"Sayang, sudah jangan menangis lagi ya. Kata-kata Ibu tadi nggak usah diambil hati." Mas Bagus berucap sambil mengusap punggungku dengan lembut.
Aku yang berbaring membelakanginya masih terisak. Air mata ini seolah tak mau berhenti mengalir, meskipun sudah kuhapus berkali-kali.Kata-kata ibu mertuaku tadi masih terngiang-ngiang di telinga, bagai kaset yang terus di putar berulang-ulang meninggalkan rasa sakit dan pedih yang tiada terkira. Semakin kuingat semakin sakit rasanya. Masalah anak adalah hal yang paling sensitif bagi setiap pasangan yang telah menantikan kehadiran malaikat kecil itu selama bertahun-tahun.Kalau boleh memilih aku juga tidak mau seperti ini. Aku juga sangat merindukan kehadiran buah hati. Aku juga ingin mendengar tawa dan tangis anak-anak di rumah ini. Aku juga ingin memeluknya, menci-umnya, dan menimangnya.Tapi mau bagaimana lagi? Segala usaha dan do'a telah dilakukan tanpa henti. Kalau sekarang belum juga membuahkan hasil, apakah itu salahku?Bukankah sekeras apapun usaha yang kita lakukan, ada bagian yang tidak bisa dikendalikan? Kita tidak akan bisa menentukan hasil akhir yang akan kita dapatkan seperti apa. Karena ranah kita hanya ikhtiar, sedangkan hasil adalah ranah dan hak Tuhan.Saat sedang sedih seperti ini, aku semakin merindukan almarhumah ibuku. Biasanya ibulah tempatku mengadu. Tapi kini ibu sudah tiada, aku hanya sendirian. Ingin menghubungi Mba Mira, tapi aku tidak ingin merepotkan dan merusak kebahagiaannya. Aku tahu saat ini Mba Mira sedang repot-repotnya mengurus si kembar. Berbanding terbalik denganku yang justru harus menangis karena belum hadirnya sang buah hati.Setelah makan siang yang berakhir dengan adu mulut antara ibu mertuaku dengan Mas Bagus tadi, aku langsung masuk ke dalam kamar. Bahkan nasiku tak sempat kuhabiskan karena sudah tidak berselera lagi.Aku membalikkan badan menghadap Mas Bagus. Kini kami telah berhadap-hadapan. Kupandangi laki-laki yang telah menemaniku selama bertahun-tahun itu. Tak ada yang berubah darinya, bahkan kasih sayang dan perhatiannya masih sama seperti dulu."Mas, kalau aku belum juga hamil, apa ini salahku?" tanyaku lirih."Tentu saja bukan salahmu, sayang. Baik kamu maupun aku nggak ada yang salah, karena kita sama-sama sehat. Kita juga sudah berusaha semaksimal mungkin, sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. Kalau sekarang kita belum juga punya anak, berarti Tuhan memang belum mempercayai kita. Mungkin kita harus lebih bersabar lagi," jawab Mas Bagus dengan lembut."Tapi ibumu udah nggak sabar, Mas. Mas tadi dengar sendiri 'kan, Ibu udah nggak mau nunggu lagi. Apa itu artinya ...." Aku menggantung kalimatku, rasanya tak sanggup mengucapkannya. Takut menjadi do'a.Kutatap lekat manik hitam di depanku. Mencoba menyelami akankah pelindungku ini akan tetap bertahan, di tengah gempuran serangan atas kesetiaan yang sedang diuji."Jangan menduga-duga yang belum tentu benar. Udah, lupain aja, Mas yakin besok Ibu pasti udah baik lagi.""Tapi sekarang sikap Ibu udah berubah, Mas. Nggak kayak dulu lagi. Aku cuma takut Ibu akan minta kita untuk pisah, atau mungkin ...." Kembali aku menggantung kalimatku. Aku begitu takut. Aku