Share

BAB 2. TAKUT KEHILANGAN

"Sayang, sudah jangan menangis lagi ya. Kata-kata Ibu tadi nggak usah diambil hati." Mas Bagus berucap sambil mengusap punggungku dengan lembut.

Aku yang berbaring membelakanginya masih terisak. Air mata ini seolah tak mau berhenti mengalir, meskipun sudah kuhapus berkali-kali.

Kata-kata ibu mertuaku tadi masih terngiang-ngiang di telinga, bagai kaset yang terus di putar berulang-ulang meninggalkan rasa sakit dan pedih yang tiada terkira. Semakin kuingat semakin sakit rasanya. Masalah anak adalah hal yang paling sensitif bagi setiap pasangan yang telah menantikan kehadiran malaikat kecil itu selama bertahun-tahun.

Kalau boleh memilih aku juga tidak mau seperti ini. Aku juga sangat merindukan kehadiran buah hati. Aku juga ingin mendengar tawa dan tangis anak-anak di rumah ini. Aku juga ingin memeluknya, menci-umnya, dan menimangnya.

Tapi mau bagaimana lagi? Segala usaha dan do'a telah dilakukan tanpa henti. Kalau sekarang belum juga membuahkan hasil, apakah itu salahku?

Bukankah sekeras apapun usaha yang kita lakukan, ada bagian yang tidak bisa dikendalikan? Kita tidak akan bisa menentukan hasil akhir yang akan kita dapatkan seperti apa. Karena ranah kita hanya ikhtiar, sedangkan hasil adalah ranah dan hak Tuhan.

Saat sedang sedih seperti ini, aku semakin merindukan almarhumah ibuku. Biasanya ibulah tempatku mengadu. Tapi kini ibu sudah tiada, aku hanya sendirian. Ingin menghubungi Mba Mira, tapi aku tidak ingin merepotkan dan merusak kebahagiaannya. Aku tahu saat ini Mba Mira sedang repot-repotnya mengurus si kembar. Berbanding terbalik denganku yang justru harus menangis karena belum hadirnya sang buah hati.

Setelah makan siang yang berakhir dengan adu mulut antara ibu mertuaku dengan Mas Bagus tadi, aku langsung masuk ke dalam kamar. Bahkan nasiku tak sempat kuhabiskan karena sudah tidak berselera lagi.

Aku membalikkan badan menghadap Mas Bagus. Kini kami telah berhadap-hadapan. Kupandangi laki-laki yang telah menemaniku selama bertahun-tahun itu. Tak ada yang berubah darinya, bahkan kasih sayang dan perhatiannya masih sama seperti dulu.

"Mas, kalau aku belum juga hamil, apa ini salahku?" tanyaku lirih.

"Tentu saja bukan salahmu, sayang. Baik kamu maupun aku nggak ada yang salah, karena kita sama-sama sehat. Kita juga sudah berusaha semaksimal mungkin, sesuai dengan kemampuan kita masing-masing. Kalau sekarang kita belum juga punya anak, berarti Tuhan memang belum mempercayai kita. Mungkin kita harus lebih bersabar lagi," jawab Mas Bagus dengan lembut.

"Tapi ibumu udah nggak sabar, Mas. Mas tadi dengar sendiri 'kan, Ibu udah nggak mau nunggu lagi. Apa itu artinya ...." Aku menggantung kalimatku, rasanya tak sanggup mengucapkannya. Takut menjadi do'a.

Kutatap lekat manik hitam di depanku. Mencoba menyelami akankah pelindungku ini akan tetap bertahan, di tengah gempuran serangan atas kesetiaan yang sedang diuji.

"Jangan menduga-duga yang belum tentu benar. Udah, lupain aja, Mas yakin besok Ibu pasti udah baik lagi."

"Tapi sekarang sikap Ibu udah berubah, Mas. Nggak kayak dulu lagi. Aku cuma takut Ibu akan minta kita untuk pisah, atau mungkin ...." Kembali aku menggantung kalimatku. Aku begitu takut. Aku takut kehilangan suamiku.

Mas Bagus menarikku, membawaku dalam pelukannya. Hangat, bahkan pelukannya masih hangat seperti biasanya. Tapi entah kenapa aku begitu takut, ada sesuatu yang seakan sedang mengincar kebahagiaan kami.

