"Halo, Suk." Setelah mengusap tombol hijau pada layar ponsel aku langsung menyapa sahabat yang sebentar lagi aku yakin akan menjadi besanku itu.
"Kamu lagi dimana, Ta? Sudah sampai di Bekasi belum?""Iya, Suk. Aku sudah sampai di rumah Bagus tadi siang. Dan sekarang lagi melancarkan aksi supaya Bagus mau menikah dengan Anida, calon menantuku yang cantik," ucapku sambil naik ke tempat tidur. Aku menata bantal kemudian menyandarkan tubuh."Syukurlah kalau sudah sampai, semoga rencana kita lancar ya, Ta. Nggak sabar aku, kita jadi besan," jawab Sukma sambil terkekeh."Iya, Suk, aku juga sama. Tapi ngomong-ngomong nanti kalau Bagus dan Anida sudah menikah, mereka akan tinggal di mana?" Aku penasaran dengan keinginan Sukma setelah anak kami menikah nanti."Tentu saja aku ingin mereka tinggal disini, di kediaman kami. Rumah kami ini besar, Anida juga putriku satu-satunya. Selain itu aku juga ingin Bagus membantu mengurus perusahaan." Mendengar ucapan Sukma aku senang sekali. Rupanya nasib baik memang sedang menghampiri keluarga kami. Sudahlah aku mendapat menantu baik dan cantik, akan memberiku cucu, kaya raya lagi. Duh, jadi nggak sabar pengen ikut pindah dari sini dan ikut menikmati kemewahan di rumah anakku, eh rumah menantuku."Wah, ide kamu brilian banget, Suk. Aku setuju seribu persen kalau Bagus keluar dari rumah ini," jawabku dengan rasa bahagia yang sulit diungkapkan.Belum resmi saja aku sudah merasa jadi orang kaya raya, walaupun sebenarnya keluarga kami juga bukan orang susah. Di kampung, keluarga kami termasuk orang berada dengan punya banyak sawah, hewan ternak, dan juga kebun jati yang luas. Itu sebabnya meskipun aku seorang janda tapi tetap bisa membiayai pendidikan ketiga anakku hingga ke perguruan tinggi. Namun orang kaya di kampung dengan orang kaya yang tinggal di kota pasti berbeda. Apalagi kalau dia pengusaha, sudah pasti kekayaannya berlipat-lipat dibandingkan kami yang tinggal di kampung."Ya sudah kalau begitu, kamu lanjutkan aksimu untuk membuat Bagus nggak ada pilihan lain selain menikah dengan Anida. Kalau kamu butuh bantuan, aku siap sedia. Pokoknya kalau sudah ada kepastian, segera hubungi aku, ya." Sukma Akhirnya mengakhiri panggilan. Sedangkan aku masih rebahan sambil senyum-senyum menghayal jadi orang kaya raya.**Pagi ini aku bangun dengan perut perih, mual, badan sakit, serta kepala pusing. Sepertinya imbas semalam aku mogok makan, jadinya maag akutku kambuh, badan pun ikut gregesan."Duh, Bagus ... apa susahnya sih menuruti keinginan Ibu. Apa harus nunggu Ibu sakit dulu, baru kamu mau nurut. Toh nanti kamu juga yang akan senang karena bisa punya anak. Ibu yakin rahim Anida subur, jadi pasti bisa memberikan keturunan. Daripada nunggu Mita yang ndak pasti," rutukku sambil berusaha turun dari tempat tidur walau dengan susah payah.Dengan tertatih aku berjalan ke kamar mandi. Ulu hati rasanya sakit sekali dan rasa tidak nyaman di perut membuatku segera menuju wastafel."Hoeek ... hoeek ...." Cairan pahit keluar dari dalam mulut, dan itu terus berulang hingga membuat tubuhku gemetar dan berkeringat dingin, kepala terasa semakin berputar-putar.Setelah berkumur-kumur dan membasuh muka, aku keluar dari kamar mandi sambil berpegangan pada tembok. Dengan susah payah akhirnya aku bisa mencapai pintu keluar. Setelah memutar kunci lalu menarik handle pintu, dengan tertatih aku kembali berjalan, tapi tiba-tiba pandanganku menjadi gelap gulita lalu tubuhku ambruk.