takut kehilangan suamiku.Mas Bagus menarikku, membawaku dalam pelukannya. Hangat, bahkan pelukannya masih hangat seperti biasanya. Tapi entah kenapa aku begitu takut, ada sesuatu yang seakan sedang mengincar kebahagiaan kami."Ibu nggak ada maksud apa-apa, sayang. Mas yakin Ibu cuma kelelahan karena baru sampai. Kalau soal cucu, sama seperti kita, Ibu cuma di hantui perasaan rindu, rindu untuk segera menimang cucu. Itu wajar, kita juga harus lebih memaklumi, apalagi umur Ibu udah nggak muda lagi." Mas Bagus memejamkan mata, sepertinya dia merasa mengantuk dan lelah setelah melakukan perjalanan jauh. Aku membiarkannya tertidur sambil memelukku, bahkan aku pun ikut memejamkan mata. Menikmati hangatnya pelukannya.**Lantunan suara azan Ashar berkumandang, membawaku kembali ke alam sadar. Aku menggeliatkan tubuh yang masih berada di posisi seperti tadi, di dalam pelukan suami yang sangat kucintai.Pelan-pelan kusingkirkan lengan kekar yang melingkari pinggangku. Lalu aku turun dari tempat tidur, dan berjalan ke kamar mandi. Setelah mandi dan mengambil air wudhu, aku segera melaksanakan kewajiban empat rakaat.Selesai shalat aku keluar dari dalam kamar. Kepalaku menoleh ke arah kamar tamu yang masih tertutup rapat. Mungkin benar kata Mas Bagus, Ibu hanya kelelahan dan sekarang pasti masih istirahat di kamarnya.Aku membereskan piring-piring yang tadi belum sempat kucuci. Setelah itu menyapu rumah sampai ke teras dan juga halaman. Aku memang selalu melakukan semua ini sendiri, karena aku tipe orang yang memang tidak bisa diam. Rumah dan halaman harus selalu bersih dan rapi. Mungkin juga karena aku tidak ada kegiatan lain, mengurus anak misalnya.Teringat kembali ucapan ibu Mas Bagus tadi siang. Memang benar apa yang di katakan beliau, rumah ini sepi karena tidak terdengar suara tawa dan tangis anak-anak.Aku kembali ke dapur, memanaskan air kemudian menyeduh tiga gelas teh. Kemudian membawanya ke teras belakang. Ini juga merupakan kebiasaan kami sejak lama, biasanya sore-sore seperti ini aku dan almarhumah ibu akan ngobrol ringan di teras belakang.Ibu, Ibu ... Aku rindu Ibu.Saat aku sedang termenung sendiri, Mas Bagus datang menghampiri. Dia mengambil tempat duduk di sebelahku, kami minum teh dan ngobrol santai sampai menjelang azan Maghrib."Ibu belum keluar dari kamar, Mas?" tanyaku sambil menoleh pada laki-laki beralis tebal itu."Belum, sayang. Biarin aja, mungkin Ibu masih capek." Aku menganggukkan kepala mendengar ucapan Mas Bagus. Masuk akal sih, apalagi ibu memang sudah berumur.Tapi sampai azan Isya berkumandang, ibu belum juga menampakkan batang hidungnya. Aku sebenarnya sedikit khawatir, takut terjadi sesuatu padanya.Mas Bagus juga sudah beberapa kali mengetuk pintu kamar tamu, tapi tidak ada sahutan sama sekali."Apa iya Ibu masih tidur, Mas?" tanyaku dengan wajah cemas."Nggak tahu, sayang. Kamu makan duluan aja ya, Mas mau coba panggil Ibu lagi," jawab Mas Bagus kemudian mulai memanggil ibunya kembali."Apa didobrak aja pintunya, Mas? Aku khawatir sama Ibu." Aku masih berdiri di belakang Mas Bagus, belum beranjak mengikuti perintahnya untuk makan malam duluan."Nggak usah, sayang. Sepertinya Ibu nggak