaha, sibuk mengurus perusahaan." Aku hanya mengangguk mendengar ucapannya.

Sukma menatap Bagus, mungkin dia sedang menebak di dalam hatinya tentang siapa laki-laki tampan di sebelahku. Aku memang datang ke acara itu dengan Bagus, karena kebetulan saat itu Bagus sedang libur semester.

"Sukma, perkenalkan ini putraku, namanya Bagus Sentosa," ucapku memperkenalkan anakku padanya.

"Salam kenal, Bu." Bagus tersenyum sopan sambil mengulurkan tangannya.

"Wah, anakmu tampak sekali, Ta," jawab Sukma, dia menyambut uluran tangan putraku yang memang sangat tampan. Dan aku bangga karenanya.

"Oh iya, kenalkan ini putriku, namanya Anida. Dia putriku satu-satunya." Sukma juga memperkenalkan putrinya yang berdiri di sampingnya. Gadis itu tersenyum, kemudian mengulurkan tangannya padaku.

"Salam kenal, Bu. Aku Anida," ucapnya sambil curi-curi pandang ke arah Bagus. Dari tatapannya aku tahu, sepertinya Anida tertarik pada Bagus. Tentu saja, siapa yang tidak akan klepek-klepek kalau melihat putraku yang begitu tampan. Selain itu, Bagus merupakan anak yang pintar dan berprestasi sejak kecil.

"Salam kenal, sayang. Masya Allah, kamu cantik sekali." Anida tersipu saat mendengar pujianku.

"Seandainya Ibu masih punya anak laki-laki lain, pasti akan Ibu jodohkan denganmu." Sontak wajah Anida berubah murung.

"Jadi putramu sudah menikah, Ta?" tanya Sukma sambil menatapku.

"Belum, Suk, tapi sudah bertunangan." Terlihat sekali wajah Anida tampak kecewa, dia menundukkan kepalanya tak berani curi-curi pandang lagi pada Bagus.

"Wah, sepertinya kami datang terlambat. Padahal aku berharap janji kita dulu bisa jadi kenyataan," ucap Sukma terdengar kecewa.

Setelah hari itu aku dan Sukma tak pernah bertemu lagi, bahkan setelah beberapa tahun Bagus menikah.

Hingga sebulan yang lalu tiba-tiba Sukma dan Anida datang ke rumah untuk silaturahmi.

"Jadi Anida belum menikah, Suk?" tanyaku setelah meletakkan minuman dan kue di atas meja.

"Belum, Ta. Dia patah hati dan belum bisa move on dari seseorang yang telah membuatnya kecewa beberapa tahun lalu."

Aku memperhatikan anak gadis dari sahabatku itu. Anida perempuan yang cantik, tapi belum menikah hingga kini usianya telah menginjak dua puluh tujuh tahun. Usianya sama dengan Mita, menantuku yang mandul itu. Apakah sebegitu dalamnya kekecewaan yang dirasakan Anida, sehingga enggan untuk membuka hati kembali untuk laki-laki lain?

"Kalau kamu bagaimana, Ta? Sudah berapa cucumu?" Inilah pertanyaan yang paling aku benci dan selalu ingin kuhindari. Tapi nyatanya setiap bertemu dengan teman-teman, selalu saja aku harus menghadapi pertanyaan yang akan membuatku semakin membenci Mita.

"Aku belum punya cucu, Suk," ucapku sambil tersenyum getir.

"Belum punya cucu? Aku kira cucumu sudah dua atau tiga, Ta." Aku menggeleng lemah.

"Maafkan aku, Suk. Seharusnya dulu, aku menikahkan Bagus dengan Anida, mungkin ini hukuman karena aku melanggar janji kita dulu," ucapku dengan penuh penyesalan.

"Ya, seharusnya memang begitu, Ta. Kalau dulu Bagus menikahi putriku, pasti sekarang kita sudah punya banyak cucu." Jawaban Sukma semakin membuat penyesalanku bertumpuk.

"Bu, kalau memang Anida harus menjadi yang kedua, Anida tidak keberatan sama sekali." Tiba-tiba Anida ikut menimpali obrolan kami. Dan ucapannya itu membuatku kaget luar biasa tapi sekaligus juga senang.

"Kamu serius, sayang?" tanyaku sambil mendekatinya kemudian duduk di sampingnya.

"Anida, apa kamu yakin?" Sukma ikut memastikan keputusan putrinya.

"Anida yakin, Bu. Bukankah Ibu juga tahu kenapa hingga kini Anida belum juga menikah. Itu karena Anida kecewa Mas Bagus tidak jadi menikah dengan Anida, lantaran sudah punya pilihan sendiri."

Aku membulatkan mata. " Jadi ..., penyebab kamu patah hati adalah Bagus, putra Ibu?" tanyaku, dan Anida langsung menganggukkan kepalanya kemudian menunduk.

"Ya Tuhan, Sukma ... Kenapa ndak bilang kalau ternyata ...." Aku tidak melanjutkan kata-kata tapi kemudian langsung memeluk Anida.

"Anida, Maafkan Bagus, ya. Maafkan Ibu juga yang ndak tahu tentang perasaanmu," ucapku sambil mengelus punggungnya dengan lembut.

"Nggak apa-apa, Bu. Jadi bagaimana, apa Ibu setuju kalau Anida jadi menantu Ibu? Anida janji akan mengabulkan keinginan Ibu untuk memiliki cucu."

"Ibu setuju, tapi apakah Ibumu juga setuju memberikan putrinya yang cantik ini untuk Bagus yang sudah beristri." Aku menatap Sukma, apa mungkin dia setuju? Secara, mereka bukan orang sembarangan.

"Baiklah demi kebahagiaan putri dan juga sahabatku. Aku setuju." Ucapan Sukma bagaikan air di padang pasir yang tandus, begitu menyegarkan.

Aku sudah berusaha membujuk Bagus untuk menikahi Anida, tapi usahaku belum juga membuahkan hasil. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk tinggal bersama mereka di Bekasi. Dengan begitu, aku bisa terus mempengaruhi dan membujuk Bagus.

Lamunanku buyar, dering ponsel masih memenuhi kamar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status