**Saat aku membuka mata, yang pertama kulihat adalah langit-langit berwarna putih. Kemudian aku menyapukan pandangan ke sekeliling, sepertinya aku sedang berada di sebuah ruangan di rumah sakit. Apalagi saat aku melihat lenganku yang telah terpasang infus."Ibu sudah bangun." Sebuah suara lembut menyapa pendengaranku. Mita baru saja keluar dari dalam kamar mandi dan langsung menghampiriku. Rupanya Mita menantu mandul itu yang menungguiku di ruangan ini.Aku melengos membuang pandangan."Ibu makan dulu ya, biar perutnya ada isinya," ucapnya masih dengan suara yang lembut. Kemudian menyodorkan sendok ke mulutku tapi segera ku tepis, karena aku muak sekali padanya."Jangan seperti ini, Bu, makan sedikit ya. Kalau Ibu nggak mau makan, nanti nggak sembuh-sembuh loh," ucapnya."Oh, jadi kamu mau aku ndak sembuh-sembuh? Kamu senang kalau aku sakit terus? Dasar menantu ndak ada akhlak, ndak berguna!" Aku memekik lalu mendorong mangkuk bubur di tangannya hingga jatuh ke lantai. Makanan lembek itu berhamburan di lantai begitupun dengan pecahan mangkuk putih berbahan keramik itu.Mita terpanah melihat apa yang barusan kulakukan. Mungkin dia tidak menyangka aku akan melakukan itu.Tiba-tiba pintu terbuka."Sayang, ada apa? Kenapa mangkuknya pecah seperti ini?" tanya Bagus yang langsung ikut jongkok membantu Mita mengumpulkan pecahan mangkuk dan membersihkan lantai dengan menggunakan tissue."Nggak apa-apa, Mas. Tadi aku nggak sengaja kesandung, jadi mangkuknya jatuh dan pecah. Maaf ya, Mas, Ibu jadi belum sempat makan karena buburnya sudah jatuh duluan.""Ya sudah nggak apa-apa, sayang, yang penting kamu nggak kenapa-kenapa 'kan?" tanya Bagus, putraku itu terlihat sangat khawatir pada istrinya yang mandul itu. Dulu aku senang melihat keharmonisan mereka, tapi sekarang aku malah muak."Mangkuknya pecah karena Ibu yang dorong. Habisnya istrimu ini malah senang kalau Ibu sakit," ucapku ketus."Astaghfirullah, Mita nggak mungkin begitu, Bu. Aku sangat mengenalnya," ucap Bagus membela istrinya."Bela saja terus. Kamu itu sebenarnya sayang sama Ibu ndak sih? Ibu kamu ini adalah orang yang sudah bertaruh nyawa untuk melahirkan kamu ke dunia ini. Seharusnya kamu itu lebih sayang sama Ibu, lebih mempercayai Ibu, lebih memprioritaskan Ibu, bukan malah sebaliknya," ucapku sambil membuang pandangan."Sudah, Mas, nggak usah di perpanjang," ucap Mita pelan, tapi masih bisa kudengar."Ya sudah, aku keluar sebentar mau beli makan buat Ibu," ucap Bagus kemudian."Biar aku saja, Mas." Mita menimpali, belum sempat Bagus menjawab menantu sialan itu sudah berjalan dengan cepat keluar dari dalam kamar. Biar saja, aku jadi bisa bebas bicara dengan putraku."Bagus, Ibu mau kamu menikah dengan Anida, anak sahabat Ibu. Kamu tahu dia 'kan? Dia itu perempuan baik, lemah lembut, kaya raya. Apa lagi coba yang kurang? Ibu juga yakin Anida itu rahimnya subur, jadi bisa memberikan keturunan untuk keluarga kita." Setelah Mita keluar dari kamar aku segera mengatakan apa yang menjadi keinginanku saat ini. Mumpung kami cuma berdua, tidak ada perempuan mandul itu."Bu, berapa kali harus Bagus bilang, Bagus nggak mau. Bagus sudah punya istri, dan istri Bagus cuma Mita, nggak ada yang lain," jawab Bagus tegas.Harus dengan cara apa lagi aku membujuk Bagus, bahkan