kenapa-napa, soalnya ada suara seperti sedang menelpon," ucap Mas Bagus sambil menempelkan telinganya di pintu kamar. Aku ikut mendekat, dan melakukan hal yang sama dengan yang di lakukan suamiku itu.Kami bertatapan sejenak, kemudian mengangguk bersamaan. Ada perasaan lega, karena ibu sepertinya dalam keadaan baik-baik saja. Kemudian aku melangkah meninggalkan kamar tamu menuju ruang makan, dan tak lama Mas Bagus pun menyusul. Kami makan dalam diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.(POV Mita)"Mita, aku ... menyayangimu, maukah kamu menikah denganku?" tanya Mas Fachri sambil menatapku dengan penuh cinta.Lalu masih dengan memegang tanganku, perlahan dia berlutut di hadapanku."Sekali lagi aku pinta, menikahlah denganku. Aku berjanji tidak akan menyakiti dan mengecewakanmu. Aku juga berjanji akan meletakkan kebahagiaanmu di atas segalanya."Ya Allah, rasanya tak percaya putra angkat Bu Rumini ini tengah melamarku. Bahkan dia memintaku menjadi pendamping hidupnya di depan ibunya.Dengan menahan ledakan kebahagiaan di dalam dada, kuberanikan diri untuk menatap wajah yang beberapa bulan belakangan ini selalu menghiasi mimpiku."Iya, Mas, aku mau. Aku mau menikah denganmu." Aku menjawab seraya tersenyum dan mengangguk.Mas Fachri mendekatkan tanganku ke bibirnya, kemudian dia mengecup jariku dengan begitu lembut."Yeeeyyy! Akhirnya ada yang bakal nikah nich!" Tiba-tiba entah datang dari mana, suasana yang tadi begitu romantis berubah menjadi begitu ramai bahkan cende
"Ibu ... Ibu ...! Apa yang kalian lakukan pada ibuku?! Siapa yang sudah berani melakukan ini pada seorang Sukmawati--pemilik Wicaksono grup?!" Tiba-tiba seorang perempuan masuk ke dalam kantor polisi dan langsung berteriak seperti orang kesurupan.Benar-benar tidak punya sopan santun.Dilihat dari perutnya yang sedikit membuncit, sepertinya perempuan itu sedang berbadan dua.Dan dari ucapan perempuan itu, aku yakin dia adalah Anida--putri tunggal Bu Sukma yang telah dijadikan alat untuk menjebak ayahku dulu. Anak yang sebenarnya entah benih siapa, namun ayahku-lah yang dijadikan kambing hitam atas kehamilan Bu Sukma, si ular yang sangat berbisa.Tepat di samping perempuan itu, berdiri seorang laki-laki yang kemungkinan adalah suaminya. Dan kalau tebakanku benar, berarti laki-laki itu yang bernama Bagus--mantan suami Mita."Saya. Saya orangnya yang sudah menyeret ibumu itu ke tempat ini?" jawabku dengan tenang.Mata perempuan itu membulat. Wajahnya yang putih tampak merah padam menahan
"Fachri? Apakah kamu Fachri Akbar putraku.""Iya, Pa, ini aku Akbar. Fachri Akbar putra Papa Agung," jawabku masih sambil memeluknya."Ya Allah ... terima kasih banyak. Ternyata benar firasatku selama ini, bahwa putraku masih hidup," jawabnya pelan diiringi isak tangis pilu bercampur haru.Mendengar ucapan ayah kandungku, air mataku semakin deras mengalir. Ternyata ayah memiliki ikatan batin yang cukup kuat terhadapku. Selama ini dia menyakini bahwa aku masih hidup dan tidak serta-merta mempercayai berita tentang kematianku saat kecelakaan maut itu terjadi. Mungkin juga karena jasadku yang tidak ditemukan di area TKP.Aku semakin erat memeluk tubuhnya yang kurus kering laksanakan selembar triplek. Kasihan sekali ayah kandungku, selama ini dia hanya bisa terbaring tak berdaya tanpa bisa melakukan apa pun.'Bu Sukma, dia adalah penyebab semua penderitaan kami. Perempuan iblis itu harus membayar mahal, apa yang sudah dilakukannya terhadap ayah dan almarhumah Ibu kandungku,' ucapku dalam