"Ibu nggak ada maksud apa-apa, sayang. Mas yakin Ibu cuma kelelahan karena baru sampai. Kalau soal cucu, sama seperti kita, Ibu cuma di hantui perasaan rindu, rindu untuk segera menimang cucu. Itu wajar, kita juga harus lebih memaklumi, apalagi umur Ibu udah nggak muda lagi." Mas Bagus memejamkan mata, sepertinya dia merasa mengantuk dan lelah setelah melakukan perjalanan jauh. Aku membiarkannya tertidur sambil memelukku, bahkan aku pun ikut memejamkan mata. Menikmati hangatnya pelukannya.

**

Lantunan suara azan Ashar berkumandang, membawaku kembali ke alam sadar. Aku menggeliatkan tubuh yang masih berada di posisi seperti tadi, di dalam pelukan suami yang sangat kucintai.

Pelan-pelan kusingkirkan lengan kekar yang melingkari pinggangku. Lalu aku turun dari tempat tidur, dan berjalan ke kamar mandi. Setelah mandi dan mengambil air wudhu, aku segera melaksanakan kewajiban empat rakaat.

Selesai shalat aku keluar dari dalam kamar. Kepalaku menoleh ke arah kamar tamu yang masih tertutup rapat. Mungkin benar kata Mas Bagus, Ibu hanya kelelahan dan sekarang pasti masih istirahat di kamarnya.

Aku membereskan piring-piring yang tadi belum sempat kucuci. Setelah itu menyapu rumah sampai ke teras dan juga halaman. Aku memang selalu melakukan semua ini sendiri, karena aku tipe orang yang memang tidak bisa diam. Rumah dan halaman harus selalu bersih dan rapi. Mungkin juga karena aku tidak ada kegiatan lain, mengurus anak misalnya.

Teringat kembali ucapan ibu Mas Bagus tadi siang. Memang benar apa yang di katakan beliau, rumah ini sepi karena tidak terdengar suara tawa dan tangis anak-anak.

Aku kembali ke dapur, memanaskan air kemudian menyeduh tiga gelas teh. Kemudian membawanya ke teras belakang. Ini juga merupakan kebiasaan kami sejak lama, biasanya sore-sore seperti ini aku dan almarhumah ibu akan ngobrol ringan di teras belakang.

Ibu, Ibu ... Aku rindu Ibu.

Saat aku sedang termenung sendiri, Mas Bagus datang menghampiri. Dia mengambil tempat duduk di sebelahku, kami minum teh dan ngobrol santai sampai menjelang azan Maghrib.

"Ibu belum keluar dari kamar, Mas?" tanyaku sambil menoleh pada laki-laki beralis tebal itu.

"Belum, sayang. Biarin aja, mungkin Ibu masih capek." Aku menganggukkan kepala mendengar ucapan Mas Bagus. Masuk akal sih, apalagi ibu memang sudah berumur.

Tapi sampai azan Isya berkumandang, ibu belum juga menampakkan batang hidungnya. Aku sebenarnya sedikit khawatir, takut terjadi sesuatu padanya.

Mas Bagus juga sudah beberapa kali mengetuk pintu kamar tamu, tapi tidak ada sahutan sama sekali.

"Apa iya Ibu masih tidur, Mas?" tanyaku dengan wajah cemas.

"Nggak tahu, sayang. Kamu makan duluan aja ya, Mas mau coba panggil Ibu lagi," jawab Mas Bagus kemudian mulai memanggil ibunya kembali.

"Apa didobrak aja pintunya, Mas? Aku khawatir sama Ibu." Aku masih berdiri di belakang Mas Bagus, belum beranjak mengikuti perintahnya untuk makan malam duluan.

"Nggak usah, sayang. Sepertinya Ibu nggak kenapa-napa, soalnya ada suara seperti sedang menelpon," ucap Mas Bagus sambil menempelkan telinganya di pintu kamar. Aku ikut mendekat, dan melakukan hal yang sama dengan yang di lakukan suamiku itu.

Kami bertatapan sejenak, kemudian mengangguk bersamaan. Ada perasaan lega, karena ibu sepertinya dalam keadaan baik-baik saja. Kemudian aku melangkah meninggalkan kamar tamu menuju ruang makan, dan tak lama Mas Bagus pun menyusul. Kami makan dalam diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status