aku sudah sampai masuk rumah sakit seperti ini dia masih saja kekeuh. Tapi aku tidak boleh putus asa, aku akan terus membujuknya sampai berhasil. Demi cucu, demi keturunan, dan sekarang demi kemewahan juga tentunya."Kalau kamu ndak mau menikah sama Anida, Ibu ndak mau makan. Biar saja Ibu mati. Buat apa hidup, bahkan punya anak sama sekali ndak mau mengerti keinginan ibunya," ucapku, lalu aku pura-pura menangis dan membalikkan badan membelakangi putra sulungku itu."Kamu dengar ya, Bagus. Jangan harap Ibu mau makan walau cuma sesuap. Biar kamu tahu Ibu ndak main-main. Kalau nanti Ibu mati semoga kamu puas!" ucapku lagi sengaja mendramatisir keadaan."Bu ..., kenapa harus seperti ini. Ini pilihan yang sangat sulit untuk Bagus. Seperti makan buah simalakama. Kenapa, Bu, kenapa harus sampai seperti ini?" Bagus terdengar frustasi, sepertinya dia menangis.Lama Bagus terdiam. Hingga ...."Baiklah, Bu, aku akan membicarakannya terlebih dahulu dengan Mita." Aku langsung membalikkan badan menghadap Bagus kala ia mengucapkan kalimat yang kutunggu-tunggu.(POV Mita)"Mita, aku ... menyayangimu, maukah kamu menikah denganku?" tanya Mas Fachri sambil menatapku dengan penuh cinta.Lalu masih dengan memegang tanganku, perlahan dia berlutut di hadapanku."Sekali lagi aku pinta, menikahlah denganku. Aku berjanji tidak akan menyakiti dan mengecewakanmu. Aku juga berjanji akan meletakkan kebahagiaanmu di atas segalanya."Ya Allah, rasanya tak percaya putra angkat Bu Rumini ini tengah melamarku. Bahkan dia memintaku menjadi pendamping hidupnya di depan ibunya.Dengan menahan ledakan kebahagiaan di dalam dada, kuberanikan diri untuk menatap wajah yang beberapa bulan belakangan ini selalu menghiasi mimpiku."Iya, Mas, aku mau. Aku mau menikah denganmu." Aku menjawab seraya tersenyum dan mengangguk.Mas Fachri mendekatkan tanganku ke bibirnya, kemudian dia mengecup jariku dengan begitu lembut."Yeeeyyy! Akhirnya ada yang bakal nikah nich!" Tiba-tiba entah datang dari mana, suasana yang tadi begitu romantis berubah menjadi begitu ramai bahkan cende
"Ibu ... Ibu ...! Apa yang kalian lakukan pada ibuku?! Siapa yang sudah berani melakukan ini pada seorang Sukmawati--pemilik Wicaksono grup?!" Tiba-tiba seorang perempuan masuk ke dalam kantor polisi dan langsung berteriak seperti orang kesurupan.Benar-benar tidak punya sopan santun.Dilihat dari perutnya yang sedikit membuncit, sepertinya perempuan itu sedang berbadan dua.Dan dari ucapan perempuan itu, aku yakin dia adalah Anida--putri tunggal Bu Sukma yang telah dijadikan alat untuk menjebak ayahku dulu. Anak yang sebenarnya entah benih siapa, namun ayahku-lah yang dijadikan kambing hitam atas kehamilan Bu Sukma, si ular yang sangat berbisa.Tepat di samping perempuan itu, berdiri seorang laki-laki yang kemungkinan adalah suaminya. Dan kalau tebakanku benar, berarti laki-laki itu yang bernama Bagus--mantan suami Mita."Saya. Saya orangnya yang sudah menyeret ibumu itu ke tempat ini?" jawabku dengan tenang.Mata perempuan itu membulat. Wajahnya yang putih tampak merah padam menahan