(POV Fachri)"Bu Sukma sudah jalan, jadi kita juga harus melanjutkan perjalanan," ucap Pak Lukman sambil bangun dari tempat duduknya."Ya, benar, ayo kita lanjutkan perjalanan. Kalau bisa, kita harus sampai lebih dulu dari Bu Sukma," sahutku, lalu ikut bangun dari bangku yang aku duduki.Bapak, Ibu, dan Bu Wulan juga melakukan hal yang sama, tanpa banyak bicara mereka segera berjalan ke arah mobil Rayhan. Sedangkan Rayhan tampak sedang berbincang dengan Briptu Hendra. Kulihat Briptu Hendra mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya, kemudian melakukan panggilan telepon pada seseorang. Entah sedang menghubungi siapa, mungkin rekan, atasan, atau mungkin juga keluarganya.Setelah berbicara di telepon sebentar, Bribtu Hendra mematikan teleponnya kemudian ia masuk ke mobilnya.Bersamaan dengan itu Rayhan pun melakukan hal yang sama, putra tunggal Bu Wulan itu menaiki mobil miliknya yang di dalamnya ada Bapak yang sudah duduk di samping kursi pengemudi, sedangkan Ibu dan Bu Wulan duduk di kurs
(POV Fachri)"Hah! Pesan dari Ridwan!" seru Pak Lukman. Raut wajah Pak Lukman tampak serius saat membaca pesan itu, pasti ada informasi penting yang disampaikan oleh Bang Ridwan padanya.Mendadak jantungku berdebar. Entah kabar apa yang disampaikan Bang Ridwan pada Pak Lukman. Pak Lukman belum berbicara apapun, karena dia sibuk mengetik pesan di layar ponselnya.Ya Tuhan, semoga saja ada kabar baik dan bukan kabar buruk yang akan disampaikan oleh Pak Lukman padaku nanti. Semoga saja Bang Ridwan mengabarkan bahwa ayah kandungku sudah diketahui keberadaannya."Fachri, ke kantor notarisnya lain kali saja, ya. Sekarang kita ke Wonogiri, karena barusan Ridwan mengabarkan bahwa sore ini Bu Sukma akan bertolak ke Kota itu. Dan Ridwan yakin, bahwa Bu Sukma akan menemui Pak Agung," ucap Pak Lukman sambil menyimpan ponselnya kembali di saku jas yang dipakainya."Benarkah? Baiklah kalau begitu, Pak, kita berangkat sekarang. Saya akan menghubungi Bapak Ibu saya dan juga Rayhan," jawabku sambil me
(POV Pak Lukman)"Maksud Pak Lukman, menyusup ke rumah Bu Sukma?" Teh Rumini ikut menimpali. Dari nada suaranya, tampaknya dia cukup terkejut dengan ide yang barusan kucetuskan."Iya, betul. Di sana tentu akan lebih mudah mendapatkan informasi, tapi resikonya juga besar. Adakah yang bersedia menyusup dan melakukan penyamaran?" tanyaku sambil menatap mereka satu persatu, membuat orang-orang yang duduk di depanku itu seketika berpandangan."Aku saja, aku bersedia!" Tiba-tiba laki-laki yang duduk di samping Kang Rahmat menyahut, padahal sedari tadi dia hanya diam menyimak obrolan kami.Aku menatap laki-laki itu, sejenak kami berpandangan."Pak Lukman, perkenalkan ini putra kami--Ridwan," ucap Kang Rahmat sambil menatapku kemudian beralih pada laki-laki yang baru saja menawarkan dirinya untuk menyusup ke kediaman Bu Sukma."Ridwan? Masya Allah ... jadi kamu Ridwan, putra Kang Rahmat? Iya-iya saya masih ingat saat kamu masih kecil dulu. Umurmu memang tidak begitu jauh dengan Akbar." Hampir