"Fachri? Apakah kamu Fachri Akbar putraku.""Iya, Pa, ini aku Akbar. Fachri Akbar putra Papa Agung," jawabku masih sambil memeluknya."Ya Allah ... terima kasih banyak. Ternyata benar firasatku selama ini, bahwa putraku masih hidup," jawabnya pelan diiringi isak tangis pilu bercampur haru.Mendengar ucapan ayah kandungku, air mataku semakin deras mengalir. Ternyata ayah memiliki ikatan batin yang cukup kuat terhadapku. Selama ini dia menyakini bahwa aku masih hidup dan tidak serta-merta mempercayai berita tentang kematianku saat kecelakaan maut itu terjadi. Mungkin juga karena jasadku yang tidak ditemukan di area TKP.Aku semakin erat memeluk tubuhnya yang kurus kering laksanakan selembar triplek. Kasihan sekali ayah kandungku, selama ini dia hanya bisa terbaring tak berdaya tanpa bisa melakukan apa pun.'Bu Sukma, dia adalah penyebab semua penderitaan kami. Perempuan iblis itu harus membayar mahal, apa yang sudah dilakukannya terhadap ayah dan almarhumah Ibu kandungku,' ucapku dalam
(POV Fachri)"Bu Sukma sudah jalan, jadi kita juga harus melanjutkan perjalanan," ucap Pak Lukman sambil bangun dari tempat duduknya."Ya, benar, ayo kita lanjutkan perjalanan. Kalau bisa, kita harus sampai lebih dulu dari Bu Sukma," sahutku, lalu ikut bangun dari bangku yang aku duduki.Bapak, Ibu, dan Bu Wulan juga melakukan hal yang sama, tanpa banyak bicara mereka segera berjalan ke arah mobil Rayhan. Sedangkan Rayhan tampak sedang berbincang dengan Briptu Hendra. Kulihat Briptu Hendra mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya, kemudian melakukan panggilan telepon pada seseorang. Entah sedang menghubungi siapa, mungkin rekan, atasan, atau mungkin juga keluarganya.Setelah berbicara di telepon sebentar, Bribtu Hendra mematikan teleponnya kemudian ia masuk ke mobilnya.Bersamaan dengan itu Rayhan pun melakukan hal yang sama, putra tunggal Bu Wulan itu menaiki mobil miliknya yang di dalamnya ada Bapak yang sudah duduk di samping kursi pengemudi, sedangkan Ibu dan Bu Wulan duduk di kurs
(POV Fachri)"Hah! Pesan dari Ridwan!" seru Pak Lukman. Raut wajah Pak Lukman tampak serius saat membaca pesan itu, pasti ada informasi penting yang disampaikan oleh Bang Ridwan padanya.Mendadak jantungku berdebar. Entah kabar apa yang disampaikan Bang Ridwan pada Pak Lukman. Pak Lukman belum berbicara apapun, karena dia sibuk mengetik pesan di layar ponselnya.Ya Tuhan, semoga saja ada kabar baik dan bukan kabar buruk yang akan disampaikan oleh Pak Lukman padaku nanti. Semoga saja Bang Ridwan mengabarkan bahwa ayah kandungku sudah diketahui keberadaannya."Fachri, ke kantor notarisnya lain kali saja, ya. Sekarang kita ke Wonogiri, karena barusan Ridwan mengabarkan bahwa sore ini Bu Sukma akan bertolak ke Kota itu. Dan Ridwan yakin, bahwa Bu Sukma akan menemui Pak Agung," ucap Pak Lukman sambil menyimpan ponselnya kembali di saku jas yang dipakainya."Benarkah? Baiklah kalau begitu, Pak, kita berangkat sekarang. Saya akan menghubungi Bapak Ibu saya dan juga Rayhan," jawabku sambil me
(POV Pak Lukman)"Maksud Pak Lukman, menyusup ke rumah Bu Sukma?" Teh Rumini ikut menimpali. Dari nada suaranya, tampaknya dia cukup terkejut dengan ide yang barusan kucetuskan."Iya, betul. Di sana tentu akan lebih mudah mendapatkan informasi, tapi resikonya juga besar. Adakah yang bersedia menyusup dan melakukan penyamaran?" tanyaku sambil menatap mereka satu persatu, membuat orang-orang yang duduk di depanku itu seketika berpandangan."Aku saja, aku bersedia!" Tiba-tiba laki-laki yang duduk di samping Kang Rahmat menyahut, padahal sedari tadi dia hanya diam menyimak obrolan kami.Aku menatap laki-laki itu, sejenak kami berpandangan."Pak Lukman, perkenalkan ini putra kami--Ridwan," ucap Kang Rahmat sambil menatapku kemudian beralih pada laki-laki yang baru saja menawarkan dirinya untuk menyusup ke kediaman Bu Sukma."Ridwan? Masya Allah ... jadi kamu Ridwan, putra Kang Rahmat? Iya-iya saya masih ingat saat kamu masih kecil dulu. Umurmu memang tidak begitu jauh dengan Akbar." Hampir