(POV Pak Lukman)"Lalu bagaimana dengan semua aset dan kekayaan keluarga Wicaksono. Apakah sampai saat ini masih atas nama Pak Agung dan almarhumah Bu Arini, atau sudah dialihkan pada Bu Sukma?" cecar Bu Wulan.Sebenarnya ini ada apa?Aku semakin bingung dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh keluarga mendiang Pak Aditya."Maaf, Bu Wulan, benarnya ini ada apa? Dari tadi saya tidak mengerti, kearah mana pembicaraan ini?" Akhirnya karena bingung dan penasaran yang begitu menggelitik, kuputuskan untuk bertanya saja."Pak Lukman, apakah Bapak akan percaya kalau saya bilang Fachri Akbar--putra Pak Agung Wicaksono masih hidup?" tanya Pak Rayhan membuatku sangat terkejut."Apa? Tapi, bagaimana mungkin ....""Itu benar, Pak Lukman. Den Akbar masih hidup. Dan apakah Bapak masih ingat pada saya?" Tiba-tiba laki-laki yang duduk di sofa ujung ikut menimpali.Sesaat aku menatapnya ....Ya Tuhan, benarkah yang kulihat ini?Lalu aku pun menatap perempuan yang duduk di samping laki-laki itu.
Bu Wulan melangkah mendekati Fachri. Air matanya sudah tumpah.Sementara itu Fachri pun bangun dari tempat duduknya, dia menatap perempuan yang sudah berlinang air mata itu. Dalam bayangan Fachri, pastilah ibu kandungnya sepantaran dengan perempuan yang kini berada di depannya.Bu Wulan menatap wajah Fachri, kemudian memeluknya dan menangis histeris."Ya Allah, Arini ... Arini, ternyata putramu masih hidup. Arini ... lihatlah, Arini, sekarang putramu ada di depanku, dia sudah pulang." Bu Wulan terus saja menangis sambil memeluk Fachri. Sedangkan Fachri hanya bisa menurut saja, bingung harus berbuat apa. Tapi dia tahu, bahwa perempuan yang sedang memeluknya saat ini adalah orang yang sangat dekat dengan almarhumah ibu kandungnya."Ya Allah, Nak, Ibu rasanya nggak percaya kalau ternyata kamu masih hidup. Tapi Ibu bahagia, akhirnya kamu pulang, mungkin ini pertanda bahwa kejahatan dan kelicikan Bu Sukma akan segera terbongkar," ucap Bu Wulan lagi, lalu dia menoleh pada Rayhan."Ray, kesi
Waktu cepat berlalu, pagi ini Mita dan Bu Rita sudah bersiap untuk berangkat ke kota Prabumulih. Mita akhirnya berhasil membujuk bibinya untuk tinggal bersamanya di Bekasi.Mita juga sudah mengabari Miranti, bahwa dia dan Bu Rita pagi ini akan segera pulang. Miranti ikut senang, dan tak sabar menunggu adik dan bibinya sampai di kota kelahiran mereka.Kini Mita dan Bu Rita sudah berada di dalam angkutan umum menuju kota Prabumulih, begitu pula dengan keluarga Pak Rahmat, sudah berangkat dari Desa Jenang sejak setengah jam yang lalu.Di dalam angkutan umum, Mita yang memegang ponsel Bu Rita sesekali berbalas pesan dengan Fachri, saling memberi kabar sudah sampai dimana.Kira-kira tiga puluh lima menit, akhirnya Mita dan Bu Rita sudah sampai di pol keberangkatan. Mereka berdua turun dengan membawa tas dan bawaan Bu Rita. Mita membantu bibinya, lalu mereka duduk menunggu keluarga Pak Rahmat yang masih dalam perjalanan.Mita sengaja belum membeli tiket, karena tadi Fachri berpesan agar dia