(POV Pak Lukman)"Lalu bagaimana dengan semua aset dan kekayaan keluarga Wicaksono. Apakah sampai saat ini masih atas nama Pak Agung dan almarhumah Bu Arini, atau sudah dialihkan pada Bu Sukma?" cecar Bu Wulan.Sebenarnya ini ada apa?Aku semakin bingung dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh keluarga mendiang Pak Aditya."Maaf, Bu Wulan, benarnya ini ada apa? Dari tadi saya tidak mengerti, kearah mana pembicaraan ini?" Akhirnya karena bingung dan penasaran yang begitu menggelitik, kuputuskan untuk bertanya saja."Pak Lukman, apakah Bapak akan percaya kalau saya bilang Fachri Akbar--putra Pak Agung Wicaksono masih hidup?" tanya Pak Rayhan membuatku sangat terkejut."Apa? Tapi, bagaimana mungkin ....""Itu benar, Pak Lukman. Den Akbar masih hidup. Dan apakah Bapak masih ingat pada saya?" Tiba-tiba laki-laki yang duduk di sofa ujung ikut menimpali.Sesaat aku menatapnya ....Ya Tuhan, benarkah yang kulihat ini?Lalu aku pun menatap perempuan yang duduk di samping laki-laki itu.
Bu Wulan melangkah mendekati Fachri. Air matanya sudah tumpah.Sementara itu Fachri pun bangun dari tempat duduknya, dia menatap perempuan yang sudah berlinang air mata itu. Dalam bayangan Fachri, pastilah ibu kandungnya sepantaran dengan perempuan yang kini berada di depannya.Bu Wulan menatap wajah Fachri, kemudian memeluknya dan menangis histeris."Ya Allah, Arini ... Arini, ternyata putramu masih hidup. Arini ... lihatlah, Arini, sekarang putramu ada di depanku, dia sudah pulang." Bu Wulan terus saja menangis sambil memeluk Fachri. Sedangkan Fachri hanya bisa menurut saja, bingung harus berbuat apa. Tapi dia tahu, bahwa perempuan yang sedang memeluknya saat ini adalah orang yang sangat dekat dengan almarhumah ibu kandungnya."Ya Allah, Nak, Ibu rasanya nggak percaya kalau ternyata kamu masih hidup. Tapi Ibu bahagia, akhirnya kamu pulang, mungkin ini pertanda bahwa kejahatan dan kelicikan Bu Sukma akan segera terbongkar," ucap Bu Wulan lagi, lalu dia menoleh pada Rayhan."Ray, kesi
Waktu cepat berlalu, pagi ini Mita dan Bu Rita sudah bersiap untuk berangkat ke kota Prabumulih. Mita akhirnya berhasil membujuk bibinya untuk tinggal bersamanya di Bekasi.Mita juga sudah mengabari Miranti, bahwa dia dan Bu Rita pagi ini akan segera pulang. Miranti ikut senang, dan tak sabar menunggu adik dan bibinya sampai di kota kelahiran mereka.Kini Mita dan Bu Rita sudah berada di dalam angkutan umum menuju kota Prabumulih, begitu pula dengan keluarga Pak Rahmat, sudah berangkat dari Desa Jenang sejak setengah jam yang lalu.Di dalam angkutan umum, Mita yang memegang ponsel Bu Rita sesekali berbalas pesan dengan Fachri, saling memberi kabar sudah sampai dimana.Kira-kira tiga puluh lima menit, akhirnya Mita dan Bu Rita sudah sampai di pol keberangkatan. Mereka berdua turun dengan membawa tas dan bawaan Bu Rita. Mita membantu bibinya, lalu mereka duduk menunggu keluarga Pak Rahmat yang masih dalam perjalanan.Mita sengaja belum membeli tiket, karena tadi Fachri berpesan agar dia